ISTRIKU SERING MENANGIS
"Kamu semalam pulang ke rumah Ibu, Mas?" tanya Mayang saat aku pulang dari rumah ibu. Lelah rasanya baru saja tiba dan bersandar di kursi, tapi baru saja menepi sudah ditanyakan hal yang paling tak kusukai.
"Bisa gak sih, suami pulang bermalam dari rumah orang tua, tawarin minum dulu!" sentakku dengan nada tinggi. Mayang tampak kesal lalu pergi dengan menghentakkan kakinya kencang ke arah dapur. Astaga, istriku kerasukan setan apa sampai seperti itu?
Setelah beberapa detik dari dapur, ia muncul membawa segelas air putih. Lalu memberikannya padaku. Tanpa kata-kata ia pun bergegas lagi meninggalkanku. Aku pikir ia ingin menemani berduduk santai di sini.
"Dek, kamu mau ke mana? Ngambek?" tanyaku, tapi ia tetap pergi tanpa menoleh sedikitpun. Sepertinya ia sakit hati dengan bentakan tadi.
Lalu dengan segelas air putih yang kutenggak, aku menenangkan diri sendiri dengan menghela napas panjang. Namun, tiba-tiba ibu menghubungiku.
"Kamu sudah sampai rumah? Pasti istrimu marah-marah!" ucap ibu membuatku menelan ludah. Ternyata ibu tahu apa yang akan terjadi ketika aku bermalam di rumahnya tapi tidak memberikan kabar pada Mayang.
"Enggak, Bu. Mayang hanya ngambek. Nanti juga dia baik lagi!" sahutku memberikan pengertian pada ibu.
"Oh gitu, terima kasih ya uang 10 juta yang kamu kasih, semoga Mayang tidak marah kalau tahu kamu berikan Ibu uang segitu," ujar ibu. Aku melirik ke arah kamar dan dapur, khawatir Mayang mendengar percakapan kami berdua di telepon.
"Stttt ... Ibu diam-diam saja, aku takut Mayang dengar," bisikku.
"Kalau bisa ditambah bulan depan jadi 15 juta gitu, Ardan! Kamu jangan pelit-pelit dengan Ibumu sendiri. Istrimu, nggak ngapa-ngapain dikasih duit juga!" celetuk ibu meminta tambahan uang. Padahal menurutku, 10 juta sebulan sudah banyak. Hanya untuk membeli sayuran dan buat pegangan ibu.
"Iya, nanti aku tambah!" gumamku singkat, tak mau berdebat dengan ibu yang telah melahirkanku dan membesarkan hingga jadi orang. Apa pun yang ia pinta pasti kupenuhi, meskipun terkadang harus mengorbankan uang belanja Mayang.
"Ya sudah, besok Ibu mau ke rumah adikmu, Rayyan. Jadi, besok Ibu tidak antar masakan ke rumahmu ya, suruh Mayang masak yang enak," suruh ibu. Padahal aku kurang suka dengan masakan Mayang, makanya meminta ibu mengirim masakannya tiap hari.
"Iya, Bu. Hati-hati ya, semoga Rayyan juga memberikan uang 10 juta untuk Ibu," sindirku. Biarkan saja sesekali kuceletukan pada ibu, ingin tahu reaksinya saat anak kesayangan ibu disindir.
"Ardan, kamu tuh kakaknya, dan nasibmu lebih beruntung ketimbang Rayyan, jangan begitu!" tekan ibu yang masih saja membelanya.
"Ya sudah, Bu. Aku mau ke kamar dulu, ngerayu Mayang," sahutku mengakhiri pembicaraan. Telepon pun aku matikan.
***
"Sayang, jangan marah dong! Memang kenapa si kalau aku nginep di rumah Ibu tanpa izin?" tanyaku merayunya. Mayang masih diam membisu. Tak menghiraukan ucapanku. Apa uang yang kuberikan kurang ya? Kan ia nggak masak, dan anak kami juga masih berusia 2 tahun. Tiba-tiba saja ia pergi dengan mengenakan jaket.
"Mau ke mana, Mayang?" tanyaku menyelidik tapi ia tak menjawab. Lalu aku ikuti langkah kakinya. Namun, sebelum mengikuti Mayang, aku cek anakku, Arya, ia sedang tertidur pulas.
"Mau ke mana? Mayang, kamu ngambek?" tanyaku penasaran. Ia melajukan motornya, aku pun bingung mengejarnya dengan apa? Motor hanya ada satu, ada mobil tapi kekejar nggak ya?
Kemudian, aku putuskan kejar dengan menggunakan mobil saja. Entahlah, terkejar atau tidak, yang terpenting aku berusaha untuk mengejarnya saja dulu.
Mayang berjalan menuju arah pangkalan, dan ia duduk di tempat yang banyak para ojek online menunggu penumpang. Kemudian, ia balik jaket kulit yang ia kenakan tadi, ternyata jaket ojek online. Astaga, istriku ngojek? Untuk apa?
Aku perhatikan ia dari kejauhan, dan setelah mendapatkan penumpang kuikuti ia sampai tiba di tempat tujuan. Mayang mengambil uang yang ia terima, kemudian ia kecup uang itu. Kulihat air matanya pun menetes kala ia menerima uang yang ia terima.
Tidak ku sangka, istriku, Mayang Indriani, menjadi tukang ojek. Padahal, aku sudah memberikan uang untuknya agar ia dapat menggunakannya untuk segala keperluannya. Dengan dada yang sudah mulai sesak, aku segera pulang ke rumah. Untuk menanyakan hal ini pada pengasuh di rumah.
Setelah sampai, aku tak menyia-nyiakan waktu. Tanpa basa-basi langsung kutanyakan tentang ini pada Mbok Ani.
"Mbok, apa Bu Mayang tiap pagi pergi ke luar rumah?" tanyaku menyelidik. Ini kali pertamanya aku ada di rumah pagi hari, karena kebetulan sedang cuti kerja.
"Anu, Pak, iya, Bu Mayang pergi naik motor tiap pagi hingga siang hari," jawabnya.
"Loh, kok aku nggak pernah tahu? Sejak kapan Mbok?" tanyaku dengan mata menyipit.
"Sejak ... sejak ... itu Pak, sejak Ibu melahirkan Caesar," sahut Mbok Ani. Berati sudah hampir 2 tahun istriku begini? Kenapa aku tak menyadari hal ini? Kenapa juga Mbok Ani tidak mengadukan hal ini kepadaku?
"Mbok, ada yang aneh lagi nggak selain Ibu sering keluar dari rumah dengan menggunakan jaket?" tanyaku penasaran.
"Ada, Pak. Ibu sering menangis kalau lagi nyusuin Arya," sahutnya membuatku terbelalak.
________ššš_______
ISTRIKU SERING MENANGISBab 2"Mayang sering menangis? Mbok tahu kenapa nggak?" tanyaku penasaran. Namun, Mbok menggelengkan kepalanya. Entahlah, dia tak mau bicara atau memang tidak mengetahui apa-apa."Kalau di rumah ada yang aneh lagi nggak dengan Bu Mayang selain nyusuin Arya sambil nangis dan keluar dari rumah pagi sampai siang?" tanyaku lagi."Nggak sih, Pak. Ibu nggak pernah berlaku aneh-aneh," sahutnya membuatku mengernyitkan dahi. Lalu kenapa Mayang pergi ngojek? Uang yang kuberikan untuknya kan memang khusus menuhin kebutuhan pribadinya. Apa kurang cukup uang 1,5 juta untuknya? Itu tidak perlu beli sayuran dan lainnya."Mbok, apa Bu Mayang punya utang?" tanyaku menyecarnya. Sepertinya Mbok Ani tahu sesuatu, tapi ia rahasiakan di hadapanku."Pak, Mbok bener-bener nggak tahu apa-apa, coba tanyakan langsung pada Bu Mayang," suruh Mbok Ani. Namun, aku ragu menanyakan apa pun pada Mayang, karena ia sensitif sekali. Aku tanya baik-
