DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 3
(judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)
Aku mendobrak kencang kamar Mas Hendra. Namun sama sekali tak mempengaruhi. Emosi menguasai, sekuat tenaga kuhantam kayu yang menutupi ruangan yang menjadi tempat dia melarikan diri dari masalah itu. Selama ini aku selalu berusaha memahami, mungkin disana Mas Hendra dapat menenangkan pikiran. Tapi, makin kesini, lelaki itu makin betah berlama-lama di dalam sana. Bahkan tega meninggalkan aku tidur sendiri.
"Mas! buka!" teriakku. Kesabaranku benar-benar diuji. Sejam aku menunggunya, sengaja memakai pakaian dengan lengan terbuka dan berbahan tipis untuk memancing jiwa kelelakiannya. Namun, Mas Hendra seakan sengaja menghindar. Apa yang kulakukan tak mengubah apa-apa, pintu itu kokoh berdiri seperti biasa. Sesak di dada kian terasa, aku hanyalah seorang wanita, pintu berbahan jati ini tak akan mampu aku taklukkan sendiri.
Beberapa menit berlalu pintu perlahan terbuka. Wajah Mas Hendra memerah, keringat mengucur di pelipisnya.
"Sedang apa kamu di dalam Mas?" tanyaku tajam, lalu memaksa masuk sehingga tubuh Mas Hendra terdorong ke tepi.
"Mas sedang kerja. Kamu lihat sendiri kan?"
Aku berjalan pelan, memperhatikan setiap sudut ruangan itu, semua terlihat rapi tak ada yang mencurigakan, lagi pula apa yang aku curigakan? tak mungkin Mas Hendra dikamar ini dengan seorang perempuan kan? Laptopnya terlihat menyala di atas meja. Selain sprei yang tampak acak-acakan semua normal normal saja. Mungkin Mas Hendra tiduran disana sehingga tempat tidurnya berantakan. Jendela juga terkunci rapat.
"Maaf, Mas tadi ketiduran sebentar." ujarnya sambil membereskan alas tidur.
"Ada apa, Dek?" tanyanya. Mata itu tak berani menatapku.
Aku mendekat, memangkas jarak dengan laki-laki yang terlihat salah tingkah itu. Sengaja kukalungkan kedua tangan dilehernya, rambut yang tergerai panjang kugoyangkan perlahan.
"Kamu tak tergoda sama sekali denganku, Mas?" ujarku manja tapi penuh penekanan.
Mas Hendra gelagapan, berusaha melepaskan diri dari pagutanku.
"Apa-apaan sih, Dek?"
Aku tak memperdulikan, diri ini sudah sangat lelah dengan lelaki yang setahun ini hidup bersamaku.
"Hayo lah, Mas. Kita ini sudah halal. Aku risih terus-terusan ditanya kapan punya anak oleh orang-orang?" aku terus memagut Mas Hendra. Lelaki itu berusaha melepaskan tanganku, wajahnya memerah. Aku tau dia antara sedang menahan diri dan ingin melepaskan hasr*t.
"Apa kamu tak malu, kalau orang tau jika aku masih peraw*n, Mas? apa kamu seorang g*y Mas! sehingga tak bisa memberikan nafkah batin padaku? kamu h*m*, apa begitu?!" kali ini rasa sakit mengalahkan akal sehatku aku tak peduli racauanku menyakiti hatinya. Serangan demi serangan terus aku lancarkan, meski sebenarnya aku merasa menjatuhkan harga diriku sebagai wanita.
"Cukup Melody!" bentaknya.
Mas Hendra mendorongku kasar hingga tubuhku terjengkang ke ranjang. Lelaki itu mendengus kemudian berlalu tanpa berkata sepatah katapun. Aku tergugu, baru kali ini rasanya benar-benar tak punya harga diri. Mengemis demi mendapatkan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hakku. Aku remuk, hatiku hancur. Hidup ini terasa tak ada artinya.
Aku terisak menahan emosi yang kian meledak-ledak. Entah sudah berapa lama aku menangis, kepala terasa berat. Tapi, tak ada tanda-tanda Mas Hendra akan menemuiku sekedar minta maaf atau apalah itu. Akhirnya dengan langkah berat aku meninggalkan kamar, dan pindah ke sebelah. Ruang tamu sepi, lampu juga sudah mati. Entah kemana perginya Mas Hendra, aku tak peduli lagi. Segera merebahkan diri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang masih tertutup pakaian tipis yang sengaja kubeli secara online untuk menyenangkan hati suami. Namun, nyatanya hanya membuat luka dihatiku kian mengangga.
****
Aku terbangun ketika matahari mulai meninggi. Lekas beranjak ke kamar mandi. Berwudhu lalu menunaikan shalat subuh meski waktunya sudah terlewati. Tapi, menurut ceramah yang aku dengar kita boleh tetap shalat jika benar-benar ketiduran atau memang dalam udzur yang dibenarkan.
Usai sholat gegas keluar kamar, tak ada Mas Hendra. Aku membuka kamar sebelah, tapi sudah terkunci seperti biasa jika dia sedang pergi. Katanya kamar itu kamar pribadinya, selain untuk membersihkan, aku tak boleh masuk. Tapi, tetap saja aku tak pernah punya kesempatan berlama-lama disana, karena kamar itu selalu dibersihkan sendiri oleh Mas Hendra. Kuncinya pun aku tak tau dia simpan dimana, atau memang selalu dibawa.
Aku meraih ponselku. Beberapa kali pesan kutulis lalu kuhapus kembali. Gengsi rasanya lebih dahulu menanyakan keberadaannya. Walau aku sangat penasaran kemana dia semalam, dan pagi ini pergi tanpa membangunkanku terlebih dahulu. Kuusap wajahku kasar. Apa terlalu berlebihan kata-kataku semalam?
Tiba-tiba saja penyesalan menyusup dalam. Aku merasa telah begitu tega melukai hati suamiku sendiri. Walau diri ini sejatinya lebih dirundung nestapa. Aku menghela napas panjang, baiklah aku mengalah. Untuk menebus kesalahan, aku berniat memasak ayam bakar kesukaan Mas Hendra dan mengantarkannya ke kantor. Sengaja aku tak mengabari dirinya. Biar menjadi kejutan nantinya.
Meski masih sedikit pusing, aku memaksakan diri untuk belanja lalu mengolahnya menjadi masakan penuh cinta.
Tepat jam sebelas masakanku selesai, gegas kumasukkan ke dalam kotak makanan. Tak lupa memasukkan beberapa buah yang sudah kupotong ke dalamnya. Tinggal mandi dan dandan sederhana saja.
Setelah semua dirasa cukup, aku memesan taksi online. Tak menunggu lama, mobil yang kusewa datang. Hati ini rasanya berdebar, setelah semalam aku merendahkan diri kini aku kembali menurunkan ego agar masalah ini tak berkepanjangan. Aku cukup sadar, aku hanyalah seorang istri yang sedang berusaha menaklukkan hati lelaki yang ridho-nya menjadi sebuah syarat untuk masuk ke Syurga.
Sejam perjalanan taksi pun sampai di depan sebuah gedung tinggi, dimana Mas Hendra bekerja sebagai seorang akuntan.
Beberapa karyawan tampak keluar dari gedung itu, sepertinya pas sekali jamnya makan siang. Setelah membayar taksi aku bergegas turun dan berjalan menuju lantai lima dimana Mas Hendra bekerja.
Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Mungkin tepatnya sedang menertawai kebod*han diri ini. Bagaimanapun aku tak bisa berbuat sesuai nafsuku. Rumah tangga ini harus tetap utuh, meski hati tak lagi sesempurna dulu. Apa jadinya jika aku menyerah, pasti banyak yang akan aku kecewakan.
Saat hendak mengetuk pintu ruangan Mas Hendra.
"Mbak Melody mencari Pak Hendra, ya?" sapa seorang perempuan yang sudah kukenal sebelumnya. Dia Mbak Indah, teman kerja suamiku aku pernah kenalan saat perusahaan mengadakan family gathering beberapa bulan lalu.
"Iya, Mbak. Apa Mas Hendranya ada?"
"Oh, baru saja keluar. Sepertinya buru-buru, apa Mbak tidak mengabari Pak Hendra dulu sebelum ke sini?"
Aku menggeleng lemah. Harapan melihat Mas Hendra makan dengan lahap, musnah sudah. Pasti dia sedang makan siang saat ini.
"Kalau begitu, Mbak tunggu didalam saja." tawarnya.
Aku mengangguk mengucapkan terima kasih.
Masuk ke ruangan itu, aku langsung menjatuhkan bobot tubuh di kursi dimana Mas Hendra biasa duduk. Sebuah komputer tergeletak di atas meja. Buku-buku dan alat tulis tertata rapi. Memang Mas Hendra orangnya bersih dan tak suka berantakan. Bosan hanya menunggu aku memilih memainkan ponsel.
"Terima kasih sudah menjadi tempatku berkeluh kesah." story W******p dari Rasti. Pasti dia sudah berbaikan dengan suaminya. Senyum tipis terukir begitu saja. Baru hendak menanggapi status wa Rasti, pintu terbuka.
"Dek?" Mas Hendra masuk.dengan seorang laki-laki, mereka menatapku kaget. Lalu entah bicara apa laki-laki itu mengatakan sesuatu dengan pelan lalu mereka saling mengangguk tak lama dia menepuk pundak Mas Hendra pelan, kemudian menatapku, memberikan senyuman lalu pergi ke luar. Siapa dia? aku baru melihatnya di kantor ini? apa karyawan baru?
"Aku datang membawakan ayam bakar kesukaan kamu, Mas. Tapi, sepertinya kamu sudah makan siang, aku lebih baik pulang saja." tuturku mengiba.
"Eh, gapapa kok. Kita makan berdua. Mas juga tadi makan sedikit." cegahnya. Masalah semalam menguap begitu saja, seperti yang sudah-sudah.
Mas Hendra mengajakku duduk di sofa yang tersedia disana. Aku tak menolak. Setidaknya dia menghargai usahaku datang kemari.
"Wangi sekali, Dek." ujarnya ketika kotak yang berisi ayam bakar kubuka.
"Semoga rasanya enak ya, Mas."
"InsyaAllah, pasti enak." sahutnya cepat.
Dengan semangat Mas Hendra menyendokkan nasi yang sudah kusiapkan, ke mulutnya. Lalu merogoh saku mengambil sebuah waslap dan mengelap bibirnya yang belepotan.
Tunggu, seperti aku kenal sapu tangan itu. Mas Hendra tak pernah punya sapu tangan bercorak bunga mawar itu.
"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"
Mas Hendra tampak salah tingkah.
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 4(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"Mas Hendra tampak salah tingkah. Lalu dengan cepat memasukan kembali sapu tangan itu ke saku celananya."Kotor, Sayang. Hayuk, makan lagi." dia sengaja mengalihkan perhatian."Kamu dapat dari mana sapu tangan itu, Mas?" selidikku lagi."Mas beli, buat ngelap keringat kalau tak ada tissu." kilahnya lalu kembali menyuap makanan didepannya.Aku menghela nafas panjang, aku ingat betul sapu tangan itu milik Rasti. Dia tak bisa lepas dari kain bersegi empat itu. Apalagi ada sablon merah berukir gambar hati yang sama dengan sapu tangan Mas Hendra.Sejak apa yang dikatakan Rasti agar aku lebih memperhatikan gerak-gerik Mas Hendra, dan mencari tahu jika ada hal yang disembunyikan olehnya, perasaan curiga mulai mendominasi. Ada rasa khawatir, jika Mas Hendra kaum belok yang mempunyai orientasi s*ksual ke sesama jenis. Tapi, melihat sapu tangan yang dia pakai hari ini rasa curigak
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 5(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Batin)Aku mengambil rekam layar chattingan dari Rasti lalu mengirimkan ke nomorku. Tak lupa menghapus pesan itu dari ponsel Mas Hendra. Tak ada pesan lama disana, sepertinya sudah dihapus, atau memang mereka tak saling berkirim pesan sebelumnya.Ya Allah, salah besar aku mempercayai perempuan itu. Aku kira karena dia sudah menikah tak akan mungkin menjadi penyebab retaknya rumah tanggaku. Jangan-jangan mereka adalah pasangan kekasih. Aku harus menyeledikinya.Mas Hendra sudah pulas, suara dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Tak putus aku menatap lelaki itu. Ada berbagai rasa hadir dalam hati, entah itu penyesalan, sedih dan kadang bahagia karena selain hal yang satu itu, Mas Hendra adalah suami yang sempurna bagiku.Malam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Akhirnya aku ke kamar mandi mengambil wudhu berniat melaksanakan sholat, agar hati ini Allah beri ketenangan."Melody, kamu belum tidur, Nak?" "
"Apa maksudmu, Mel? kamu menuduhku ada hubungan dengan Hendra?" mata itu tajam tapi berkaca-kaca.Aku acuh, sambil melipat tangan di dada. "Kalau memang kamu mau menikah dengan Mas Hendra, silahkan! aku tak akan menjadi penghalang." ketusku lagi."Astaghfirullah ..." desisnya sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Air mata Rasti mengalir. Pandai betul dia bersandiwara."Ga usah pakai drama, Ras. Selama ini kita berteman, aku kira kamu tulus. Nyatanya kamu menikamku dari belakang. Sudah apa saja yang kamu lakukan dengan Mas Hendra, HA!"Rasti geleng-geleng kepala, seolah kaget dan tak percaya dengan ucapanku, heh paling hanya akting!"Demi Allah, Melody. Aku selama ini sudah menganggap kamu sebagai saudaraku sendiri. Tak pernah terniat untuk merusak rumah tangga kamu. Aku memang akhir-akhir ini sering komunikasi dengan Hendra, semata-mata ingin dia sadar dan menjadi seorang suami seutuhnya, memberikan hak kamu sebagai istri." jelasnya dengan suara bergetar. Tapi, sayang aku masih
Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan seorang tukang kunci, juga seorang teknisi yang akan memasang kamera cctv di kamar Mas Hendra. Aku harus tau, apa yang dia lakukan di sana sendirian. Seharusnya sejak dulu aku lakukan. Namun, aku terlalu takut untuk bertindak sejauh itu. Aku pikir dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, nyatanya semua masih sama.Tak butuh waktu lama untuk membuka pintu itu, dan membuat duplikatnya. Bersyukur aku mendapatkan tukang kunci profesional, hanya persoalan kecil saja baginya.Kamar itu terbuka lebar. Pemandangan di dalamnya seperti dugaanku, ruangan itu rapi dan juga wangi."Ini dipasang dimana, Bu." tanya teknisi itu padaku."Di sini saja, Pak. Ini akan menjangkau semua sisi." Laki-laki itu pun dengan cepat melakukan tugasnya. Kini aku bisa bernafas lega. Meski kamar dikunci rapat. Tapi, aku bisa mengawasi suami melalui ponselku.Semua berjalan lancar, meski aku harus menguras tabunganku untuk itu. Aku tak masalah, yang penting apa
Aku terduduk, langsung meraih ponselku. Memeriksa rekaman cctv di kamar sebelah.Ternyata benar dia ada disana. Kedua tangan reflek menutup mulut saat melihat apa yang dilakukan Mas Hendra.Lelaki itu membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kedua tangan terus meremas rambutnya kasar."Ya Allah ..."Ingin rasanya aku menghampiri Mas Hendra. Tapi, khawatir nanti dia akan tahu jika aku mengetahui apa yang dia lakukan di sana. Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Dia menghentikan gerakannya lalu meraih tas kerja yang ada di atas meja. Mengambil sesuatu yang ada di kantong putih, lalu meminumnya, sepertinya dia meminum obat pereda nyeri lagi. Sakit apa suamiku?Lelaki itu kemudian meraih laptop dan menyalakannya. Dia sudah duduk di depan laptop dan sedang menunggu benda itu menyala, dari sini terlihat dia sedang sangat galau. Menyapu rambut dari depan ke belakang lalu kembali lagi mengusap wajahnya. Setelah laptop menyala Mas Hendra kembali menutup benda itu lalu menunduk sambil memega
"Belum saatnya kamu tahu, Dek. Lagi pula ini aib untuk Mas dan keluarga kami. Cukup Mas saja yang menanggung semua ini. Kamu bantu do'a, agar Mas bisa menjadi lelaki sejati.""Maksud, Mas?" suaraku sedikit meninggi. Rasa penasaran membuncah, apa susahnya sih bicara pada istri sendiri."Sudahlah. Yuk, tidur. Kamu pasti lelah. Mas, janji nanti akan membuatmu lelah karena harus mengurus anak-anak kita." bisiknya."Soal Rasti, dia bukan selingkuhan, Mas. Percayalah kamu perempuan satu-satunya yang akan Mas cintai."Degh!Rasti mengadu pada Mas Hendra, dan lelaki ini tidak memarahiku? Aku merasa malu."Maafkan aku, Mas. Telah menuduhmu dan Rasti memiliki hubungan spesial."Mas Hendra tersenyum."Wajar jika kamu berpikir seperti itu, Mas tidak marah. Mas mengaku salah. Saat ini Mas sedang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Bantu, Mas. Dan tolong tak usah bertanya lagi."Aku terdiam, sementara Mas Hendra mulai merebahkan diri disampingku. Tak lama laki-laki itu tertidur pulas. Mataku te
Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
Kakiku terasa tak menapak dibumi. Kesalahan apa yang aku lakukan ya, Allah. Hingga ujian ini begitu berat Kau berikan. Air mata terus saja mengalir, dadaku terasa tertindih beban yang sangat berat, hingga rasanya aku sangat sulit untuk bernafas. Aku bergegas keluar dari gedung tinggi yang menjadi saksi perihnya luka yang ditorehkan oleh suamiku. Tak peduli pandangan orang-orang yang melihatku aneh, berlarian dengan air mata masih menghujam.Kaki terus menyusuri jalanan sambil menatap mobil yang berlalu lalang. Memesan taksi online rasanya akan memakan waktu lama, aku khawatir Mas Hendra akan menyusulku. Dari jauh sebuah taksi berwarna biru melaju ke arahku, sontak saja aku melambaikan tangan. Beruntung taksi dalam keadaan kosong. Aku lekas naik dan menyebut alamatku. Lalu kembali larut dalam tangis. Jalanan yang mulai padat menyebabkan aku telat sampai dirumah, meminta sang supir menunggu sejenak. Aku masuk masuk kerumah, mengeluarkan koper besar milikku. Memasukkan pakaian ke dalam
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku