Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.
Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauannya.Aku kembali menatap ponselku dan membalas pesan dari Ela. Beruntung, kali ini Ela dapat mengerti. Aku beralasan sedang pergi keluar kota bersama Papa dan Mama untuk urusan bisnis."Punya Mas dibawa juga atau biar tetap disini," tanya Ayra tanpa mengalihkan pandangannya."Terserah," balasku asal. Aku hanya membawa beberapa potong pakaian ganti selama aku disini.Beberapa saat kemudian, Ayra bangkit dari duduknya dilantai usai memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Dia lantas mengambil karpet dan bantal sebelum akhirnya ia gelar di bawah sana untuk tempat tidurnya.Malam ini, aku melewatinya dalam keheningan tanpa berbicara atau membentak Ayra. Ayra juga diam, tak mengatakan apapun padaku. Mungkin dia takut jika aku membalasnya kasar.Seperti malam sebelumnya, aku kembali tak bisa tidur karena nyaringnya suara hewan malam yang menganggu pendengaranku. Aku baru bisa tidur setelah mendengar suara qiroah yang disetel di masjid.***"Mas ..."Tidak seperti kemarin, kali ini aku langsung membuka mataku saat mendengar suara Ayra memanggil."Sudah siang, Papa sama Mama sudah menunggu kita. Katanya jadi pulang, atau tidak," jelasnya.Aku tak menjawab ucapan Ayra. Tanpa basa-basi, aku langsung bangkit menyambar handuk di gantungan dan masuk ke kamar mandi. Secepat kilat aku mengguyur tubuhku dengan air sedingin es, kemudian keluar setelah memakai pakaianku.Aku memandang sekeliling, kulihat Ayra sudah tidak ada di kamar. Tas besar yang tadinya tergeletak di pojok lantai juga sudah tidak ada. Mungkin sudah dia bawa keluar."Kamu sarapan dulu Bram, kami semua sudah. Habis nungguin kamu gak bangun-bangun. Kata Ayra, kamu tidur lagi selepas shalat subuh tadi," ucap Mama saat aku menghampiri mereka di ruang TV. Aku beralih menatap Ayra, dan dia langsung mengalihkan pandangannya. Untuk kali ini, hatiku memujinya karena dia melindungiku di depan semua orang, terlebih dihadapan Bapak.Aku mengangguk, kemudian ke belakang untuk mengambil makanan. Sedang Ayra mengekoriku atas perintah Bapak."Biar aku ambil sendiri!" Aku merebut piring dari tangan Ayra saat dia ingin mengambilkan Nasi untukku. Lagi-lagi, Ayra hanya diam. Bahkan dia tak menatapku, membuatku jengkel saja!Setelahnya aku menghabiskan makanan dalam keheningan meskipun Ayra duduk di sampingku.***"Ayra pamit, ya Pak. Maaf, Ayra belum bisa membalas semua kebahagiaan yang sudah Bapak berikan untuk Ayra." Ayra mencium tangan Bapak, bahunya bergetar karena tangis. Sedang Bapak menyentuh kepala Ayra dengan mata berkaca-kaca, dan kulihat Papa Mama, juga mengusap air matanya melihat pemandangan itu."Sial! kenapa aku jadi ikut terharu!" batinku. Aku bergegas mengusap mataku, menghilangkan jejak kilauan di sana."Jadilah Istri yang baik untuk suamimu, Nak. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian. Bapak hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu." Kata itu yang terakhir kali aku dengar dari Bapak. Bahkan sampai saat di perjalanan, aku masih terngiang-ngiang dengan ucapannya itu. Bapak orang baik, bagaimana jika dia tahu bahwa aku menyakiti putrinya. Dalam hati, aku hanya bisa meminta maaf, karena aku memang berniat mempermainkan rumah tangga ini. Semoga semua tetap baik-baik saja. Ayra bahagia dan menemukan orang yang tepat setelah lepas dariku, begitupun juga aku, yang akan bahagia bersama Ela suatu saat nanti.***Ayra masih berulang kali meneteskan air mata dalam diam. Entah dia menangis karena meninggalkan Bapak, atau dia menangis karena aku bukanlah suami yang seperti dalam bayangannya. Aku juga tidak ingin tahu.Aku dan Papa menaiki kendaraan yang terpisah, karena kami membawa mobil masing-masing. Waktu itu, orang tuaku datang terlebih dulu ke rumah Ayra, sedang aku masih di kota mengurus persyaratan pernikahanku.Butuh waktu setengah hari untukku sampai di rumah. Rumah berlantai dua pembelian Papa, hadiah pernikahanku dan Ayra. Hanya aku dan kedua orang tuaku yang mengetahui rumah ini, bahkan Nanda--adikku sendiri belum tahu. Dia tidak datang di pernikahanku karena Nanda masih di luar negeri melanjutkan pendidikanya.Aku sudah beritahu Ela, agar jangan datang ke rumah Papa lagi untuk menemuiku. Karena sejak awal, Papa menentang hubungan kami. Terlebih kulihat Mama sendiri juga tak menyukai Ela. Saat kutanya apa alasannya, Mama bilang, Ela wanita manja yang tak tahu sopan santun. Akan tetapi, bagiku Ela adalah duniaku. Dia mampu membuatku bahagia setiap saat. Perlakuannya, tingkah manjanya, aku suka itu. Yang lebih penting, Ela bukan gadis kampungan, dia wanita modern yang mandiri. Terlebih dia sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai dengan pakaiannya yang sexy. Ah ... membayangkannya saja membuatku rindu.Aku langsung turun dari mobil setelah sampai di halaman rumah. Kutinggalkan Ayra tetap berada di dalamnya. Biarkan dia masuk sendiri setelah hatinya berhenti menangis.Usai membuka pintu, aku langsung menaiki anak tangga. Sudah kupersiapkan sebelumnya, bahwa kamarku di atas dan Ayra di bawah.Beberapa saat berlalu, aku masih belum mendengar tanda-tanda Ayra memasuki rumah. Merasa jengkel, aku membuka gorden jendela kamarku, bermaksud melihat Ayra, dan benar saja, gadis itu masih berada di dalam mobil menenggelamkan wajahnya. Aku langsung turun menghampirinya dengan perasaan kesal."Mau sampai kapan kamu berada di dalam sini. Keluar! dasar manja!" cecarku, dan Ayra tersentak. Ia tak menjawab, dan langsung turun mengekoriku memasuki rumah."Kamarmu disitu, dan kamarku di atas! kita tetap akan menjaga privasi masing-masing. Aku tak akan mencampuri urusanmu, dan kau jangan pernah ikut campur urusanku!" ucapku sembari menunjuk kamarnya. Ayra menatapku seolah terkejut dengan pernyataanku. Mata bulatnya terlihat sembab, namun entah kenapa mata itu semakin membuatku membencinya."Sampai kapan ..." Nada suaranya lirih bergetar, kali ini, gadis itu membalas ucapanku sejak semalam ia hanya diam dengan segala perlakuanku."Lalu untuk apa, Mas Abram menikahiku," lanjutnya lagi. Air matanya mengalir bersamaan dengan berakhirnya kalimat yang dia ucapkan.Aku menatap tajam mata Ayra. Aku ingin meluapkan kekesalanku padanya saat ini juga. Namun aku tak lakukan itu, karena aku masih memiliki hati."Jika aku katakan, apa kau mau mundur dari pernikahan ini," tegasku."A-apa ..." tergagap dia menjawab. Setelah itu, kutinggalkan Ayra sebelum ia melanjutkan kalimatnya. Sesampai di kamar, aku membanting pintu dengan kasar, agar gadis itu tahu meski aku tak menjelaskannya.Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami."Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mende
Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya."Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang s
"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauan
"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya."Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang s
"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami."Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mende