"Aaarrggh!"
Blam!!
Alsen melempar beberapa barang yang bisa Dia jangkau lalu membantingnya kasar. Emosinya sedang tidak baik, dikuasai oleh amarah yang membuatnya tak terkontrol. Siapapun disekitarnya tak berani melerai, dan ketakutan melihatnya.
"Brengs*k!" umpat Pria itu marah bahkan sampai menunjukkan urat lehernya. Tangannya mengepal erat disertai tatapannya tajam dengan kedua bola mata yang memerah.
"Kakak," panggil seorang gadis muda memberanikan diri menghampirinya. Bingung sekaligus berniat mengakhiri kegilaan Alsen.
"Pergi dari sini, jangan ganggu Aku!" peringat Alsen terdengar seperti menahan diri. Dia sepertinya tidak ingin menyakiti gadis itu, karena Dia adalah sepupunya, Shifa.
"Aku mencemaskan, Kakak ...." Shifa memberanikan diri meraih lengannya. Cukup percaya diri kalau dirinya bisa mengatasi masalahnya.
"Pergi!!"
Seolah tak terduga, Shifa cukup terkejut karena justru mendapatkan bentakan. Namun, meski begitu semangatnya tidak pudar. Dia yakin Alsen pasti luluh dan tidak mungkin menyakitinya.
"Kakak, Aku mengkhawatirkanmu, Aku cemas dengan keadaanmu. Apa yang sudah terjadi kenapa Kakak bisa sampai begini, apakah kakak ipar berulah, Dia sudah mempermalukanmu?" tanya Shifa manja, sekaligus menggunakan kesempatan untuk merendahkan istri sepupunya itu.
Selama ini gadis muda itu sudah menyukai kakak sepupunya sendiri. Harta, tahta dan ketampanan dari seorang Alsen mana mungkin bisa dilewatkan olehnya. Dia sudah berupaya mendapatkan sepupunya itu, tapi sayang sampai sekarang Dia tak mendapatkan hasil sama sekali. Shifa bahkan harus menelan pil pahit ketika Alsen menikah dengan perempuan lain dan bukan dirinya.
"Sejak awal Aku sudah bilang pada Kakak, kalau kakak ipar tidak baik. Dia wanita jala*g yang mengincar hartamu saja, Kak. Percayalah!" ujar Shifa mengartikan kediaman Alsen adalah karena sudah masuk dalam hasutannya.
"Tutup mulutmu, dan pergi dari hadapanku!" Kali ini bukan hanya membentak, tapi Alsen juga mendorongnya kasar sampai terjatuh menghantam lantai.
"Aaarrrggh! Kakak kamu menyakiti Aku ...." Shifa segera memperlihatkan wajah lemah dan tak berdayanya dihadapan Alsen.
Mendengar itu, Alsen mengusap wajahnya kasar. Mengepalkan tangan berusaha untuk mengontrol agar Dia tak berbuat lebih jauh.
"Melvin!" Teriak Alsen membuat seseorang dengan jas rapih, dan serba hitam menghampirinya dengan terburu-buru.
"Singkirkan gadis ini dari sini dan jangan biarkan siapapun menggangguku!" perintah Alsen dengan tegas dan juga arrogant.
Melvin menoleh dan menatap beberapa bodyguard yang bersamanya agar melakukan perintah Alsen. Melihat itu Shifa langsung menggelengkan kepalanya tak terima.
"Tidak! Jangan berani melakukan itu. Aku masih ingin di sini bersama Kak Alsen. Lepaskan Aku pecundang!" geram Shifa merasa kesal, namun anak buah Alsen itu dan terus melakukan tugas mereka dengan baik.
"Sial. Aku sudah menyingkirkan wanita itu dari hidupku, kenapa Aku justru jadi begini?!" Alsen menghela nafas, lalu menghampiri sofa dan duduk bersandar di sana.
Amarahnya masih belum usai, tapi sekarang Dia merasa pusing luar biasa. Sebelumnya Dia sudah pernah hancur karena kehilangan perempuan yang dicintainya, tapi sekarang itu hanya Kiandra Alsen tidak mencintainya, namun Dia merasa jauh lebih kacau sekarang.
"Sialan! Seharusnya Aku memberikan perhitungan pada wanita itu. Ini pasti karena Aku terlalu membuat hukumannya terlalu mudah. Tidak, Aku tidak bisa begini terus, Aku harus melakukan sesuatu yang membuat hidup wanita itu buruk!" camkan Alsen pada dirinya sendiri.
*****
"Besok dan Papamu akan pindah ke kampung halaman nenek Kalian. Mama dan Papa ingin menghabiskan hari tua di desa. Menghirup udara segar yang tak tercemar dan tinggal di sana untuk selanjutnya," ujar Ibunya Kiandra ditelepon.
Sebenarnya topik itu sudah pernah mereka bahas seminggu lalu, dan besok rencananya harusnya Kiandra bersama Alsen akan ikut mengantarkan orang tuanya. Kemudian memastikan kehidupan di desa sesuai dengan yang orang tuanya harapkan. Namun sekarang Kiandra mana mungkin melakukan rencana itu.
"Kamu dan Nak Alse--"
"Ma, maafkan Kami. Mas Alsen harus keluar kota besok dan Aku harus menemaninya," potong Kiandra berbohong dan tak enak hati pada ibunya.
"Baiklah, Sayangku. Tidak masalah. Masih ada kakakmu dan saudara iparmu. Biar mereka yang akan mengantar Kami, tapi setelah itu jangan lupa berkunjung. Mama dan Papa pasti merindukanmu dan suamimu," ungkap mamanya terdengar kecewa.
Kiandra menghela nafasnya. "Maafkan Kiandra, Ma ... padahal sebelumnya Kiandra sudah berjanji."
"Jangan merasa bersalah Kiandra. Mama mengerti, Nak. Jaga dirimu baik-baik dan jadilah istri yang terbaik untuk suamimu, jangan kecewakan Kami, Nak," jelas ibunya memberi pesan.
Usai berbicara dengan ibunya di telepon. Kiandra tiba-tiba berlari ke kamar mandi dan menunduk mengeluarkan sesuatu dari mulutnya di depan wastafel.
"Hoek!"
Beberapa kali terus begitu, sampai kemudian wanita itu merasa tidak ada yang bisa dikeluarkan dari perutnya. Dia sudah merasa mual sejak berbicara dengan ibunya, tapi menahannya karena tak mau membuat ibunya cemas, dan sekarang dia merasa lemas.
"Ini masih pagi, bagaimana mungkin Aku merasa mual?" bingung Kiandra yang sudah terduduk lemas di lantai kamar mandi karena tidak punya tenaga untuk bangkit.
Sementara Dia terus begitu sampai tenaganya pulih. "Apa ini karena semalam Aku terlalu lelah dan terlalu lama berendam. Aku jadi masuk angin sekarang ...."
Tanpa sadar wanita itu mengusap lembut perutnya sendiri. Merasa jika itu yang dibutuhkannya, tanpa mencurigai apapun. Begitu baikan, wanita itu berdiri kemudian berjalan ke arah dapur. Membuatkan teh jahe untuk meredakan mualnya dan juga sarapan supaya perutnya tak kosong.
Namun anehnya, Kiandra tanpa sadar membuat dua porsi dan juga secangkir kopi hangat. Kemudian menaruhnya di atas meja. Tampaknya wanita itu melupakan sesuatu.
"Mas Alsen, sarapannya sudah siap, bangunlah!" panggil Kiandra beberapa kali, sampai kemudian tersadar karena tak kunjung mendapatkan jawaban.
