Anak itu menarik napas dalam. Tapi sebelum ia menjawab angkot yang kami tunggu sudah datang lebih dulu.Terpaksa akhirnya aku harus sabar menunggu jawabannya hingga kami sampai ke rumah.Di rumah aku tak mau mengulur waktu, segera aku menyuruhnya duduk bersamaku di ruang tv. Dara yang sedang menonton akhirnya ikut duduk bersama kami."Sekarang jelaskan Lula!"Anak itu berkedip pasrah, ia tak lagi bisa beralasan atau apapun macamnya."Ada apa sih? Kok tegang banget?" tanya Dara."Bibimu ternyata selama ini kerja.""Apa?" Dara tersentak, "bener itu, Bi?" Lula mengedip pasrah."Kenapa harus kerja? Kan uang SPP udah dilunasin sama Om Sandi, terus uang jajan juga dikasih lebih."Lula menyender frustasi, digigitnya bibir mungil itu sedikit."Kalian bener-bener mau tahu ya? Dan emang penting banget ya kalian harus tahu alesannya kenapa Lula kerja?""Ya tentu aja Lula, masalahnya SPP dan uang jajanmu sudah Kakak tanggung, terus buat apa lagi kamu kerja?" semburku, aku mulai berang dengan jaw
Pov LulaMalam itu ketika Kak Tuti sedang mengobrol di telepon bersama Kak Noni tak sengaja kudengar percakapan mereka."Kak Noni, ditagih uang tuh sama si Sandi, suruh balikin semua uang yang pernah dia kirim sama kita."Entah Kak Noni menjawab apa dalam sambungan telepon itu tapi akhirnya Kak Tuti mengakhiri percakapan dengan intonasi yang tak enak.Kak Tuti lalu kembali mengobrol bersama ibu, mereka tengah duduk di kursi depan jadi percakapan mereka sangat jelas terdengar ke kamarku."Emang keterlaluan si Sandi, mau dia itu apa sih? Kayaknya sengaja banget bikin kita pusing begini," dengus Kak Tuti lagi.Ibu berdecak sama bingungnya."Gak tahu, tapi Ibu salut sih sama adiknya dia masih sayang juga, buktinya SPP Lula dia lunasin tanpa Ibu pinta lagi, padahal kemarin dia bilang angkat tangan."Aku menautkan alis dan duduk di atas kasurku. "Kak Sandi udah bayar SPP ku? Itu artinya dia gak bohong? Asik."Aku begitu senang mendengar SPP ku sudah lunas di sekolah, masalahnya aku hampir
Aku menarik napas berat. Kulihat jarum pendek jam dinding sudah berada di angka 9."Bu, Lula harus pulang dulu, besok setelah pulang sekolah Lula akan kesini lagi dan menceritakan semuanya tapi mohon maaf malam ini Lula harus cepat-cepat pulang sebelum ada yang sadar Lula tidak ada di kamar."Mereka diam mematung, wajah mereka tampak masih penasaran tapi aku tahu mereka juga tak bisa menahanku di sana."Tolong jaga Kak Lusi dan jangan beritahu tentang keberadaannya pada siapapun termasuk kak Sandi jika kapan-kapan ia datang ke sini, Kak Lusi harus aman dulu di sini," imbuhku lagi.Ibu dan bapak panti mengangguk pelan, aku pun bangkit dan menghilang di ambang pintu.Pukul 10 aku sampai di rumah.Ibu dan Kak Tuti juga Kak Yogi masih saja sibuk mengobrol di ruang keluarga. Aku buru-buru masuk ke dalam kamar agar mereka tak sadar dari tadi aku belum kembali."Kurang ajar si Sandi, seenaknya aja nuduh-nuduh kita culik istrinya."Terdengar suara Kak Tuti yang sedang marah-marah. Aku bangkit
Pov Sandi."Abang mau minum?" Pertanyaan Lusi kemudian membuat aku lagi-lagi seperti sedang berada dalam sebuah mimpi. Bagaimana tidak?Istriku yang kemarin menghilang kini ditemukan begitu saja tanpa satu apapun yang kurang.Dan sekarang, ia bahkan sudah bisa menawarkan minum? "Apa ini? Kamu udah sembuh Lus?" Aku bertanya alih-alih menjawabnya.Lusi mengulum senyuman indah yang membuat mulutku semakin menganga."Istrimu itu tidak gila Sandi, dia hanya tertekan, kondisi lingkungan yang buruk yang membuatnya seperti trauma dan ketakutan, lihat saja, baru beberapa hari di sini dia sudah berangsur membaik. Coba kamu ajak dia ngobrol," sahut Ibu mertua.Kutoleh istriku lagi, kuberi dia senyuman malu-malu dan ia pun merespon dengan tersipu."Abang." Lusi membenamkan wajahnya ke punggungku."Jadi benar kamu sudah sembuh sayang." Aku pun menciumi pucuk kepalanya."Ehm ehm ehm ada orang kali di sini." Lula berdeham. Aku nyengir dan segera kulepaskan lagi istriku."Biarkan Lusi tinggal di sin
Pov Lusi"Lus bisa tolong bikinin kopi?" tanya Kak Yogi-suaminya Kak Tuti dari sofa depan.Aku yang tengah menyapu di pekarangan rumah akhirnya terpaksa ke dapur sebentar untuk melakukan perintahnya.Bukan karena aku terlalu baik atau patuh pada kakak iparku melainkan karena aku merasa risih setiap kali Kak Yogi mendekat atau bicara padaku, pasalnya dia selalu menatapku dengan tatapan aneh dan sulit kuartikan."Kak Tuti kemana sih? Pergi pagi-pagi begini, suaminya jadi minta kopi sama aku, males banget." Aku menggerutu di depan meja kompor sambil memanaskan air dalam panci kecil.Selesai kopi itu kubuat, aku bergegas akan membawanya ke depan, namun aku sangat terkejut tatkala kudapati Kak Yogi sudah berdiri di belakangku."Kak Yogi." Aku tergugu."Udah jadi kopinya Lus?" tanyanya seraya mendekat dengan tatapan yang semakin aneh dan menakutkan.Aku mundur pelan, cangkir kopi yang tengah kupegang dalam tatakannya sampai bergetar hebat."Di rumah lagi sepi Lus, Yassir juga lagi tidur kan
Anak itu menangis dan memeluk tubuhku.Segera kuseka air mata."Gak apa-apa, gak apa-apa sayang, Yassir gak usah takut ada Bunda di sini." Aku berusaha membuatnya tenang dengan mengelus-ngelus dadanya."Aw sakit Bunda." Yassir menghindarkan tubuhnya tatkala aku ingin memeluknya juga."Ada apa? Apanya yang sakit, Nak?"Setelah kulihat punggung dan kakinya, ternyata benar luka lebam kembali memenuhi tubuh anakku.Ya Tuhan, entah apa yang sudah mereka lakukan pada Yassir saat tadi aku dikurung di kamar mandi, tega sekali mereka berbuat seperti pada anakku.Segera aku bangkit dan membawa Yassir ke kamar, kuolesi ia dengan salep khusus."Aw Bunda sakit Bunda, panas Bunda." Yassir menangis."Sabar ya Nak, jangan menangis lagi takut nanti uwa mu datang lagi ke sini.""Mereka jahat, uwa dan nenek jahat, Yassir akan laporkan sama ayah," kata Yassir.Air mataku lagi-lagi luruh mendengarnya. Abang ... Abang pulang Bang, Lusi dan Yassir menderita di sini Bang. Batinku menjerit.Selesai kuobati Y
"Kau mau tahu alasannya?" Kak Noni menyahut dengan senyuman miring.Aku menoleh."Karena ada harga yang harus suamimu bayar," ucapnya di depan wajahku.Kami saling menatap dalam jarak yang amat dekat hingga hawa panas dari napas Kak Noni bisa kurasakan."Mereka telah merebut kebahagiaan kami, suamimu dan ibunya itu telah merebut kasih sayang bapak sejak kami kecil dan sekarang wajar kan kalau suamimu kami manfaatkan? Kami gak ngambil sesuatu yang berharga dari suamimu seperti suamimu dan ibunya melakukannya, kami hanya mengambil sedikit uang darinya, jadi anggap saja itu adalah ganti rugi karena suamimu telah merebut kebahagiaan kami," imbuhnya lagi seraya memalingkan pandang.Napasku makin memburu, jadi seperti itu alasannya? Pantas saja mereka tampak senang sekali dengan keberangkatan Bang Sandi ke Taiwan, tapi kenapa selama ini Bang Sandi tak pernah cerita? Apa bang Sandi belum mengetahui soal ini?"Dan kau!" Aku terperanjat tatkala kak Noni kembali bicara. Ia lalu mendekatkan lagi
"Gimana? Ibu juga gak tahu, kamu ini bener-bener keterlaluan Tuti!" Ibu mertua sama bingungnya, sementara tak ada satu pun di antara mereka yang mempedulikan anakku yang sudah terbujur tanpa nyawa itu."Sudah biarkan aja dulu, ayo!" Ibu mertua memberi kedua anaknya aba-aba untuk keluar dari kamarku. Sementara aku hanya bisa menangis tak berdaya di pojok kamar sambil memandangi anakku yang terbujur kaku.Dari sanalah aku mulai benar-benar tak bisa mengontrol diri, hidupku rasanya sudah tak punya lagi arti apa-apa, kosong, lenglang tanpa udara.Lebih-lebih saat malam itu entah kemana mereka membawa anakku. Saat aku terbangun anakku sudah tidak ada di tempatnya."Kalian kemanakan anakku? Kalian kemanakan?""Anakmu sudah dikubur, kamu pikir kami mau menyimpan mayat di dalam rumah?" Wanita biadab bernama Tuti itu menjawab ringan.Aku kembali histeris dan berteriak sejadi-jadinya. Mereka bilang anakku sudah dimakamkan tapi aku tidak tahu apa itu benar atau tidak."Kenapa tega sekali kalia