DESAH DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 2
(judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)
"Maaf, Dek. Mas ga bisa." ucapnya sebelum pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Ruangan yang menjadi saksi perihnya hati setelah setahun menikah. Hakku sebagai istri gagal dia berikan. Pertarungan yang berakhir dengan menetesnya air mata, bukan peluh kenikmatan. Tak terasa kesabaranku sudah dua belas bulan berlalu. Pahit memang kenyataan ini. Apa aku menyerah saja?
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, menghilang sesak di dada. Lalu menarik selimut untuk membungkus tubuhku yang tak lagi ditutupi baju.
Air mata sudah kering rasanya. Ini bukan yang pertama kalinya Mas Hendra gagal menuntaskan pergelutan halal ini. Beberapa kali pernah dia mencoba, Namun disaat puncak dia menyerah, dan seperti biasa meninggalkanku dan pergi ke kamar sebelah. Aku dibiarkan sendiri hingga pagi hari.
Detak jantung belumlah normal, berharap apa yang kami lakukan akan membuahkan hasil dan mematahkan anggapan orang-orang bahwa aku wanita yang tak subur. Bagaimana ladang akan menghasilkan, jika tak pernah digarap dan ditanami.
***
"Sarapan dulu, Mas?"
Seperti biasa, pagi hari kami melakukan kegiatan tanpa menyinggung kejadian tadi malam. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.
"Hayuk, makan bareng, Dek." ajaknya sambil meraih sebuah piring dan menyendokkan makanan ke dalamnya.
"Aku belum lapar, Mas." sahutku malas. Mas Hendra menatapku lekat lalu kembali menunduk, lelaki itu sepertinya juga menyesal.
"Mau kemana?" tanyanya, aku menoleh.
"Aku mau duduk di depan."
"Suami lagi makan, kok ditinggal?"
Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu kembali menjatuhkan bobot tubuh di kursi depan Mas Hendra.
"Untuk yang semalam, Mas minta maaf." desisnya.
"Aku lelah, Mas. Sudah setahun kita menikah. Bahkan, aku ... " kalimat itu mengantung di udara. Bibirku tak sanggup melanjutkan ucapan yang sesungguhnya sangat menyakitkan. Suaraku bergetar menahan emosi.
"Mas, minta maaf. Kita nanti coba lagi."
Mas Hendra menyesap teh hangat di hadapannya, lalu berdiri, meraih tas kerja disamping dan mendekatiku.
"Mas berharap Adek, bisa bersabar."
Mas Hendra meraih tubuhku lalu memeluknya. Tak terasa cairan hangat turun begitu saja dari mataku. Wanita mana yang tahan dengan rumah tangga seperti ini. Aku telah mencintainya, tapi aku juga butuh nafkah batin. Meninggalkannya rasanya aku tak sanggup, bukan karena rasa ini. Tapi, khawatir dengan hubungan persahabatan Papa dan Ayahku renggang.
Lagi pula meskipun Mas Hendra belum berhasil memberikan hakku. Tapi, dia tak pernah melalaikan kewajiban yang lain. Perhatian dan selalu mencukupi kebutuhanku, tentu saja selain yang itu.
Lelaki itu akhirnya berangkat kerja, setelah aku memberikan seulas senyum, tanda jika aku sudah mengikhlaskan semua. Walau, kadang ikhlas hanya di bibir saja, sedangkan hatiku masih sulit menerima.
[Mel, aku sebentar lagi sampai. Ini lagi beli rujak. Nanti kita sekalian ngerujak. Ada Tya juga.]
Pesan dari Rasti, rekan kerja Mas Hendra dulu yang sekarang juga menjadi sahabatku, sejak menikah Rasti memilih menjadi ibu rumah tangga sepertiku.
[Wah, tumben ngerujak. Kamu lagi isi ya, Ras?] tanyaku penasaran.
[Enggak! lagi pingin aja.] balasnya sambil menyisipkan emoticon tersenyum dibelakang kalimat.
Beberapa menit kemudian Rasti dan Tya datang. Obrolan heboh pun tak terelakkan, aku memang merasa cocok berteman dengan Rasti. Orangnya rame dan nyaman di ajak bercerita.Tya yang merupakan sepupu Rasti lebih banyak diam. Gadis itu baru pertama kali datang kesini. Sambil memakan rujak kami bicara banyak hal. Rasti yang sudah tahu jika aku sampai saat ini masih peraw*n itu ragu-ragu menanyakan keadaanku.
"Masih belum, Mel?"
