"Memangnya kenapa, Pak?""Lula belum membayar SPP selama 6 bulan, Mas."Aku terperangah. "Enam bulan?""Iya, Mas."Kurang ajar, selama ini ibu dan Kak Tuti rutin meminta uang padaku katanya untuk bayaran sekolah Lula, mana jumlahnya pun tak sedikit tapi sekarang apa? Lula belum bayaran sekolah selama 6 bulan?"Berapa biaya perbulannya, Pak?" Aku bertanya lagi."350 ribu hanya SPP, Pak."Aku kembali diam.Selama ini ibu bilang uang SPP Lula 500 ribu per bulan, belum lagi uang buat beli buku paket dan lain-lain makanya setiap bulan kukirim mereka uang 4 juta rupiah, kuniatkan untuk biaya sekolah Lula dan untuk makan anak istri serta ibuku.Tapi kenapa ibu gak bayar SPP Lula selama 6 bulan? Lalu mereka kemanakan uangnya? Apakah cuma habis dimakan begitu saja? Gak beres, mereka semua emang gak beres."Ya sudah saya nanti biar saya bicarakan dulu sama keluarga yang lain ya, Pak.""Baik Mas, oh ya dan untuk Dara semua laporannya bagus hanya dia sekarang lebih sering izin tidak masuk," tutur
Blak. Kak Noni menginjak kaki Dara hingga sontak mulut anak itu tertutup rapat. Dari sanalah baru kusadari mungkin Dara sudah keceplosan omongan."Apa tadi katamu? Ayo ulangi lagi," tanyaku kemudian.Dara dan Kak Noni pias di tempatnya. Sementara ibu cepat mengalihkan isu."Udah jangan bertengkar terus kasihan Lusi."Aku melirik sebentar ke arah beliau. Wah hebat sekali, ibuku ini memang sangat hebat bersandiwara pantas saja anak-anaknya gak bener semua."Biarin Bu, si Sandi ini emang udah tergila-gila sama perempuan gila ini, jadi wajar kalau sekarang dia buta!" sembur Kak Noni kemudian.Aku menyeringai, "istriku gak gila, apa kalian denger? Istriku enggak gila! Perlu kutegaskan berapa kali lagi hah?""Dan kalian," lanjutku dengan tatapan tajam pada Dara."Siapapun kalian yang sudah menyiksa Lusi hingga begini, pasti akan kuseret kalian ke penjara!" tegasku.Wajah ibu dan Kak Noni kembali pias. Aku segera melangkah membawa Lusi pergi tapi suara ibu kembali menghentikanku."Sandi."Ak
"Apa?" Lusi ikut bangkit dan ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar.Meski Lusi sedang sakit dan bahkan mereka bilang dia gila tetapi aku sangat percaya pada semua ucapannya, aku sangat percaya itu.Lusi tak mungkin berbohong apalagi mengarang cerita."Abang jangan marah." Lusi memelukku.Aku cepat mengusap wajah dan mengatur napas, ya Tuhan entah kenapa sekeras apapun aku mencoba bersikap tenang tetapi saat mendengar hal-hal yang membuatku syok aku tetap saja terpancing emosi, atau semua ini memang wajar? Mungkin karena aku sangat menyayangi anak dan istriku."Abang bukan marah sama Lusi, Abang marah sama mereka yang sudah memukul Lusi dan Yassir." Aku kembali memelankan nada bicaraku seraya mengelus rambutnya.Lusi lalu terisak-isak di dadaku. Akhirnya malam itu aku pun kembali terlelap dengan pertanyaan yang masih menggantung di kepala.Siapa yang sudah berani pukul Yassir? Apakah ucapan Lusi benar? Yassir dipukul hingga ia tak bernyawa? Tapi kenapa semua orang bilang Yassi
Akhirnya kuredam emosiku lagi. Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.Lagi pula aku tidak boleh membuat onar atau kegaduhan di dalam rumah karena Lusi bisa bangun dan kembali ketakutan lagi."Oke, sekarang katakan! Katakan semua yang kalian tahu tanpa kalian tutupi sedikitpun," ujarku ketika aku sudah merasa lebih baik.Lula menarik napas pelan sebelum akhirnya ia bicara. "Kak Sandi, sebetulnya Yassir tidak mati tenggelam, tapi karena dibunuh sama Kak Tuti," bisik Lula di dekat telingaku.Refleks tanganku mengepal hebat hingga kulihat dengan jelas buku-buku jari tanganku memutih pucat."Dibunuh? Jadi benar anakku dibunuh?" Mataku membulat ke arah Lula.Lula mengangguk ragu-ragu sambil sesekali menatap mataku yang sedang menyemburkan bara api."Dengan cara apa anakku dibunuh? Apa Yassir dipukul?" tanyaku lagi, masih dengan tatapan menyilet ke arah Lula."Iya bener Kak Sandi," jawabnya disertai anggukan kepala yang kesekian kalinya.Biadab! Kakakku yang selama ini k
Dara dan Lula saling menatap."Apa itu artinya Lula harus mengkhianati Ibu?" tanya adikku kemudian.Aku mengibaskan tangan sambil menggeleng kepala, kubuat suasana lebih santai agar anak-anak remaja ini tak terlalu ketakutan berada dalam masalah besar seperti ini.Aku lalu mengajak kembali mereka duduk."Duduklah kalian!"Ragu-ragu tapi akhirnya mereka mau duduk kembali."Begini, akan ada dua keuntungan yang kalian dapatkan saat kalian berada di pihak kami dan membantu Kakak mengungkap kejahatan ini."Mereka menatapku dengan raut tak paham."Kenapa? Apa kalian masih bingung?"Mereka mengangguk kepala tanpa bicara apa-apa."Oke, jadi kalau kalian mau membantu Kakak mengungkap masalah ini, keuntungan pertamanya adalah kalian akan Kakak jamin tetap lanjut sekolah sampai lulus, baik Lula maupun Dara, semuanya sama, surat DO itu Kakak pastikan gak akan berlaku lagi untuk kalian."Mereka berdua menarik napas berat seraya tetap menyimak."Kedua, kalian gak akan Kaka seret ke dalam penjara me
Cepat ku cek bagian urat nadinya dan syukurlah ternyata masih berdenyut."Lusi? Bangun."Ia pun kembali membuka mata."Lusi ngantuk, Bang," ucapnya pelan seraya kembali memejamkan mata.Aku mengembuskan napas lega, kupikir Lusi kenapa entah apa yang terjadi padanya tadi, aku sendiri sampai takut dibuatnya.Kupegang tangan Lusi perlahan, kubisikan padanya kata sayang dan cintaku, aku berharap dengan melakukan hal itu istriku bisa terus mengingat bahwa aku selalu ada di sisinya sekarang.Tetapi saat aku tengah dengan tenang bicara di dekat telinganya. Ia kembali berteriak."Yassi ... r, Yassi ... r tunggu Nak, Bunda ikut."Secepat kilat Lusi lalu bangkit dan menerobos membuka pintu kamar."Lusi mau kemana?"Kukejar ia, rupanya Lusi pergi ke dapur."Lusi ... tunggu!"Dret. Langkahku berhenti mendadak pada jarak sekitar 1 meter dengannya tatkala kulihat Lusi sudah menodongkan pisau ke arahku."Lusi apa yang kamu lakukan? Tidak baik main pisau, ayo kembalikan ke tempatnya," ucapku perlahan
"Kalau dia tetep gak mau berangkat? Kamu tahu sendiri kan gimana dia? Si Sandi sayang banget sama istrinya, entahlah, istri nemu di panti asuhan aja sok belagak kayak nikah sama ratu."Aku terhenyak mendengar ucapan ibuku, beliau bilang Lusi adalah istri yang kutemui di panti? Ya memang benar tapi apa perlu orang tua seperti beliau mempermasalahkan hal itu? Memang kenapa kalau menantunya itu adalah anak dari panti asuhan? Salah? Dosa besar? Tentu tidak bukan?Selama anaknya bahagia, bukankah harus nya orang tua ikut bahagia?Apalagi Lusi bukan tipe wanita yang muluk-muluk dan banyak gaya, Lusi adalah wanita sederhana, meski ia sudah menikah denganku ia tak pernah sekalipun meminta hal-hal aneh yang di luar batas kemampuanku.Lalu sebetulnya mau ibuku itu apa?"Harus mau, karena dia gak punya pilihan lagi, kita harus buat si San-" Ucapan Kak Tuti tiba-tiba berhenti, aku mengerutkan kening, setelah menunggu beberapa detik suara Kak Tuti tak terdengar lagi aku pun menengok ke atas dan be