Air matanya tiba-tiba luruh dengan sendirinya. Disadarkan kenyataan yang membuat perasaannya seperti diremas kasar. Mengepalkan tangan, Kiandra jatuh terduduk lemas di kursi yang ada dihadapannya.
"Kenapa Kamu mengusirku, Mas? Kenapa ...." Wanita itu berkata begitu lirih dan kedengeran begitu pilu juga sesak. "Tidak. Kamu pasti cuma sedang salah paham dan terbawa emosi semalam. Kita harus bertemu dan Aku harus menjelaskannya. Aku tidak mau berpisah denganmu, karena Aku sangat mencintaimu!"
Ah, ya. Sebenarnya bertahun-tahun Kiandra sudah memiliki rasa itu pada suaminya, jauh sebelum mereka menikah. Namun, terus menyimpan rasanya karena mengetahui pria itu menyukai saudaranya. Sampai kemudian Dia membuka hati dan berusaha untuk mencintai Vano, lelaki yang bisa dikatakan adalah mantan kekasihnya itu. Beberapa kali mencoba, tapi Dia gagal, meskipun akhirnya Dia nyaman dengan hubungan mereka.
Namun disaat Dia sudah merelakan Alsen, dan terbiasa dengan Vano. Takdir malah mempermainkannya. Sebuah kejadian dan situasi justru membuatnya akhirnya bersama dengan Alsen. Mereka menikah, meskipun tanpa cinta dari Pria itu dan rasanya yang mulai padam.
Suaminya itu tak egois, selama pernikahan yang masih terbilang singkat. Keduanya sama belajar untuk menerima satu sama lain, dan Kiandra mungkin berada di depan, karena rasa yang pernah ada membuatnya lebih mudah untuk kembali mencintai. Hubungan keduanya berjalan mulus dan kemarin adalah bom waktu yang mengubah segalanya. Disaat Kiandra tak ingin menyakiti siapapun dan tak ingin berkhianat, dengan meninggalkan masa lalunya, hal buruk tak terduga justru terjadi dalam pernikahan mereka.
"Mas Alsen pasti cuma emosi kemarin. Dia pasti tidak sungguh-sungguh membuangku. Ah, iya! Itu benar. Terbukti saat Dia bilang tidak akan menceraikan Aku sampai kapanpun. Itu artinya Dia tidak mau berpisah denganku walaupun dalam keadaan yang tak stabil dan tak bisa mengendalikan amarahnya," ujar Kiandra meyakinkan dirinya dan akhirnya bisa tersenyum karena ucapan Alsen yang tidak akan pernah mencintainya.
*****
Bersambung
Siang itu, Kiandra sengaja memasak dan menyiapkan beberapa hidangan spesial untuk Alsen. Dia pikir setelah beberapa hari tidak berkomunikasi dan membiarkan suaminya itu lebih tenang, inilah saatnya menyelesaikan masalah diantara mereka dengan kepala dingin. "Kamu pasti menyukai ini, Mas. Aku sengaja menyiapkan makanan favorit Kamu!" ujar Kiandra bersemangat. Wanita itu setelah selesai menyiapkan makanan yang akan diberikan padanya pada sang suami, selanjutnya segera mempersiapkan dirinya sendiri. Berdandan cantik dan tak lupa menyemprotkan aroma parfum yang di sukai oleh suaminya itu. Barulah setelahnya pergi ke perusahaan suaminya untuk bertemu. "Maaf, tapi Tuan Alsen sedang tidak di tempat," ujar Melvin segera menghadang Kiandra masuk dan menghalanginya. "Tidak mungkin. Masih waktu makan siang, tidak mungkin Dia sesibuk itu sampai tidak memikirkan perutnya sendiri," jawab Kiandra tak mau mengalah. Sudah beberapa hari tak bertemu, bagaimana mungkin tidak merindukan suaminya itu
Kiandra menatap pucat pada hasil akhir yang didapatkannya. Garis dua pada alat tes kehamilan yang baru saja digunakannya. Wanita itu terlihat bingung, tapi kemudian Dia teringat akan hubungannya dengan Alsen. "Sial. Kenapa malah seperti ini. Bodoh, bagaimana bisa Aku seceroboh ini!" rutuknya pada dirinya sendiri. Harusnya Dia ingat soal hubungannya dengan sang suami, dan tidak memberikan bukti konyol yang justru akan membuat Alsen semakin salah paham padanya. Brughh-brugh! Gedoran di pintu membuat Kiandra tak bisa diam saja. Dia harus keluar dan menjelaskan semuanya. Jikalaupun dirinya hamil sekarang, maka itu adalah anak suaminya Alsen. Anak mereka sendiri bukan anak hasil perselingkuhan. "Lama sekali!" geram Alsen sambil menatap tajam. "Mas, Ak-Aku bisa menjelaskan semuanya, tapi ini benar-benar tak seperti yang Kamu pikirkan!" ujar Kiandra memberikan keterangan. Dia menyembunyikan hasil tes kehamilan dibalik tubuhnya. Alsen menjadi geram dan semakin salah paham. Kemudian deng
Alsen sedikit tersadarkan setelah duduk beberapa saat di kursi kebesarannya. Dia pikir mungkin saja anak yang dikandung Kiandra anaknya, sebab teringat akan hubungan mereka yang pernah melakukannya. Dia bangkit dan memutuskan untuk mengejar Kiandra. Berpikir mereka memang harus berbicara lagi. Namun saat sudah menemukan, Dia malah melihat Shifa di lantai sambil meringis kesakitan. Menghampiri sepupunya kemudian membantunya berdiri. "Kak Alsen, kakiku sepertinya keseleo. Kak, sakit!!" ungkap Shifa sambil meringis dan mengaduh kesakitan. Membuat Alsen segera menatap Kiandra dan menuntut meminta penjelasannya. "Aku tidak ingin mendorongnya, Mas," jelas Kiandra memberitahu, tapi Alsen tidak puas dengan jawaban itu, dan Shifa tentu saja tidak mau membuang kesempatan yang ada. "Iya, Kak Kiandra tidak sengaja, Kak. Kakak ipar hanya terlalu marah dan salah paham karena hari ini Aku ke sini untuk mengajak Kakak makan siang bersama. Dia tidak sadar mendorongku sampai terjatuh. Tolong jangan
Alsen mendesah kasar, ketika tak menemukan sosok istrinya lagi di sana, padahal Dia hanya meninggalkannya sebentar. Hanya pergi memeriksa kondisi Shifa, tapi wanita menghilang begitu saja. "Kemana dia? Sial. Apakah Kiandra kabur ....""Mau kemana Kak, kakiku masih sakit bisakah Kakak menemani Aku?" Shifa menghampiri Alsen lalu menggandeng tangannya manja. "Ayolah Kak ... Aku tidak punya siapa-siapa di sini selain Kakak," lanjutnya mengingatkan. Sebetulnya walaupun saudara sepupu, orang tua Shifa memang tidak tinggal di kota yang sama. Mereka memutuskan untuk tinggal di luar negeri, Shifa juga sempat menetap di sana. Hanya saja setelah dewasa menetap di Indonesia. "Kamu bisa pulang sendiri Shifa," jawab Alsen kesal, sebab tak terima ditinggal Kiandra begitu saja. "Tapi Kakak sepertinya kakiku masih sakit, bisakah Kakak menemani Aku lagi untuk bertemu dokter?" ujar Shifa dengan manja. Kali ini Alsen merasa jengkel dan tak mood
"Bangun, Mas ... cepatlah! Kamu bisa telat kalau tidur terus." Kiandra mengulurkan tangan mengguncang sesuatu di sebelahnya dengan keadaan setengah sadar. Wanita itu menguap sambil beranjak dan melakukan peregangan. "Mas, ayo bangun!!" ujarnya dengan suara yang lebih keras meski suaranya masih serak khas bangun tidur. Kiandra terus melakukannya, beberapa kali memanggil sosok yang ingin Dia bangunkan, sampai kemudian Dia menoleh dan membuang nafasnya kasar. Tidak ada Alsen di atas tempat tidur dan yang sempat diguncang olehnya dalam keadaan setengah sadar hanyalah guling yang masih terletak di sana. "Hahhh ... bagaimana Aku lupa kalau Dia sudah mengusirku. Apakah ini karena kami videocall sampai Aku ketiduran?" Kiandra memukul-mukul jidatnya lantaran kesal dengan dirinya sendiri yang masih terbiasa dengan kehadiran Alsen. Padahal umur pernikahan mereka terhitung masih seumur jagung. Mungkinkah semua ini akibat terlalu mudah beradaptasi dengan orang yang
Kiandra pindah ke sofa yang ada di ruang kerjanya. Untuk menikmati makan siang, meski sebenarnya Dia masih tak berselera. Namun, Kiandra tak boleh egois, mengingat ada kehidupan lain di dalam dirinya. Cklekk!! Seseorang menyelinap masuk tanpa mengetuk dan tanpa izin. Kiandra pikir itu Vano yang beberapa menit lalu pergi, lalu kembali karena merasa meninggalkan sesuatu. "Ada apalagi Van?" tanya Kiandra menghentikan suapan pertamanya untuk hari ini, tapi kedua matanya langsung melotot kaget ketika seseorang yang datang ke sana di luar dugaan. "Cih, siapa itu yang Kau panggil Van? Apa Dia laki-laki yang selama ini selingkuhanmu atau Dia ayah dari anak haram yang di dalam kandunganmu?!" Alsen menatap Kiandra tajam dan terlihat marah. "Darimana Mas tahu Aku di sini dan kenapa kemari?" balas Kiandra sambil menutupi keterkejutannya."Darimana dan kenapa?" ulang Alsen mengucapkan kembali kalimat Kiandra secara singkat. "Mencoba meng
"Kakak, Aku takut ... temani Aku di sini!" ujar Shifa memperlihatkan ketidakberdayaannya. Baru saja Dia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya mengalami luka dibeberapa bagian tubuhnya. Tidak begitu parah, sebab tak mengalami cedera serius atau luka dalam sama sekali. Shifa menghubungi Alsen beberapa saat lalu. Meminta bantuan dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sebenarnya Alsen sedikit pusing dikarenakan minum semalam, tapi pria itu tak tega pada sepupunya yang mengalami nasib buruk. "Kau akan baik-baik saja, Shifa. Jangan khawatir Aku di sini. Beristirahatlah," ujar Alsen mengambil tempat duduk tepat di sebelah ranjang pasien yang Shifa gunakan. "Kakak jangan beritahu orang tuaku, Aku nggak mau mereka mencemaskanku," ujar Shifa memberitahu. Alsen hanya berdehem untuk menjawabnya dan itu membuat Shifa sedikit kesal. "Terimakasih sudah mencemaskanku dan membawaku ke sini tepat waktu. Seandainya Kakak tidak ada, entah bagaimana nasibku,
"Lana siapkan makan siangku dengan segera," ujar Alsen saat sedang membantu Kiandra meminum obat. Di saat yang sama Lana sedang ke sana untuk mengantarkan beberapa buah yang diminta oleh Alsen. "Baik Tuan," jawab Lana sebelum kemudian keluar dari sana. Kiandra menatap Alsen dengan tak percaya. Ternyata pria itu belum makan, tapi sudah terlebih dahulu memastikannya makan. Wanita itu sedikit tersentuh, tapi kemudian menggelengkan kepala. Dia sudah sangat kapok dengan perasaannya pada Alsen. "Kau tidak mau buahnya?" tanya Alsen yang berpikir gelengan kepala Kiandra adalah penolakan terhadap buah yang sudah di taruh di atas nakas. Kiandra kembali menggelengkan kepala. Sebenarnya egonya untuk menolak masih ada, namun keadaannya yang hamil dan baru saja habis makan membuatnya kembali merasa mual. Buah adalah satu-satunya yang bisa mengurangi mualnya itu untuk sekarang. Jadi Kiandra mana mungkin bisa menolaknya. "Tidak, Aku mau makan buahnya, tapi bisakah Aku mendapatkan mangga muda?" ta
"Kiandra!!" panggil Alsen terlihat lega dan berhambur memeluk istrinya. "Kamu dari mana aja, Ki? Kamu membuatku khawatir, Kamu baik-baik saja ...."Kiandra langsung menganggukkan kepalanya, membiarkan Alsen memeluknya erat meski dia merasa sesak. Namun, Kiandra akui ini salahnya karena pergi tanpa memberitahu dan melewatkan panggilan telepon dari suaminya. "Maaf, Aku buru-buru dan lupa mengabari Kamu Mas. Mmm, tapi Aku baik-baik aja, kok," jawab Kiandra meyakinkan. Alsen segera melerai pelukannya, memberi jarak kemudian memperhatikan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan hal itu membuat Kiandra sedikit jengah. "Beneran, Aku baik-baik aja, Mas. Serius!" ujar Kiandra kembali meyakinkan suaminya. Alsen tidak langsung menjawab, tapi malah membawanya ke sofa. Pikirnya ibu hamil tidak boleh lama-lama berdiri. "Baiklah, Aku percaya Kamu baik-baik saja, tapi lain kali kalau mau pergi jangan seperti ini lagi. Kamu harus memberitahuku. Kemana dan sama siapa saja. Bukan maksud
"Bisakah Kita bertemu?" ujar Vela di telepon. Beberapa waktu kemudiaan dan mereka bertemu, wanita itu langsung berhambur memeluk sahabatnya Kiandra. Wajahnya sayu seperti tengah menyimpan beban berat dan Kiandra segera menyadarinya meski wanita itu belum bicara. "Ssstt ... tidak apa-apa, Vel. Sekarang Aku di sini," ujar Kiandra seraya membalas pelukan sahabatnya itu. "Kamu kenapa?" bukan Kiandra yang bertanya, tapi Vela. Ah, iya. Penampilan Kiandra memang sedikit kacau. Dia baru bangun tidur saat mendapat telepon dari sahabatnya, dan saat menemui Vela sekarang diapun lupa pamit pada suaminya. "Aku kenapa?" Kiandra memperhatikan dirinya sendiri. Menggunakan camera ponsel untuk melihat wajahnya. "Ah, ini semua gara-gara mas Alsen suami Aku. Sudahlah, Kamu abaikan saja. Sekarang Kamu cerita, dan jangan berbohong!"Saat ditelepon, Vela memang sudah menunjukkan gelagat aneh dan menurut Kiandra itu tidak biasa. Dia tahu sahabatnya pasti butuh dirinya untuk masalahnya. "Aku tahu Kamu s
Blam!! Adam melonggarkan ikatan dasinya dan menatap geram pada Syera. "Kau tidak pantas melakukan itu pada Lana dan siapa yang membiarkanmu kemari?!"Adam menatap sekitarnya dan menemukan semua orang termasuk pembantu yang ada di sana, menundukkan kepalanya. Mereka takut dan tak satupun berani menjawab. Namun, disaat yang sama Syera mulai bangkit dan membalas Adam dengan tidak terima. "Kau yang apa-apaan, Mas? Apa yang membuatmu mendorongku, apakah wanita ini?!" sarkas Syera dengan marah. "Dan apa maksudmu berkata istri? Dia cuma pembantu yang beruntung melahirkan anakmu. Sadarlah!!"Plak! "Tutup mulutmu!!" Adam tidak hanya menampar Syera, tapi menegaskan. "Dia memang istriku, dan jika ada yang harus bersyukur di sini, maka itu adalah Kau. Jal*ng bisa menyandang status istriku, tapi jangan senang Syera, karena secepatnya Kita akan bercerai!"Syera yang masih memegang pipinya menatap Adam dengan tak percaya. "Apa maksudmu, Kau akan menceraikan Aku demi wanita ini?!""Ya, dan Aku sud
"Sial. Di mana Melvin sekarang, bagaimana bisa menghilang dengan tiba-tiba?!" kesal Alsen yang masih saja belum bisa menghubungi asistennya itu. Kiandra menghela nafasnya dengan kasar, sembari melepas gandengannya dari suaminya. Wanita itu juga kesal, dan terlihat menghampiri sofa dan duduk di sana. Saat ini keduanya memang sudah sampai di kantor, dan seperti yang Alsen keluhkan Melvin sama sekali tak berada di sana. "Berhenti berkata kasar, Mas. Udahlah hal kecil seperti itu saja dibawa emosi. Dasar tempramen!" cibir Kiandra. Alsen langsung menarik nafasnya kasar. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, Sayang. Aku cuma nggak suka orang yang tidak kompeten dan seenaknya.""Tapi Kamu juga gitu!" sarkas Kiandra mengingatkan. "Emang dasar Kamu doyan marah dan mengumpat. Nggak bisa sabar atau cari tahu. Gimana kalo Melvin sedang dalam masalah, apa Kamu tetap marah?"Alsen menghampiri istrinya dan mendekat. Wanita itu mempengaruhi emosinya dan juga seperti obat untuk meredakan perasaannya yang
"Kamu akan pergi sekarang?" tanya Kiandra sedikit kesal.Padahal sudah menjadi rutinitas bagi Alsen pergi brkerja hampir setiap pagi. Namun, hari ini Kiandra mencegahnya, karena merasa ingin bersama dengan suaminya dan tidak rela berpisah."Ya, Aku memang harus ke kantor hari ini, Sayang. Walaupun beberapa pekerjaan sudah Aku berikan pada Melvin, tapi Aku juga tidak bisa lepas tangan. Ini mata pencarianku, jika ada masalah, bagaimana nanti Aku akan menafkahimu dan juga memberi makan anak Kita?" jelas Alsen sambil mengusap puncak kepala istrinya."Tapi Aku tidak miskin, Mas. Aku juga bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Lagian tidak bekerja hari ini tidak akan membuatmu bangkrut," jawab Kiandra sambil menatap manja pada suamianya.Tidak perlu dijelaskan, Alsen segera mengerti keinginan istrinya dan diapun senang dengan hal itu. Mencium bib*r Kiandra kemudian mengambil ponselnya."Sebentar, biar Aku hubungi Melvin dulu," ujarnya yang langsung diangguki oleh Kiandra.Namun, Alsen seger
Pulang dari rumah Davin-Lia, Kiandra langsung tergolek tidur dan pulas. Membuat Alsen berdecak kesal, karena tampaknya dia masih menginginkan istrinya, namun bagaimana lagi sebagai seorang ayah Alsen tidak bisa menggunakan wewenangnya untuk memaksa. Cup! "Tidur yang nyenyak, Sayang. Kamu pasti lelah ya ... tidak masalah, Aku bisa menunggu, tapi besok tidak lagi!" ujar Alsen yang tidak bisa berbohong, sebab dia sedikit jengkel. Menarik selimut kemudian berbaring di sisi istrinya. Sementara Kiandra ternyata belum pulas, begitu mendengar dengkuran halus suaminya, dia berani membuka mata dan menatap suaminya dengan kesal. "Dasar maniak, tiga kali seminggu paling tidak bisa. Ck, dia pikir enak? Nggak tahu aja, Aku harus pegal linu. Diminta pijat, eh malah keterusan. Nyebelin!!" gerutu Kiandra kesal. Namun, tiba-tiba saja itu berubah saat dia semakin intens menatap suaminya. "Tapi mas Alsen ganteng banget, hmm ... hidungnya mancung kayak perosotan anak TK. Bahu lebar dada bidang. Punya
Hendra tersenyum lega mendengar berita Belinda ditangkap karena kasus pencucian uang, meskipun jauh di lubuk hatinya dia masih tak tega. Mengingat perempuan itu sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya. "Dad, Aku--" "Ada apalagi Vela, apa masih tidak cukup penderitaan yang dialami putraku demi dirimu?!" sarkas Hendra begitu dia tersadar dari lamunannya. "Kepalanya harus dibalut, dan mendapat beberapa jahitan, meskipun tidak parah dan tidak sampai geger otak. Apa maumu lagi, hahh ...."Hendra tidak bermaksud melakukan itu, tapi pria itu memang sedikit tertekan karena kondisi putra satu-satunya itu. Karena Belinda, sekarang dia juga tak tahu di mana Shifa berada. Hendra segan jika harus bertanya pada Lingga, tapi di sisi lain meski bisa mencari tahu sendiri, Hendra juga tidak mau melakukannya. Dia merasa bodoh karena terlalu banyak menggunakan hatinya, padahal Shifa bukan siapa-siapa, dan bahkan adalah hinaan paling besar dalam hidupnya. "Aku cukup sabar beberapa hari ini, membiarkan
"Maaf, Ki ... Kamu sudah tidak marah sama Aku?" ujar Alsen mengalah. Tidak ada gunanya mendebat wanita apalagi dia hamil. Alsen sedikit sadar dan menekan egonya, sementara Kiandra malah membuang nafasnya kasar. "Maaf aja terus? Entah sampai kapan berubahnya, udah tua lagi!" dumel Kiandra kesal. Namun akhirnya wanita itupun mengangguk setuju, Alsen tersenyum melihatnya. Mengikis jarak kemudian memeluknya, sembari menghirup aroma tubuh bercampur parfum yang membuat Alsen candu. "Aku suka dengan kejutannya, meskipun sempat takut bagian pintunya tadi. Tidak masalah, Aku sebenarnya suka apapun tentang Kamu," ungkap Kiandra bicara manis. Semudah itu moodnya berubah. Yah, memang begitulah wanita. Asal pria berani mengalah, maka hatinya wanita mudah saja luluh. 'Tapi kenyataannya tidak suka hal yang berulang dan mudah bosan. Pembual.' Harusnya hal itu yang Alsen katakan, namun mana mungkin dia berani. Pria itu tak mau istrinya mengomel dan mereka kembali bertengkar. "Aku tahu itu," jaw
Melvin terlihat buruk dengan mata yang memerah menahan air mata. Meski tidak menangis, laki-laki terlihat payah dengan penampilannya yang sudah acak. Tak seperti biasanya, setelan formal dengan jas yang membuatnya terlihat berwibawa, justru kini membuatnya seperti banjing*n. "Maaf, Tuan. Anda sudah mabuk," ujar bartender yang sejak tadi memberinya minuman beralkohol, kali ini menentukan sikap. "Tidak, berikan padaku lagi!!" teriak Melvin membentak. Dia memang sudah biasa keluar masuk klub malam, tapi biasanya tinggal di ruang privat untuk membahas bisnis dengan kliennya, sekaligus minum. Akan tetapi, meski begitu Melvin hanya meneguk wine dengan kadar alkohol paling rendah, walaupun sesekali mencoba yang lebih tinggi. Namun, sekarang tidak seperti itu. Dia ke klub bukan lagi untuk menemui kliennya, melainkan untuk menenangkan diri, dan bahkan tidak berada di ruang privat. Melvin bergabung di ruangan penuh orang dan penuh kebisingan dengan lampu yang berkedap-kedip. Melvin di sana k