ISTRIKU SERING MENANGISBab 3Ia menghela napasnya perlahan, semoga saja Mayang bicara jujur padaku. Namun, baru ingin mengatakannya padaku, tiba-tiba ibu datang. Seperti biasa ia datang membawa lauk pauk makan siang.Tadi ibu bicara di telepon besok tidak antar lauk pauk, tapi hari ini ia masih mengantarkannya untuk kami."Assalamualaikum," ucap ibu dengan wajah semringah."Waalaikumsalam," jawab kami berbarengan, tapi suara Mayang masih agak serak karena tadi menangis.Ibu menautkan kedua alisnya, ia keheranan melihat kami sedang saling berhadapan."Mayang, kamu kenapa? Matamu sembab begitu, apa nangis?" tanya ibu saat melihat mata Mayang yang sembab.Namanya Diah Sarita, ibuku tinggal di daerah kompleks sebelah. Namun, memang tiap siang ia mengirimkan masakannya ke sini. Kalau pagi, sarapan biasa dengan roti atau nasi goreng buatan Mayang.Aku yang meminta ibu untuk memasak setelah Mayang melahirkan anak k
ISTRIKU SERING MENANGISBab 4Ting ... tong .... Suara bel berbunyi, ada tamu datang, Mayang pun segera membukakan pintunya. Rupanya ibu mertuaku yang datang, mamanya Mayang."Assalamualaikum," ucapnya ketika sudah diperkenankan masuk."Waalaikumsalam," sahutku dan Mayang. Ratna Antika namanya, mamanya Mayang ini terbilang glamor penampilannya. Sering tetanggaku bilang bahwa Mayang dan mamanya seperti kakak dan adik. Wajah yang sangat glowing, penuh perawatan, pastinya akan membuatnya bertanya-tanya akan penampilan anaknya setelah melahirkan Arya."Cucuku di mana, Mayang?" tanya mama mertua."Ada di dalam, tadi kecapean nangis, sekarang mungkin tidur," jawabku. Mayang pasti tidak mengetahui bahwa anaknya tadi nangis."Oh gitu, padahal mama kangen dengan Arya. Oh ya, Ardan, terima kasih uangnya sudah Mama terima, padahal Mama nggak berharap dikasih oleh kalian, yang penting kalian bahagia, Mama pun ikut bahagia," ungk
ISTRIKU SERING MENANGISBab 5"Aku berikan Mama hanya 1 juta rupiah, puas? Atau malah tidak percaya?" Itu pun baru bulan ini ngasih, karena uang hasil ngojek yang kukumpul ada lebihan," jawab Mayang membuatku terkejut."Mayang, kalau memang kamu ingin berikan Mama sejumlah uang, ngomong pada Mas," ucapku sambil mencari dompet. Sebaiknya aku ganti uang Mayang, siapa tahu dengan seperti ini, ia mau menjawab semua rasa penasaranku.Setelah mendapatkan dompet itu, aku pun segera mengeluarkan sejumlah uang yang ia sebutkan tadi."Ini, Mas gantikan uang yang kamu berikan untuk Mama atas namaku. Terima kasih ya, Dek. Kamu telah ingatkan Mas untuk memberi meskipun tahu orang tuamu berkecukupan," jawabku. Ia hanya terdiam, kemudian meraih uang yang kuberikan padanya."Terima kasih, Mas. Aku simpan uang pemberian kamu, terima kasih sekali lagi sudah percaya dengan ucapanku," ketusnya. Kemudian, ia letakkan uang itu di sebuah laci yang tak pernah
ISTRIKU SERING MENANGISBab 6"Kalau begitu, aku permisi dulu ya, makasih loh!" ucap wanita itu lagi. Sepertinya ia mau pulang, lebih baik aku nongol lebih dulu, agar bisa tanyakan langsung padanya."Assalamualaikum," ucapku sambil melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka."Waalaikumsalam, loh Mas kamu pulang lagi?" tanya Mayang heran. Ia pun sontak memandang wajah wanita yang berada di hadapannya."Iya, ada yang ketinggalan. Maaf, Mbak ini siapa ya?" tanyaku pada wanita yang tak kukenal, dari parasnya usia wanita itu sekitar seumuran Mayang. Ada urusan apa ia ke sini? Tagihan apa yang Mayang punya?"Mas, kamu sudah dari tadi ya di depan pintu?" tanya Mayang balik. Rasanya ia selalu menutupi setiap kali aku ingin mengetahui apa yang ia lakukan."Maaf Mayang, aku tanya temanmu dulu, agar tahu istriku ini punya cicilan apa!" tekanku pada Mayang. Ia pun tertunduk, kemudian Mayang duduk di sofa. Ada tarikan napas keluar dari mulut
Bab 7Pov MilaAku mengeluarkan tangisan di hadapan Mas Hendra. Sehingga membuat Hendra panik dan cemas melihat kondisiku saat ini.Kulepaskan dekapannya, kemudian kuambil secarik kertas sebelum membuka laptop yang kepegang, dengan hentakan kaki pelan, aku meletakkan kertas dan pulpen di atas pahanya."Apa ini?" tanya Mas Hendra. Kedua alisnya ia tautkan ketika melihat aku memberikan secarik kertas."Baca saja!" sahutku. Kemudian matanya mulai menatap dan membacanya dari atas ke bawah.Setelah membaca dengan teliti, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian, memejamkan matanya sejenak. Lalu bicara berhadapan denganku."Kenapa semua aset minta dipindah atas namamu?" tanyanya pelan."Wajar, aku istri sah kamu, dan Ayu darah dagingmu," sahutku sambil terisak."Alasannya apa? Kalau aku tidak mau, kamu minta cerai?" tanyanya.Kemudian, aku membuka laptop yang berisikan reka
Bab 8Bola mata Mayang tampak berputar, kelihatan seperti ia sedang mencari alasan."Aku mau ke dokter gigi, Mas. Maaf ya, selama ini aku perawatan gigi nggak bilang-bilang," sahut Mayang. Mataku menyipit sambil memegang kedua pipinya, lalu kubuka rongga mulutnya."Mana? Nggak ada gigi yang ditambal, ngerawat apanya, Sayang?" tanyaku keheranan. Pipinya aku remas sambil becanda dengannya."Mas, perawatan gigi memang harus ada yang ditambal?" tanya Mayang balik, sepertinya ia sudah pandai memutar balikkan fakta. Aku tersenyum tipis, kemudian mengelus-elus rambutnya ya selalu diikat dengan karet jepang."Ya sudahlah, hati-hati di jalan, kalau butuh apa-apa telepon aja, ya. Oh ya, kamu ke dokter gigi memakai asuransi kantor, kan?" tanyaku lagi."Iya, Mas," jawabnya sambil tersenyum merekah.Aku segera bergegas berangkat ke kantor. Ada Pak Wijaya yang telah menunggu kehadiranku di ruang meeting. Takkan kubiarkan pekerjaan yan
Tok ... tok ... tok ...."Masuk!" teriak Pak Wijaya. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan pada pihak asuransi. Petugasnya belum selesai memberikan aku informasi tapi sudah kututup teleponnya, karena ada seseorang yang mengetuk pintu.Dibukanya daun pintu yang terbuat dari kayu jati itu, kemudian masuklah sosok wanita yang ternyata Mayang. Kenapa ia bisa tahu aku berada di sini, di ruangan Pak Wijaya?Aku menoleh keheranan, mataku terpanah pada wanita yang berdiri di samping pintu yang terbuka lebar."Maaf, Pak. Kalau saya lancang ke sini, tapi tadi saya sudah bicara pada Bu Tiara melalui sambungan telepon," terang Mayang. Kemudian, Pak Wijaya pun mengangguk. Ia tersenyum, lalu menghampiriku dan menepuk-nepuk pundak ini."Selesaikan masalahmu dulu, silahkan bicarakan ini berdua di taman atau di tempat yang menurut kalian nyaman," suruh Pak Wijaya. Ia membuatku terharu, mana ada atasan sebaik Pak Wijaya dan Bu Tiara?