"Bukan saya, Pak. Tapi, semua berkat bantuan Allah. kami hanya perantara." ujarnya merendah."Sementara Nak Hendra bisa tinggal di pondok ini, untuk melatih menahan diri. Seminggu atau dua Minggu InsyaAllah sudah cukup sebagai terapi. Nanti saya dan beberapa Ustadz yang memang tinggal disini akan memandu dan memantau Nak Hendra." usul Ustadz Yusuf.Aku dan Mas Hendra saling pandang. Jujur kalau diri ini ikhlas, asal Mas Hendra bisa sembuh. Soal rindu, bukan lagi hal yang perlu diungkapkan."Kenapa? takut rindu ya, sama istri?" ledek ustadz Luthfi. Mereka terkekeh."Boleh, kalau istrinya mau tinggal disini, kebetulan ada kamar yang biasa dipakai orang tua santri, yang tinggal jauh seberang. Mereka kami ijinkan menginap jika kemalaman. Saat ini kamar itu kosong, Nak Hendra dan istri bisa tinggal sementara disana.""MasyaAllah, kami jadi merepotkan Ustadz." aku benar-benar merasa ga enak. Mereka memperlakukan kami seolah kami ini saudara mereka."Tak apa-apa, kami tak pernah merasa direp
"Assalamu'alaikum, Mbak...""Wa'alaykumussalam, Mel ... Mel, Papa mau bertemu kalian, keadaan Papa sedang kritis. Sebaiknya kamu dan Hendra datang ke rumah sakit." suara diseberang sana terdengar cemas."Ya Allah, Mbak...." reflek aku menutup mulut dengan tangan.Aku bingung, gimana ini? Mas Hendra juga masih di Bogor. "Tolong ya, Mel. Mbak ga tau harus gimana.""Mama, ada disana, Mbak?"Saat ini aku sedang lelah jiwa raga, tak ingin rasanya bertemu dengan orang yang nanti hanya akan menambah keadaan hatiku memburuk."Mama, sudah dua hari tidak kesini. Mbak ga tau keadaan Mama, karena teleponnya juga ga aktif. Mbak juga ga bisa meninggalkan Papa sendirian.".Ya, Allah... Hatiku makin dilema. Mbak Widya benar-benar sendiri saat ini. Sementara, aku juga harus menemani Mas Hendra di sana."Mbak, InsyaAllah besok Melody akan usahakan datang ke rumah sakit, ya.""Makasih ya, Mel." sahut Mbak Widya lega."Sama-sama, Mbak." jawabku. Setelah itu sambungan pun terputus.Aku terduduk lemas di
"Nasib rumah tangga kita tidak jauh beda ya, Mel." lirih Mbak Nada ketika kami sama-sama sudah berada di pembaringan. Aku menghela nafas berat, meskipun rumah tangga kami tidak baik-baik saja, setidaknya aku dapat merasakan cinta dari lelaki yang sempat ingin kuceraikan, beda dengan mbak Nada yang menikah dengan lelaki tua yang sama sekali tidak dicintainya."Selalu ada hikmah dibalik semua yang terjadi di dunia ini, Mbak. Mungkin saat ini kita tidak tahu hikmah apa itu. Tapi, bukan berarti tak ada." aku menjeda ucapan."Aku yakin, ada pelangi dibalik hujan, ada kemudahan dibalik kesulitan, dan selalu ada hikmah dibalik apa yang terjadi pada kita." lanjutku."Kamu benar, Mel. Mbak masih ingin punya suami yang mencintai Mbak, dan memiliki anak-anak yang lahir dari rahim ini."Aku menggenggam tangan Mbak Nada. Tak ada rasa canggung meski kami baru saja kembali bersama.****Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke Bogor. Setelah sebelumnya memberi kabar kepada Mas Hendra kami akan menje
"Astaghfirullah ..."Sontak aku menoleh membalikkan badan."Bobok, yuk. sudah malam." bisik Mas Hendra.Jarak wajah kami begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan hangat nafasnya."Mas, sudah sholat Isya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Degub jantung bertalu-talu. Entah kenapa tak biasanya aku begitu grogi pada suamiku sendiri."Sudah, tadi Mas sholat dikamar Papa. Sambil menunggui Papa. Alhamdulillah, Papa sepertinya sudah pulas." jawabnya.Tangan itu kini meraih sarung yang masih aku kenakan, membantu meloloskan kain putih itu dari tubuhku."Kita coba, yuk." bisiknya lembut."Co-coba apa?" tanyaku gugup. Ya Allah, kenapa berasa pengantin baru yang akan belah duren begini. Mas Hendra tak menjawab, lelaki itu merebahkan tubuhku di ranjang dengan lembut. Tangannya dengan mesra membelai anak rambut yang menutupi wajahku."Mas sudah Ikhtiar untuk sembuh. Walau terkadang masih ada denyut dikepala ini. Tapi, Mas yakin hari ini akan mencetak gol dan menyatakan kemenangan."Ingin tertawa ta
"Sabar, ya Mas. Allah menguji kita, karena Dia yakin kita mampu melewatinya."Laki-laki itu melepas pelukannya, memegang kedua pundakku."Makasih sudah memberikan Mas kesempatan kedua." lirihnya. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Dalam hati ini berjanji, apapun yang terjadi aku akan mempertahankan rumah tanggaku. Mas Hendra laki-laki yang baik, hanya saja kisah masa kecilnya menorehkan sebuah trauma yang menjadi penyakit dikemudian hari.****Kami sudah sarapan, Papa duduk di kursi teras sambil menatap ke arah jalan."Pa, Papa mikirin apa?" tanya Mas Hendra yang kemudian ikut duduk disebelah Papa."Papa masih kepikiran Mamamu, selama ini Mama tak pernah seperti itu. Papa merasa asing dengan Mama.""Apa menurut Papa, siapa yang membuat Mama seperti itu?""Papa curiga dengan Rasti. Tapi, anak jaman sekarang apa masih percaya hal seperti itu?" ungkapnya ragu."Bisa jadi, Pa. Bagaimana jika besok kita pulang? kami akan ikut Papa?" ajak Mas Hendra.Papa setuju, kesehatan Papa juga su
Hari ini kami berniat kerumah Mama. Papa yang minta, katanya sebaiknya Mama dinasehati dan diberi pengertian bahwa rumah tanggaku bukan mainan yang sekehendak hati Mama, ganti-ganti pasangan. Aku menurut saja, toh aku juga sudah mengatakan pada Kak Hamzah, belum bisa bekerja dulu untuk saat ini. Pasrah dengan keputusan perusahaan, apa aku akan dipecat atau diberi kelonggaran. Jika dipecat pun aku siap. Karena Mbak Nada sudah memberikan sebuah pilihan padaku. Mungkin aku dan Mas Hendra akan mengelola usaha warung makannya nanti.Sesampainya dirumah Mama, terlihat Mbak Widya sedang menggendong Acha yang tampak sedang menangis."Acha kenapa, Wid?" tanya Papa setelah kami mengucapkan salam dan mendekati Mbak Widya."Ga tau, Pa. Acha itu tak pernah betah kalau di dalam, semenjak disini, rewel terus.""Apa mungkin ada yang sakit, Mbak?" sahutku."Ga tau, Mel. Anehnya kalau dibawa main diluar, dia berhenti menangis."Aku dan Mas Hendra saling pandang."Mama, apa sudah pulang, Mbak?" "Sudah,
Bayangan Rasti semalam masih menghantui benakku. Apa Rasti yang melakukan semua ini pada kami. Kemana dia? semalam aku mencarinya keluar, tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan perempuan itu. Dia hilang begitu saja. Apa cuma halusinasiku?Setelah subuh, Mas Hendra pulang. Katanya mau istirahat sebentar. Dirumah sakit sama sekali tak bisa tidur karena Mama selalu menggigau dan berteriak-teriak."Nanti jam 8 bangunkan Mas, ya, Dek. Mas mau balik lagi kerumah sakit. Kasian Mbak Widya.""Iya, Mas." jawabku setelah melihat Mas Hendra mulai memejamkan mata.Aku meninggalkan suamiku di kamar, berlalu ke dapur menyiapkan sarapan. Bik Lina sepertinya tak datang hari ini karena harus full menjaga Acha. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang ada. Sedang asik menyiangi sayuran, suara benda jatuh terdengar dari kamar belakang yang dijadikan gudang. Aku masih berpikir positif mungkin cicak atau tikus, maklum disana banyak barang-barang yang tak terpakai.Namun, suara itu masih terus te
Aku akhirnya dapat menyusul langkah perempuan itu. Tangannya kucekal dengan kencang."Rasti! kamu Rasti kan?" "Bu-bukan kamu salah orang!" perempuan itu masih mencoba berkilah."Jangan bohong! kamu Rasti! kenapa kamu lari kalau bukan Rasti. Jujur!" bentakku.Dia tergugu, kemudian terduduk lemas dipinggir jalan yang masih ramai dilalui kendaraan itu."Maafkan aku, Mel. Maafkan aku."Aku duduk disampingnya, berusaha menguasai emosi. Karena sedari awal aku curiga Rasti yang membuat rumah tanggaku dan kehidupan Mama dan Papa mertua sempat berantakan."Aku sangat mencintai Hendra, terlebih dari dulu Tante Fatma menjanjikan akan menikahkan aku dengan anaknya itu." suara Rasti bergetar karena tangis."Maksud kamu?""Sebelum kamu dijodohkan Om Rusdi dengan Hendra, aku telah terlebih dahulu dekat dengannya. Bahkan, Tante Fatma sudah aku anggap Mamaku sendiri. Tapi, nyatanya Om Rusdi malah menjodohkan Hendra dengan kamu, anak sahabatnya." Aku mulai paham. Jadi, kedekatan Rasti dengan Mas Hend