Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya.
"Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang sengaja ia tekankan untuk membuatku malu akan ketakutanku beberapa menit yang lalu."Heh bocah!" panggilku membuatnya menoleh. Gadis itu urung merebehkan tubuhnya di bawah."Apa?" jawabnya."Boleh kutanya sesuatu," tanyaku dan dia mengangguk."Apa kamu memiliki kepribadian ganda? kenapa kamu bisa dengan mudah merubah kesedihanmu dan menampakkan wajah ceria seperti tadi," ucapku. Ayra diam sejenak sebelum akhirnya menjawab."Jika Mas Abram tanya apa bakatku, itu tadi bakat utamaku," paparnya. Aku hanya mencebik tak peduli. Baguslah jika begitu.Setelah itu, Ayra kembali tidur di bawah dan menutup tubuhnya rapat dengan selimut, begitupun juga dengan aku...."Mas ...""Mas ..." Setengah sadar, samar-samar terdengar suara orang didekatku."Mas ..." Suara itu terdengar lagi. Kali ini, aku merasakan bahuku disentuh pelan. Susah payah aku membuka mata yang masih sangat berat, dan kulihat Ayra sudah berdiri dihadapanku dengan mukenanya.Aku menepis tangan Ayra kasar saat tangan mungilnya kembali menyentuh pundakku."Sudah subuh, kita shalat dulu, yuk!" ucapnya lagi, membuat telingaku sakit! Mengganggu saja!"Bisa diam, tidak!" sahutku kasar. Ayra terkejut melangkah mundur, pandangannya tertunduk karena bentakanku."Ma-maaf! kalo gitu, aku shalat sendiri," balasnya dengan suara gemetar."Terserah!" ketusku. Aku kembali meringkuk membungkus tubuhku. Rasa kantuk begitu menyerangku, kepalaku terasa pusing, jantungku berdebar hebat dibangunkan seperti tadi. Terlebih aku baru bisa tidur sekitar satu jam yang lalu. Lagipula, aku tidak biasa bangun petang seperti ini.***Aku menggeliat, merenggangkan persendianku yang terasa kaku saat mendengar suara gorden kamar digeser, dan saat aku membuka mata, kulihat tubuh mungil seseorang tengah berdiri di dekat jendela. Sejenak aku terdiam, sampai menyadari di tempat siapa aku sekarang.Detik kemudian, Ayra membalikkan badannya menghadapku. Sesaat tatapan kami bertemu, namun gadis itu langsung menunduk ketakutan. Mungkin dia takut jika aku kembali membentaknya."Semua orang sudah menunggumu di meja makan," ucapnya kemudian. Pandangannya masih tertunduk. Tangannya sibuk memilin ujung hijabnya hingga terlihat kusut. Ayra berlalu setelah beberapa saat brdiri menunggu responku."Tunggu!" Aku menghentikan langkah Ayra. Gadis ita lngsung membalikkan tubuhnya menghadapku."Tetap disini dan jangan keluar tanpa aku! aku mandi dulu, mana handuk!" pintaku ketus. Dia hanya mengangguk, dan dengan sigap mendekati lemari, mengambilkan handuk permintaanku.Aku langsung masuk ke kamar mandi. Tubuhku seakan tersengat listrik saat menyentuh air di dalamnya. Sangat dingin, hingga membuatku ragu untuk membersihkan diri."Ay!" ucapku membuat Ayra terkejut lantas berdiri dari duduknya di tepi ranjang."Ada apa?" tanyanya kemudian. Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal."Tak ada air hangat, kah, disini?" tanyaku balik."Ada, biar kurebuskan dulu di dapur. Untuk mandi, kan?" balasnya. Aku melebarkan mataku. "Direbus?" batinku. Ayra terlihat ingin berlalu namun aku mencegahnya."Tetap disini! lupakan air hangat!" pintaku. Aku kembali masuk ke kamar mandi."Benar-benar ribet! ingin mandi air hangat saja nunggu direbus!" gerutuku sebal. Aku langsung menanggalkan pakaianku dan mengguyur tubuhku secepat kilat. Rasanya sangat dingin, seperti mandi di air es."Aaa ..." Aku terkejut mendengar teriakan Ayra yang tiba-tiba. Ayra menutup matanya dengan kedua telapak tangan, dan langsung berbalik membelakangiku."Kenapa Mas, gak pake baju!" ucapnya kemudian. Tersadar, aku lantas melihat kebawah. Handuk yang kulilitkan di pinggang hampir merosot. Terbiasa begini, membuatku lupa, bahwa aku sudah tak sendiri lagi."Ambilkan aku baju yang mana saja dan antarkan ke kamar mandi!" pintaku ketus. Dasar gadis ingusan! baru lihat dada telanjang saja langsung teriak, apalagi jika kuperlihatkan semuanya!"Mas!" Ayra mengentuk pintu kamar mandi, aku lantas membukanya sedikit dan Ayra langsung mengulurkan tangannya ke dalam."Apa lihat-lihat!" sergahku melotot, saat kulihat Ayra memandangku yang tengah bercermin menyisir rambutku. Ayra langsung membuang muka tak membalas ucapanku.Aku menghembuskan napas dalam, akting akan segera dimulai! Aku harus bersikap manis pada Ayra di hadapan mereka semua agar mereka tidak curiga akan perlakuan kasarku pada Ayra. Mungkin untuk beberapa saat aku akan tersiksa berlaku demikian. Namun bisa kupastikan keadaan ini tak akan bertahan lama, karena aku akan segera memboyong Ayra dari sini agar aku bisa berlaku bebas sesuka hatiku. Aku tidak suka tertekan seperti ini. Membuat dadaku sesak saja!"Ayo!" ucapku. Ayra mendongak, menatap tanganku yang mengambang di udara menunggu balasan.Aku meraih tangan Ayra dan menggenggamnya paksa saat gadis itu tetap diam mematung melihatku."Buang wajah takutmu itu padaku dan bersikaplah layaknya pengantin baru!" tekanku ketus, Ayra menatapku dengan tatapan polosnya."Bagaimana?" tanyanya gemetar. Aku mendengkus kesal. Kurapatkan tubuhnya ke pinggangku. Bisa kurasakan tubuh Ayra gemetar dan terasa panas, seolah baru kali ini dia disentuh lawan jenisnya. Aku heran, apa sebelumnya dia tidak pernah punya pacar di sekolahnya."Tersenyum!" pintaku. Ayra mengangguk, dan seperti bakat yang ia bicarakan padaku semalam, wajahnya langsung berubah seolah semua baik-baik saja.Baru saja melangkah, suara mama terdengar memanggil dari luar kamar."Abram, Ayra!""Ingat! jangan tunjukkan wajah was-wasmu padaku dihadapan mereka!" tekanku lagi. Aku langsung menarik tangan Ayra mendekati pintu sebelum akhirnya membukanya."Selamat pagi, mamaku yang cantik ..." ucapku merayu. Kupasang wajah seceria mungkin. Sesaat Mama diam, pandangannya tertuju pada tanganku yang menggandeng Ayra. Detik kemudian, senyuman manis terukir dari bibir Mama."Duh, mentang-mentang pengantin baru, gak keluar-keluar dari kamar!" ledeknya, aku hanya tersenyum menanggapi."Kita sarapan dulu, setelah itu, terserah kalian mau ngapain!" lanjutnya kemudian. Aku hanya mengacungkan jempol sebagai balasan.Mama berjalan mendahului, sedangkan aku dan Ayra mengekori di belakang. Aku menatap Ayra sembari melengkungkan bibirku dengan tangan. Memberi isyarat agar Ayra tak lupa dengan ucapanku."Nak Abram, mari makan dulu," sambut Bapak mertuaku. Aku mengangguk tersenyum menanggapi.Ayra menarik kursi dan duduk bersebelahan denganku. Dia juga mengambilkan piring dan makanan untukku dengan senyumnya. Sebuah akting yang sangat bagus."Ini," ucap Ayra menyodorkan piring yang sudah lengkap dengan isinya itu ke arahku. Aku tersenyum membalas Ayra, dan kulihat semua orang saling beradu pandang dengan tersenyum."Gimana semalam?" bisik Ayah disela-sela makan kami. Aku mengacungkan jempol tanda berhasil. "Berhasil membentak Ayra, maksudku," ucapku dalam hati. Ayah menepuk pundakku bangga. Ayah fikir, aku sudah bisa menerima kehadiran Ayra dalam hidupku karena aku menerima pernikahan ini. Namun nyatanya, keadaanku saat ini membuatku semakin membenci Ayra. Gadis itu tak hanya membuatku repot, namun dia juga menghalangi hubunganku dengan kekasihku--Ela."Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauan
Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami."Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mende
Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauan
"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya."Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang s
"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami."Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mende