"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami.
"Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mendengkus kesal, kemudian kulemparkan karpet beserta bantal di lantai dengan kasar. Ayra tak membalas apapun, pandangannya kembali menunduk. Aku tahu bahwa gadis itu menangis, namun aku samasekali tak peduli. Aku menikahi Ayra hanya karena permintaan orang tuaku. Aku sama sekali tidak sungguh-sungguh dengan pernikahan ini. Meski Ayra tidak jelek-jelek amat, tapi Ayra gadis kampungan. Tubuhnya mungil. Dia samasekali tidak masuk dalam kriteriaku. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya orang tuaku memilih Ayra sebagai istriku.Jika ditanya kenapa aku tidak menolak, itu karena Ayah mengancamku, jika aku tidak menikahi Ayra, maka semua harta Ayah akan menjadi milik adikku--Nanda. Sedang aku tak akan mendapat bagian sepeserpun. Kata Ayah, aku sudah dijodohkan dengan Ayra sedari gadis itu lahir, karena Ayah mempunyai kesalahan besar pada Ayah Ayra. Entah kesalahan apa yang dimaksud, aku juga tak ingin tahu. Yang kutahu, Ayah dan bapaknya Ayra, mereka sahabat baik meski terpisah dengan jarak cukup jauh. Aku ingat, waktu kecil, Ayah pernah mengajakku ke desa ini, dan waktu itu Ayra masih bayi. Hingga bertahun-tahun berlalu. Tak kusangka, takdir membawaku kembali menginjakkan kaki di desa ini sebagai menantu di rumah Pak Arman--ayahnya Ayra--gadis kampung yang baru saja lulus dari sekolah SMA-nya. Aku menggelengkan kepala, Ayra tak pantas bersanding denganku. Aku lelaki dewasa yang sudah matang. Usiaku bahkan sudah menginjak tiga puluh tiga tahun. Jika aku berjalan dengan Ayra, maka siapapun akan mengira jika Ayra lebih pantas menjadi keponakanku.***Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun aku tak kunjung bisa memejamkan mataku. Hawa dingin pedesaan membuatku menggigil. Terlebih banyak suara hewan malam yang menganggu pendengaranku. Dari jangkrik, kodok, hingga tokek sialan yang membuatku amat terkejut. Berulang kali aku membolak-balikkan tubuhku. Mencari posisi ternyaman. Sampai akhirnya, aku memutuskan bangkit, bermaksud mencari selimut lagi untuk melapisi tubuhku. Sekilas kulihat Ayra sudah meringkuk memejamkan mata di lantai bawah sana."Mana, sih!" Aku mengumpat kesal saat tak kutemukan selimut dalam lemari Ayra meski sudah kuobrak-abrik isi di dalamnya."Mas, cari apa?" Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba suara terdengar dekat di belakangku. Aku memegangi dadaku yang berdebar dan berbalik menghadap Ayra penuh emosi."Bisa permisi dulu, gak, sih!" ketusku meotot. Ayra terkejut, ia kembali menunduk."Permisi gimana, aku kan sudah ada di dalam sini dari tadi," balasnya dengan polos. Dasar anak Pesantren!"Mana selimut!" pintaku. Ayra melihat ranjang. Tatapannya kembali kearahku, dan dengan polosnya ia berkata, "Itu apa?" ucapnya sembari menunjuk selimut yang menjuntai ke bawah.Aku memejamkan mata geram."Terserah!" ucapku kemudian, lantas pergi dari hadapan Ayra dan menghempaskan tubuhku di ranjang. Aku meringkuk dan membungkus seluruh tubuhku dengan selimut tipis berwarna merah jambu milik Ayra.Sesaat setelahnya, terdengar suara pintu dibuka. Aku langsung membuka selimut yang menutupi kepalaku dan kulihat Ayra keluar. Dia kembali dengan membawa selimut yang lebih tebal di tangannya. Aku pura-pura tidur saat Ayra mendekat. Malas sekali jika harus kembali berbicara dengannya.Tanpa kuduga, Ayra membentangkan selimut yang ia bawa ke tubuhku tanpa melepas selimut yang tengah aku pakai. Setelah itu, langkah kaki Ayra terdengar menjauh, dan saat kubuka mata, Ayra terlihat megusap air matanya sebelum akhirnya kembali tidur meringkuk di lantai beralaskan karpet yang tadi kulempar.Baru saja memejamkan mata, jantungku dibuat kaget lagi akan suara tokek sialan yang terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Saat kutamatkan, suaranya terdengar dari belakang lemari kayu milik Ayra."Aarggh!!" Aku bangkit dengan kesal. Bersamaan dengan itu, Ayra yang berada dilantai juga bangkit, mungkin terkejut dengan geramanku. Ia menoleh ke arahku, matanya merah dan sembab."Mas kenapa?" tanyanya kemudian."Bisakah kau buat diam tokek peliharaanmu itu? mengganggu saja!" umpatku."Tapi itu bukan peliharaan, Mas," sanggahnya."Terserah! yang penting, usir tokek itu agar aku bisa tidur!" Ayra nenuruti perintahku, ia lantas keluar kamar dan kembali dengan membawa sapu lidi di tangannya."Hei! hei! ba*ingan! sialan!" segala sumpah serapah tanpa sadar keluar dari mulutku saat tokek itu tiba-tiba lompat dari atas lemari dan jatuh menimpa kepalaku."Tolooong!" jeritku, aku benar takut dan jijik. Tokek itu tak mau lari dari kepalaku dan malah mencengkram rambutku begitu erat. Bisa kurasakan betapa empuk dan dinginnya kulit hewan itu saat aku berusaha mengusirnya dari mahkotaku."Heh, bocah! tolong!" pintaku pada Ayra. Gadis itu malah diam melihatku, meski wajahnya terlihat panik, tapi tetap saja dia tak melakukan apa-apa."Gimana ini, Mas! a-aku juga takut!" balasnya kemudian."Pukul!" pintaku dan gadis itu melotot. Kuraih tangannya yang masih memegang sapu lidi."Pukul yang keras Ayra!" Aku memaksa. Ayra malah menggeleng dengan wajah bimbangnya. Detik kemudian, dia keluar dan berteriak memanggil bapaknya."Bapaaak, tolooong ...!" Bisa kudengar ketukan pintu yang kasar saat Ayra terus berusaha membangunkan bapaknya.Sesaat kemudian, Ayra datang bukan hanya membawa Bapak mertua, tapi dia juga membangunkan Papa dan Mama. Oh, benar-benar malam yang kelam. Malam terburuk sepanjang umurku.Entah sudah seperti apa wajah malu dan takutku saat Papa dan Mama menertawaiku tanpa dosa."Meneng, yo, Le. Ojo obah," titah Bapak. (Diam ya, Nak, jangan gerak) sedikit banyak, aku masih bisa mengartikan bahasa jawa alus meski bertahun-tahun silam aku tak menggunakannya, karena kami pindah ke kota."Wis, wis kenek." (Sudah, sudah bisa) ucap Bapak. Seketika napasku menjadi lega. Bapak keluar membawa tokek, sedang Papa dan Mama masih terus menertawaiku. Sampai akhirnya, mereka menyadari sesuatu. Membuatku langsung mengumpat dalam hati. Aku mengedipkan mata pada Ayra, semoga saja gadis itu mengerti maksudku."Bram, itu kenapa ada karpet sama bantal di bawah?" tanya Mama. Papa menatapku tajam seolah bisa menebak apa yang terjadi.Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya."Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang s
"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauan
Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian."Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini."Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu."Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik."Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra
Hari sudah beranjak malam. Aku mengajak Ayra masuk ke dalam kamar seelepas melaksanakan shalat isya berjamaah dengan Bapak mertua sebagai imamnya.Jujur saja, aku hampir lupa bacaan shalat karena sudah lama aku tak mengerjakannya. Begitupun juga Papa dan Mama. Gurat wajah mereka terlihat bingung saat Bapak mengajak kami untuk shalat. Bahkan bisa kulihat Papa menunggu gerakan Bapak dulu untuk mengikutinya. Entahlah, kesibukan duniawi membuat keluargaku lupa bahwa ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Keluarga kami terlena dengan kenikmatan duniawi yang sudah diberikan tuhan untuk kami."Persiapkan semua barang-barangmu yang akan dibawa besok!" Aku melepaskan tangan Ayra setelah memasuki kamar. Setelah itu, aku meraih ponsel dan menghempaskan tubuhku di ranjang.Ayra tak menjawab, pun menolak. Dia langsung mendekati lemari dan mengeluarkan tas besarnya yang sudah terlihat lusuh. Baguslah, itu artinya, Ayra tak bicara pada orang tuaku jika ia ingin tetap tinggal sebentar seperti kemauan
"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku."Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik."Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih b
Dadaku berdebar, mulutku seakan terkunci untuk membuat alasan. Sampai akhirnya, Ayra mendekatiku yang masih terduduk di atas ranjang. Wajahnya yang tadi datar seketika berubah menjadi berseri, dengan senyum malunya."Kata Mas Abram, kalo di atas, ranjangnya bakalan bunyi. Makanya di bawah saja." Gadis itu lantas menyembunyikan wajahnya setelah berkata demikian, sekilas, bisa kulihat pipinya merona. Mama langsung terbahak, begitupun Papa yang tak lagi menatap tajam padaku."Dasar pengantin baru!" Mama menggandeng Papa keluar setelah berkata demikian. Sedang aku, masih tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut gadis polos yang kunikahi tadi siang."Kamu ..." lirihku. Ayra melepaskan genggaman dan menjauh dariku setelah pintu kamar kami ditutup Mama."Kenapa gemetar?" tanyaku kemudian."Gak ada! silahkan kembali lanjutkan tidurmu yang terganggu karena tokek peliharaanku!" sergahnya membuang muka. Aku tahu dia malu, sedang aku melotot mendengar ucapannya. Kata 'Tokek' seakan memang s
"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami."Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya."Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk."A-Aku, kan, istrimu.""Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur. "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya."Maksud Mas Abram apa?" tanyanya."Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.Aku mende