"Pengadilan Agama? Jangan bilang ...."
Juan tidak meneruskan ucapannya dan memilih membuka surat itu dengan segera. Surat panggilan, Juan dipanggil oleh pengadilan karena ternyata Dania sudah melayangkan gugatan perceraian kepadanya.Melihat hal itu, Juan tentu saja marah. Dia merasa geram dengan sikap Dania yang selalu seperti ini, grasak-grusuk dan main kabur tanpa mau mendengarkan penjelasan yang sebenarnya.Lelaki itu ingin menghubungi orang tua Dania, tapi takut malah semakin tersudut hingga akhirnya dia memilih menelpon pengacara Dania karena nomor istrinya itu sudah tidak bisa dia hubungi semenjak Dania melarikan diri."Pak Juan, apa Anda sudah menerima surat dari Pengadilan?"Kalimat sambutan itu membuat Juan semakin marah. Tanpa kata permisi apalagi kata maaf, pengacara itu menanyakan hal yang amat menyakiti hati Juan."Sudah. Puas? Mana Dania? Aku harus bicara dengannya, aku harus meluruskan masalah ini sebelum palu haJuan masih memantau CCTV yang terus menunjukkan kegiatan istrinya di dalam kamar. Dania baru selesai makan dan terlihat bolak-balik ke arah jendela, mungkin mencari siapa saja yang berada di luar supaya bisa dia mintai pertolongan. Lelaki itu hanya tersenyum melihat istrinya yang gelisah seperti itu, dia sedang menunggu reaksi dari tubuh Dania yang disebabkan oleh obat yang dia campurkan ke makanan yang Juan sajikan di kamar tanpa sepengetahuan Dania. "Ayolah, cepat bereaksi!" desis Juan dengan mata yang terus menatap layar. Namun, Juan sadar kalau butuh setengah sampai satu jam supaya efek obat itu bekerja dengan sempurna. Dia pun menunggu dengan sabar, duduk sembari minum kopi di ruangan yang sebenarnya berada tepat di sebelah kamar Dania berada. "Maafkan aku, Dania, aku melakukan ini semua karena tidak mau kamu pergi dariku. Jika kamu menginginkan aku bertanggung jawab pada anak yang dikandung Seila, maka aku akan membuatmu hamil supaya aku bisa bertanggung jawab juga padamu. S
"Tapi ...." Belum sempat Dania meneruskan ucapannya, Juan sudah membungkam kembali mulutnya dengan ciuman maut. Cukup lama bibir keduanya saling tertaut dan lelaki itu baru berhenti setelah Dania kehabisan nafas. "Lepas! Aku mohon hentikan ini semua, Juan. Ini semua salah, kamu harus pikirkan masa depan anakmu yang kini dikandung oleh Seila. Dan Seila, dia juga perlu dukungan kamu dalam keadaannya yang seperti itu. Sudahlah, Juan, kita akhiri semuanya. Aku akan mengalah." "Apa kebersamaan kita selama ini tidak membuat kamu bisa mempercayaiku, Dania? Apa sedangkal itu pandanganmu terhadap aku? Apa menurutmu, aku sebejat itu hingga aku mau begitu saja menikahimu saat aku telah meninggalkan benih di wanita lain. Tidak Dania, aku bukan lelaki seperti itu. Dan kamu, kenapa kekeh sekali ingin berpisah denganku? Apa kamu tidak mencintaiku? Kamu sengaja ingin berpisah denganku karena kamu ingin kembali pada Devano, begitu kan?!!" bentak Juan merasa frustasi. Wanita itu menggeleng sembari
"Ya Tuhan, Apa yang harus aku lakukan? Tolong, beri aku petunjukmu." batin Dania. Melihat sang istri yang hanya diam, Juan pun kembali bicara. Dia harus benar-benar bisa mengubah keputusan Dania. "Kalau memang aku melakukannya, aku tidak mungkin berani menikahi kamu dan meninggalkan Seila begitu saja. Kamu tahu aku, Dania. Kamu sangat mengenalku. Jadi, sangat disayangkan persahabatan kita selama ini kalau dalam masalah ini saja kamu meragukanku." Dania termenung setelah mendangar ucapan Juan yang membela dirinya sendiri dan bersikeras bahwa dia bukan orang yang mengh4mili Seila. Inilah yang Dania takutkan, mengapa dia tidak mau menemui Juan karena sudah pasti hatinya akan goyah. Seperti sekarang, Dania amat bimbang. Dia tidak tahu sikap seperti apa yang mesti dia ambil setelah perdebatan ini. Maju salah, mundur pun salah. Dania merasa serba salah. Kalau anak itu adalah anak Juan, tak terbayang betapa besarnya dosa Dania karena telah egois mempertahankan hak orang lain untuk d
"Mari bertemu, ada hal urgent dan tawaran pekerjaan untukmu!" ucap Juan kepada seorang perempuan di seberang sana. "Wow, tumben, seorang Juan sang Casanova mau bertemu dengan wanita malam sepertiku," ucap Sinta, salah satu primadona di kelab malam yang biasa Juan datangi. "Gue ada job. Datang ke alamat yang gue kirim," titah Juan. Keduanya bertemu di sebuah kafe dan tanpa basa-basi Juan menceritakan semua masalah yang kini terjadi dalam rumah tangganya. Meskipun terkesan gokil dan berlebihan, tapi Juan tetap memberitahukan rencananya dan dia meminta Sinta--wanita di hadapannya untuk menyamar menjadi orang gila. "Aku? Bagaimana caranya?!" tanya Sinta. Dia tidak tahu bagaimana caranya berpura-pura menjadi orang gila. Karena biasanya, dia hanya menemani dan malayani lelaki hidung belang. "Mudah saja. Kamu punya dua pilihan untuk dianggap gila, satu kamu harus berteriak-teriak tidak jelas, dan kedua kamu hanya harus diam dengan tatapan mata yang kosong. Kalau kamu melakukan di
Meskipun kesal, tapi Juan dan Devano mencoba mengendalikan emosi dengan cara mengajak dokter muda bernama Handi itu untuk berbicara di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Juan tidak mau banyak bicara, dia meminta Devano untuk menanyakan semua hal kepada dokter tersebut mengenai Seila yang kini sedang mengandung anak dan entah anak siapa. Dan mereka mencurigai kalau dokter inilah yang telah menghamili Seila. "Adikku hamil, kami tidak tahu siapa pelakunya sampai penyelidikan kami sampai pada kamu. Karena kamu datang setiap hari pada Seila, memberinya makanan lezat dan bergizi seolah-olah tahu kalau dia sedang mengandung. Dan ini." Devano menunjukkan foto di mana dokter sedang memberikan alat lukis kepada Seila. "Tahu dari mana kamu adikku suka melukis?" Handi termenung, dia sama sekali tidak tahu kalau Seila sedang hamil di tengah kondisi mentalnya yang sedang terganggu. Ingatannya seketika mundur ke beberapa bulan yang lalu di mana
"Bajing*n! Gue hajar Loe! Bugh bugh bugh Devano pun memukul Handi dengan brutal. Dia marah dan kesal karena ulah lelaki ini, adiknya harus menderita. "Ampun Dok! Ampuni saya! Saya sudah berniat akan bertanggung jawab pada Seila. Hanya saja, Seila hanya akan menjadi istri kedua saya. Karena saya, tidak bisa menceraikan Maya," pinta Handi sambil menutupi wajahnya dari pukulan Devano. "Kenapa kamu nggak bisa ceraikan istrimu?" cecar Devano. Handi menundukkan kepalanya. "Mayalah yang dulu menyekolahkan saya hingga bisa menjadi dokter seperti sekarang ini," akunya. Devano menghela nafas panjang. Dia sendiri bingung menghadapi masalah adiknya ini. Dia jadi ingin tahu, apa yang Handi suka dari adiknya? "Ndi, kenapa Loe bisa suka ama adik gue? Bukankah istri Loe jauh lebih cantik dari adik gue?" Dokter mengingat bagaimana perhatiannya Seila kepada Lisa dan juga dirinya dalam keadaan istrinya yang abai terhadap kewajibannya karena terlalu sibuk bekerja. Dokter merasa mendapatka
Juan, Devano, dan Handi masih berada di kafe itu. Mereka salimg terdiam beberapa saat, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Namun, yang membuat Devano tak mengerti adalah mengapa Handi tidak membawa Seila pergi dari rumah sakit jiwa kalau memang sekarang dia sudah tahu bahwa Seila hamil anaknya. Apakah separah itu penyakit istri Handi hingga lelaki itu begitu takut pada sang istri. Pertanyaan mengenai hal tersebut langsung Devano lontarkan, sementara Handi terlihat mendesah, nafasnya terdengar lelah. Pikirannya beralih kepada sang istri yang juga memiliki kelainan mental, hanya saja masih bisa diatasi asalkan ketenangannya tidak terganggu sama sekali. "Jawab Handi, jangan diam saja! Apa ini hanya alasanmu saja supaya kamu tidak bertanggungjawab pada adikku?" geram Devano kesal. "Kan aku sudah bilang tadi, kalau dia mengidap bipolar. Tapi, bipolar yang diidapnya membuat Maya tidak bisa mengontrol rasa cinta itu. Kadang, aku tidak mengerti akan jalan pikiran dan cintanya yan
"Benarkah dia pelakunya? Bukankah dia sudah memiliki istri?" tanya Dania penasaran. "Memangnya kenapa kalau dia memiliki istri? Jangankan selingkuh, menikah lagi juga ada. Devano misalnya. Kalau iman sudah tidak bisa dijaga, ya begitulah. Keharmonisan rumah tangga pun bisa dipertaruhkan." Juan merenggangkan pelukannya, menatap Dania yang mengulum bibirnya. Dania merasa bersalah karena sempat salah sangka pada Juan bahkan sampai lari dari rumah tanpa mau mendengarkan penjelasan dari suaminya. "Maafkan aku, Juan, aku sudah menunjukkan sikap tak percayaku padamu. Aku benar-benar bimbang dan kecewa saat itu. Trauma akan pernikahanku terdahulu, aku jadi parno begini," ucap Dania. Juan mengangguk, mengelus rambut istrinya yang hitam dan menawan. "Iya, aku maafkan kamu, aku paham kok. Yang penting kedepannya, jangan lagi bersikap seperti itu, ya. Kalau ada apa-apa, kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin. Bicara baik-baik. Jangan main kabur saja." Dania terkekeh pelan, dia sa