Aku yang sudah paham maksud Rasti hanya menggeleng. Rasti menghela napas panjang.
"Apa kamu sudah menyelidiki Hendra?" ucapnya ragu-ragu.
"Maksud kamu?" mataku menatap lekat Rasti.
"Hmm ... maaf sebelumnya, Mel. Aku bukannya mau su'udzon sama suami kamu. Tapi, jika sampai saat ini Hendra masih bertahan seperti itu, aku rasa ada yang tidak wajar lho Mel. Secara kamu ini istrinya, kamu cantik, tak ada kurangnya, menurutku. Lelaki normal pasti akan tergoda jika tidur berdua dengan perempuan secantik kamu."
Aku terdiam, memang aku juga pernah berpikir seperti itu. Tapi, aku enggan untuk mengulas apa yang ada dalam benakku itu.
"Kamu ga pernah menemukan hal yang ganjil?" lagi-lagi aku menatap Rasti lalu menggeleng lemah. Selain Mas Hendra yang suka tidur di kamar sebelah dan suara des*han itu, rasanya semua normal-normal saja.
"Apa suami kamu pernah pulang malam? atau tak pulang sama sekali?"
Kepala ini kembali menggeleng. Mas Hendra selalu pulang tepat waktu. Hari libur kami habiskan berdua, jalan-jalan ke taman kota. Kadang ke rumah Mama Mas Hendra atau kerumah Abah.
"Ponselnya di pasword?"
Aku menggeleng lagi. Ponsel Mas Hendra sering tergeletak di atas meja. Pernah aku memeriksanya, tapi semua chattingan hanya persoalan pekerjaan.
Rasti terdiam, seperti sedang berpikir keras.
"Bersabar dulu, Mel. Aku yakin, Hendra punya alasan sendiri. Dia laki-laki baik kok. Selama menjadi rekan kerja dia dulu, Hendra satu-satunya laki-laki yang tak neko-neko, tak pernah ikut-ikutan yang lain."
"Iya, Ras. Makasih, ya. Mungkin Mas Hendra masih butuh waktu untuk melakukan hal itu." tuturku menghibur diri sendiri.
Rasti mengenggam tanganku erat lalu tersenyum.
"Bersyukur punya suami seperti Hendra, Mel. Sangat beda dengan Mas Yogi. Dia tak pernah menghargai aku sebagai istri." Rasti bercerita panjang.
Rumah tangga Rasti yang tak baik-baik saja, membuat kabut diwajahnya sangat ketara. Begitulah kami, saling menguatkan ditengah badai yang menerpa kehidupan, meski biduk ini masih seumur jagung.
****
Setelah kepulangan Rasti dan Tya, aku bergegas merapikan rumah. Tadi, Mas Hendra sempat mengirim pesan jika Mama dan Mbak Widya, Kakaknya Mas Hendra akan berkunjung kesini. Mbak Widya yang punya bayi berusia enam bulan itu rindu pada adiknya, begitu yang kudengar. Kakak iparku yang kebetulan lagi main ke Jakarta itu memang dekat denganku dan Mas Hendra. Dia Kakak yang sangat baik. Walau jarak Bandung dan Jakarta lumayan jauh, Mbak Widya selalu menyempatkan diri silaturahmi ke rumah kami.
Beberapa masakan kusiapkan untuk menyambut kedatangan mereka. Tepat jam satu siang Mama dan Mbak Widya datang. Senyum dan obrolan hangat mewarnai pertemuan kami siang itu.
"Sehat, Mel?" tanya Mbak Widya ramah.
"Alhamdulillah sehat, Mbak. Mbak gimana? duuh lucunya, Acha." sahutku sambil mencolek pipi Acha anak Mbak Widya, gemas.
"Alhamdulillah Mbak juga sehat."
"Boleh aku gendong Acha, Mbak?"
Mbak Widya tersenyum lalu mengangguk, tangannya terulur sambil menyerahkan Acha padaku.
"Makanya kamu buruan hamil dong, Mel. Sudah setahun lho ini. Mama juga ingin punya cucu dari kalian." pelan tapi menikam. Andai Mama tau.
"Do'akan Melody dan Mas Hendra segera punya momongan, Ma." cicitku.
"Santai aja, Mel. Nikmati saja kebersamaan kalian dulu, nanti kalau sudah punya anak, susah mencari waktu sekedar untuk pacaran." Mbak Widya mencoba membelaku.
"Keburu tua nanti. Jangan egois, kalau sudah menikah ya harus terima konsekuensi menjadi seorang ibu." sengit Mama.
Aku terdiam, Mbak Widya menepuk pundakku pelan seolah sedang memberi kekuatan. Seulas senyum kulempar padanya, lewat itu aku mengatakan
bahwa aku baik-baik saja.
Sampai Mas Hendra pulang, berbagai nasehat Mama lontarkan juga berbagi tips yang menurut Mama akan mempercepat proses kehamilan. Aku hanya mengiyakan, walau tips ampuh itu aku praktekkan, tetap saja hasilnya akan nihil. Karena hal utamanya tidak dilakukan.
"Mas, Mama minta cucu!" ketusku setelah Mama dan Mbak Widya pulang.
Berharap dia menarikku ke kamar. Tapi, yang ada laki-laki itu mengusap wajahnya kemudian berlalu ke kamar sebelah yang menjadi kamar pribadinya, lalu mengunci pintu.
Pikiran-pikiran buruk kembali memenuhi pikiranku.
Apa suamiku seorang laki-laki yang memiliki kelainan dan mencintai sesamanya?
Huff!
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 3(judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)Aku mendobrak kencang kamar Mas Hendra. Namun sama sekali tak mempengaruhi. Emosi menguasai, sekuat tenaga kuhantam kayu yang menutupi ruangan yang menjadi tempat dia melarikan diri dari masalah itu. Selama ini aku selalu berusaha memahami, mungkin disana Mas Hendra dapat menenangkan pikiran. Tapi, makin kesini, lelaki itu makin betah berlama-lama di dalam sana. Bahkan tega meninggalkan aku tidur sendiri. "Mas! buka!" teriakku. Kesabaranku benar-benar diuji. Sejam aku menunggunya, sengaja memakai pakaian dengan lengan terbuka dan berbahan tipis untuk memancing jiwa kelelakiannya. Namun, Mas Hendra seakan sengaja menghindar. Apa yang kulakukan tak mengubah apa-apa, pintu itu kokoh berdiri seperti biasa. Sesak di dada kian terasa, aku hanyalah seorang wanita, pintu berbahan jati ini tak akan mampu aku taklukkan sendiri.Beberapa menit berlalu pintu perlahan terbuka. Wajah Mas Hendra memerah, keringat meng
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 4(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"Mas Hendra tampak salah tingkah. Lalu dengan cepat memasukan kembali sapu tangan itu ke saku celananya."Kotor, Sayang. Hayuk, makan lagi." dia sengaja mengalihkan perhatian."Kamu dapat dari mana sapu tangan itu, Mas?" selidikku lagi."Mas beli, buat ngelap keringat kalau tak ada tissu." kilahnya lalu kembali menyuap makanan didepannya.Aku menghela nafas panjang, aku ingat betul sapu tangan itu milik Rasti. Dia tak bisa lepas dari kain bersegi empat itu. Apalagi ada sablon merah berukir gambar hati yang sama dengan sapu tangan Mas Hendra.Sejak apa yang dikatakan Rasti agar aku lebih memperhatikan gerak-gerik Mas Hendra, dan mencari tahu jika ada hal yang disembunyikan olehnya, perasaan curiga mulai mendominasi. Ada rasa khawatir, jika Mas Hendra kaum belok yang mempunyai orientasi s*ksual ke sesama jenis. Tapi, melihat sapu tangan yang dia pakai hari ini rasa curigak
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 5(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Batin)Aku mengambil rekam layar chattingan dari Rasti lalu mengirimkan ke nomorku. Tak lupa menghapus pesan itu dari ponsel Mas Hendra. Tak ada pesan lama disana, sepertinya sudah dihapus, atau memang mereka tak saling berkirim pesan sebelumnya.Ya Allah, salah besar aku mempercayai perempuan itu. Aku kira karena dia sudah menikah tak akan mungkin menjadi penyebab retaknya rumah tanggaku. Jangan-jangan mereka adalah pasangan kekasih. Aku harus menyeledikinya.Mas Hendra sudah pulas, suara dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Tak putus aku menatap lelaki itu. Ada berbagai rasa hadir dalam hati, entah itu penyesalan, sedih dan kadang bahagia karena selain hal yang satu itu, Mas Hendra adalah suami yang sempurna bagiku.Malam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Akhirnya aku ke kamar mandi mengambil wudhu berniat melaksanakan sholat, agar hati ini Allah beri ketenangan."Melody, kamu belum tidur, Nak?" "
"Apa maksudmu, Mel? kamu menuduhku ada hubungan dengan Hendra?" mata itu tajam tapi berkaca-kaca.Aku acuh, sambil melipat tangan di dada. "Kalau memang kamu mau menikah dengan Mas Hendra, silahkan! aku tak akan menjadi penghalang." ketusku lagi."Astaghfirullah ..." desisnya sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Air mata Rasti mengalir. Pandai betul dia bersandiwara."Ga usah pakai drama, Ras. Selama ini kita berteman, aku kira kamu tulus. Nyatanya kamu menikamku dari belakang. Sudah apa saja yang kamu lakukan dengan Mas Hendra, HA!"Rasti geleng-geleng kepala, seolah kaget dan tak percaya dengan ucapanku, heh paling hanya akting!"Demi Allah, Melody. Aku selama ini sudah menganggap kamu sebagai saudaraku sendiri. Tak pernah terniat untuk merusak rumah tangga kamu. Aku memang akhir-akhir ini sering komunikasi dengan Hendra, semata-mata ingin dia sadar dan menjadi seorang suami seutuhnya, memberikan hak kamu sebagai istri." jelasnya dengan suara bergetar. Tapi, sayang aku masih
Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan seorang tukang kunci, juga seorang teknisi yang akan memasang kamera cctv di kamar Mas Hendra. Aku harus tau, apa yang dia lakukan di sana sendirian. Seharusnya sejak dulu aku lakukan. Namun, aku terlalu takut untuk bertindak sejauh itu. Aku pikir dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, nyatanya semua masih sama.Tak butuh waktu lama untuk membuka pintu itu, dan membuat duplikatnya. Bersyukur aku mendapatkan tukang kunci profesional, hanya persoalan kecil saja baginya.Kamar itu terbuka lebar. Pemandangan di dalamnya seperti dugaanku, ruangan itu rapi dan juga wangi."Ini dipasang dimana, Bu." tanya teknisi itu padaku."Di sini saja, Pak. Ini akan menjangkau semua sisi." Laki-laki itu pun dengan cepat melakukan tugasnya. Kini aku bisa bernafas lega. Meski kamar dikunci rapat. Tapi, aku bisa mengawasi suami melalui ponselku.Semua berjalan lancar, meski aku harus menguras tabunganku untuk itu. Aku tak masalah, yang penting apa
Aku terduduk, langsung meraih ponselku. Memeriksa rekaman cctv di kamar sebelah.Ternyata benar dia ada disana. Kedua tangan reflek menutup mulut saat melihat apa yang dilakukan Mas Hendra.Lelaki itu membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kedua tangan terus meremas rambutnya kasar."Ya Allah ..."Ingin rasanya aku menghampiri Mas Hendra. Tapi, khawatir nanti dia akan tahu jika aku mengetahui apa yang dia lakukan di sana. Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Dia menghentikan gerakannya lalu meraih tas kerja yang ada di atas meja. Mengambil sesuatu yang ada di kantong putih, lalu meminumnya, sepertinya dia meminum obat pereda nyeri lagi. Sakit apa suamiku?Lelaki itu kemudian meraih laptop dan menyalakannya. Dia sudah duduk di depan laptop dan sedang menunggu benda itu menyala, dari sini terlihat dia sedang sangat galau. Menyapu rambut dari depan ke belakang lalu kembali lagi mengusap wajahnya. Setelah laptop menyala Mas Hendra kembali menutup benda itu lalu menunduk sambil memega
"Belum saatnya kamu tahu, Dek. Lagi pula ini aib untuk Mas dan keluarga kami. Cukup Mas saja yang menanggung semua ini. Kamu bantu do'a, agar Mas bisa menjadi lelaki sejati.""Maksud, Mas?" suaraku sedikit meninggi. Rasa penasaran membuncah, apa susahnya sih bicara pada istri sendiri."Sudahlah. Yuk, tidur. Kamu pasti lelah. Mas, janji nanti akan membuatmu lelah karena harus mengurus anak-anak kita." bisiknya."Soal Rasti, dia bukan selingkuhan, Mas. Percayalah kamu perempuan satu-satunya yang akan Mas cintai."Degh!Rasti mengadu pada Mas Hendra, dan lelaki ini tidak memarahiku? Aku merasa malu."Maafkan aku, Mas. Telah menuduhmu dan Rasti memiliki hubungan spesial."Mas Hendra tersenyum."Wajar jika kamu berpikir seperti itu, Mas tidak marah. Mas mengaku salah. Saat ini Mas sedang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Bantu, Mas. Dan tolong tak usah bertanya lagi."Aku terdiam, sementara Mas Hendra mulai merebahkan diri disampingku. Tak lama laki-laki itu tertidur pulas. Mataku te
Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku