Cepat ku cek bagian urat nadinya dan syukurlah ternyata masih berdenyut."Lusi? Bangun."Ia pun kembali membuka mata."Lusi ngantuk, Bang," ucapnya pelan seraya kembali memejamkan mata.Aku mengembuskan napas lega, kupikir Lusi kenapa entah apa yang terjadi padanya tadi, aku sendiri sampai takut dibuatnya.Kupegang tangan Lusi perlahan, kubisikan padanya kata sayang dan cintaku, aku berharap dengan melakukan hal itu istriku bisa terus mengingat bahwa aku selalu ada di sisinya sekarang.Tetapi saat aku tengah dengan tenang bicara di dekat telinganya. Ia kembali berteriak."Yassi ... r, Yassi ... r tunggu Nak, Bunda ikut."Secepat kilat Lusi lalu bangkit dan menerobos membuka pintu kamar."Lusi mau kemana?"Kukejar ia, rupanya Lusi pergi ke dapur."Lusi ... tunggu!"Dret. Langkahku berhenti mendadak pada jarak sekitar 1 meter dengannya tatkala kulihat Lusi sudah menodongkan pisau ke arahku."Lusi apa yang kamu lakukan? Tidak baik main pisau, ayo kembalikan ke tempatnya," ucapku perlahan
"Kalau dia tetep gak mau berangkat? Kamu tahu sendiri kan gimana dia? Si Sandi sayang banget sama istrinya, entahlah, istri nemu di panti asuhan aja sok belagak kayak nikah sama ratu."Aku terhenyak mendengar ucapan ibuku, beliau bilang Lusi adalah istri yang kutemui di panti? Ya memang benar tapi apa perlu orang tua seperti beliau mempermasalahkan hal itu? Memang kenapa kalau menantunya itu adalah anak dari panti asuhan? Salah? Dosa besar? Tentu tidak bukan?Selama anaknya bahagia, bukankah harus nya orang tua ikut bahagia?Apalagi Lusi bukan tipe wanita yang muluk-muluk dan banyak gaya, Lusi adalah wanita sederhana, meski ia sudah menikah denganku ia tak pernah sekalipun meminta hal-hal aneh yang di luar batas kemampuanku.Lalu sebetulnya mau ibuku itu apa?"Harus mau, karena dia gak punya pilihan lagi, kita harus buat si San-" Ucapan Kak Tuti tiba-tiba berhenti, aku mengerutkan kening, setelah menunggu beberapa detik suara Kak Tuti tak terdengar lagi aku pun menengok ke atas dan be
Aku buru-buru memakai jaket yang baru saja kulepas itu lalu berlari ke sepanjang jalan gang rumah. Namun hasilnya nihil, lagi pula kalau Lusi memang pergi mencariku ke jalan itu harusnya tadi aku juga bertemu dia di jalan."Apa mungkin dia jalan ke gang arah belakang rumah?"Tanpa pikir lagi, aku pun berlari menyusuri jalanan tiap gang dengan perasaan panik bercampur takut, aku takut sekali jika sesuatu terjadi padanya. Sementara itu di atas sana kilatan petir tiba-tiba saja menyambar-nyambar menambah kekalutan.Lusi tidak ada di mana-mana, aku sudah mencarinya hampir satu jam lamanya.Aku kembali ke rumah, berharap Lusi sudah ada di sana, tapi ternyata aku salah, mana mungkin juga Lusi pulang sendiri dengan mudahnya.Lalu kemana dia pergi sekarang?Apa jangan-jangan Lusi dibawa oleh keluargaku? Diculik misalnya, karena tadi sore aku sempat berseteru dengan ibu dan kak Tuti.Ya benar, bukan tak mungkin mereka melakukan hal itu pada istriku, mereka sangat nekat dan kejam bukan?Sekali
Aku terhenyak tatkala Kak Tuti mengatakan selingkuhan gila. Selingkuhan gila siapa yang dia maksud? Apa yang dimaksudnya adalah istriku?Tapi selingkuhan bagaimana maksudnya?"Kamu itu nanya apa sih Tuti? Makin kesini kamu aneh aja." Akhirnya Kak Yogi kembali meninggikan suaranya."Oh jadi kamu gak ngerti apa yang aku tanyain, Mas? Beneran kamu gak ngerti? Oke biar kuperjelas. Aku nanya sama kamu Mas, di mana kamu sembunyikan si Lusi itu?"Aku menyeringai, benar dugaanku, yang dimaksud Kak Tuti memang Lusi, tapi kenapa Kak Tuti bilang istriku selingkuhan suaminya?Apa itu bener? Apa jangan-jangan Lusi dan Kak Yogi emang ada main selama aku di Taiwan? Ah astagfirullah. Aku cepat-cepat mengusap wajah, aku datang ke sini bukan untuk berpikir buruk soal Lusi, melainkan untuk mencari keberadaannya."Aku 'kan udah bilang Tuti, aku gak sembunyiin si Lusi, aku juga gak tahu dia di mana, dia hilang aja aku baru tahu karena adikmu tadi ke sini," tegas Kak Yogi.Pertengkaran mereka di waktu dini
"Iya, Kak, kasihan ibu Kak, kasihan ibu."Anak itu histeris. Aku menariknya ke dalam rumah dan memberinya minum air putih agar ia bisa tenang sedikit."Tenang Lula, ibu akan baik-baik aja, kamu denger kan apa kata kepolisian kemarin? Penangkapan ini hanya untuk ditahan sementara, belum final."Lula diam, dapat kulihat ia berusaha mengendalikan diri dengan susah payah. "Tadi apa katamu? Kak Tuti kabur?" tanyaku setelah ia mulai kembali tenang.Lula mengangguk seraya memegangi gelas berisi air yang tinggal setengah itu."Coba ceritakan yang jelas Lula, gimana ceritanya dia bisa kabur? Apa sekarang polisi sedang mengejarnya?""Iy-a Kak, Kak Tut-i kabur lewat pintu belakang saat melihat ibu ditangkap di teras rumah, saat itu Lula ada di ruang tv."Aku menggebrak meja, "kurang ajar."Aku segera bangkit dan membawa Lula ke rumah ibu. Di sana sudah banyak orang yang berkumpul untuk melihat apa yang tengah terjadi.Rumah kami pun tampaknya sudah dipasangi garis polisi.Melihat kedatangan kam
"Hahaha." Kak Noni tertawa frustasi."Kau? Masih mencari istrimu? Hahaha aku harap istrimu tidak secepatnya ditemukan dan bahkan aku berharap dia sudah mat-i," imbuhnya lagi.Aku menarik napas berat."Tutup mulutmu Noni! Aku bersumpah akan menemukan istriku secepatnya walau di manapun kalian menyembunyikannya," ujarku seraya bertelunjuk jari."Hahaha aku salut aku salut sama kamu Sandi, tak kusangka kamu akan secinta itu sama si gila itu.""Sudah Noni! Biarkan saja si Sandi ini memang sudah gila, asal menuduh tanpa bukti dia pikir istrinya siapa sampai kita harus menyembunyikannya!" sembur Ibu menarik tangan Kak Noni menjauhi besi sel itu.Aku diam beberapa saat sambil menatap tajam mereka berdua. Bahkan saat sudah di dalam jeruji pun mereka tak merasa bersalah atau takut sedikitpun padaku.Sebetulnya terbuat dari apa keluarga palsuku itu?***24 jam setelah keluarga palsuku ditahan.Lula dan Dara kini tinggal bersamaku, karena untuk sementara rumah ibu masih dipasangi garis polisi.M
***Esok hari.Lula dan Dara sudah bersiap di meja makan, mereka sedang sibuk membuka bungkusan nasi uduk yang baru saja kubeli dari warung tetangga.Sementara aku sedang mengaduk teh di dekat meja kompor sambil menimang-nimang soal rencanaku hari ini.Tadi pagi selepas subuh entah kenapa tiba-tiba terbesit dalam pikiranku aku berniat ingin mencari tahu soal Lula, kira-kira selama ini anak itu pergi kemana saja setelah ia pulang sekolah.Aku sangat ingin tahu sebetulnya apa yang membuat Lula selalu pulang terlambat itu?Bukannya apa-apa, aku hanya takut Lula terjerumus hal-hal yang tidak benar, apalagi setelah ibu ditahan, sekarang Lula menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.Ya walau kenyataan pahit itu harus kudengar sendiri, ibu bilang aku bukan anak kandungnya, tak masalah, bagiku Lula tetaplah adikku.Adikku yang harus terus kujaga sampai kapanpun.Ngomong-ngomong soal ibu.Aku jadi ingat, selama ini pantas saja tahun lahirku dengan tahun lahir kak Tuti sama, hanya tanggal dan bulan
Anak itu menarik napas dalam. Tapi sebelum ia menjawab angkot yang kami tunggu sudah datang lebih dulu.Terpaksa akhirnya aku harus sabar menunggu jawabannya hingga kami sampai ke rumah.Di rumah aku tak mau mengulur waktu, segera aku menyuruhnya duduk bersamaku di ruang tv. Dara yang sedang menonton akhirnya ikut duduk bersama kami."Sekarang jelaskan Lula!"Anak itu berkedip pasrah, ia tak lagi bisa beralasan atau apapun macamnya."Ada apa sih? Kok tegang banget?" tanya Dara."Bibimu ternyata selama ini kerja.""Apa?" Dara tersentak, "bener itu, Bi?" Lula mengedip pasrah."Kenapa harus kerja? Kan uang SPP udah dilunasin sama Om Sandi, terus uang jajan juga dikasih lebih."Lula menyender frustasi, digigitnya bibir mungil itu sedikit."Kalian bener-bener mau tahu ya? Dan emang penting banget ya kalian harus tahu alesannya kenapa Lula kerja?""Ya tentu aja Lula, masalahnya SPP dan uang jajanmu sudah Kakak tanggung, terus buat apa lagi kamu kerja?" semburku, aku mulai berang dengan jaw
"Lusi! Biarkan laki-laki tak berguna itu dibawa, kamu tidak perlu halang-halangi petugas melakukan tugasnya!" Mama mertua berteriak.Lusi menggeleng-gelengkan kepala."Gak Ma, jangan lakuin ini Ma, Lusi mohon, Lusi mohon, Ma."Peristiwa tarik menarik antara polisi dan Lusi pun terus terjadi. "Lus, biarkan Abang dibawa dulu, nanti kita akan jelaskan, takut kamu kenapa-napa," ucapku.Lusi tetap tak mau mengalah, ia terus saja menarikku."Lusi gak mau Abang, Lusi gak bisa hidup tanpa, Abang," katanya mulai terisak."Sudah cukup Lusi! Drama macam apa ini?!" Dengan paksa Mama mertua menarik tangan Lusi.Dan brak gedebughhh. Tangan Lusi terlepas hingga kepalanya terpental ke tembok, sementara tangannya menghantam kaca hingga retak, parahnya saat itu juga Lusi langsung jatuh tak sadarkan diri."Lusiii!" Aku dan Mama mertua teriak spontan."Tante Lusi, ya ampun bangun, Tan." Dara dengan sigap meraih kepala Lusi."Ya ampun Lusi? Lusii maafin Mama Nak, Lusi bangun Sayang, Lus ... Lusi? Lusii!
PoV SandiFaaz tertawa, "haha ya tentu saja aku kenal."Lanjut Faaz menceritakan tentang pertemuannya denganku saat itu, seminggu setelah aku kecelakaan, Lula mengantarku datang ke sekolah anaknya Faaz."Heiii keluar kau lelaki hidung belang!" teriak Lula saat itu.Buru-buru Faaz keluar dari mobilnya."Maaf ada apa ini?" tanya Faaz, ia terlihat kebingungan karena kami menghadang mobilnya setelah ia mengantarkan anaknya."Halah enggak usah banyak omong kau hidung belang, kemana Kakak iparku sekarang? Kau kemanakan dia, hah?!" sembur Lula berkacak pinggang.Kening Faaz mengerut, sementara aku yang tak sabar cepat mencecarnya juga."Hei apa kau tuli? Kau kemanakan istriku? Di mana dia sekarang?!""Tuggu dulu, kalian jangan emosi begini, istri? Kakak ipar? Siapa yang kalian maksud?""Wanita yang seminggu lalu mengantar anakmu ke sini, dia adalah istriku, kau dengar? Dia ISTRIKU," tegasku tepat di depan wajahnya."Siapa? Lusi maksud Anda?" "Ya tentu saja, siapa lagi, asal kau tahu dia adal
Aku menggeleng tak percaya. "Apa Mama setega itu sekarang?""Ya, Mama harus tega dan ini demi kebaikan kamu Lusi.""Lusi cuma mau tahu kabar Bang Sandi, Ma.""Enggak!"Aku bergeming menatap beliau sebelum akhirnya melengos pergi dengan rasa kecewa.Aku berusaha untuk sabar menghadapi Mama, berharap beberapa hari ke depan beliau akan terbuka hatinya dan membiarkan aku kembali pada Bang Sandi, tapi ternyata aku salah.Mama malah semakin mengurungku bagai tawanan. Aku tahu beliau sangat menyayangiku tapi caranya sangat salah. Aku tidak dibiarkan pergi kemana pun hanya karena takut komplotan Mas Yono datang menculikku lagi. Akhirnya, setiap hari selama aku tinggal bersama Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dan menyadarkan Mama bahwa tindakannya itu salah.Siang itu aku sedang bersender di jendela besar kamarku, sambil kuelus perut yang makin membesar ini aku menangis menumpahkan kesedihanku.Air mata luruh tak tertahan, bagaimana
"Lus ... Lusi ... bangun Sayang." Suara itu menarikku dalam kesadaran.Spontan aku bangkit saat ternyata Mama ada di sampingku."Ma?" Kutengok lagi di belakangnya Faaz sedang berdiri sambil menundukan kepalanya."Kamu baik-baik aja, Lus?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk pelan lalu cepat memeluknya erat."Mama, tolongin Lusi Ma, Lusi takut, Lusi takut, Ma.""Iya Sayang, kamu tenang Nak, kamu sudah aman di sini."Faaz maju selangkah."Tolong maafkan mantan istri saya, dia memang wanita gila," ujarnya pelan.Aku mengangguk pelan, dan terus berlindung dalam dekapan Mama."Siapa yang bawa Lusi ke sini, Ma?""Faaz, dia menemukan kamu di toilet kamar Maisa."Aku melirik lelaki itu sekali lagi, hidupku jadi mengerikan begini gara-gara aku masuk dalam kehidupannya. Ya Tuhan, andai aku bisa secepatnya lepas dari Faaz."Mulai besok kau gak usah tinggal lagi di rumahku." Ucapan Faaz membuatku mengangkat wajah. Dan mendadak senyumku terbit tanpa aba-aba."Ya, pulanglah bersama ibumu, maaf saya sud
"Maisaa! Maisaa!" Mereka berdua berlomba memeluk Maisa, kemudian berusaha membuat anak itu sadar."Awas! Jangan sentuh anakku!" sentak Faaz sambil mendorong mantan istrinya."Mas, apa maksud kamu? Maisa sedang membutuhkanku sekarang.""Enggak!" teriak Faaz lagi, kali ini lebih kencang.Cio memaksa memeluk anaknya alih-alih pergi menuruti keinginan Faaz. Tak heran jika hal itu membuat Faaz naik darah hingga akhirnya lelaki itu membanting lampu meja yang ada di sisi ranjang Maisa."Biarkan dia, aku gak sudi anakku dipeluk oleh perempuan sepertimu! Pergii!! Atau kau akan ku-""Tapi aku Ibunya Mas, aku berhak memeluknya sampai kapanpun," potong Cio.Aku dan bibi saling menatap tak percaya. Bisa-bisanya mereka saling mempertahankan ego masing-masing di saat keadaan genting begini.Karena tak tahan, akhirnya mulut ini refleks berteriak, "sudah cukup! Kalian gak lihat gimana keadaan Maisa sekarang?!"Kedua orang yang sedang berselisih dan adu mulut pun diam."Bisa-bisanya kalian sibuk berten
Aku hanya tersenyum sekenanya.Sampai di rumah aku dan bibi langsung melakukan tugas masing-masing. Mendekor dan menyiapkan acara kecil-kecilan untuk Maisa. Sementara Faaz menjemput anaknya itu ke sekolah."Non Lusi, kok diem aja? Ada apa? Apa Non masih kepikiran suami, Non?" bisik Bibi.Aku menggeleng lesu, "gak Bi, bukan itu, saya hanya sedang mikirin tadi, saya 'kan makan dulu setelah belanja eeh terus ketemu mama saya, Bi.""Wah bagus dong Non, terus gimana?""Masalahnya kok mama saya kayak beda ya sekarang, masa saya tanya soal kondisi suami saya beliau bilang gak tahu apa-apa dan parahnya mama bilang saya harus lupain suami saya mulai sekarang karena beliau anggap suami saya sudah lalai, beliau anggap suami saya yang bertanggung jawab atas kondisi saya sekarang, terus masa iya mama saya malah dukung keberadaan saya di rumah ini, aneh 'kan? Saya jadi kepikiran sebetulnya ada apa di rumah, apa suami saya baik-baik aja?" jawabku panjang lebar.Bibi mendengarkan dengan baik semua ya
"Gak bisa ya, Non?" tanya Bibi lagi."Iya gak bisa Bi, gak diangkat.""Lusii!!" Kudengar suara Faaz berteriak di luar, cepat Bibi memasukan lagi ponselnya pada lipatan jarik di bagian perutnya."Tuan manggil Non, cepet ke sana."Aku mengangguk dan buru-buru turun."Iya, kenapa?""Hari ini bisa antar saya ke supermarket? Saya mau belanja kebutuhan ulang tahunnya Maisa, hari ini dia ulang tahun saya mau buatkan kejutan kecil-kecilan untuk dia," tanya Faaz."Oh ya, tentu boleh," jawabku pelan.Hari itu tanpa menunggu lagi Faaz membawaku ke sebuah supermarket terdekat dari rumahnya. Kami membeli banyak sekali perlengkapan pesta ulang tahun untuk kejutan untuk Maisa. "Nanti Maisa akan saya jemput dan akan saya bawa main dulu, kamu dan bibi tolong persiapkan untuk kejutannya ya," ucap Faaz saat kasir sedang menghitung belanjaan kami.Aku mengangguk saja."Tapi awas, kamu jangan capek-capek Lus, takutnya kandungan kamu malah kenapa-kenapa," ucapnya lagi.Aku tersenyum sekenanya dan mengangg
Pov Lusi"Aaaaa!"Bruk. Kutengok kaca spion, Bang Sandi terjatuh dari motornya."Mas, ada kecelakaan, berhenti sebentar," titahku cepat."Itu bahaya Lusi, sudah biarkan saja, itu bukan urusan kita juga," katanya sambil terus menyetir melajukan mobil dengan kencang.Hatiku makin gundah, Bang Sandi kecelakaan, sementara aku tak biaa berbuat apa-apa, aku tengah bersama seorang lelaki tempramental yang baru beberapa hari ini kukenal, dia bisa saja memukul dan menyiksaku jika aku membuat hatinya tersinggung atau tak suka.Yang kutahu namanya adalah Faaz, teman-temannya termasuk Mas Yono yang menjualku padanya kemarin memanggil pria ini dengan sebutan Mas Faaz, ia punya seorang anak perempuan seusia anakku Yassir.Yang kutahu sejauh ini Faaz sebetulnya orang baik, katanya dia sengaja membeliku dari Mas Yono untuk waktu yang agak lama karena dia butuh seorang perempuan di rumahnya untuk membantu menemani putrinya yang sering menangis karena merindukan mamanya.Sempat tak percaya, tapi nyatany
"Kak Sandi tolong di dalam ada Mas Yono ngamuk-ngamuk."Aku terperangah, cepat aku melangkah masuk menghentikan papanya Dara yang sedang kesetanan mengobrak-abrik isi rumahku.Sementara Dara kusuruh menunggu bersama Lula di luar."Mas Yono! Hentikan!" Aku berteriak kencang.Ia menoleh tajam dengan bola mata yang memerah."Oh baguslah kau sudah datang Sandi, ayo berikan, mana anakku?" katanya tanpa basa-basi.Mataku sontak menyipit."Ayo! Mana Dara? Di mana anakku itu, hah?!""Mas Yono insyaf! Dara itu anakmu, bapak macam apa kau ini? Tega-teganya menjual anak sendiri hanya untuk kesenangan sendiri!!" semburku kemudian.Mas Yono tersenyum miring, "tutup mulutmu Sandi! Kalau bukan karena ulahmu menjebloskan ibunya ke dalam penjara aku pun tak akan melakukan ini!!""Kak Noni memang pantas dipenjara Mas, dia sudah terlibat dalam kasus penganiayaaan! Dan Mas Yono pun akan mendekam dalam penjara kalau Mas Yono gak segera memberitahu di mana Lusi sekarang!" tegasku seraya bertelunjuk jari.Ma