“Kamu tidak apa-apa?” Vin bertanya sembari membantu Briana berdiri. Enzo pun sudah berada di depan mereka. Briana baru saja tersungkur karena ulah seorang pria yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan waktu berjalan. Alhasil Briana sempat nyungsep di lantai. Meski belum sampai berbenturan dengan lantai mall. Gadis itu menggunakan tangan untuk menahan tubuhnya. Juga lututnya kini terasa perih.“Mama gak apa-apa?” Enzo melihat Briana meringis. Wanita itu menggeleng. Enzo kembali ke acara mandi bolanya sementara Vin menghilang entah ke mana. Briana menghembuskan nafas. Pikirannya melayang kembali ke ucapan Vin beberapa menit yang lalu.“Apa maksudnya? Istrinya meninggal. Dia tidak sedang menipuku kan?” gumam Briana ragu. Saat itulah Vin muncul, kala tatapan Briana fokus pada Enzo yang tengah meluncur dari papan seluncuran. Saking fokusnya, dia tidak mendengar panggilan Vin.“Hai, rupanya kamu lebih fokus pada Enzo dari pada aku,” kekeh Vin. Tampak lelaki itu sangat senang. Briana lebih
Adu tembak terjadi, suara dor dan desingan peluru memekakkan telinga. Beberapa tubuh bergelimpangan di tengah arena adu timah panas. Malam itu Dark Demon menyerbu Red Diamond. Dendam lama kembali terpatik setelah Dark Demon resmi mengumumkan kembali eksis di ranah dunia bawah.Cukup riskan, menyeberang dari Sicilia ke Milan. Namun Baron yang sudah lama berkecimpung di kota itu dengan mudah menemukan tempat untuk dijadikan markas. Atau Baron malah sudah menyiapkan hal itu jauh hari sebelum dia ketahuan oleh Ilario.“Selamat datang kembali, Jorge Suarez.” Senyum Jorge mengembang. Menatap pria tua yang dulu adalah tangan kanan sang ayah. Sebelum lelaki itu membelot. Membentuk klan mafia tersendiri lantas menghabisi nyawa ayah Jorge. Bisa dibayangkan bagaimana dendamnya Jorge pada Martin Sanchez.Terlebih setelah kematian sang ayah, klan Dark Demon kehilangan pemimpin akibat Jorge masih terlalu muda untuk mengambil tampuk kepemimpinan. Maka dari itu Dark Demon memilih vakum dari dunia
Mata Vin melebar melihat sosok gadis yang berdiri dengan tampilan berantakan, tapi terlihat seksi di depannya. Briana yang masih setengah sadar, tanpa memakai kardigannya langsung membuka pintu. Dia pikir Kartika yang sengaja datang ingin mengganggunya. Tidak pernah menyangka jika yang datang adalah Vin.Tubuh Briana hanya mengenakan tank top tanpa bra, dengan hot pants menutup tubuh bagian bawahnya. Tentu saja pemandangan yang sangat indah bagi Vin. Rambut Briana mencuat ke sana ke mari, seperti rambut singa. Ditambah wajah bantal Briana, tapi gadis itu tetap terlihat cantik. “Bare face paling epik abad ini.”“Eehhhhh.” Vin menahan pintu rumah Briana dengan kakinya saat gadis itu ingin menutupnya. Briana jelas malu begitu menyadari keadaannya. “Pergi sana!” usir Briana.“Idih ogah.” Vin merangsek masuk. Mengabaikan tatapan Briana yang melotot tak percaya. “Mama baru bangun ya?” suara imut itu segera mengalihkan fokus Briana. Hingga dia melihat sosok Enzo berjalan di belakang sang
Riko membulatkan mata melihat Emma yang ditarik Ilario masuk ke dalam mobilnya. “Riko tolong!” Emma berteriak panik.“Mau di bawa ke mana dia?” Riko mencegat Ilario. Lelaki itu memasang tampang bengis. Riko tahu siapa Ilario tapi dia diperintahkan untuk melindungi Emma. Meski itu dari ayah anak yang tengah dikandung Emma.“Ada hal yang harus aku bicarakan dengannya.” Ilario berujar sopan. Di sini dia hanya tamu. Sudah bagus, Vin tidak meledakkan kepalanya. Karena itu Ilario cukup sadar diri. Tidak ingin membuat kerusuhan di sini.“Kamu gak apa-apa sama dia Em?” Riko bertanya. Emma melihat ke arah Ilario, wajah lelaki menyiratkan permohonan. Ilario harus memastikan sesuatu. Desir aneh menyusup ke hati Emma. Saat Ilario terus menggenggam jemarinya. Ditambah ada anak mereka di rahim Emma. Jantung Emma berdegup kencang.Tiba-tiba saja, seolah ingin menunjukkan eksistensinya, perut Emma mual. Serasa ingin muntah. Padahal beberapa waktu terakhir ini, dia tidak lagi mengalami morning sic
Martin Sanchez melangkahkan kakinya di Jakarta untuk pertama kali setelah lebih dari 20 tahun meninggalkan negara ini. Meninggalkan Jeff yang marah besar karena sang papa sudah membohonginya selama ini. Terlepas dari sang mama yang telah mengetahui hal ini lebih dulu. Lelaki tinggi besar itu tak sungkan keluar sarang saat nama sang putri tercinta dijadikan ancaman oleh Jorge. Dia harus memastikan jika sang putri berada di tempat yang aman. Atau setidaknya Martin akan melindunginya mulai sekarang. Dia tidak selemah dulu. Kini dia punya anak buah yang bisa diandalkan.Meski ya itu tadi, sang putra adalah kendala Martin saat ini. Kemarahan Jeff seharusnya tak berdampak apa pun. Hanya saja, Martin takut kalau pikiran Jeff yang masih labil akan mudah dihasut. Kelemahan Jeff di sana. Logika sang putra belum terasah sempurna. Mengingat umur Jeff pun terhitung masih muda untuk memimpin sebuah klan mafia sebesar Red Diamond.“Kau menemukannya?” Martin bertanya pada seseorang yang sudah dia
“Apa salah jika seorang ayah ingin bicara pada putrinya.”Jawaban lugas dari Martin membuat Vin dan Briana tercengang. Martin menatap penuh kerinduan pada Briana, sang putri. Sementara Vin dan Briana saling pandang dalam keterkejutan luar biasa. “Anda jangan sembarangan bicara. Saya juga tidak mengenal Anda!”Briana berbalik, menggandeng Enzo masuk ke dalam butik. Penolakan Briana terasa menyakitkan bagi Martin. Meski dia seharusnya tahu. Tidak akan semudah itu mendapatkan pengakuan dari putrinya sendiri.“Rencana apa lagi ini Martin Sanchez. Dari Milan kau jauh-jauh terbang ke mari untuk memberitahu hal konyol seperti ini. Non sense!” Vin ikut berbalik, mengikuti langkah Briana.“Tunggu Vin aku tidak sedang mengucapkan omong kosong. Aku ke sini untuk menemui putriku. Briana Amira Atmaja adalah putri tunggalku bersama Kinanti Atmaja.”“Jika memang Briana adalah putrimu, kenapa baru sekarang kau datang. Apa dia juga korban ambisimu untuk menduduki tahta Red Diamond saat itu?” Vin
Ilario meringis, merasakan nyeri di bahu kanannya. Lengkap sudah luka di bahunya. Kiri dan kanan seimbang. Kiri, Emma yang menembaknya. Kanan, putra Vin yang membidiknya. “Nice shoot. Tapi poinnya cuma 8. Sedikit lagi, Boy.”Enzo menggeram. Tangan mungilnya bersiap menarik pelatuk Glock milik Miguel. Semua orang jelas terkejut melihat aksi Enzo. Azlan dan Leon langsung menganga dengan kemampuan Enzo, yang notabene anggota termuda di antara ketiganya.“Enzo, apa yang kamu lakukan?” teriak Vin, cukup terkejut dengan yang terjadi. Di depan sana, Lyli bergerak cepat dibantu Agam, menyeret Ilario untuk didudukkan di kursi. Agam merobek kemeja Ilario, di mana darah mengalir deras dari sana.“Perlu operasi sepertinya,” gumam Agam. Lyli terkekeh. Dengan Ilario berdecak sebal. “Lakukan dengan cara konvensional. Anak itu masih bernafsu ingin menghabisiku.” Ketiganya lantas melihat lagi ke depan. Di mana Enzo masih kekeuh, enggan melepaskan Glock milik Miguel. “Siapa suruh nantangin. Dia
“Emma dan Ilario sudah menikah. Kita kapan?” Briana menoleh ketika lagi-lagi Vin menanyakan hal yang sama. Keduanya ada di sebuah kafe. Makan siang setelah lelaki itu mengantar Miguel dan Chen kembali ke Milan.“Vin dengarkan aku. Aku tidak tahu apa aku cinta padamu atau tidak.”“Cintanya belakang. Nikah aja dulu. Pacaran halal setelah sah. Itu jauh lebih enak.” Vin terkekeh. Kan dia dan Briana pernah melakukan hal lebih dari pacaran, saat gadis itu berada di tubuh Maria. Briana mendelik mendengar jawaban Vin.“Ayolah Bri, mau ya nikah sama aku. Enzo nyariin terus kalau kamu gak tidur di rumah Ian.” “Mau nikah sama aku, karena apa? Cinta apa nafsu?” todong Briana. Vin mengulum senyumnya. Dia tidak menampik salah satu alasan ingin menikah ya memang untuk menyalurkan hasrat biologis. “Dua-duanya,” bisik Vin. Briana mencebik kesal. Vin pada akhirnya tertawa. Digenggamnya tangan Briana di mana cincin Maria berada. Briana mencoba menarik tangannya tapi Vin tak melepaskannya. “Bri
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam