"Kau mau tahu alasannya?" Kak Noni menyahut dengan senyuman miring.Aku menoleh."Karena ada harga yang harus suamimu bayar," ucapnya di depan wajahku.Kami saling menatap dalam jarak yang amat dekat hingga hawa panas dari napas Kak Noni bisa kurasakan."Mereka telah merebut kebahagiaan kami, suamimu dan ibunya itu telah merebut kasih sayang bapak sejak kami kecil dan sekarang wajar kan kalau suamimu kami manfaatkan? Kami gak ngambil sesuatu yang berharga dari suamimu seperti suamimu dan ibunya melakukannya, kami hanya mengambil sedikit uang darinya, jadi anggap saja itu adalah ganti rugi karena suamimu telah merebut kebahagiaan kami," imbuhnya lagi seraya memalingkan pandang.Napasku makin memburu, jadi seperti itu alasannya? Pantas saja mereka tampak senang sekali dengan keberangkatan Bang Sandi ke Taiwan, tapi kenapa selama ini Bang Sandi tak pernah cerita? Apa bang Sandi belum mengetahui soal ini?"Dan kau!" Aku terperanjat tatkala kak Noni kembali bicara. Ia lalu mendekatkan lagi
"Gimana? Ibu juga gak tahu, kamu ini bener-bener keterlaluan Tuti!" Ibu mertua sama bingungnya, sementara tak ada satu pun di antara mereka yang mempedulikan anakku yang sudah terbujur tanpa nyawa itu."Sudah biarkan aja dulu, ayo!" Ibu mertua memberi kedua anaknya aba-aba untuk keluar dari kamarku. Sementara aku hanya bisa menangis tak berdaya di pojok kamar sambil memandangi anakku yang terbujur kaku.Dari sanalah aku mulai benar-benar tak bisa mengontrol diri, hidupku rasanya sudah tak punya lagi arti apa-apa, kosong, lenglang tanpa udara.Lebih-lebih saat malam itu entah kemana mereka membawa anakku. Saat aku terbangun anakku sudah tidak ada di tempatnya."Kalian kemanakan anakku? Kalian kemanakan?""Anakmu sudah dikubur, kamu pikir kami mau menyimpan mayat di dalam rumah?" Wanita biadab bernama Tuti itu menjawab ringan.Aku kembali histeris dan berteriak sejadi-jadinya. Mereka bilang anakku sudah dimakamkan tapi aku tidak tahu apa itu benar atau tidak."Kenapa tega sekali kalia
PoV Sandi"Setelah suami saya datang barulah saya bisa merasakan kembali hidup yang aman dan udara yang terasa segar, meskipun bayang-bayang mereka kerap menyiksa saya justru membentuk sebuah ketakutan yang berlebihan, mereka bilang saya gila, tapi saya merasa baik-baik saja, hanya memang ... saya sulit mengatur rasa cemas yang berlebihan dalam diri saya ini tatkala saya sedang mengingat hal-hal yang menyakitkan itu, saya-" Lusi terisak di akhir kalimatnya. Ia tampak sudah tak mampu lagi berkata-kata.Segera aku memeluk istriku."Tenanglah ada Abang di sini sekarang.""Bang, Yassir pergi, Bang," ucapnya serak dengan isak tangis yang semakin menambah pilu."Sabar sayang, ikhlaskan Yassir, anak kita sudah tenang dalam pelukan Tuhan." Aku menyemangati."Baik, semua keterangan Ibu sudah kami simpan dengan baik, kami akan segera memproses kasus ini secepat mungkin agar segera bisa dilimpahkan ke pengadilan.""Oh ya dan untuk tersangka utama yaitu bu Tuti, kami sudah mulai menemukan titik
"Apa? Serius, Pak?" Aku terkejut sekaligus merasa senang mendengar kabar yang baru saja kudengar itu."Iya benar, buronan berjenis kelamin laki-laki yang diduga kuat sebagai orang yang melindungi Bu Tuti sudah kami temukan. Tapi ... maaf Pak, kami menemukannya dalam keadaan sudah tidak bernyawa."Mulutku refleks mengatup. Ya Tuhan kak Yogi."Untuk keterangan lebih lanjut silakan Bapak datang ke kantor."Akhirnya aku pun tak langsung pulang ke rumah dan terpaksa harus turun naik angkot jurusan yang mengarah ke kantor kepolisian.Di sana aku langsung dimintai keterangan serta diberikan foto jenazah yang baru mereka temukan itu."Benar Pak, memang benar ini orangnya, dia kak Yogi suami dari pelaku utama bernama Tuti itu," ucapku."Tersangka ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa dan gantung diri di sebuah pondok kecil." tutur petugas itu kemudian.Astagfirullah, mendengarnya bulu romaku langsung berdiri."Tapi kenapa harus gantung diri, Pak? Apa sudah diketahui penyebabnya?"Petugas
Aku dan ibu mertua menarik napas berat. Kasihan, ternyata dibalik wajah Bu Wendah yang selalu bersemangat setiap hari terdapat cerita yang begitu pilu.Aku tahu bagaimana perasaan beliau sekarang, aku pun pernah berada di posisi bu Wendah, kehilangan anak bukanlah luka sehari dua hari, tapi luka yang akan terus membekas sampai akhir hayat."Hah saya jadi curhat begini," ucapnya kemudian seraya menyeka air mata yang hampir jatuh melewati garis mata.Ibu mertua tersenyum getir, "gak apa-apa, Bu, terkadang kita memang perlu bercerita supaya beban kita sedikit berkurang," ucap beliau menyemangati.Bu Wendah mengangguk kepala, akhirnya air mata yang tadi sekuat tenaga ia tahan jatuh juga di pipinya.Tak lama Lusi datang membawa teh hangat. Ditatapnya Lusi lekat-lekat oleh Bu Wendah."Ini istrimu San?" tanya beliau kemudian."Iya, Bu.""Sini duduk, Nak," ucapnya pada Lusi.Istriku yang tidak mengetahui obrolan kami duduk di samping Bu Wendah dengan wajah bingung."Kalau anak saya masih ada,
Aku akhirnya ikut berpikir juga."Menginginkan sesuatu? Apa mungkin? Bu Wendah kelihatan tulus saat memberikannya beliau bilang uang ini untuk Lusi karena setiap kali melihat Lusi beliau jadi teringat sama anaknya yang hilang."Lula terkejut. "Anak hilang?""Iya, ternyata anak Bu Wendah hilang 25 tahun yang lalu."Mulut Lula dan Dara mengatup penuh iba."Ya ampun kasihan."Selesai mengobrol di ruang keluarga akhirnya akupun pamit untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian.***Esok hari.Karena kebetulan hari minggu, kubawa Lusi ke dealer motor, Lula dan Dara pun ikut bersamaku karena mereka tidak ada acara hari minggu ini."Beli motor yang bagus Kak, yang gede lagi musim," usul si Lula.Aku menggeleng kepala. Sambil terus melihat-lihat contoh motor yang dipajang kupikirkan dengan matang, kira-kira motor seperti apa yang kubutuhkan?Apakah yang besar seperti yang dikatakan? Atau yang biasa saja?"Gimana sayang?" Kemudian aku meminta pendapat Lusi."Terserah Abang aja."Tapi akhirnya ku
"Ya sudah, saya permisi, Pak."Setelah aku izin mengahkiri percakapan, kutemui Lusi di luar. Lula dan Dara langsung bangkit melihatku datang."Gimana Ibu, Kak?""Iya, Mama nya Dara juga gimana, Om?"Mereka bertanya dengan wajah sedikit cemas."Baik, mereka semua baik-baik aja dan udah gak apa-apa, keributan seperti itu mah biasa katanya," jawabku ringan, sebab tak mungkin kukatakan yang sebenarnya pada mereka."Tapi kok Mama disiksa begitu, Om?"Aku bergeming sebentar memikirkan jawabannya."Ah itu sih cuma kesalahpahaman aja tadi." Mereka mengangguk-anggukan kepala, meski terlihat dengan jelas mereka tampak tak puas dengan jawaban yang kuberikan.***Bulan berlalu.Sudah dua bulan sejak aku membeli motor itu, kini aktifitasku semakin mudah. Atas kebaikan Bu Wendah memberiku hadiah uang yang banyak aku juga sudah berhasil membawa Lusi berobat sampai kini ia dinyatakan sehat seperti sediakala.Kasus ibu dan Kak Noni juga sudah mendapatkan hasil akhir, mereka ditetapkan sebagai tersang
Sepulang dari rumah sakit Bu Wendah mengajak kami mampir ke rumahnya.Katanya sih supaya aku dan Lusi bisa beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah."Tunggu di sini sebentar, Ibu mau tunjukan kalian sesuatu," ucap Bu Wendah seraya bangkit.Kami yang sudah disuguhi minuman pun menunggu sambil mereguk minuman dingin kami."Rumahnya bagus ya, Bang," kata Lusi.Aku mengedarkan pandang ke setiap sudut ruangan. Rumah Bu Wendah memang sangat bagus dan megah, luasnya bahkan berkali-kali lipat dari rumah yang kami beli kemarin."Iya bagus, Lusi mau?" Iseng aku bertanya walau kenyataannya aku tak akan sanggup membelikannya rumah semegah itu.Tapi untunglah Lusi menggelengkan kepala."Sudah punya rumah sendiri ngapain mau rumah orang?" Aku tersenyum haru sambil mengucap syukur, Lusi emang terbaik, dari dulu gak pernah berubah, selalu bersikap sederhana dan apa adanya.Tak pernah ia iri dengki apalagi menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Pantas saja kan jika aku