"Sabar, ya Mas. Allah menguji kita, karena Dia yakin kita mampu melewatinya."Laki-laki itu melepas pelukannya, memegang kedua pundakku."Makasih sudah memberikan Mas kesempatan kedua." lirihnya. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Dalam hati ini berjanji, apapun yang terjadi aku akan mempertahankan rumah tanggaku. Mas Hendra laki-laki yang baik, hanya saja kisah masa kecilnya menorehkan sebuah trauma yang menjadi penyakit dikemudian hari.****Kami sudah sarapan, Papa duduk di kursi teras sambil menatap ke arah jalan."Pa, Papa mikirin apa?" tanya Mas Hendra yang kemudian ikut duduk disebelah Papa."Papa masih kepikiran Mamamu, selama ini Mama tak pernah seperti itu. Papa merasa asing dengan Mama.""Apa menurut Papa, siapa yang membuat Mama seperti itu?""Papa curiga dengan Rasti. Tapi, anak jaman sekarang apa masih percaya hal seperti itu?" ungkapnya ragu."Bisa jadi, Pa. Bagaimana jika besok kita pulang? kami akan ikut Papa?" ajak Mas Hendra.Papa setuju, kesehatan Papa juga su
Hari ini kami berniat kerumah Mama. Papa yang minta, katanya sebaiknya Mama dinasehati dan diberi pengertian bahwa rumah tanggaku bukan mainan yang sekehendak hati Mama, ganti-ganti pasangan. Aku menurut saja, toh aku juga sudah mengatakan pada Kak Hamzah, belum bisa bekerja dulu untuk saat ini. Pasrah dengan keputusan perusahaan, apa aku akan dipecat atau diberi kelonggaran. Jika dipecat pun aku siap. Karena Mbak Nada sudah memberikan sebuah pilihan padaku. Mungkin aku dan Mas Hendra akan mengelola usaha warung makannya nanti.Sesampainya dirumah Mama, terlihat Mbak Widya sedang menggendong Acha yang tampak sedang menangis."Acha kenapa, Wid?" tanya Papa setelah kami mengucapkan salam dan mendekati Mbak Widya."Ga tau, Pa. Acha itu tak pernah betah kalau di dalam, semenjak disini, rewel terus.""Apa mungkin ada yang sakit, Mbak?" sahutku."Ga tau, Mel. Anehnya kalau dibawa main diluar, dia berhenti menangis."Aku dan Mas Hendra saling pandang."Mama, apa sudah pulang, Mbak?" "Sudah,
Bayangan Rasti semalam masih menghantui benakku. Apa Rasti yang melakukan semua ini pada kami. Kemana dia? semalam aku mencarinya keluar, tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan perempuan itu. Dia hilang begitu saja. Apa cuma halusinasiku?Setelah subuh, Mas Hendra pulang. Katanya mau istirahat sebentar. Dirumah sakit sama sekali tak bisa tidur karena Mama selalu menggigau dan berteriak-teriak."Nanti jam 8 bangunkan Mas, ya, Dek. Mas mau balik lagi kerumah sakit. Kasian Mbak Widya.""Iya, Mas." jawabku setelah melihat Mas Hendra mulai memejamkan mata.Aku meninggalkan suamiku di kamar, berlalu ke dapur menyiapkan sarapan. Bik Lina sepertinya tak datang hari ini karena harus full menjaga Acha. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang ada. Sedang asik menyiangi sayuran, suara benda jatuh terdengar dari kamar belakang yang dijadikan gudang. Aku masih berpikir positif mungkin cicak atau tikus, maklum disana banyak barang-barang yang tak terpakai.Namun, suara itu masih terus te
Aku akhirnya dapat menyusul langkah perempuan itu. Tangannya kucekal dengan kencang."Rasti! kamu Rasti kan?" "Bu-bukan kamu salah orang!" perempuan itu masih mencoba berkilah."Jangan bohong! kamu Rasti! kenapa kamu lari kalau bukan Rasti. Jujur!" bentakku.Dia tergugu, kemudian terduduk lemas dipinggir jalan yang masih ramai dilalui kendaraan itu."Maafkan aku, Mel. Maafkan aku."Aku duduk disampingnya, berusaha menguasai emosi. Karena sedari awal aku curiga Rasti yang membuat rumah tanggaku dan kehidupan Mama dan Papa mertua sempat berantakan."Aku sangat mencintai Hendra, terlebih dari dulu Tante Fatma menjanjikan akan menikahkan aku dengan anaknya itu." suara Rasti bergetar karena tangis."Maksud kamu?""Sebelum kamu dijodohkan Om Rusdi dengan Hendra, aku telah terlebih dahulu dekat dengannya. Bahkan, Tante Fatma sudah aku anggap Mamaku sendiri. Tapi, nyatanya Om Rusdi malah menjodohkan Hendra dengan kamu, anak sahabatnya." Aku mulai paham. Jadi, kedekatan Rasti dengan Mas Hend
"Mel, kamu sakit?"Mbak Nada meraba dahiku."Engga, kok Mbak." jawabku singkat. Walau pagi ini badanku terasa ga enak. Pusing dan rasanya ingin muntah. "Sarapan dulu, yuk. Tadi kebetulan Mbak masak sop iga, pasti seger nih." Mbak Nada mengeluarkan bungkusan yang berisi makanan yang dia bawa tadi. Jam tujuh Mbak Nada sudah sampai dirumah."Hendra sudah berangkat?""Sudah, Mbak. Pagi ini ada meeting katanya.""Oh, syukurlah, Hendra serius mengurus perusahaan itu. Mbak beneran buta masalah kantoran. Untung saja tuh perusahaan ga ngilang.""Mbak, bukannya buta. Tapi, menutup mata." ledekku.Dia tertawa kecil."Iya, sih Mel. Dari kecil Mbak itu terpenjara rasanya. Ga bisa menikmati masa remaja, ga tau apa itu cinta.""Udah, jangan melow! semua sudah berakhir. Mbak Nada sekarang udah enak hidupnya, tinggal nyari pengganti aja."Mbak Nada tersenyum, sambil menuangkan sop ke mangkok Mbak Nada ragu-ragu bertanya."Abangnya teman kamu itu sudah menikah?" Aku sontak menoleh pada Mbak Nada samb
"Mas ..." aku menyerahkan alat test kehamilan yang sudah kugunakan itu pada Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa, Dek?" Mas Hendra meraih benda itu melihat sekilas lalu berucap "gapapa, jangan bersedih." Dia merengkuh kepalaku dalam pelukannya."Gimana? gimana hasilnya?" Mama mendekat dengan wajah antusias. Semua berkumpul di depan kamar mandi, seolah sedang menunggu sesuatu yang penting."Sini ... sini biar Mbak lihat!" Mbak Widya merebut Tespeck yang ada di tangan Mas Hendra."Waaah! selamat!"seru Mbak Widya, membuat semua mengalihkan perhatian padanya. Sedangkan aku menahan senyum. Ternyata Mas Hendra tak pandai membaca hasil alat test kehamilan tersebut."Selamat? bukannya itu garisnya dua?" tanya mas Hendra polos."Waaah! garisnya dua? waaah ... sebentar lagi Mama punya cucu." Potong Mama, tampak wajah tua Mama sangat senang."Alhamdulillah ... akhirnya." lirih Papa menimpali."Kok punya cucu? itu garisnya dua. Garis dua bukannya negatif." Mas Hendra masih dengan wajah
"Mas, cari Mas Hendra?" tanyaku setelah mengikuti lelaki yang masuk ke dalam rumah."Eh, engga Mbak. Tadi sapu tangan saya ketinggalan. Ini sudah saya ambil. Pamit dulu, makasih."Dengan tergesa lelaki itu berlalu. Aneh sekali, hanya karena sapu tangan dia balik lagi, untuk ukuran seorang laki-laki itu sangat aneh.Namun, semua terlupakan karena kedatangan tamu yang makin banyak. MasyaAllah, hanya syukuran kehamilan saja acaranya besar-besaran seperti ini. Hampir sama dengan hajatan pernikahanku dulu. Papa memang terlihat seperti orang biasa, padahal kekayaannya diluar sana sangat banyak. Setahuku Papa memiliki saham yang besar dalam sebuah perusahaan kelapa sawit, dan juga beberapa perusahaan lain. Namun, semua di urus oleh orang kepercayaannya. Papa tak pernah ikut rapat atau apa pun itu, katanya, mau menikmati hari tua.Sempat heran kenapa bukan Mas Hendra yang Papa tunjuk menjadi orang kepercayaannya. Atau Mbak Widya yang merupakan anak kandungnya. Tapi, aku tak berani bertanya. I
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku