Briana kembali mengajar hari ini. Tadi pagi dia pulang diantar oleh Axa. Lelaki tersebut hanya diam sepanjang perjalanan. Pria yang sudah memiliki satu putri itu tampak fokus pada jalanan yang ada di depannya. Saat Briana turun pun, Axa hanya mengangguk waktu Briana mengucapkan terima kasih. “Beneran kayak es batu!” celetuk Briana sebelum masuk rumah.Anak-anak belajar dengan riang. Wajah berbinar senang dengan senyum lebar selalu tampak di riak polos mereka. Ini yang Briana suka. Dia seolah berada di tempat paling membahagiakan. Meski detik berikutnya, dia teringat dengan Enzo. Bocah itu tiba-tiba saja muncul di benaknya, membawa berjuta rasa rindu di hati Briana.“Eh, kenapa tiba-tiba kangen sama kopian bule itu sih,” batin Briana sembari mengawasi anak-anak melukis. Rupa Enzo tiba-tiba saja membuat perempuan itu termenung. Dia baru saja mengalami satu rasa yang sangat sulit dia jabarkan. Dia merasa dekat dengan Enzo. Seolah mereka pernah bersama sebelumnya.Jika Briana termenung
Enzo mengembangkan senyum ketika mobil Xuan berhenti di depan sebuah bangunan yang menjadi gedung TK tempat Briana mengajar. Xuan beberapa kali memeriksa GPS, untuk memastikan alamat yang Kartika berikan adalah benar. Baru saja ingin memastikan, seseorang keluar dari gedung satu lagi. Orang itulah yang membuat ketiganya yakin kalau mereka tidak salah alamat.“He! Sudah kubilang aku sedang mengajar.” Suara Briana terdengar begitu galak. Emma dan Xuan saling pandang. Sepertinya mereka tahu siapa yang menghubungi perempuan yang mulutnya terus saja mengomel.“Mereka benar-benar berbeda,” bisik Emma. Xuan mengangguk mengiyakan. Pasalnya dia memang belum kenal Maria lama. Hanya pernah bersua beberapa kali, itupun hanya sekilas. Belum juga Briana mematikan teleponnya, seorang anak sudah berlari ke arahnya. “Mama!” panggil Enzo.Vin di belahan bumi lain, langsung membulatkan mata. Dia tidak salah mengenali suara. Itu adalah suara Enzo. “Hei, kenapa kamu ke sini? Sama siapa?” Sapaan Briana
Rentetan tembakan masih terdengar, Baron berlari sekuat tenaga, keluar dari mansion Vin. Kakinya tertembak, puncak amarah dari Ilario setelah lelaki itu tahu kalau Baronlah yang menghabisi Larissa, lantas menumpahkan kesalahannya pada Vin. Membuat Ilario benci setengah mati pada Vin. Pun sebaliknya, Vin yang muak dituduh terus menerus, memilih mengikuti langkah Ilario. Hingga keduanya saling benci hampir lima tahun lebih.Baron menyeret kakinya, bergerak sejauh mungkin dari Vin dan Ilario yang terus memburunya. Duo itu jika sudah bersatu sangat mengerikan. Dan Baron kini membuktikan rumor tersebut. Vin dan Ilario menembaki Baron membabi buta. Beberapa peluru bersarang di tubuh Baron. Lelaki itu tak kuat lagi. Hingga dia menjatuhkan diri ke sungai yang ada di sisi jalan.Sungai berarus deras dengan segera menenggelamkan Baron meninggalkan genangan merah darah bercampur air, yang beberapa waktu kemudian memudar. “Mampus kau! Harusnya dari dulu aku sadar kalau aku pelihara parasit di r
Briana menatap Emma yang lagi-lagi sedang menyantap bakso dengan kuah merah pekat. Di sampingnya ada Xuan yang menatap frustrasi pada Emma. Bakso memang rekomendasi dari Xuan tapi tidak dengan kuah semerah darah begitu. “Mak bapaknya bule, tapi kenapa seleranya melokal,” batin Briana. Briana lantas menatap curiga pada Xuan, masak iya ayah si bayi Xuan.Briana menggelengkan kepalanya pelan. Lagi pula, tega sekali Vin meninggalkan Emma yang sedang hamil anaknya. Dasar bule Italia, suka buat tidak suka merawat. Briana mengomel dalam hati. Sasarannya satu orang yang sudah membuat hatinya kesal dan kecewa beberapa hari ini.Lamunan Briana buyar ketika Enzo menarik ujung kemejanya. Mengatakan kalau tugasnya sudah selesai, pun dengan anak-anak lainnya. Gadis itu akan segera memberi bintang pada tugas masing-masing anak. Bintang lima adalah nilai tertinggi. Dalam kesempatan itu, Briana bisa melihat kalau Enzo punya otak yang cerdas. Dalam pandangan Briana, kecerdasan Enzo di atas rata-rat
Briana melamun sepanjang sesi mengajar pagi berikutnya. Setelah anak-anak sibuk dengan tugas menebalkan huruf dan angka. Sambil bertopang dagu dengan tatapan mengarah ke Enzo yang asyik dengan pensil dan kertasnya. Gerakannya sangat luwes waktu mengunakan pensil. Yah, dia sudah biasa memainkan benda seperti pensil. Alis Enzo terangkat, melihat wajah frustrasi sang guru.Benar, bocah itu menginginkan Briana menjadi mamanya. Rasanya sangat nyaman waktu berada di dekat Briana. Pelukan Briana seperti dekapan Maria sebelum meninggal. Enzo memang memilih bersama Briana saat siang hari. Ikut belajar di sekolah gadis itu. Siang itu Emma dan Xuan ada kepentingan ke rumah sakit. Enzo harus tinggal di rumah Briana sampai Emma dan Xuan selesai. “Ohh, semalam dia datang karena sudah waktunya cek kandungan. Istri hamil malah ngajak wanita lain menikah. Dasar tidak tahu diri.”Wajah Briana memberengut setelahnya. Mana Enzo tetap tidak mau mengubah panggilannya. Berkali-kali Briana mengatakan kal
“Kamu tidak apa-apa?” Vin bertanya sembari membantu Briana berdiri. Enzo pun sudah berada di depan mereka. Briana baru saja tersungkur karena ulah seorang pria yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan waktu berjalan. Alhasil Briana sempat nyungsep di lantai. Meski belum sampai berbenturan dengan lantai mall. Gadis itu menggunakan tangan untuk menahan tubuhnya. Juga lututnya kini terasa perih.“Mama gak apa-apa?” Enzo melihat Briana meringis. Wanita itu menggeleng. Enzo kembali ke acara mandi bolanya sementara Vin menghilang entah ke mana. Briana menghembuskan nafas. Pikirannya melayang kembali ke ucapan Vin beberapa menit yang lalu.“Apa maksudnya? Istrinya meninggal. Dia tidak sedang menipuku kan?” gumam Briana ragu. Saat itulah Vin muncul, kala tatapan Briana fokus pada Enzo yang tengah meluncur dari papan seluncuran. Saking fokusnya, dia tidak mendengar panggilan Vin.“Hai, rupanya kamu lebih fokus pada Enzo dari pada aku,” kekeh Vin. Tampak lelaki itu sangat senang. Briana lebih
Adu tembak terjadi, suara dor dan desingan peluru memekakkan telinga. Beberapa tubuh bergelimpangan di tengah arena adu timah panas. Malam itu Dark Demon menyerbu Red Diamond. Dendam lama kembali terpatik setelah Dark Demon resmi mengumumkan kembali eksis di ranah dunia bawah.Cukup riskan, menyeberang dari Sicilia ke Milan. Namun Baron yang sudah lama berkecimpung di kota itu dengan mudah menemukan tempat untuk dijadikan markas. Atau Baron malah sudah menyiapkan hal itu jauh hari sebelum dia ketahuan oleh Ilario.“Selamat datang kembali, Jorge Suarez.” Senyum Jorge mengembang. Menatap pria tua yang dulu adalah tangan kanan sang ayah. Sebelum lelaki itu membelot. Membentuk klan mafia tersendiri lantas menghabisi nyawa ayah Jorge. Bisa dibayangkan bagaimana dendamnya Jorge pada Martin Sanchez.Terlebih setelah kematian sang ayah, klan Dark Demon kehilangan pemimpin akibat Jorge masih terlalu muda untuk mengambil tampuk kepemimpinan. Maka dari itu Dark Demon memilih vakum dari dunia
Mata Vin melebar melihat sosok gadis yang berdiri dengan tampilan berantakan, tapi terlihat seksi di depannya. Briana yang masih setengah sadar, tanpa memakai kardigannya langsung membuka pintu. Dia pikir Kartika yang sengaja datang ingin mengganggunya. Tidak pernah menyangka jika yang datang adalah Vin.Tubuh Briana hanya mengenakan tank top tanpa bra, dengan hot pants menutup tubuh bagian bawahnya. Tentu saja pemandangan yang sangat indah bagi Vin. Rambut Briana mencuat ke sana ke mari, seperti rambut singa. Ditambah wajah bantal Briana, tapi gadis itu tetap terlihat cantik. “Bare face paling epik abad ini.”“Eehhhhh.” Vin menahan pintu rumah Briana dengan kakinya saat gadis itu ingin menutupnya. Briana jelas malu begitu menyadari keadaannya. “Pergi sana!” usir Briana.“Idih ogah.” Vin merangsek masuk. Mengabaikan tatapan Briana yang melotot tak percaya. “Mama baru bangun ya?” suara imut itu segera mengalihkan fokus Briana. Hingga dia melihat sosok Enzo berjalan di belakang sang
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam