Emma menatap sengit pada pria yang beberapa hari ini selalu mengganggunya. Dan hari ini, pria itu lagi-lagi sudah duduk dengan santai di ruang tamu kediaman Orion. Emma dan Enzo memang menginap di rumah Orion sejak dua hari lalu. Sebab anggota klan tengah disibukkan dengan urusan pekerjaan dunia gelap mereka.Mereka dipindah ke rumah Orion karena Alea, istri Orion sering ada di rumah. Sesekali saja dia pergi ke perusahaan. Sebagian urusan kantor sudah dihandle kakak Alea. Wanita itu tinggal duduk manis menikmati hasil. Berbeda dengan Lyli, yang kerap kali berada di rumah sakit. Jika tidak on duty, wanita itu akan membantu di lantai bawah tanah, markas klan mafia milik sang suami.“Jangan galak-galak, Em.” Alea menepuk bahu Emma lembut. Mengingatkan perempuan itu untuk tidak terlalu emosi. Ada janin yang sedang berkembang di rahimnya. Ilario sesaat menatap Alea dengan tatapan yang entah bagaimana. Dulu dia sempat menargetkan Alea untuk dia culik. Guna mengancam Orion. Namun yang te
“Dua gudang terbakar berisi amunisi dan narkoba yang akan dibarter dengan organ dalam.”Vin memijat pelipisnya. Denah hologram di depan mereka berputar 360°. Menunjukkan lokasi tempat kebakaran di pinggiran kota Milan. Wilayah paling parah terkena kebakaran adalah gudang amunisi, pasalnya bahan peledak banyak terdapat di dalamnya. Satu percikan api, hancur semua.Ian dan yang lainnya sibuk mengamati, selain gudang mereka, ada gedung penyimpanan klan Inferno, milik Ilario dan kepunyaan Red Diamonds yang turut musnah. “Ada begitu banyak klan di Italia tapi kenapa hanya tiga ini yang dibumihanguskan.”Ian mulai melemparkan topik panas untuk dibahas. Dan benar saja semua anggota berlomba mengemukakan pendapat dan pandangan masing-masing mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Tak terkecuali The Eye. Sistem itu dengan gamblang membeberkan bukti beserta rekaman citra satelit. Hasilnya membuat semua orang tercengang.“Ini ulah mereka? Dark Demon? Mereka beneran balik?” Axa menyeletuk
“Vin, Chen menghubungiku. Dia tanya apa kita masih stok punya yang premium. Dia kehabisan stok, klien minta dikirim on schedule.”Vin baru saja turun di bandara internasional yang ada di Milan, ketika Miguel sudah menyambutnya dengan permintaan urgen dari Ilario. Vin masuk ke mobil diikuti sang asisten dan Vante. Ini mengejutkan, sejak kapan Vante mengekor langkah Miguel. Sedikit curiga tapi dia kesampingkan hal itu. Ada yang lebih penting yang harus diurus.“Apa kita punya stok?” Vin yang baru datang tentu tidak mengetahui secara rinci keadaan di gudang.“Ada baru datang dari kartel Meksiko, tapi kualitasnya sedikit di bawah premium. Hanya berbeda 0,15%.”“Nyaris sempurna,” geram Vin. “Hubungi Chen, katakan yang sebenarnya. Biar mereka memutuskan.” Miguel sigap bertindak. Tak berapa lama pria itu sudah sibuk bicara dengan Chen dan Ilario melalui ponsel.“Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya sekolah,” tegur Vin pada Vante.“Kan liburan Om. Gimana sih,” kesal Vante. Vin menepuk
Briana kembali mengajar hari ini. Tadi pagi dia pulang diantar oleh Axa. Lelaki tersebut hanya diam sepanjang perjalanan. Pria yang sudah memiliki satu putri itu tampak fokus pada jalanan yang ada di depannya. Saat Briana turun pun, Axa hanya mengangguk waktu Briana mengucapkan terima kasih. “Beneran kayak es batu!” celetuk Briana sebelum masuk rumah.Anak-anak belajar dengan riang. Wajah berbinar senang dengan senyum lebar selalu tampak di riak polos mereka. Ini yang Briana suka. Dia seolah berada di tempat paling membahagiakan. Meski detik berikutnya, dia teringat dengan Enzo. Bocah itu tiba-tiba saja muncul di benaknya, membawa berjuta rasa rindu di hati Briana.“Eh, kenapa tiba-tiba kangen sama kopian bule itu sih,” batin Briana sembari mengawasi anak-anak melukis. Rupa Enzo tiba-tiba saja membuat perempuan itu termenung. Dia baru saja mengalami satu rasa yang sangat sulit dia jabarkan. Dia merasa dekat dengan Enzo. Seolah mereka pernah bersama sebelumnya.Jika Briana termenung
Enzo mengembangkan senyum ketika mobil Xuan berhenti di depan sebuah bangunan yang menjadi gedung TK tempat Briana mengajar. Xuan beberapa kali memeriksa GPS, untuk memastikan alamat yang Kartika berikan adalah benar. Baru saja ingin memastikan, seseorang keluar dari gedung satu lagi. Orang itulah yang membuat ketiganya yakin kalau mereka tidak salah alamat.“He! Sudah kubilang aku sedang mengajar.” Suara Briana terdengar begitu galak. Emma dan Xuan saling pandang. Sepertinya mereka tahu siapa yang menghubungi perempuan yang mulutnya terus saja mengomel.“Mereka benar-benar berbeda,” bisik Emma. Xuan mengangguk mengiyakan. Pasalnya dia memang belum kenal Maria lama. Hanya pernah bersua beberapa kali, itupun hanya sekilas. Belum juga Briana mematikan teleponnya, seorang anak sudah berlari ke arahnya. “Mama!” panggil Enzo.Vin di belahan bumi lain, langsung membulatkan mata. Dia tidak salah mengenali suara. Itu adalah suara Enzo. “Hei, kenapa kamu ke sini? Sama siapa?” Sapaan Briana
Rentetan tembakan masih terdengar, Baron berlari sekuat tenaga, keluar dari mansion Vin. Kakinya tertembak, puncak amarah dari Ilario setelah lelaki itu tahu kalau Baronlah yang menghabisi Larissa, lantas menumpahkan kesalahannya pada Vin. Membuat Ilario benci setengah mati pada Vin. Pun sebaliknya, Vin yang muak dituduh terus menerus, memilih mengikuti langkah Ilario. Hingga keduanya saling benci hampir lima tahun lebih.Baron menyeret kakinya, bergerak sejauh mungkin dari Vin dan Ilario yang terus memburunya. Duo itu jika sudah bersatu sangat mengerikan. Dan Baron kini membuktikan rumor tersebut. Vin dan Ilario menembaki Baron membabi buta. Beberapa peluru bersarang di tubuh Baron. Lelaki itu tak kuat lagi. Hingga dia menjatuhkan diri ke sungai yang ada di sisi jalan.Sungai berarus deras dengan segera menenggelamkan Baron meninggalkan genangan merah darah bercampur air, yang beberapa waktu kemudian memudar. “Mampus kau! Harusnya dari dulu aku sadar kalau aku pelihara parasit di r
Briana menatap Emma yang lagi-lagi sedang menyantap bakso dengan kuah merah pekat. Di sampingnya ada Xuan yang menatap frustrasi pada Emma. Bakso memang rekomendasi dari Xuan tapi tidak dengan kuah semerah darah begitu. “Mak bapaknya bule, tapi kenapa seleranya melokal,” batin Briana. Briana lantas menatap curiga pada Xuan, masak iya ayah si bayi Xuan.Briana menggelengkan kepalanya pelan. Lagi pula, tega sekali Vin meninggalkan Emma yang sedang hamil anaknya. Dasar bule Italia, suka buat tidak suka merawat. Briana mengomel dalam hati. Sasarannya satu orang yang sudah membuat hatinya kesal dan kecewa beberapa hari ini.Lamunan Briana buyar ketika Enzo menarik ujung kemejanya. Mengatakan kalau tugasnya sudah selesai, pun dengan anak-anak lainnya. Gadis itu akan segera memberi bintang pada tugas masing-masing anak. Bintang lima adalah nilai tertinggi. Dalam kesempatan itu, Briana bisa melihat kalau Enzo punya otak yang cerdas. Dalam pandangan Briana, kecerdasan Enzo di atas rata-rat
Briana melamun sepanjang sesi mengajar pagi berikutnya. Setelah anak-anak sibuk dengan tugas menebalkan huruf dan angka. Sambil bertopang dagu dengan tatapan mengarah ke Enzo yang asyik dengan pensil dan kertasnya. Gerakannya sangat luwes waktu mengunakan pensil. Yah, dia sudah biasa memainkan benda seperti pensil. Alis Enzo terangkat, melihat wajah frustrasi sang guru.Benar, bocah itu menginginkan Briana menjadi mamanya. Rasanya sangat nyaman waktu berada di dekat Briana. Pelukan Briana seperti dekapan Maria sebelum meninggal. Enzo memang memilih bersama Briana saat siang hari. Ikut belajar di sekolah gadis itu. Siang itu Emma dan Xuan ada kepentingan ke rumah sakit. Enzo harus tinggal di rumah Briana sampai Emma dan Xuan selesai. “Ohh, semalam dia datang karena sudah waktunya cek kandungan. Istri hamil malah ngajak wanita lain menikah. Dasar tidak tahu diri.”Wajah Briana memberengut setelahnya. Mana Enzo tetap tidak mau mengubah panggilannya. Berkali-kali Briana mengatakan kal