"Bangun, Mas ... cepatlah! Kamu bisa telat kalau tidur terus." Kiandra mengulurkan tangan mengguncang sesuatu di sebelahnya dengan keadaan setengah sadar. Wanita itu menguap sambil beranjak dan melakukan peregangan.
"Mas, ayo bangun!!" ujarnya dengan suara yang lebih keras meski suaranya masih serak khas bangun tidur. Kiandra terus melakukannya, beberapa kali memanggil sosok yang ingin Dia bangunkan, sampai kemudian Dia menoleh dan membuang nafasnya kasar.Tidak ada Alsen di atas tempat tidur dan yang sempat diguncang olehnya dalam keadaan setengah sadar hanyalah guling yang masih terletak di sana."Hahhh ... bagaimana Aku lupa kalau Dia sudah mengusirku. Apakah ini karena kami videocall sampai Aku ketiduran?" Kiandra memukul-mukul jidatnya lantaran kesal dengan dirinya sendiri yang masih terbiasa dengan kehadiran Alsen. Padahal umur pernikahan mereka terhitung masih seumur jagung. Mungkinkah semua ini akibat terlalu mudah beradaptasi dengan orang yang dicintai.Kiandra mengusap wajahnya kasar, lantas berlalu memasuki kamar mandi dan menggelengkan kepala. "Hanya Aku yang mencintai, kenapa sulit memberi pengertian pada hati sendiri. Bodoh, ... Aku bahkan masih sangat berharap kami bisa kembali ...."Kiandra memutar kran wastafel kemudian menampung airnya di telapak tangan dan menyapukannya kepermukaan wajahnya. Beberapa kali hal itu terus diulang sampai merasa dirinya bisa lebih baik dan lebih sadar."Cukup Kiandra, Kamu harus bisa mandiri. Ayo lupakan Alsen, anggaplah kehadirannya hanya angin panas yang tidak perlu dipusingkan!" motivasi Kiandra pada dirinya sendiri.Merasa cuci muka tidak cukup, Kiandra menlanjutkan mandi pagi sekalian. Setelahnya Dia bersiap dan pergi ke kafe untuk bekerja. Ah, ya, Dia sudah libur hampir satu minggu, dan ini semua karena masalah pribadinya dengan sang suami.Sampai siang hari, Kiandra hanya berdiam diri di ruang pribadinya. Duduk tanpa melakukan apapun di sana. Padahal adalah bos dan pemilik kafenya, sudah sewajarnya Dia mempunyai banyak hal yang harus diselesaikan apalagi setelah meliburkan diri beberapa hari. Namun, Kiandra masih belum mood melakukannya. Paling buruk teleponnya tidak di isi dan baterainya juga sudah lowbet."Bu, seseorang mencari Anda di depan," ujar pegawai kafenya, setelah sebelumnya izin masuk dan Kiandra mempersilahkannya.Keningnya mengerut bingung dan bertanya-tanya dalam pikirannya. Belum pernah ada yang mencarinya sampai mendatangi ke tempat kerja selama ini. "Siapa Dia, dan kenapa tidak menghubungi Aku sebelum kemari?!"Pegawai tokonya segera melirik telepon bosnya yang terlihat mati dan terletak di atas meja. Terhubung dengan charger, tapi sayang charger-nya tidak terhubung dengan listrik atau dalam keadaan tidak dicolokkan. Kiandra mengikuti arah tatapan pegawainya lalu menghela nafasnya kasar."Baiklah Kamu bisa keluar dan katakan pada orang itu untuk masuk saja kemari," jelas Kiandra malas. Dia bukan kesal pada pegawainya karena terganggu dengan kehadirannya, namun Dia benar-benar dalam keadaan tidak mau diganggu siapapun untuk sekarang ini."Aku sudah menghubungimu beberapa kali, Aku ingin bertemu dan menyelesaikan masalah Kita Kiandra. Kenapa Kamu persis seperti orang yang melarikan diri?!" tanya sosok lelaki dengan porsi tubuh tinggi tegap, mengenakan jas yang membalut seragam formal perkantoran.Dia CEO muda, pewaris tunggal perusahaan keluarganya yang bergerak di bidang properti khusus untuk bangunan. Sedikit kumis tipis membuatnya terlihat manis dan bahu lebarnya yang menjadi daya pikat tersendirinya untuk mendapatkan perhatian lawan jenisnya. Sayangnya Kiandra yang pernah mendapatkannya justru malah meninggalkannya."Kita sudah berakhir, Van. Bisakah Kita bersikap seperti orang asing?" Kiandra membuang nafasnya kasar.Sepertinya kehadiran Vano di sana bukan karena akibat ponselnya tidak mempunyai daya baterai, tapi sesungguhnya Kiandra sudah memblokir nomor teleponnya. Hal itu memang terdengar kejam, tapi bukankah bersikap kejam itu lebih baik ketimbang memberikan harapan palsu dan penghianatan."Apa Aku pernah setuju Kita mengakhiri hubungan ini?!" sarka Vano tegas."Aku penghianat Vano, Aku sudah meninggalkanmu lalu menikah dengan orang lain bahkan sedang mengandung anaknya, Aku seperti melemparkan kotoran secara tidak langsung padamu! Apakah Kamu sadar hal itu, Aku tidak pantas untuk laki-laki sebaik dirimu dan Kamu berhak mendapatkan yang terbaik!!" jawab Kiandra tak mau kalah dan menaikkan nada suaranya."Aku tidak perduli!" bentak Vano keras, membuat kedua bola mata Kiandra berkaca-kaca.Tidak, Dia tak sedih karena bentakan Vano. Kiandra sadar kalau Dia pantas dibentak atau bahkan dibenci oleh mantan kekasihnya itu terlepas dari apapun alasannya berhianat. Entah itu terpaksa, dipaksa atau tak punya pilihan, Dia pantas mendapatkannya."Aku sudah tahu semuanya, tante Linda memaksamu menikah dengan pria itu untuk menutupi rasa bersalahnya terhadap keluarga pria itu. Kamu tidak salah, Ki atau bahkan keluargamu. Pria itu saja yang terlalu terobsesi dan gila mau menikahi Lia kakakmu, wanita bersuami dan bahkan sedang mengandung anak suaminya. Kalau tante Linda akhirnya sadar dan berhenti mendukungnya untuk bersama Lia kakakmu, maka itu bukan kesalahan, tapi sudah seharusnya," ungkap Vano yang kini ikut berlinang air mata. Akhirnya laki-laki tahu alasan dibalik pernikahan pacarannya, itulah kenapa Dia kembali bersemangat untuk mengejarnya dan bahkan menemuinya sampai ke kafe tempat kerjanya."Persiapan pernikahan dan bahkan undangan yang tersebar, seharusnya Kamu tidak membayar mahal untuk semua itu Kiandra. Dari awal bajing*n itu yang salah, kenapa Kamu yang menanggungnya?!"Kiandra segera menggelengkan kepalanya, air matanya segera menetes karena tak terbendung lagi. Andai saja Vano tahu, Kiandra tak pernah terpaksa, Dia bahkan merasa bersyukur, dan memanfaatkan keadaan yang ada. Nyantanya Dia sangat egois dan terlalu mencintai Alsen sampai melupakan dunianya sendiri."Vano ... terlepas apapun yang sudah terjadi. Hal itu sudah terjadi dan itulah kenyataannya. Tidak ada yang perlu disesali, dan Kamu berhak membenciku atau bahkan menghinaku, tapi Kita tidak bisa bersama lagi!" jelas Kiandra serius.'Aku sudah sadar Vano, hatiku cuma untuk Alsen dari dulu dan bahkan saat Aku belajar mencintaimu atau bahkan saat Dia membuangku. Hatiku terlalu keras untuk diberi pengertian Vano, jika tidak bisa memiliki orang Aku cintai, maka bukan berarti Aku berhak mendapatkan orang lain untuk menjadikannya pelampiasan. Cukup apa yang sudah Aku lakukan, Aku tak mau menyakitimu lagi Van,' batin Kiandra melanjutkan. Dia tak sanggup jika mengutarakannya langsung."Kiandra, Aku tidak perduli soal kehamilanmu. Jika itu yang Kamu takutkan Aku bisa menerima anak pria itu sebagai anakku sendiri. Kembalilah, Kiandra ... Aku sangat mencintaimu!" ujar Vano penuh pengharapan.Di saat tangannya mencoba meraih tangan Kiandra, wanita itu segera menepisnya, lalu mundur dan menjaga jarak. Setiap manusia itu berharga dan berhak atas kebahagiaannya. Mungkin selama menjalin kasih dengan Vano, Kiandra sudah khilaf menjadikannya pelarian, tapi sekarang Dia takkan melakukannya. Dia sadar, Vano bukan barang atau mainan, di mana saat butuh Dia mendatanginya, lalu saat bosan Dia membuangnya. Laki-laki di hadapannya berharga, meskipun dia bukan siapa-siapa di hati Kiandra."Vano tolong jangan seperti ini terus. Aku tak pantas untukmu. Pergilah dan cari perempuan yang jauh lebih baik dari Aku!" jelas Kiandra membuang muka. Dia bukan kesal, tapi tak sanggup menatap laki-laki yang sesungguhnya benar-benar dikhianatinya dengan egois."Baik!" ujar Vano akhirnya menyerah. Lama-lama Dia tak sanggup juga menatap Kiandra yang terlihat menangis. "Mungkin Kamu butuh waktu, tapi ingatlah Kiandra. Aku akan kembali, karena Aku sangat mencintaimu!"*****BersambungKiandra pindah ke sofa yang ada di ruang kerjanya. Untuk menikmati makan siang, meski sebenarnya Dia masih tak berselera. Namun, Kiandra tak boleh egois, mengingat ada kehidupan lain di dalam dirinya. Cklekk!! Seseorang menyelinap masuk tanpa mengetuk dan tanpa izin. Kiandra pikir itu Vano yang beberapa menit lalu pergi, lalu kembali karena merasa meninggalkan sesuatu. "Ada apalagi Van?" tanya Kiandra menghentikan suapan pertamanya untuk hari ini, tapi kedua matanya langsung melotot kaget ketika seseorang yang datang ke sana di luar dugaan. "Cih, siapa itu yang Kau panggil Van? Apa Dia laki-laki yang selama ini selingkuhanmu atau Dia ayah dari anak haram yang di dalam kandunganmu?!" Alsen menatap Kiandra tajam dan terlihat marah. "Darimana Mas tahu Aku di sini dan kenapa kemari?" balas Kiandra sambil menutupi keterkejutannya."Darimana dan kenapa?" ulang Alsen mengucapkan kembali kalimat Kiandra secara singkat. "Mencoba meng
"Kakak, Aku takut ... temani Aku di sini!" ujar Shifa memperlihatkan ketidakberdayaannya. Baru saja Dia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya mengalami luka dibeberapa bagian tubuhnya. Tidak begitu parah, sebab tak mengalami cedera serius atau luka dalam sama sekali. Shifa menghubungi Alsen beberapa saat lalu. Meminta bantuan dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sebenarnya Alsen sedikit pusing dikarenakan minum semalam, tapi pria itu tak tega pada sepupunya yang mengalami nasib buruk. "Kau akan baik-baik saja, Shifa. Jangan khawatir Aku di sini. Beristirahatlah," ujar Alsen mengambil tempat duduk tepat di sebelah ranjang pasien yang Shifa gunakan. "Kakak jangan beritahu orang tuaku, Aku nggak mau mereka mencemaskanku," ujar Shifa memberitahu. Alsen hanya berdehem untuk menjawabnya dan itu membuat Shifa sedikit kesal. "Terimakasih sudah mencemaskanku dan membawaku ke sini tepat waktu. Seandainya Kakak tidak ada, entah bagaimana nasibku,
"Lana siapkan makan siangku dengan segera," ujar Alsen saat sedang membantu Kiandra meminum obat. Di saat yang sama Lana sedang ke sana untuk mengantarkan beberapa buah yang diminta oleh Alsen. "Baik Tuan," jawab Lana sebelum kemudian keluar dari sana. Kiandra menatap Alsen dengan tak percaya. Ternyata pria itu belum makan, tapi sudah terlebih dahulu memastikannya makan. Wanita itu sedikit tersentuh, tapi kemudian menggelengkan kepala. Dia sudah sangat kapok dengan perasaannya pada Alsen. "Kau tidak mau buahnya?" tanya Alsen yang berpikir gelengan kepala Kiandra adalah penolakan terhadap buah yang sudah di taruh di atas nakas. Kiandra kembali menggelengkan kepala. Sebenarnya egonya untuk menolak masih ada, namun keadaannya yang hamil dan baru saja habis makan membuatnya kembali merasa mual. Buah adalah satu-satunya yang bisa mengurangi mualnya itu untuk sekarang. Jadi Kiandra mana mungkin bisa menolaknya. "Tidak, Aku mau makan buahnya, tapi bisakah Aku mendapatkan mangga muda?" ta
"Arrrggghhh ... huft-huft!" ringis Shifa mendesah pedas. Gadis itu terkejut mendapatkan rasa donat yang menggiurkan, tak sesuai ekspektasinya. "Kenapa donatnya pedas, Kak?" tanyanya melanjutkan setelah selesai meneguk minum dengan cepat. Pedasnya tak langsung hilang, tapi sudah sedikit berkurang. "Jangan aneh-aneh, mana mungkin rasanya pedas," ujar Alsen tak langsung percaya. "Kakak bisa rasain sendiri jika tidak percaya," kata Shifa memberitahu. 'Brengs*k wanita jalang itu, berani sekali melakukan ini. Ch, Dia pasti kesal karena Kak Alsen memperhatikan Aku! Hm, tapi Aku tidak akan diam saja, liat saja nanti pembalasanku!' tambah Shifa membatin. "Ssstt ... ternyata benar. Sepertinya Kiandra salah menambahkan bahan," ujar Alsen menebak, dan Shifa tak suka itu, sebab merasa Alsen seperti tengah membela istrinya. "Mana mungkin Kak. Ini bubuk cabe loh, bukan garam dan gula yang mirip, sehingga bisa saja salah menaruhnya," ujar Shifa menghasut Alse
"Apa?!" Shifa terlihat kaget dan tak percaya. Gadis itu saat ini sedang melakukan komunikasi lewat telepon dengan ibunya. "Nggak mungkin, Shifa anak Daddy, Mom. Shifa bukan anak haram!""Tapi itulah faktanya. Laki-laki yang Kau panggil Daddy selama ini, bukan ayah kandungmu. Aku menipunya supaya bisa hidup enak sampai sekarang, tapi karena rahasia ini sudah terbongkar maka giliranmu yang harus melakukannya!!" tegas sang ibu begitu egois menekankan fakta sekaligus menuntut Shifa. "Aku nggak mau tahu, Kau harus membalas budiku. Lakukan sesuatu supaya hidup Kita tidak melarat Shifa. Minggu depan Aku akan ke sana untuk tinggal denganmu, setelah mengurus perceraianku!" jelas ibunya melanjutkan sebelum kemudian menutup teleponnya begitu saja. Shifa yang stress lantaran tak terima dan juga tak percaya. Segera histeris dan merusak barang yang ada. Dia pergi ke klub malam setelahnya, lalu minum di bar tanpa perduli apapun lagi. Beberapa waktu kemudian,
Setelah selesai menyiapkan sarapan yang diperintah Shifa, Lana sekalian menyiapkan untuk Kiandra. Bagaimanapun juga Dia wanita paling tidak bisa melihat Kiandra di posisi tersebut terlebih lagi nyonyanya itu tengah hamil. "Nyonya apa Saya bisa masuk?" ujar Lana dengan sopan sekaligus mengetuk pintu menggunakan tangannya yang kosong, dan tidak memegang nampan makanan. Tok-tok! "Nyonya Kiandra!" panggil Lana menguatkan suaranya, Dia pikir pemilik kamar tersebut mungkin saja melamun sampai tak mendengarkan panggilannya. Sampai mengulang beberapa dan berhasil. Pintunya dibuka oleh Kiandra. Namun, di saat yang sama Shifa tiba-tiba datang dan menghampirinya. "Di mana sarapan untuk kak Alsen?""Saya menaruhnya di meja makan," jawab Lana tanpa embel-embel 'nyonya,' sebab Lana pikir itu tak perlu. Shifa bukan majikannya dan gadis itu juga buruk. Tak pantas diperlakukan baik atau tak perlu menghormatinya. "Apa katamu? ulangi sekali la
Alsen kesal setelah mendengar penjelasan Shifa. Dia tidak bodoh, dan mudah percaya. Pria itu kecewa lantaran gadis yang masih dianggap adiknya itu menyalahkan seseorang untuk kesalahannya. "Aku tidak marah jika ini masakanmu, Shifa. Aku mengerti dan bahkan menghargainya. Kamu sudah berusaha, meski hasilnya masih tetap keasinan, tapi jangan menyalahkan orang lain atas kesalahanmu. Asisten rumah tanggaku selama ini belum pernah melakukan kesalahan dalam memasak!" tegas Alsen sembari menasehati Shifa. "Maaf, Kakak. Shifa mengaku salah," jawab gadis itu sembari menundukkan kepalanya. Hal itu jelas saja membuat Alsen tidak bisa marah kepadanya. "Tidak masalah. Lain kali jangan diulang lagi. Pulanglah, semalam Kamu tidak banyak beristirahat karena mabuk," lanjut Alsen menyarankan. Shifa langsung menganggukkan kepalanya lantaran tak mau dipandang buruk Alsen. Seperginya Shifa, Alsen kembali mengingat istrinya itu dan mendesah kasar. Jujur Dia bertamb
Shifa menatap Melvin yang berdiri tepat dihadapannya. Terlihat menenteng sesuatu yang membuat Shifa tertarik pada bawaannya. Kotak makanan yang mempunyai pegangan sehingga memungkinkan untuk dijinjing, tapi bagian menariknya logo dari kotak makanan tersebut berasal dari restoran terkenal dan ternama. Shifa tentu saja mengenalnya. "Tuan Alsen meminta supaya Nyonya Kiandra memakan semua ini," beritahu Melvin, segera setelahnya membuat Shifa kesal. Lantaran tak suka mendengar Alsen perhatian pada Kiandra. "Baik, berikan padaku. Aku yang akan menyerahkannya pada Kakak Ipar," jawab Shifa dengan angkuh. Melvin yang tidak buta ataupun tuli, tentu saja tahu bagaimana kelakuan gadis dihadapannya. "Maaf Shifa, Tuan Alsen mau Saya sendiri yang memastikan kalau semua ini sampai ditangan Nyonya!"Shifa mengepalkan tangan. "Jadi Kau pikir jika menyerahkan semua itu padaku, maka tidak akan sampai pada Kiandra?!" sarkas Shifa dengan sengit. Seharusnya bukan ha
"Kiandra!!" panggil Alsen terlihat lega dan berhambur memeluk istrinya. "Kamu dari mana aja, Ki? Kamu membuatku khawatir, Kamu baik-baik saja ...."Kiandra langsung menganggukkan kepalanya, membiarkan Alsen memeluknya erat meski dia merasa sesak. Namun, Kiandra akui ini salahnya karena pergi tanpa memberitahu dan melewatkan panggilan telepon dari suaminya. "Maaf, Aku buru-buru dan lupa mengabari Kamu Mas. Mmm, tapi Aku baik-baik aja, kok," jawab Kiandra meyakinkan. Alsen segera melerai pelukannya, memberi jarak kemudian memperhatikan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan hal itu membuat Kiandra sedikit jengah. "Beneran, Aku baik-baik aja, Mas. Serius!" ujar Kiandra kembali meyakinkan suaminya. Alsen tidak langsung menjawab, tapi malah membawanya ke sofa. Pikirnya ibu hamil tidak boleh lama-lama berdiri. "Baiklah, Aku percaya Kamu baik-baik saja, tapi lain kali kalau mau pergi jangan seperti ini lagi. Kamu harus memberitahuku. Kemana dan sama siapa saja. Bukan maksud
"Bisakah Kita bertemu?" ujar Vela di telepon. Beberapa waktu kemudiaan dan mereka bertemu, wanita itu langsung berhambur memeluk sahabatnya Kiandra. Wajahnya sayu seperti tengah menyimpan beban berat dan Kiandra segera menyadarinya meski wanita itu belum bicara. "Ssstt ... tidak apa-apa, Vel. Sekarang Aku di sini," ujar Kiandra seraya membalas pelukan sahabatnya itu. "Kamu kenapa?" bukan Kiandra yang bertanya, tapi Vela. Ah, iya. Penampilan Kiandra memang sedikit kacau. Dia baru bangun tidur saat mendapat telepon dari sahabatnya, dan saat menemui Vela sekarang diapun lupa pamit pada suaminya. "Aku kenapa?" Kiandra memperhatikan dirinya sendiri. Menggunakan camera ponsel untuk melihat wajahnya. "Ah, ini semua gara-gara mas Alsen suami Aku. Sudahlah, Kamu abaikan saja. Sekarang Kamu cerita, dan jangan berbohong!"Saat ditelepon, Vela memang sudah menunjukkan gelagat aneh dan menurut Kiandra itu tidak biasa. Dia tahu sahabatnya pasti butuh dirinya untuk masalahnya. "Aku tahu Kamu s
Blam!! Adam melonggarkan ikatan dasinya dan menatap geram pada Syera. "Kau tidak pantas melakukan itu pada Lana dan siapa yang membiarkanmu kemari?!"Adam menatap sekitarnya dan menemukan semua orang termasuk pembantu yang ada di sana, menundukkan kepalanya. Mereka takut dan tak satupun berani menjawab. Namun, disaat yang sama Syera mulai bangkit dan membalas Adam dengan tidak terima. "Kau yang apa-apaan, Mas? Apa yang membuatmu mendorongku, apakah wanita ini?!" sarkas Syera dengan marah. "Dan apa maksudmu berkata istri? Dia cuma pembantu yang beruntung melahirkan anakmu. Sadarlah!!"Plak! "Tutup mulutmu!!" Adam tidak hanya menampar Syera, tapi menegaskan. "Dia memang istriku, dan jika ada yang harus bersyukur di sini, maka itu adalah Kau. Jal*ng bisa menyandang status istriku, tapi jangan senang Syera, karena secepatnya Kita akan bercerai!"Syera yang masih memegang pipinya menatap Adam dengan tak percaya. "Apa maksudmu, Kau akan menceraikan Aku demi wanita ini?!""Ya, dan Aku sud
"Sial. Di mana Melvin sekarang, bagaimana bisa menghilang dengan tiba-tiba?!" kesal Alsen yang masih saja belum bisa menghubungi asistennya itu. Kiandra menghela nafasnya dengan kasar, sembari melepas gandengannya dari suaminya. Wanita itu juga kesal, dan terlihat menghampiri sofa dan duduk di sana. Saat ini keduanya memang sudah sampai di kantor, dan seperti yang Alsen keluhkan Melvin sama sekali tak berada di sana. "Berhenti berkata kasar, Mas. Udahlah hal kecil seperti itu saja dibawa emosi. Dasar tempramen!" cibir Kiandra. Alsen langsung menarik nafasnya kasar. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, Sayang. Aku cuma nggak suka orang yang tidak kompeten dan seenaknya.""Tapi Kamu juga gitu!" sarkas Kiandra mengingatkan. "Emang dasar Kamu doyan marah dan mengumpat. Nggak bisa sabar atau cari tahu. Gimana kalo Melvin sedang dalam masalah, apa Kamu tetap marah?"Alsen menghampiri istrinya dan mendekat. Wanita itu mempengaruhi emosinya dan juga seperti obat untuk meredakan perasaannya yang
"Kamu akan pergi sekarang?" tanya Kiandra sedikit kesal.Padahal sudah menjadi rutinitas bagi Alsen pergi brkerja hampir setiap pagi. Namun, hari ini Kiandra mencegahnya, karena merasa ingin bersama dengan suaminya dan tidak rela berpisah."Ya, Aku memang harus ke kantor hari ini, Sayang. Walaupun beberapa pekerjaan sudah Aku berikan pada Melvin, tapi Aku juga tidak bisa lepas tangan. Ini mata pencarianku, jika ada masalah, bagaimana nanti Aku akan menafkahimu dan juga memberi makan anak Kita?" jelas Alsen sambil mengusap puncak kepala istrinya."Tapi Aku tidak miskin, Mas. Aku juga bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Lagian tidak bekerja hari ini tidak akan membuatmu bangkrut," jawab Kiandra sambil menatap manja pada suamianya.Tidak perlu dijelaskan, Alsen segera mengerti keinginan istrinya dan diapun senang dengan hal itu. Mencium bib*r Kiandra kemudian mengambil ponselnya."Sebentar, biar Aku hubungi Melvin dulu," ujarnya yang langsung diangguki oleh Kiandra.Namun, Alsen seger
Pulang dari rumah Davin-Lia, Kiandra langsung tergolek tidur dan pulas. Membuat Alsen berdecak kesal, karena tampaknya dia masih menginginkan istrinya, namun bagaimana lagi sebagai seorang ayah Alsen tidak bisa menggunakan wewenangnya untuk memaksa. Cup! "Tidur yang nyenyak, Sayang. Kamu pasti lelah ya ... tidak masalah, Aku bisa menunggu, tapi besok tidak lagi!" ujar Alsen yang tidak bisa berbohong, sebab dia sedikit jengkel. Menarik selimut kemudian berbaring di sisi istrinya. Sementara Kiandra ternyata belum pulas, begitu mendengar dengkuran halus suaminya, dia berani membuka mata dan menatap suaminya dengan kesal. "Dasar maniak, tiga kali seminggu paling tidak bisa. Ck, dia pikir enak? Nggak tahu aja, Aku harus pegal linu. Diminta pijat, eh malah keterusan. Nyebelin!!" gerutu Kiandra kesal. Namun, tiba-tiba saja itu berubah saat dia semakin intens menatap suaminya. "Tapi mas Alsen ganteng banget, hmm ... hidungnya mancung kayak perosotan anak TK. Bahu lebar dada bidang. Punya
Hendra tersenyum lega mendengar berita Belinda ditangkap karena kasus pencucian uang, meskipun jauh di lubuk hatinya dia masih tak tega. Mengingat perempuan itu sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya. "Dad, Aku--" "Ada apalagi Vela, apa masih tidak cukup penderitaan yang dialami putraku demi dirimu?!" sarkas Hendra begitu dia tersadar dari lamunannya. "Kepalanya harus dibalut, dan mendapat beberapa jahitan, meskipun tidak parah dan tidak sampai geger otak. Apa maumu lagi, hahh ...."Hendra tidak bermaksud melakukan itu, tapi pria itu memang sedikit tertekan karena kondisi putra satu-satunya itu. Karena Belinda, sekarang dia juga tak tahu di mana Shifa berada. Hendra segan jika harus bertanya pada Lingga, tapi di sisi lain meski bisa mencari tahu sendiri, Hendra juga tidak mau melakukannya. Dia merasa bodoh karena terlalu banyak menggunakan hatinya, padahal Shifa bukan siapa-siapa, dan bahkan adalah hinaan paling besar dalam hidupnya. "Aku cukup sabar beberapa hari ini, membiarkan
"Maaf, Ki ... Kamu sudah tidak marah sama Aku?" ujar Alsen mengalah. Tidak ada gunanya mendebat wanita apalagi dia hamil. Alsen sedikit sadar dan menekan egonya, sementara Kiandra malah membuang nafasnya kasar. "Maaf aja terus? Entah sampai kapan berubahnya, udah tua lagi!" dumel Kiandra kesal. Namun akhirnya wanita itupun mengangguk setuju, Alsen tersenyum melihatnya. Mengikis jarak kemudian memeluknya, sembari menghirup aroma tubuh bercampur parfum yang membuat Alsen candu. "Aku suka dengan kejutannya, meskipun sempat takut bagian pintunya tadi. Tidak masalah, Aku sebenarnya suka apapun tentang Kamu," ungkap Kiandra bicara manis. Semudah itu moodnya berubah. Yah, memang begitulah wanita. Asal pria berani mengalah, maka hatinya wanita mudah saja luluh. 'Tapi kenyataannya tidak suka hal yang berulang dan mudah bosan. Pembual.' Harusnya hal itu yang Alsen katakan, namun mana mungkin dia berani. Pria itu tak mau istrinya mengomel dan mereka kembali bertengkar. "Aku tahu itu," jaw
Melvin terlihat buruk dengan mata yang memerah menahan air mata. Meski tidak menangis, laki-laki terlihat payah dengan penampilannya yang sudah acak. Tak seperti biasanya, setelan formal dengan jas yang membuatnya terlihat berwibawa, justru kini membuatnya seperti banjing*n. "Maaf, Tuan. Anda sudah mabuk," ujar bartender yang sejak tadi memberinya minuman beralkohol, kali ini menentukan sikap. "Tidak, berikan padaku lagi!!" teriak Melvin membentak. Dia memang sudah biasa keluar masuk klub malam, tapi biasanya tinggal di ruang privat untuk membahas bisnis dengan kliennya, sekaligus minum. Akan tetapi, meski begitu Melvin hanya meneguk wine dengan kadar alkohol paling rendah, walaupun sesekali mencoba yang lebih tinggi. Namun, sekarang tidak seperti itu. Dia ke klub bukan lagi untuk menemui kliennya, melainkan untuk menenangkan diri, dan bahkan tidak berada di ruang privat. Melvin bergabung di ruangan penuh orang dan penuh kebisingan dengan lampu yang berkedap-kedip. Melvin di sana k