Aku buru-buru memakai jaket yang baru saja kulepas itu lalu berlari ke sepanjang jalan gang rumah. Namun hasilnya nihil, lagi pula kalau Lusi memang pergi mencariku ke jalan itu harusnya tadi aku juga bertemu dia di jalan."Apa mungkin dia jalan ke gang arah belakang rumah?"Tanpa pikir lagi, aku pun berlari menyusuri jalanan tiap gang dengan perasaan panik bercampur takut, aku takut sekali jika sesuatu terjadi padanya. Sementara itu di atas sana kilatan petir tiba-tiba saja menyambar-nyambar menambah kekalutan.Lusi tidak ada di mana-mana, aku sudah mencarinya hampir satu jam lamanya.Aku kembali ke rumah, berharap Lusi sudah ada di sana, tapi ternyata aku salah, mana mungkin juga Lusi pulang sendiri dengan mudahnya.Lalu kemana dia pergi sekarang?Apa jangan-jangan Lusi dibawa oleh keluargaku? Diculik misalnya, karena tadi sore aku sempat berseteru dengan ibu dan kak Tuti.Ya benar, bukan tak mungkin mereka melakukan hal itu pada istriku, mereka sangat nekat dan kejam bukan?Sekali
"Lusi! Biarkan laki-laki tak berguna itu dibawa, kamu tidak perlu halang-halangi petugas melakukan tugasnya!" Mama mertua berteriak.Lusi menggeleng-gelengkan kepala."Gak Ma, jangan lakuin ini Ma, Lusi mohon, Lusi mohon, Ma."Peristiwa tarik menarik antara polisi dan Lusi pun terus terjadi. "Lus, biarkan Abang dibawa dulu, nanti kita akan jelaskan, takut kamu kenapa-napa," ucapku.Lusi tetap tak mau mengalah, ia terus saja menarikku."Lusi gak mau Abang, Lusi gak bisa hidup tanpa, Abang," katanya mulai terisak."Sudah cukup Lusi! Drama macam apa ini?!" Dengan paksa Mama mertua menarik tangan Lusi.Dan brak gedebughhh. Tangan Lusi terlepas hingga kepalanya terpental ke tembok, sementara tangannya menghantam kaca hingga retak, parahnya saat itu juga Lusi langsung jatuh tak sadarkan diri."Lusiii!" Aku dan Mama mertua teriak spontan."Tante Lusi, ya ampun bangun, Tan." Dara dengan sigap meraih kepala Lusi."Ya ampun Lusi? Lusii maafin Mama Nak, Lusi bangun Sayang, Lus ... Lusi? Lusii!
PoV SandiFaaz tertawa, "haha ya tentu saja aku kenal."Lanjut Faaz menceritakan tentang pertemuannya denganku saat itu, seminggu setelah aku kecelakaan, Lula mengantarku datang ke sekolah anaknya Faaz."Heiii keluar kau lelaki hidung belang!" teriak Lula saat itu.Buru-buru Faaz keluar dari mobilnya."Maaf ada apa ini?" tanya Faaz, ia terlihat kebingungan karena kami menghadang mobilnya setelah ia mengantarkan anaknya."Halah enggak usah banyak omong kau hidung belang, kemana Kakak iparku sekarang? Kau kemanakan dia, hah?!" sembur Lula berkacak pinggang.Kening Faaz mengerut, sementara aku yang tak sabar cepat mencecarnya juga."Hei apa kau tuli? Kau kemanakan istriku? Di mana dia sekarang?!""Tuggu dulu, kalian jangan emosi begini, istri? Kakak ipar? Siapa yang kalian maksud?""Wanita yang seminggu lalu mengantar anakmu ke sini, dia adalah istriku, kau dengar? Dia ISTRIKU," tegasku tepat di depan wajahnya."Siapa? Lusi maksud Anda?" "Ya tentu saja, siapa lagi, asal kau tahu dia adal
Aku menggeleng tak percaya. "Apa Mama setega itu sekarang?""Ya, Mama harus tega dan ini demi kebaikan kamu Lusi.""Lusi cuma mau tahu kabar Bang Sandi, Ma.""Enggak!"Aku bergeming menatap beliau sebelum akhirnya melengos pergi dengan rasa kecewa.Aku berusaha untuk sabar menghadapi Mama, berharap beberapa hari ke depan beliau akan terbuka hatinya dan membiarkan aku kembali pada Bang Sandi, tapi ternyata aku salah.Mama malah semakin mengurungku bagai tawanan. Aku tahu beliau sangat menyayangiku tapi caranya sangat salah. Aku tidak dibiarkan pergi kemana pun hanya karena takut komplotan Mas Yono datang menculikku lagi. Akhirnya, setiap hari selama aku tinggal bersama Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dan menyadarkan Mama bahwa tindakannya itu salah.Siang itu aku sedang bersender di jendela besar kamarku, sambil kuelus perut yang makin membesar ini aku menangis menumpahkan kesedihanku.Air mata luruh tak tertahan, bagaimana
"Lus ... Lusi ... bangun Sayang." Suara itu menarikku dalam kesadaran.Spontan aku bangkit saat ternyata Mama ada di sampingku."Ma?" Kutengok lagi di belakangnya Faaz sedang berdiri sambil menundukan kepalanya."Kamu baik-baik aja, Lus?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk pelan lalu cepat memeluknya erat."Mama, tolongin Lusi Ma, Lusi takut, Lusi takut, Ma.""Iya Sayang, kamu tenang Nak, kamu sudah aman di sini."Faaz maju selangkah."Tolong maafkan mantan istri saya, dia memang wanita gila," ujarnya pelan.Aku mengangguk pelan, dan terus berlindung dalam dekapan Mama."Siapa yang bawa Lusi ke sini, Ma?""Faaz, dia menemukan kamu di toilet kamar Maisa."Aku melirik lelaki itu sekali lagi, hidupku jadi mengerikan begini gara-gara aku masuk dalam kehidupannya. Ya Tuhan, andai aku bisa secepatnya lepas dari Faaz."Mulai besok kau gak usah tinggal lagi di rumahku." Ucapan Faaz membuatku mengangkat wajah. Dan mendadak senyumku terbit tanpa aba-aba."Ya, pulanglah bersama ibumu, maaf saya sud
"Maisaa! Maisaa!" Mereka berdua berlomba memeluk Maisa, kemudian berusaha membuat anak itu sadar."Awas! Jangan sentuh anakku!" sentak Faaz sambil mendorong mantan istrinya."Mas, apa maksud kamu? Maisa sedang membutuhkanku sekarang.""Enggak!" teriak Faaz lagi, kali ini lebih kencang.Cio memaksa memeluk anaknya alih-alih pergi menuruti keinginan Faaz. Tak heran jika hal itu membuat Faaz naik darah hingga akhirnya lelaki itu membanting lampu meja yang ada di sisi ranjang Maisa."Biarkan dia, aku gak sudi anakku dipeluk oleh perempuan sepertimu! Pergii!! Atau kau akan ku-""Tapi aku Ibunya Mas, aku berhak memeluknya sampai kapanpun," potong Cio.Aku dan bibi saling menatap tak percaya. Bisa-bisanya mereka saling mempertahankan ego masing-masing di saat keadaan genting begini.Karena tak tahan, akhirnya mulut ini refleks berteriak, "sudah cukup! Kalian gak lihat gimana keadaan Maisa sekarang?!"Kedua orang yang sedang berselisih dan adu mulut pun diam."Bisa-bisanya kalian sibuk berten
Aku hanya tersenyum sekenanya.Sampai di rumah aku dan bibi langsung melakukan tugas masing-masing. Mendekor dan menyiapkan acara kecil-kecilan untuk Maisa. Sementara Faaz menjemput anaknya itu ke sekolah."Non Lusi, kok diem aja? Ada apa? Apa Non masih kepikiran suami, Non?" bisik Bibi.Aku menggeleng lesu, "gak Bi, bukan itu, saya hanya sedang mikirin tadi, saya 'kan makan dulu setelah belanja eeh terus ketemu mama saya, Bi.""Wah bagus dong Non, terus gimana?""Masalahnya kok mama saya kayak beda ya sekarang, masa saya tanya soal kondisi suami saya beliau bilang gak tahu apa-apa dan parahnya mama bilang saya harus lupain suami saya mulai sekarang karena beliau anggap suami saya sudah lalai, beliau anggap suami saya yang bertanggung jawab atas kondisi saya sekarang, terus masa iya mama saya malah dukung keberadaan saya di rumah ini, aneh 'kan? Saya jadi kepikiran sebetulnya ada apa di rumah, apa suami saya baik-baik aja?" jawabku panjang lebar.Bibi mendengarkan dengan baik semua ya
"Gak bisa ya, Non?" tanya Bibi lagi."Iya gak bisa Bi, gak diangkat.""Lusii!!" Kudengar suara Faaz berteriak di luar, cepat Bibi memasukan lagi ponselnya pada lipatan jarik di bagian perutnya."Tuan manggil Non, cepet ke sana."Aku mengangguk dan buru-buru turun."Iya, kenapa?""Hari ini bisa antar saya ke supermarket? Saya mau belanja kebutuhan ulang tahunnya Maisa, hari ini dia ulang tahun saya mau buatkan kejutan kecil-kecilan untuk dia," tanya Faaz."Oh ya, tentu boleh," jawabku pelan.Hari itu tanpa menunggu lagi Faaz membawaku ke sebuah supermarket terdekat dari rumahnya. Kami membeli banyak sekali perlengkapan pesta ulang tahun untuk kejutan untuk Maisa. "Nanti Maisa akan saya jemput dan akan saya bawa main dulu, kamu dan bibi tolong persiapkan untuk kejutannya ya," ucap Faaz saat kasir sedang menghitung belanjaan kami.Aku mengangguk saja."Tapi awas, kamu jangan capek-capek Lus, takutnya kandungan kamu malah kenapa-kenapa," ucapnya lagi.Aku tersenyum sekenanya dan mengangg
Pov Lusi"Aaaaa!"Bruk. Kutengok kaca spion, Bang Sandi terjatuh dari motornya."Mas, ada kecelakaan, berhenti sebentar," titahku cepat."Itu bahaya Lusi, sudah biarkan saja, itu bukan urusan kita juga," katanya sambil terus menyetir melajukan mobil dengan kencang.Hatiku makin gundah, Bang Sandi kecelakaan, sementara aku tak biaa berbuat apa-apa, aku tengah bersama seorang lelaki tempramental yang baru beberapa hari ini kukenal, dia bisa saja memukul dan menyiksaku jika aku membuat hatinya tersinggung atau tak suka.Yang kutahu namanya adalah Faaz, teman-temannya termasuk Mas Yono yang menjualku padanya kemarin memanggil pria ini dengan sebutan Mas Faaz, ia punya seorang anak perempuan seusia anakku Yassir.Yang kutahu sejauh ini Faaz sebetulnya orang baik, katanya dia sengaja membeliku dari Mas Yono untuk waktu yang agak lama karena dia butuh seorang perempuan di rumahnya untuk membantu menemani putrinya yang sering menangis karena merindukan mamanya.Sempat tak percaya, tapi nyatany
"Kak Sandi tolong di dalam ada Mas Yono ngamuk-ngamuk."Aku terperangah, cepat aku melangkah masuk menghentikan papanya Dara yang sedang kesetanan mengobrak-abrik isi rumahku.Sementara Dara kusuruh menunggu bersama Lula di luar."Mas Yono! Hentikan!" Aku berteriak kencang.Ia menoleh tajam dengan bola mata yang memerah."Oh baguslah kau sudah datang Sandi, ayo berikan, mana anakku?" katanya tanpa basa-basi.Mataku sontak menyipit."Ayo! Mana Dara? Di mana anakku itu, hah?!""Mas Yono insyaf! Dara itu anakmu, bapak macam apa kau ini? Tega-teganya menjual anak sendiri hanya untuk kesenangan sendiri!!" semburku kemudian.Mas Yono tersenyum miring, "tutup mulutmu Sandi! Kalau bukan karena ulahmu menjebloskan ibunya ke dalam penjara aku pun tak akan melakukan ini!!""Kak Noni memang pantas dipenjara Mas, dia sudah terlibat dalam kasus penganiayaaan! Dan Mas Yono pun akan mendekam dalam penjara kalau Mas Yono gak segera memberitahu di mana Lusi sekarang!" tegasku seraya bertelunjuk jari.Ma