Setelah selesai menyiapkan sarapan yang diperintah Shifa, Lana sekalian menyiapkan untuk Kiandra. Bagaimanapun juga Dia wanita paling tidak bisa melihat Kiandra di posisi tersebut terlebih lagi nyonyanya itu tengah hamil.
"Nyonya apa Saya bisa masuk?" ujar Lana dengan sopan sekaligus mengetuk pintu menggunakan tangannya yang kosong, dan tidak memegang nampan makanan.Tok-tok!"Nyonya Kiandra!" panggil Lana menguatkan suaranya, Dia pikir pemilik kamar tersebut mungkin saja melamun sampai tak mendengarkan panggilannya. Sampai mengulang beberapa dan berhasil. Pintunya dibuka oleh Kiandra.Namun, di saat yang sama Shifa tiba-tiba datang dan menghampirinya. "Di mana sarapan untuk kak Alsen?""Saya menaruhnya di meja makan," jawab Lana tanpa embel-embel 'nyonya,' sebab Lana pikir itu tak perlu. Shifa bukan majikannya dan gadis itu juga buruk. Tak pantas diperlakukan baik atau tak perlu menghormatinya."Apa katamu? ulangi sekali laAlsen kesal setelah mendengar penjelasan Shifa. Dia tidak bodoh, dan mudah percaya. Pria itu kecewa lantaran gadis yang masih dianggap adiknya itu menyalahkan seseorang untuk kesalahannya. "Aku tidak marah jika ini masakanmu, Shifa. Aku mengerti dan bahkan menghargainya. Kamu sudah berusaha, meski hasilnya masih tetap keasinan, tapi jangan menyalahkan orang lain atas kesalahanmu. Asisten rumah tanggaku selama ini belum pernah melakukan kesalahan dalam memasak!" tegas Alsen sembari menasehati Shifa. "Maaf, Kakak. Shifa mengaku salah," jawab gadis itu sembari menundukkan kepalanya. Hal itu jelas saja membuat Alsen tidak bisa marah kepadanya. "Tidak masalah. Lain kali jangan diulang lagi. Pulanglah, semalam Kamu tidak banyak beristirahat karena mabuk," lanjut Alsen menyarankan. Shifa langsung menganggukkan kepalanya lantaran tak mau dipandang buruk Alsen. Seperginya Shifa, Alsen kembali mengingat istrinya itu dan mendesah kasar. Jujur Dia bertamb
Shifa menatap Melvin yang berdiri tepat dihadapannya. Terlihat menenteng sesuatu yang membuat Shifa tertarik pada bawaannya. Kotak makanan yang mempunyai pegangan sehingga memungkinkan untuk dijinjing, tapi bagian menariknya logo dari kotak makanan tersebut berasal dari restoran terkenal dan ternama. Shifa tentu saja mengenalnya. "Tuan Alsen meminta supaya Nyonya Kiandra memakan semua ini," beritahu Melvin, segera setelahnya membuat Shifa kesal. Lantaran tak suka mendengar Alsen perhatian pada Kiandra. "Baik, berikan padaku. Aku yang akan menyerahkannya pada Kakak Ipar," jawab Shifa dengan angkuh. Melvin yang tidak buta ataupun tuli, tentu saja tahu bagaimana kelakuan gadis dihadapannya. "Maaf Shifa, Tuan Alsen mau Saya sendiri yang memastikan kalau semua ini sampai ditangan Nyonya!"Shifa mengepalkan tangan. "Jadi Kau pikir jika menyerahkan semua itu padaku, maka tidak akan sampai pada Kiandra?!" sarkas Shifa dengan sengit. Seharusnya bukan ha
"Tunggu di sini, Aku akan membuahkan susu untuk meredakan rasa pedasnya!" ungkap Alsen memberitahu setelah mengantar Shifa ke kamar tamu yang sekarang ditempati gadis itu. Namun baru saja Dia mencapai pintu, Lana terlihat terburu-buru menghampirinya. Sontak membuat Alsen heran dan mengerutkan dahinya. "Tuan, Nyonya tidak sadarkan diri di dapur!""Apa?!" kaget Alsen langsung terlihat panik. Tanpa mengulang kalimatnya lagi, Alsen berlari ke dapur, sementara Shifa yang di kamar dan menyaksikan itu segera merasa kesal. 'Sial. Jal*ng itu pandai juga berakting. Kenapa tidak mati saja?!' geram Shifa membatin. Sampai di dapur, Alsen langsung menghampiri Kiandra, menepuk beberapa kali pipinya sebelum kemudian menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. Lana tidak ikut, sementara Shifa memutuskan untuk menyusul, meskipun sebenarnya Dia lebih suka langsung ikut. Namun keadaannya yang masih kepedasan membuat Alsen tak membiarkannya.
Kiandra bersikeras untuk pulang saat itu, memaksa Alsen bicara dengan dokter sehingga mendapatkan izin. Wanita itu hampir tidak bicara apapun, begitu juga suaminya yang sama diamnya. Keheningan terjadi untuk mencegah pertengkaran diantara mereka. Barulah bicara jika ada hal penting yang perlu di sampaikan. "Tidurlah dan jangan berulah lagi!" Alsen menarik selimut untuk Kiandra. Pria itu lanjut keluar tak lupa menutup pintu. Kiandra tak tersentuh dengan perhatiannya itu, rasanya sejak di rumah sakit dan bahkan sampai sekarang mereka sudah sampai di rumah. Kiandra hanya terbayang perasaan sakitnya akan perbuatan nekat suaminya di rumah sakit. Kelopak matanya menggenang air mata dan membuatnya berkaca-kaca. "Kenapa Kamu setega ini Mas?" lirih Kiandra pilu teringat Alsen hampir saja membuatnya kehilangan kandungannya. Perasaannya jauh lebih buruk dari pada saat diusir dan dipertanyakan soal kesetiaannya. Kiandra lebih hancur saat merasakan ancaman aborsi ha
"Apa yang sudah Kamu lakukan Kiandra? Kenapa tidak makan makanan yang Aku siapkan dan malah pesan di luar?" tanya Alsen menuntut begitu melihat bungkus makanan cepat saji di kamar yang belum sempat dibereskan. Pria itu menghela nafas lalu memijat ringan pangkal hidungnya lantaran merasa tiba-tiba pusing mendapati sikap istrinya. "Aku hanya tidak mau memakan apapun dari uangmu, Aku ingat Kau melarangku beberapa hari lalu," jelas Kiandra sambil membuang muka. Alsen kembali menghela nafas, Dia ingat ucapannya yang melarang Kiandra itu, namun semata-mata itu hanyalah perhitungan supaya istrinya berubah, bukannya larangan untuk selamanya. Sekarang hal itu malah menjadi masalah dan Alsen sangat keberatan dengan yang Kiandra lakukan. "Aku masih suamimu Kiandra, Aku masih berkewajiban memberimu nafkah, lagi pula kejadian hari itu hanya untuk memperingatkanmu hari itu saja, bukan untuk selamanya!" Kiandra tersenyum lirih mendengar ucapan suaminya. Lalu
"Periksa lebih lanjut soal laki-laki itu, awasi Dia dan jangan lewatkan apapun. Aku tak mau bajing*n itu mendekati istriku!" perintah Alsen dengan serius. "Baik Tuan Alsen," jawab Melvin dengan patuh. Setelahnya, Alsen pun berbalik dan segera pergi dari sana. Dia sudah mengetahui kebenarannya sekarang, sadar kalau selama ini dirinya sendiri sudah salah paham pada istrinya sendiri Kiandra. Namun, meskipun begitu, Alsen tetap saja tidak menyalahkan dirinya sendiri, tapi juga ikut menyalahkan orang atas kesalahannya itu. "Sial! Ini semua gara-gara laki-laki brengs*k itu. Dia sudah merusak rumah tanggaku!" geram Alsen sambil mengepalkan tangan, mendengus kasar, tapi di saat yang sama Alsen juga merasa tak sabar untuk menemui istrinya.Alsen kembali ke rumah, mengebut dengan kecepatan tinggi, dan begitu sampai Dia melangkah dengan langkah lebarnya, supaya cepat sampai di kamar. Nafasnya segera tak teratur, sedikit terengah-engah karenanya, namun hal
Alsen membuka pintu dan menemukan Kiandra menangis. Istrinya itu membulatkan matanya, mungkin terkejut dengan kehadirannya, tapi kemudian menatapnya tajam. Meski begitu Alsen tak memperdulikan tatapannya, seolah tak terganggu, Dia terus melanjutkan langkahnya masuk. "Ngapain lagi ke sini?!" bentak Kiandra marah. Alsen tak langsung menjawabnya, tapi malah menaruh nampan makannya terlebih dahulu, barulah kemudiaan menghampirinya. "Kamu belum makan malam ternyata, hm ... ini makananmu. Lana yang siapkan tadi, Aku hanya membantu membawanya.""Tidak usah. Bawa saja kembali ke dapur sana. Aku tidak lapar dan muak dengan makanan itu!" jelas Kiandra dengan ketus. Membuat Alsen mengerutkan dahinya bingung. "Tapi kenapa, bukankah makanan ini Kamu yang Pesan Kiandra? Ini juga ada rujaknya, bukankah anak Kita juga lagi kepengen itu?!" tanya Alsen serius. Kiandra memutar bola matanya jengah, lalu mengusap lelehan air matanya yang turun membasahi pipi. Sebenarnya Alsen sudah ingin melakukan itu,
"Aku ingin makan siang buatan Kamu, anterin ke kantor. Sudah lama Aku tidak makan dan merindukannya," ujar Alsen dalam telepon pada Kiandra. "Aku hina dan memuakkan, apakah Kamu tidak jijik dengan masakanku, tidak keberatan memakan makanan yang dibuat oleh manusia sampah?" jawab Kiandra ketus dan sengaja merendahkan dirinya untuk memancing Alsen. "Ki ... bisakah Kita tidak membahas itu lagi? Aku sudah tahu segalanya, dan Kamu cuma istriku bukan orang seperti yang Kamu katakan," ujar Alsen tak mau bertengkar. Kiandra mendengus kasar, lalu terkekeh lantaran tak percaya ucapan suaminya. "Kamu manis setelah puas menghinaku, puas merendahkan, mempertanyakan kehormatanku, atau bahkan mengatakan janin dalam kandunganku anak haram?!" Kiandra berkata dengan nada datar, walau perasaannya berbanding terbalik. Sebenarnya Dia juga tak mengerti dengan apa yang harus dilakukannya, Dia benci Alsen, Benci hidup dalam ketidakberdayaan dan juga ancaman. Namun di