"Ingat ini. Meskipun Aku menyentuhmu, Aku tidak akan pernah menganggapmu istriku. Pernikahan ini cuma demi status calon anakku, dan Aku melakukannya bukan karena perasaan, tapi Aku pria dan mempunyai kebutuhan!" ujar Vano saat dia menemukan Vela di dapur dan sedang menyiapkan sarapan. Pria itu masih belum selesai, karena setelah memberi wewenang, dia masih seenaknya menyantap makanan yang Vela siapkan, bahkan sebelum empunya selesai. "Apa? Kau keberatan Aku memakan ini?" tanya Vano, tapi Vela bahkan masih tidak bersuara sama sekali. "Ini rumahku dan apapun yang ada di sini adalah milikku!"Vela tidak menjawab, melainkan mendesah kasar dan sedikit melakukan gelengan kepala karena tak habis pikir dengan pria yang sudah menikahinya."Kamu masak sarapan, Vel?" tanya Herman yang baru datang dan Vela segera mengangguk membenarkannya. "Kenapa repot-repot melakukannya, di sini ada pembantu dan mereka bisa melakukan untuk Kita.""Tidak masalah, Om. Aku terbiasa melakukannya sendiri dan sepert
"Kamu kemana saja dua hari ini, Vel? Kau tahu bukan pekerjaan Kita sedang padat," ujar Melvin terlihat tak bersahabat. Mungkin saja hal itu pengaruh dari apa yang dia ucapkan. "Maaf, Pak. Saya tidak enak badan terus dua hari ini," jelas Vela merasa bersalah. Dia tidak marah dengan ucapan Melvin yang sedikit meninggi, sebab dia tahu betapa repotnya laki-laki itu. Sebagai asisten pribadi CEO perusahaan tempat mereka bekerja, Melvin memang sedang sibuk-sibuknya, apalagi setelah limpahan pekerjaan dari Alsen. Karena Kiandra membutuhkan suaminya, Melvin harus bekerja ekstra. Andai saja dia tidak mengusulkan Vela menjadi sekretarisnya, mungkin saja dia sudah gila saat ini. "Baiklah, Aku mengerti. Jaga kesehatanmu Vela, Kamu tahu sendiri bagaimana Kita diperlukan saat ini, dan tolong jangan seperti yang kemarin-kemarin lagi. Menghilang tanpa kabar," ujar Melvin mengingatkan. Vela hanya mengangguk paham dan tak protes sama sekali.Siangnya mereka melakukan pertemuan bisnis dengan klien bes
"Mas Lingga, Kumohon ... tolong Aku, hiks-hiks! Aku benar-benar tidak tahu harus kemana lagi. Aku tahu kalian benci Aku, dan tidak bisa memaafkan kesalahan fatal yang sudah Aku lakukan, tapi Aku mohon pertemukan Aku dengan putriku!" ujar Belinda sambil berlutut di kaki ayahnya Alsen."Berdirilah Belinda, jangan membuatku malu!" tegas Lingga geram, pasalnya mereka sedang ada di tempat umum. Tepatnya Belinda yang tiba-tiba datang dan langsung berlutut di kakinya dan memohon. "Tidak ada yang melarangmu bertemu anakmu. Termasuk Hendra, Aku tahu adikku juga tidak sudi melakukan hal konyol itu!""Tapi kenyataannya seperti itu, Mas. Hiks-hiks ... di depan kalian mas Hendra memang terlihat biasa saja, tapi saat dibelakang dia yang tidak bisa memaafkan Aku sengaja melakukan hal itu, Mas. Untuk menyiksaku dan membuatku menderita, dengan menjauhkan Aku dengan putriku," jelas Belinda berbohong dengan sengaja untuk menarik simpati Lingga. Sayangnya hal itu sepertinya tidak berhasil. "Jadi Kau pik
"Kiandra Kamu masih marah sama Aku?" tanya Alsen hendak membujuk, tapi malah membawa kotak obatnya untuk mengganti perban di kepalanya. "Marah kenapa? Lagian Aku nggak berhak, Mas. Lakukan saja kegilaanmu bersama sahabatmu, tapi jangan sampai orang tua kita tahu. Mau ditaruh di mana wajah mereka?!" geram Kiandra yang masih salah paham dan kali ini dia bukan hanya marah, tapi juga jijik dengan suaminya. Saat Alsen menyentuhnya, wanita itu dengan gesit langsung menghindar. Membuat Alsen menjadi heran, karena meskipun masih suka jaga jarak, tapi istrinya tidak pernah sampai segitunya. "Kamu kenapa sih, kok bicaranya aneh sekali?""Apanya yang kenapa, memang Kamu mau Aku bagaimana, Mas?!" jawab Kiandra dengan sarkas. Alsen membuang nafasnya kasar. "Yasudahlah, lupain masalah itu. Sekarang bantu Aku mengganti perbannya," ujar Alsen dan kali ini Kiandra tidak bisa menolak. Dengan terpaksa dan menahan berbagai perasaan yang menyelimutinya, Kiandra menerima kotak obat tersebut. Dia mulai
"Kamu makan yang mana dulu, Ki?" tanya Alsen memperhatikan istrinya. Namun, Kiandra malah geleng kepala dan malah mengambil makanannya sendiri, tapi tak hanya itu dia juga mengambil untuk suaminya. "Aku bisa sendiri, dan lagipula harusnya Aku yang melakukan itu untuk Kamu, Mas."Alsen tersenyum senang, entah mengapa hal kecil seperti itu membuatnya merasa aneh. Padahal sebelum mereka bertengkar, Kiandra sering melakukan hal itu dan Alsen biasa saja. "Bagaimana denganku, apa Aku harus mengambil makananku sendiri?" ceplos Adam yang ternyata ikut makan malam bersama mereka di meja makan. Kiandra bingung harus melakukan apa, tapi kemudian Alsen malah dengan sigap mengisi piring makanan Adam dengan sesukanya. "Makan itu dan habiskan!" ujar Alsen dengan kesal lantaran merasa terganggu karena Adam mengganggu keromantisannya dengan Kiandra. "Terima kasih, Dude. Kau memang yang terbaik!" ujar Adam sambil tersenyum pada Alsen. Kiandra yang melihat hal itu kembali berpikir buruk dan jadi ke
"Berikan perawatan terbaik untuk putriku, Aku mau dia pulih dan tidak gila lagi!" ujar Belinda dihadapan Lingga. Saat ini perempuan itu mengunjunginya di perusahaan dan memaksanya menurutinya kembali. Lingga mengepalkan tangannya tak terima, tapi dia juga tak berdaya karena foto itu. Hingga pria itu cuma bisa protes dan mengingatkan saja. "Itu tidak ada dalam perjanjian Kita. Bukankah Kau mau uang dan Aku bahkan sudah memberikannya!""Apanya yang tidak ada, jangan pura-pura lupa Mas Lingga, tapi jika Kau beneran lupa Aku juga tidak perduli. Aku tetap mau anakku Shifa lepas dari gangguan jiwanya dan juga bisa menikah dengan Alsen secepatnya!"Lingga terdiam sesaat untuk berpikir, tapi karena tak tahan dengan kehadiran wanita dihadapannya, pria itu akhirnya mengalah. "Baiklah, Aku bisa melakukannya. Sekarang pergilah, Aku muak dengan perempuan licik sepertimu!""Tidak bisa, sebelum Kau transfer lagi. Aku butuh tujuh ratu juta!" ujar Belinda dengan
Bugh!Adam menutup pintu kulkas yang hampir terbuka dengan cepat. Mengungkung Lana di sana dan menatapnya dengan tajam, sayangnya perempuan yang coba diintimidasi olehnya tidak semudah itu terprovokasi."Masih belum menyerah dan ingin menjebloskan Aku ke penjara?!" tantang Lana sambil menyeringai. Tak terlihat wajah ketakutan sama sekali, walaupun sebenarnya dia tak seberani itu. Lana hanya tak mau lemah dan dipermainkan oleh Adam. "Lakukan saja itu, Tuan Adam. Anda pikir itu hal terburuk yang Saya takuti?!" Lana mendorong Adam mundur dan menciptakan jarak di antara mereka. "Dengar baik-baik hal ini, lebih baik kehilangan kebebasan, daripada kehilangan kehormatan!""Sialan! Apa Kau benar-benar sudah lupa kenangan Kita, apa tidak sedikitpun Kau pernah menggunakan hatimu saat Kita bersama?!" tanya Adam penuh tuntutan. Dia sudah cukup stress karena hasil visum yang dimiliki olehnya berakhir dengan percuma. Lana bukan perempuan yang sama dengan perempuan lima tahun lalu. Dia tidak semud
"Kamu ngomong apa sih, Ki?" tanya Alsen tak habis pikir. Dia mendorong Adam menjauh kemudian menghampiri istrinya dengan cepat. "Bercandanya nggak lucu, udah ah, nggak usah ngaco. Balik kamar sana, biar Aku bawakan buahnya dan juga susu hangat buat Kamu," lanjut Alsen berpikir Kiandra hanya asal ceplos dan tak serius dengan ucapannya. Namun istrinya itu malah geleng kepala dan menepis tangan Alsen yang akan akan menyentuhnya. "Nggak, Aku nggak mau ninggalin Kalian berdua di sini. Kalian udah gila, jeruk makan jeruk. Kalau sampai perselingkuhan Kalian beneran, Aku bukan hanya kecewa, tapi juga malu luar biasa!"Kiandra beralih menatap Adam yang menurutnya laki-laki jadi-jadian yang berusaha menggoda suaminya, dan wanita itupun menatapnya tajam. "Mau ditaruh di mana muka Aku, kalah sama banci kayak dia!""Apa?!" syok Adam tak percaya dengan ucapan istri sahabatnya itu. "Kalau bicara minimal dipikir dulu! Enak saja Kamu bilang begitu, Aku bukan banci! Asal Kamu tahu saja Aku bahkan suda
"Kiandra!!" panggil Alsen terlihat lega dan berhambur memeluk istrinya. "Kamu dari mana aja, Ki? Kamu membuatku khawatir, Kamu baik-baik saja ...."Kiandra langsung menganggukkan kepalanya, membiarkan Alsen memeluknya erat meski dia merasa sesak. Namun, Kiandra akui ini salahnya karena pergi tanpa memberitahu dan melewatkan panggilan telepon dari suaminya. "Maaf, Aku buru-buru dan lupa mengabari Kamu Mas. Mmm, tapi Aku baik-baik aja, kok," jawab Kiandra meyakinkan. Alsen segera melerai pelukannya, memberi jarak kemudian memperhatikan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan hal itu membuat Kiandra sedikit jengah. "Beneran, Aku baik-baik aja, Mas. Serius!" ujar Kiandra kembali meyakinkan suaminya. Alsen tidak langsung menjawab, tapi malah membawanya ke sofa. Pikirnya ibu hamil tidak boleh lama-lama berdiri. "Baiklah, Aku percaya Kamu baik-baik saja, tapi lain kali kalau mau pergi jangan seperti ini lagi. Kamu harus memberitahuku. Kemana dan sama siapa saja. Bukan maksud
"Bisakah Kita bertemu?" ujar Vela di telepon. Beberapa waktu kemudiaan dan mereka bertemu, wanita itu langsung berhambur memeluk sahabatnya Kiandra. Wajahnya sayu seperti tengah menyimpan beban berat dan Kiandra segera menyadarinya meski wanita itu belum bicara. "Ssstt ... tidak apa-apa, Vel. Sekarang Aku di sini," ujar Kiandra seraya membalas pelukan sahabatnya itu. "Kamu kenapa?" bukan Kiandra yang bertanya, tapi Vela. Ah, iya. Penampilan Kiandra memang sedikit kacau. Dia baru bangun tidur saat mendapat telepon dari sahabatnya, dan saat menemui Vela sekarang diapun lupa pamit pada suaminya. "Aku kenapa?" Kiandra memperhatikan dirinya sendiri. Menggunakan camera ponsel untuk melihat wajahnya. "Ah, ini semua gara-gara mas Alsen suami Aku. Sudahlah, Kamu abaikan saja. Sekarang Kamu cerita, dan jangan berbohong!"Saat ditelepon, Vela memang sudah menunjukkan gelagat aneh dan menurut Kiandra itu tidak biasa. Dia tahu sahabatnya pasti butuh dirinya untuk masalahnya. "Aku tahu Kamu s
Blam!! Adam melonggarkan ikatan dasinya dan menatap geram pada Syera. "Kau tidak pantas melakukan itu pada Lana dan siapa yang membiarkanmu kemari?!"Adam menatap sekitarnya dan menemukan semua orang termasuk pembantu yang ada di sana, menundukkan kepalanya. Mereka takut dan tak satupun berani menjawab. Namun, disaat yang sama Syera mulai bangkit dan membalas Adam dengan tidak terima. "Kau yang apa-apaan, Mas? Apa yang membuatmu mendorongku, apakah wanita ini?!" sarkas Syera dengan marah. "Dan apa maksudmu berkata istri? Dia cuma pembantu yang beruntung melahirkan anakmu. Sadarlah!!"Plak! "Tutup mulutmu!!" Adam tidak hanya menampar Syera, tapi menegaskan. "Dia memang istriku, dan jika ada yang harus bersyukur di sini, maka itu adalah Kau. Jal*ng bisa menyandang status istriku, tapi jangan senang Syera, karena secepatnya Kita akan bercerai!"Syera yang masih memegang pipinya menatap Adam dengan tak percaya. "Apa maksudmu, Kau akan menceraikan Aku demi wanita ini?!""Ya, dan Aku sud
"Sial. Di mana Melvin sekarang, bagaimana bisa menghilang dengan tiba-tiba?!" kesal Alsen yang masih saja belum bisa menghubungi asistennya itu. Kiandra menghela nafasnya dengan kasar, sembari melepas gandengannya dari suaminya. Wanita itu juga kesal, dan terlihat menghampiri sofa dan duduk di sana. Saat ini keduanya memang sudah sampai di kantor, dan seperti yang Alsen keluhkan Melvin sama sekali tak berada di sana. "Berhenti berkata kasar, Mas. Udahlah hal kecil seperti itu saja dibawa emosi. Dasar tempramen!" cibir Kiandra. Alsen langsung menarik nafasnya kasar. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, Sayang. Aku cuma nggak suka orang yang tidak kompeten dan seenaknya.""Tapi Kamu juga gitu!" sarkas Kiandra mengingatkan. "Emang dasar Kamu doyan marah dan mengumpat. Nggak bisa sabar atau cari tahu. Gimana kalo Melvin sedang dalam masalah, apa Kamu tetap marah?"Alsen menghampiri istrinya dan mendekat. Wanita itu mempengaruhi emosinya dan juga seperti obat untuk meredakan perasaannya yang
"Kamu akan pergi sekarang?" tanya Kiandra sedikit kesal.Padahal sudah menjadi rutinitas bagi Alsen pergi brkerja hampir setiap pagi. Namun, hari ini Kiandra mencegahnya, karena merasa ingin bersama dengan suaminya dan tidak rela berpisah."Ya, Aku memang harus ke kantor hari ini, Sayang. Walaupun beberapa pekerjaan sudah Aku berikan pada Melvin, tapi Aku juga tidak bisa lepas tangan. Ini mata pencarianku, jika ada masalah, bagaimana nanti Aku akan menafkahimu dan juga memberi makan anak Kita?" jelas Alsen sambil mengusap puncak kepala istrinya."Tapi Aku tidak miskin, Mas. Aku juga bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Lagian tidak bekerja hari ini tidak akan membuatmu bangkrut," jawab Kiandra sambil menatap manja pada suamianya.Tidak perlu dijelaskan, Alsen segera mengerti keinginan istrinya dan diapun senang dengan hal itu. Mencium bib*r Kiandra kemudian mengambil ponselnya."Sebentar, biar Aku hubungi Melvin dulu," ujarnya yang langsung diangguki oleh Kiandra.Namun, Alsen seger
Pulang dari rumah Davin-Lia, Kiandra langsung tergolek tidur dan pulas. Membuat Alsen berdecak kesal, karena tampaknya dia masih menginginkan istrinya, namun bagaimana lagi sebagai seorang ayah Alsen tidak bisa menggunakan wewenangnya untuk memaksa. Cup! "Tidur yang nyenyak, Sayang. Kamu pasti lelah ya ... tidak masalah, Aku bisa menunggu, tapi besok tidak lagi!" ujar Alsen yang tidak bisa berbohong, sebab dia sedikit jengkel. Menarik selimut kemudian berbaring di sisi istrinya. Sementara Kiandra ternyata belum pulas, begitu mendengar dengkuran halus suaminya, dia berani membuka mata dan menatap suaminya dengan kesal. "Dasar maniak, tiga kali seminggu paling tidak bisa. Ck, dia pikir enak? Nggak tahu aja, Aku harus pegal linu. Diminta pijat, eh malah keterusan. Nyebelin!!" gerutu Kiandra kesal. Namun, tiba-tiba saja itu berubah saat dia semakin intens menatap suaminya. "Tapi mas Alsen ganteng banget, hmm ... hidungnya mancung kayak perosotan anak TK. Bahu lebar dada bidang. Punya
Hendra tersenyum lega mendengar berita Belinda ditangkap karena kasus pencucian uang, meskipun jauh di lubuk hatinya dia masih tak tega. Mengingat perempuan itu sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya. "Dad, Aku--" "Ada apalagi Vela, apa masih tidak cukup penderitaan yang dialami putraku demi dirimu?!" sarkas Hendra begitu dia tersadar dari lamunannya. "Kepalanya harus dibalut, dan mendapat beberapa jahitan, meskipun tidak parah dan tidak sampai geger otak. Apa maumu lagi, hahh ...."Hendra tidak bermaksud melakukan itu, tapi pria itu memang sedikit tertekan karena kondisi putra satu-satunya itu. Karena Belinda, sekarang dia juga tak tahu di mana Shifa berada. Hendra segan jika harus bertanya pada Lingga, tapi di sisi lain meski bisa mencari tahu sendiri, Hendra juga tidak mau melakukannya. Dia merasa bodoh karena terlalu banyak menggunakan hatinya, padahal Shifa bukan siapa-siapa, dan bahkan adalah hinaan paling besar dalam hidupnya. "Aku cukup sabar beberapa hari ini, membiarkan
"Maaf, Ki ... Kamu sudah tidak marah sama Aku?" ujar Alsen mengalah. Tidak ada gunanya mendebat wanita apalagi dia hamil. Alsen sedikit sadar dan menekan egonya, sementara Kiandra malah membuang nafasnya kasar. "Maaf aja terus? Entah sampai kapan berubahnya, udah tua lagi!" dumel Kiandra kesal. Namun akhirnya wanita itupun mengangguk setuju, Alsen tersenyum melihatnya. Mengikis jarak kemudian memeluknya, sembari menghirup aroma tubuh bercampur parfum yang membuat Alsen candu. "Aku suka dengan kejutannya, meskipun sempat takut bagian pintunya tadi. Tidak masalah, Aku sebenarnya suka apapun tentang Kamu," ungkap Kiandra bicara manis. Semudah itu moodnya berubah. Yah, memang begitulah wanita. Asal pria berani mengalah, maka hatinya wanita mudah saja luluh. 'Tapi kenyataannya tidak suka hal yang berulang dan mudah bosan. Pembual.' Harusnya hal itu yang Alsen katakan, namun mana mungkin dia berani. Pria itu tak mau istrinya mengomel dan mereka kembali bertengkar. "Aku tahu itu," jaw
Melvin terlihat buruk dengan mata yang memerah menahan air mata. Meski tidak menangis, laki-laki terlihat payah dengan penampilannya yang sudah acak. Tak seperti biasanya, setelan formal dengan jas yang membuatnya terlihat berwibawa, justru kini membuatnya seperti banjing*n. "Maaf, Tuan. Anda sudah mabuk," ujar bartender yang sejak tadi memberinya minuman beralkohol, kali ini menentukan sikap. "Tidak, berikan padaku lagi!!" teriak Melvin membentak. Dia memang sudah biasa keluar masuk klub malam, tapi biasanya tinggal di ruang privat untuk membahas bisnis dengan kliennya, sekaligus minum. Akan tetapi, meski begitu Melvin hanya meneguk wine dengan kadar alkohol paling rendah, walaupun sesekali mencoba yang lebih tinggi. Namun, sekarang tidak seperti itu. Dia ke klub bukan lagi untuk menemui kliennya, melainkan untuk menenangkan diri, dan bahkan tidak berada di ruang privat. Melvin bergabung di ruangan penuh orang dan penuh kebisingan dengan lampu yang berkedap-kedip. Melvin di sana k