Rentetan tembakan masih terdengar, Baron berlari sekuat tenaga, keluar dari mansion Vin. Kakinya tertembak, puncak amarah dari Ilario setelah lelaki itu tahu kalau Baronlah yang menghabisi Larissa, lantas menumpahkan kesalahannya pada Vin. Membuat Ilario benci setengah mati pada Vin. Pun sebaliknya, Vin yang muak dituduh terus menerus, memilih mengikuti langkah Ilario. Hingga keduanya saling benci hampir lima tahun lebih.Baron menyeret kakinya, bergerak sejauh mungkin dari Vin dan Ilario yang terus memburunya. Duo itu jika sudah bersatu sangat mengerikan. Dan Baron kini membuktikan rumor tersebut. Vin dan Ilario menembaki Baron membabi buta. Beberapa peluru bersarang di tubuh Baron. Lelaki itu tak kuat lagi. Hingga dia menjatuhkan diri ke sungai yang ada di sisi jalan.Sungai berarus deras dengan segera menenggelamkan Baron meninggalkan genangan merah darah bercampur air, yang beberapa waktu kemudian memudar. “Mampus kau! Harusnya dari dulu aku sadar kalau aku pelihara parasit di r
Briana menatap Emma yang lagi-lagi sedang menyantap bakso dengan kuah merah pekat. Di sampingnya ada Xuan yang menatap frustrasi pada Emma. Bakso memang rekomendasi dari Xuan tapi tidak dengan kuah semerah darah begitu. “Mak bapaknya bule, tapi kenapa seleranya melokal,” batin Briana. Briana lantas menatap curiga pada Xuan, masak iya ayah si bayi Xuan.Briana menggelengkan kepalanya pelan. Lagi pula, tega sekali Vin meninggalkan Emma yang sedang hamil anaknya. Dasar bule Italia, suka buat tidak suka merawat. Briana mengomel dalam hati. Sasarannya satu orang yang sudah membuat hatinya kesal dan kecewa beberapa hari ini.Lamunan Briana buyar ketika Enzo menarik ujung kemejanya. Mengatakan kalau tugasnya sudah selesai, pun dengan anak-anak lainnya. Gadis itu akan segera memberi bintang pada tugas masing-masing anak. Bintang lima adalah nilai tertinggi. Dalam kesempatan itu, Briana bisa melihat kalau Enzo punya otak yang cerdas. Dalam pandangan Briana, kecerdasan Enzo di atas rata-rat
Briana melamun sepanjang sesi mengajar pagi berikutnya. Setelah anak-anak sibuk dengan tugas menebalkan huruf dan angka. Sambil bertopang dagu dengan tatapan mengarah ke Enzo yang asyik dengan pensil dan kertasnya. Gerakannya sangat luwes waktu mengunakan pensil. Yah, dia sudah biasa memainkan benda seperti pensil. Alis Enzo terangkat, melihat wajah frustrasi sang guru.Benar, bocah itu menginginkan Briana menjadi mamanya. Rasanya sangat nyaman waktu berada di dekat Briana. Pelukan Briana seperti dekapan Maria sebelum meninggal. Enzo memang memilih bersama Briana saat siang hari. Ikut belajar di sekolah gadis itu. Siang itu Emma dan Xuan ada kepentingan ke rumah sakit. Enzo harus tinggal di rumah Briana sampai Emma dan Xuan selesai. “Ohh, semalam dia datang karena sudah waktunya cek kandungan. Istri hamil malah ngajak wanita lain menikah. Dasar tidak tahu diri.”Wajah Briana memberengut setelahnya. Mana Enzo tetap tidak mau mengubah panggilannya. Berkali-kali Briana mengatakan kal
“Kamu tidak apa-apa?” Vin bertanya sembari membantu Briana berdiri. Enzo pun sudah berada di depan mereka. Briana baru saja tersungkur karena ulah seorang pria yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan waktu berjalan. Alhasil Briana sempat nyungsep di lantai. Meski belum sampai berbenturan dengan lantai mall. Gadis itu menggunakan tangan untuk menahan tubuhnya. Juga lututnya kini terasa perih.“Mama gak apa-apa?” Enzo melihat Briana meringis. Wanita itu menggeleng. Enzo kembali ke acara mandi bolanya sementara Vin menghilang entah ke mana. Briana menghembuskan nafas. Pikirannya melayang kembali ke ucapan Vin beberapa menit yang lalu.“Apa maksudnya? Istrinya meninggal. Dia tidak sedang menipuku kan?” gumam Briana ragu. Saat itulah Vin muncul, kala tatapan Briana fokus pada Enzo yang tengah meluncur dari papan seluncuran. Saking fokusnya, dia tidak mendengar panggilan Vin.“Hai, rupanya kamu lebih fokus pada Enzo dari pada aku,” kekeh Vin. Tampak lelaki itu sangat senang. Briana lebih
Adu tembak terjadi, suara dor dan desingan peluru memekakkan telinga. Beberapa tubuh bergelimpangan di tengah arena adu timah panas. Malam itu Dark Demon menyerbu Red Diamond. Dendam lama kembali terpatik setelah Dark Demon resmi mengumumkan kembali eksis di ranah dunia bawah.Cukup riskan, menyeberang dari Sicilia ke Milan. Namun Baron yang sudah lama berkecimpung di kota itu dengan mudah menemukan tempat untuk dijadikan markas. Atau Baron malah sudah menyiapkan hal itu jauh hari sebelum dia ketahuan oleh Ilario.“Selamat datang kembali, Jorge Suarez.” Senyum Jorge mengembang. Menatap pria tua yang dulu adalah tangan kanan sang ayah. Sebelum lelaki itu membelot. Membentuk klan mafia tersendiri lantas menghabisi nyawa ayah Jorge. Bisa dibayangkan bagaimana dendamnya Jorge pada Martin Sanchez.Terlebih setelah kematian sang ayah, klan Dark Demon kehilangan pemimpin akibat Jorge masih terlalu muda untuk mengambil tampuk kepemimpinan. Maka dari itu Dark Demon memilih vakum dari dunia
Mata Vin melebar melihat sosok gadis yang berdiri dengan tampilan berantakan, tapi terlihat seksi di depannya. Briana yang masih setengah sadar, tanpa memakai kardigannya langsung membuka pintu. Dia pikir Kartika yang sengaja datang ingin mengganggunya. Tidak pernah menyangka jika yang datang adalah Vin.Tubuh Briana hanya mengenakan tank top tanpa bra, dengan hot pants menutup tubuh bagian bawahnya. Tentu saja pemandangan yang sangat indah bagi Vin. Rambut Briana mencuat ke sana ke mari, seperti rambut singa. Ditambah wajah bantal Briana, tapi gadis itu tetap terlihat cantik. “Bare face paling epik abad ini.”“Eehhhhh.” Vin menahan pintu rumah Briana dengan kakinya saat gadis itu ingin menutupnya. Briana jelas malu begitu menyadari keadaannya. “Pergi sana!” usir Briana.“Idih ogah.” Vin merangsek masuk. Mengabaikan tatapan Briana yang melotot tak percaya. “Mama baru bangun ya?” suara imut itu segera mengalihkan fokus Briana. Hingga dia melihat sosok Enzo berjalan di belakang sang
Riko membulatkan mata melihat Emma yang ditarik Ilario masuk ke dalam mobilnya. “Riko tolong!” Emma berteriak panik.“Mau di bawa ke mana dia?” Riko mencegat Ilario. Lelaki itu memasang tampang bengis. Riko tahu siapa Ilario tapi dia diperintahkan untuk melindungi Emma. Meski itu dari ayah anak yang tengah dikandung Emma.“Ada hal yang harus aku bicarakan dengannya.” Ilario berujar sopan. Di sini dia hanya tamu. Sudah bagus, Vin tidak meledakkan kepalanya. Karena itu Ilario cukup sadar diri. Tidak ingin membuat kerusuhan di sini.“Kamu gak apa-apa sama dia Em?” Riko bertanya. Emma melihat ke arah Ilario, wajah lelaki menyiratkan permohonan. Ilario harus memastikan sesuatu. Desir aneh menyusup ke hati Emma. Saat Ilario terus menggenggam jemarinya. Ditambah ada anak mereka di rahim Emma. Jantung Emma berdegup kencang.Tiba-tiba saja, seolah ingin menunjukkan eksistensinya, perut Emma mual. Serasa ingin muntah. Padahal beberapa waktu terakhir ini, dia tidak lagi mengalami morning sic
Martin Sanchez melangkahkan kakinya di Jakarta untuk pertama kali setelah lebih dari 20 tahun meninggalkan negara ini. Meninggalkan Jeff yang marah besar karena sang papa sudah membohonginya selama ini. Terlepas dari sang mama yang telah mengetahui hal ini lebih dulu. Lelaki tinggi besar itu tak sungkan keluar sarang saat nama sang putri tercinta dijadikan ancaman oleh Jorge. Dia harus memastikan jika sang putri berada di tempat yang aman. Atau setidaknya Martin akan melindunginya mulai sekarang. Dia tidak selemah dulu. Kini dia punya anak buah yang bisa diandalkan.Meski ya itu tadi, sang putra adalah kendala Martin saat ini. Kemarahan Jeff seharusnya tak berdampak apa pun. Hanya saja, Martin takut kalau pikiran Jeff yang masih labil akan mudah dihasut. Kelemahan Jeff di sana. Logika sang putra belum terasah sempurna. Mengingat umur Jeff pun terhitung masih muda untuk memimpin sebuah klan mafia sebesar Red Diamond.“Kau menemukannya?” Martin bertanya pada seseorang yang sudah dia