DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 4
(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)
"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"
Mas Hendra tampak salah tingkah. Lalu dengan cepat memasukan kembali sapu tangan itu ke saku celananya.
"Kotor, Sayang. Hayuk, makan lagi." dia sengaja mengalihkan perhatian.
"Kamu dapat dari mana sapu tangan itu, Mas?" selidikku lagi.
"Mas beli, buat ngelap keringat kalau tak ada tissu." kilahnya lalu kembali menyuap makanan didepannya.
Aku menghela nafas panjang, aku ingat betul sapu tangan itu milik Rasti. Dia tak bisa lepas dari kain bersegi empat itu. Apalagi ada sablon merah berukir gambar hati yang sama dengan sapu tangan Mas Hendra.
Sejak apa yang dikatakan Rasti agar aku lebih memperhatikan gerak-gerik Mas Hendra, dan mencari tahu jika ada hal yang disembunyikan olehnya, perasaan curiga mulai mendominasi. Ada rasa khawatir, jika Mas Hendra kaum belok yang mempunyai orientasi s*ksual ke sesama jenis. Tapi, melihat sapu tangan yang dia pakai hari ini rasa curigaku kembali terarah ke yang lain. Sepertinya dia punya hubungan dengan mantan rekan kerjanya itu. Darahku rasanya terpompa dengan cepat. Aku merasa wanita paling bodoh yang telah salah memberikan kesetiaan pada lelaki yang tak tau diri ini.
"Dek!"
"Hmm... ya, Mas!" aku tersentak.
"Kok melamun?"
"Enggak, kok!" jawabku asal. Aku kembali menghirup napas dalam-dalam, emosi ini tak boleh mengacaukan rencana.
"Soal semalam aku minta maaf." lanjutku ragu-ragu.
"Tak apa-apa, Mas yang seharusnya minta maaf sama kamu. Mas yang salah. Semoga kamu mau bersabar ya, Dek."
Aku mengangguk.
"Tadi siapa, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Yang mana?"
"Yang tadi datang bersamamu."
Mas Hendra menghentikan suapannya.
"Oh, Ata. Dia teman Mas, karyawan baru disini. Athaya, namanya." jawabnya santai.
"Apa dia sudah menikah?" tanyaku lagi. Wajah Mas Hendra berubah. Astaga, aku baru sadar semalam aku menuduhnya seorang g*y.
"Maaf, kalau kamu ga suka dengan pertanyaanku, aku tak bermaksud apa-apa." kataku, kemudian menunduk sungkan.
"Tak apa-apa, Mas ngerti arah pembicaraanmu. Ata sudah menikah dan punya anak."
"Syukurlah." lirihku. Setidaknya aku tak jijik sekiranya mereka adalah pasangan kekasih.
"Apa kita periksa ke dokter, Mas? aku khawatir kamu punya masalah kesehatan." setelah sekian lama menjadi istrinya, baru kali ini aku berani mengatakan hal ini.
"Kamu tak perlu risau, Mas akan atasi masalah kita." suaranya terdengar berat. Sebenarnya ada masalah apa? apa yang disembunyikan oleh Mas Hendra. Setahun menikah, rasanya dia masih menjadi orang lain bagiku. Pernikahan ini hanya sebatas status, hidup dalam satu atap namun hati berjauhan. Meski Mas Hendra telah mencoba mendatangiku, mencoba mesra, tapi nyata ada sebuah penyekat yang menghalanginya untuk menjadi suamiku seutuhnya.
****
Aku kembali ke rumah dengan hati yang dipenuhi tanda tanya. Sapu tangan? laki-laki bernama Athaya, tapi setidaknya teman Mas Hendra itu punya istri. Tak mungkin kan, dia menjadi kaum belok. Apalagi sudah punya anak. Walau tidak menutup kemungkinan.
Penat rasanya, aku melangkah ke kamar. Mencari kunci kamar sebelah yang selalu disembunyikan oleh Mas Hendra. Sudah ke semua sudut, bahkan aku memeriksa pakaian kotor yang tadi pagi teronggok dibelakang. Barangkali kunci itu terselip di sana, tapi nihil.
Kembali ke ruang tengah menghempas bobot tubuh di sofa. Apa yang harus aku lakukan. Semua jawaban ada di kamar itu. Aku yakin ada sesuatu yang di sembunyikan Mas Hendra dariku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
[Mel, gimana Hendra?] pesan dari Rasti.
Keningku berkerut. Apa maksudnya nanyain Mas Hendra?
[Gimana apanya?]
[Itu, kamu pasti paham maksudku. Kalian sudah malam pertama kan?]
Moodku mendadak buruk. Jika biasanya aku akan mencurahkan isi hatiku pada Rasti, tapi kali ini aku merasa telah salah menceritakan masalah rumah tanggaku pada mantan rekan kerja Mas Hendra itu.
[Mel ... kok ga dibalas? aku ke sana yaa ...]
Ya Allah, aku belum sanggup bertemu Rasti ketika rasa curiga ini mengarah padanya.
[Eh, Ras. Aku mau kerumah Ayah. Lain kali aja kita ketemuannya, Oke!]
Balasku cepat, tentu saja dengan mengabaikan pertanyaan yang sebelumnya.
[Oh gitu? Hendra ikut?]
Lagi, pertanyaan perempuan ini membuat rasa di hatiku kian memburuk. Jika tak ingat kebaikannya selama ini, tentu sudah aku balas dengan umpatan dan cacian.
[Belum tau!]
Balasku singkat. Lalu mematikan data seluler dan menaruh ponsel di atas meja. Mengusap wajah lalu melepaskan jarum dileher yang menyematkan kerudungku. Gerah! ga hanya cuaca tapi juga hatiku.
Perkenalan dengan Rasti saat hari pernikahanku dengan Mas Hendra mengantarkan hubungan kami kian dekat. Rasti sering main kerumah di hari libur. Saat itu dia belum menikah dengan Yogi, lelaki yang sekarang menjadi suaminya.
Kedekatan Mas Hendra dan Rasti masih kurasa hanya sebatas teman. Tak ada curiga sama sekali, bahkan saat Mas Hendra sakit beberapa bulan lalu, Rasti ke rumah mengantarkan bubur ayam langganan Mas Hendra padahal jarak rumahnya dengan pedagang bubur itu lumayan jauh. Ya Allah, bodohnya aku. Kenapa sama sekali tak terpikirkan jika Rasti punya hati buat suamiku.
Aku kembali meraih ponsel.
[Mas, nanti kita kerumah Ayah, ya. Aku rindu sama Ayah.] ketikku. Kepalaku terasa mau meledak jika terus dirumah ini.
[Tumben, dadakan?]
[Iya gapapa, lagian besok Mas kan libur.]
[Oke.]
Lega, Mas Hendra tak keberatan mengantarkan aku kerumah Ayah. Hanya disana aku bisa menenangkan pikiran yang sedang runyam ini.
Sepulang kerja setelah istirahat sebentar, kami langsung berangkat. Jarak Jakarta Bogor tak begitu jauh, tapi jalanan yang biasanya macet akan menghambat perjalanan kami.
Di dalam mobil kami sama-sama hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tak terasa setelah beberapa saat kami sampai dirumah Ayah. Wajah Ayah tampak kaget saat melihat kedatangan kami. Jam segini Ayah memang terbiasa duduk diruang tengah sambil membaca buku. Mendengar suara mobil Ayah pasti langsung membuka pintu, siapa lagi yang datang, kalau tidak aku. Senyum merekah diantara bibirnya yang tak pernah
tersentuh tembakau itu
"Assalamualaikum, Ayah." aku meraih tangan Ayah dan mencium takzim. Begitu juga dengan Mas Hendra.
"Wa'alaykumussalam ... tumben kesini ga ngabari Ayah?" katanya sambil mengajak kami masuk.
"Kangen, Ayah." sahutku.
"Kirain sudah lupa sama Ayah." ledeknya lalu terkekeh.
"Ayah cinta pertama Melody, gimana mau lupa." jawabku sambil merebahkan kepala dilengannya. Aku mengusap kepalaku sejenak.
Seperti biasa aku langsung ke belakang membuatkan teh hangat buat Mas Hendra. Lelaki itu kini asik ngobrol dengan Ayah.
"Gimana kabar Papamu, Nak?" tanya Ayah.
"Alhamdulillah baik, Yah."
"Lihat kamu, Ayah jadi ingat Papamu, Nak. Kebaikannya belum bisa Ayah balas. Ayah malu rasanya udah setua ini masih saja gagal."
"Jangan gitu, Yah. Biar Allah saja yang membalas kebaikan Papa. Ayah cukup mendo'akannya saja. Papa selalu bilang, jika Papa ikhlas membantu Ayah. Ayah tak perlu menganggapnya sebagai hutang."
Tiga cangkir teh aku simpan di atas meja, kemudian ikut duduk disamping Mas Hendra.
"Menurut Hendra, Ayah itu seorang laki-laki yang sukses. Sukses mendidik Melody menjadi seorang istri yang berbakti pada suami." Mas Hendra meraih tanganku lalu mengenggamnya erat. Hatiku menghangat walau sejatinya dia sedang sekarat.
"Dan lihat pesantren yang Ayah kelola juga berkembang pesat."sambungnya.
"Semua juga lewat bantuan Ayahmu, Hend."
Ayah tersenyum lebar, Mas Hendra memang selalu pandai menaklukkan hati Ayahku.
Obrolan berlangsung hangat, hingga akhirnya Ayah menyuruh kami untuk istirahat karena sudah larut malam.
Mas Hendra langsung merebahkan diri di ranjang. Sementara aku masih didepan meja rias membersihkan wajah sambil memandang pantulan diriku dari cermin.
"Malang nian nasibmu Melody, ingin pergi tapi kakimu dirantai besi emas tak kasat mata. Bertahan, lama-lama kamu bisa gila." aku mengejek bayangan yang ada disana.
Ting!
Kepalaku sontak melirik ke arah ponsel Mas Hendra yang menyala di atas nakas. Malam-malam begini siapa yang mengirimkan pesan. Aku beranjak dan meraih ponsel itu. Benda pipih yang tak pernah dikunci oleh Mas Hendra. Cekatan aku membuka pesan dalam aplikasi hijau itu.
[Kamu sudah sampai? Gimana perjalanannya? Selamat liburan, ya! ingat pesanku.]
Pesan dari Rasti dengan menyisipkan emoticon mengedipkan mata sebelah dibelakangnya.
Perempuan itu lagi. Apa ini yang namanya pagar makan tanaman? Sahabat menjadi penjahat?
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 5(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Batin)Aku mengambil rekam layar chattingan dari Rasti lalu mengirimkan ke nomorku. Tak lupa menghapus pesan itu dari ponsel Mas Hendra. Tak ada pesan lama disana, sepertinya sudah dihapus, atau memang mereka tak saling berkirim pesan sebelumnya.Ya Allah, salah besar aku mempercayai perempuan itu. Aku kira karena dia sudah menikah tak akan mungkin menjadi penyebab retaknya rumah tanggaku. Jangan-jangan mereka adalah pasangan kekasih. Aku harus menyeledikinya.Mas Hendra sudah pulas, suara dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Tak putus aku menatap lelaki itu. Ada berbagai rasa hadir dalam hati, entah itu penyesalan, sedih dan kadang bahagia karena selain hal yang satu itu, Mas Hendra adalah suami yang sempurna bagiku.Malam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Akhirnya aku ke kamar mandi mengambil wudhu berniat melaksanakan sholat, agar hati ini Allah beri ketenangan."Melody, kamu belum tidur, Nak?" "
"Apa maksudmu, Mel? kamu menuduhku ada hubungan dengan Hendra?" mata itu tajam tapi berkaca-kaca.Aku acuh, sambil melipat tangan di dada. "Kalau memang kamu mau menikah dengan Mas Hendra, silahkan! aku tak akan menjadi penghalang." ketusku lagi."Astaghfirullah ..." desisnya sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Air mata Rasti mengalir. Pandai betul dia bersandiwara."Ga usah pakai drama, Ras. Selama ini kita berteman, aku kira kamu tulus. Nyatanya kamu menikamku dari belakang. Sudah apa saja yang kamu lakukan dengan Mas Hendra, HA!"Rasti geleng-geleng kepala, seolah kaget dan tak percaya dengan ucapanku, heh paling hanya akting!"Demi Allah, Melody. Aku selama ini sudah menganggap kamu sebagai saudaraku sendiri. Tak pernah terniat untuk merusak rumah tangga kamu. Aku memang akhir-akhir ini sering komunikasi dengan Hendra, semata-mata ingin dia sadar dan menjadi seorang suami seutuhnya, memberikan hak kamu sebagai istri." jelasnya dengan suara bergetar. Tapi, sayang aku masih
Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan seorang tukang kunci, juga seorang teknisi yang akan memasang kamera cctv di kamar Mas Hendra. Aku harus tau, apa yang dia lakukan di sana sendirian. Seharusnya sejak dulu aku lakukan. Namun, aku terlalu takut untuk bertindak sejauh itu. Aku pikir dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, nyatanya semua masih sama.Tak butuh waktu lama untuk membuka pintu itu, dan membuat duplikatnya. Bersyukur aku mendapatkan tukang kunci profesional, hanya persoalan kecil saja baginya.Kamar itu terbuka lebar. Pemandangan di dalamnya seperti dugaanku, ruangan itu rapi dan juga wangi."Ini dipasang dimana, Bu." tanya teknisi itu padaku."Di sini saja, Pak. Ini akan menjangkau semua sisi." Laki-laki itu pun dengan cepat melakukan tugasnya. Kini aku bisa bernafas lega. Meski kamar dikunci rapat. Tapi, aku bisa mengawasi suami melalui ponselku.Semua berjalan lancar, meski aku harus menguras tabunganku untuk itu. Aku tak masalah, yang penting apa
Aku terduduk, langsung meraih ponselku. Memeriksa rekaman cctv di kamar sebelah.Ternyata benar dia ada disana. Kedua tangan reflek menutup mulut saat melihat apa yang dilakukan Mas Hendra.Lelaki itu membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kedua tangan terus meremas rambutnya kasar."Ya Allah ..."Ingin rasanya aku menghampiri Mas Hendra. Tapi, khawatir nanti dia akan tahu jika aku mengetahui apa yang dia lakukan di sana. Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Dia menghentikan gerakannya lalu meraih tas kerja yang ada di atas meja. Mengambil sesuatu yang ada di kantong putih, lalu meminumnya, sepertinya dia meminum obat pereda nyeri lagi. Sakit apa suamiku?Lelaki itu kemudian meraih laptop dan menyalakannya. Dia sudah duduk di depan laptop dan sedang menunggu benda itu menyala, dari sini terlihat dia sedang sangat galau. Menyapu rambut dari depan ke belakang lalu kembali lagi mengusap wajahnya. Setelah laptop menyala Mas Hendra kembali menutup benda itu lalu menunduk sambil memega
"Belum saatnya kamu tahu, Dek. Lagi pula ini aib untuk Mas dan keluarga kami. Cukup Mas saja yang menanggung semua ini. Kamu bantu do'a, agar Mas bisa menjadi lelaki sejati.""Maksud, Mas?" suaraku sedikit meninggi. Rasa penasaran membuncah, apa susahnya sih bicara pada istri sendiri."Sudahlah. Yuk, tidur. Kamu pasti lelah. Mas, janji nanti akan membuatmu lelah karena harus mengurus anak-anak kita." bisiknya."Soal Rasti, dia bukan selingkuhan, Mas. Percayalah kamu perempuan satu-satunya yang akan Mas cintai."Degh!Rasti mengadu pada Mas Hendra, dan lelaki ini tidak memarahiku? Aku merasa malu."Maafkan aku, Mas. Telah menuduhmu dan Rasti memiliki hubungan spesial."Mas Hendra tersenyum."Wajar jika kamu berpikir seperti itu, Mas tidak marah. Mas mengaku salah. Saat ini Mas sedang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Bantu, Mas. Dan tolong tak usah bertanya lagi."Aku terdiam, sementara Mas Hendra mulai merebahkan diri disampingku. Tak lama laki-laki itu tertidur pulas. Mataku te
Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
Kakiku terasa tak menapak dibumi. Kesalahan apa yang aku lakukan ya, Allah. Hingga ujian ini begitu berat Kau berikan. Air mata terus saja mengalir, dadaku terasa tertindih beban yang sangat berat, hingga rasanya aku sangat sulit untuk bernafas. Aku bergegas keluar dari gedung tinggi yang menjadi saksi perihnya luka yang ditorehkan oleh suamiku. Tak peduli pandangan orang-orang yang melihatku aneh, berlarian dengan air mata masih menghujam.Kaki terus menyusuri jalanan sambil menatap mobil yang berlalu lalang. Memesan taksi online rasanya akan memakan waktu lama, aku khawatir Mas Hendra akan menyusulku. Dari jauh sebuah taksi berwarna biru melaju ke arahku, sontak saja aku melambaikan tangan. Beruntung taksi dalam keadaan kosong. Aku lekas naik dan menyebut alamatku. Lalu kembali larut dalam tangis. Jalanan yang mulai padat menyebabkan aku telat sampai dirumah, meminta sang supir menunggu sejenak. Aku masuk masuk kerumah, mengeluarkan koper besar milikku. Memasukkan pakaian ke dalam
"Melody?" Wajah itu tampak kaget, karena memang aku tak bilang jika hari ini aku datang."Assalamualaikum, Wa." ulangku mengucapkan salam."Eh, sampai lupa balas salam. Wa'alaykumussalam warahmatullah ...Hayo, Mel masuk." ajaknya.Aku pun masuk ke rumah dimana dulu aku sering main ke sini sepulang kuliah. Banyak kenangan yang begitu manis disini. Masa-masa menjadi Mahasiswi yang tak akan terulang lagi. Dulu sewaktu Ibunya Salwa masih hidup, dia sangat senang saat aku datang."Ibu kepengen kamu jadi mantu Ibu lho, Nak." aku hanya menanggapi dengan senyum malu. Secara Ka Hamzah, anaknya yang merupakan Abang dari Salwa juga ada disana."Ih, Ibu, orang masih kuliah kok!" sahut Salwa."Tapi, kalau Melody mau sama Kak Hamzah, sih. Salwa seneng banget. Iparku adalah temanku." lanjutnya sambil cengengesan dengan mata melirik ke arahku. Bisa dibayangkan wajahku memerah malu, saat itu. Lelaki didepanku juga tak membantah, malah ikut melebarkan senyuman."Heh! ngelamun!" Salwa menepuk pundakku.
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku