Aku dan Salwa saling pandang. Rasanya malu jika masalah rumah tanggaku diketahui oleh Kak Hamzah yang lamarannya pernah ditolak Ayah karena Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanku dengan Mas Hendra."Nanti aku ceritakan, Kak."sahut Salwa yang membuat laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, silahkan. Nanti, Kakak akan tidur di mesjid sekalian bantuin Mang Eman disana.""Maafkan saya, Kak." lirihku."Tak apa-apa. Nikmati pertemuan kalian." sahutnya kemudian berlalu ke kamarnya.Salwa melempar senyum padaku, seolah berkata semua baik-baik saja. ***Aku sudah rebahan di kamar Salwa. Kamar yang begitu mengundang kenangan."Mel, kamu sudah ngasih tau Ayahmu?"Salwa memang sudah kenal dekat dengan Ayah."Jangan dulu lah, Mel. Aku ingin menenangkan diri sejenak."Salwa pun mengangguk lalu tersenyum. Tak lama dia keluar, sedangkan aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya.Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam."Mel, bangun dulu, yuk udah adzan. Nanti kita makan baren
POV Hendra"Dek ...! tunggu! Mas bisa jelaskan." Melody tak menghiraukan panggilanku. Perempuan yang telah kunikahi selama setahun itu terus berlari keluar kamar hotel, jelas kulihat matanya penuh luka. Air mata juga deras mengalir di pipi. Ya Allah, apa yang telah aku lakukan. Seharusnya aku punya keberanian untuk berterus terang pada Melody. Tapi, rasa malu lebih mendominasi. "Kamu kemana, Ndra?" tanya Ata dengan wajah cemas, wajar saja proses pengobatan baru saja akan dilakukan. Tapi, aku sudah bersiap hendak pergi.Merapikan baju yang tadi sempat dibuka. Melody pasti berpikiran aneh-aneh melihat keadaan ini."Aku mau menyusul Melody?" jawabku singkat."Lalu gimana dengan Ki Ageng?" Aku tak menjawab. Dengan cepat mengemas semua barang-barang milikku. Tak banyak, hanya tas kerja berisi satu stel baju ganti dan ponsel yang masih terhubung ke charger-nya."Jangan terburu nafsu, Nak. Selesaikan dulu semuanya. Nanti jika jin jahat yang telah masuk ke dalam tubuhmu saya musnahkan. Bar
"Saranku lebih baik kamu berterus terang. Jangan sampai Melody melihat sendiri apa yang kamu lakukan dikamar itu.""Tak mungkin Ras, kuncinya selalu aku bawa. Melody tak akan pernah bisa masuk ke sana."Rasti tertawa mengejek."Kamu kira Melody wanita bod*h? seorang wanita bisa melakukan apa saja ketika dia merasa dirinya teracam, atau merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui." tuturnya."Gampang mencari tukang kunci lalu memasang kamera di rumah yang sudah menjadi daerah kekuasaannya itu, Ndra!" lanjut Rasti.Aku memijit kening. Kepalaku mulai terasa sakit. Sangat sakit, hingga aku berjalan sempoyongan dan akhirnya muntah di toilet. Saat itulah aku diberikan sapu tangan oleh Yogi, kain segi empat milik Rasti yang kemudian membuat Melody menaruh curiga pada Rasti. Sejak perkataan Rasti itu aku mulai menelisik setiap sudut, aku melihat sebuah benda aneh menempel di plafon. Sekilas tak akan tampak, tapi jika diperhatikan dengan seksama, sangat jelas itu sebuah kamera mini.***Semua b
"Benar apa yang dikatakan Widya, Hendra!" bentak Papa ketika aku baru saja menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Mama tampak tersedu. Ada Mbak Widya disamping Mama.Aku memilin jari jemari, mengusir takut dan malu yang saling tumpang tindih."Jawab!" teriak Papa lantang.Terkaget, mataku mengarah tepat pada mata Papa. Lalu kembali menunduk, menetralkan detak jantung yang sudah tak karuan."Iy-iya, Pa." desisku."Astaghfirullah, Hendra ..." raungan Mama terdengar menyayat hati."Siapa yang mengajak kamu seperti itu, Ha!" lantang suara Papa membahana.Aku menatap Mbak Widya, ragu. Tapi Mbak Widya justru buang muka, seakan jijik melihatku."Dulu waktu Hendra masih duduk dikelas dua SD, Hendra melihat Mama dan Papa, melakukan aktivitas malam." lirihku."Ya Allah ..." Mama makin tergugu.Sedangkan Papa mengusap wajahnya kasar, lalu terduduk lemas di sofa. Memang tak ada yang salah, saat itu kami tak se-berjaya seperti sekarang ini. Hidup di sebuah petakan. Rumah dengan tiga sekat, yang digunaka
"Hendra yang salah, Pa." sahutku."Sekiranya Papa dari dahulu becus menjadi seorang Ayah, tentu kalian tak akan hidup susah. Dan ini semua tak akan terjadi." suara Papa bergetar,Seumur-umur baru kali ini aku melihat air mata Papa mengalir deras."Papa memang payah!" rutuk Papa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Begitu pun Mama, tangisnya kian kencang."Sudah, Pa. Semua sudah berlalu, kini gimana caraagar rumah tangga Hendra bisa kembali utuh." ujar Mbak Widya menenangkan Papa."Utuh? memang apa yang terjadi?" tanya Papa kaget.Mbak Widya menatapku cemas. Sepertinya dia belum cerita jika Melody kabur dari rumah."Melody pergi, Pa." cicit Mbak Widya kemudian."Ya Allah ..." Suara Papa bergetar pilu."Ya Allah, Ndra, kamu sudah cari Melody, Nak? kamu harus mendapatkan dia kembali. Mama banyak salah. Mama berdosa pada Melody." Mama terisak.Melihat air mata dari orang-orang yang kusayangi, hati ini terasa ditusuk ratusan pisau, sakit."Iya, Ma. Hendra akan mencari Melody.""Ap
Aku menajamkan penglihatan, foto yang di kirim Ata, berulangkali aku zoom. Dari sisi mana pun perempuan itu sangat mirip dengan Melody. Tanganku gemetaran.Ya Allah, apa Melody tertekan, stres lalu berubah menjadi perempuan seperti itu?"Ta, kamu masih di sana? tolong ikuti perempuan itu." Aku langsung melakukan panggilan telepon kepada Ata. Ga ada waktu lagi untuk berkirim pesan."Ga, Ndra. Dia sudah naik sebuah mobil mewah dan meluncur cepat. Aku ga sempat memperhatikan karena keberadaannya ada diseberang jalan."Aku mendengkus. Gimana cara menyelidikinya kalau begini?"Jadi, hanya foto itu aja, Ta?" "Iya, sorry, Bro. Aku juga ga nyangka istri kamu yang berkerudung itu nekat mengubah penampilan seperti itu.""Bukan, Ta! itu bukan Melody! Melody tak mungkin menjadi wanita ga bener! dia wanita yang tau agama." kilahku. Tak terima Ata menghakimi Melody seperti itu."Maaf, Ndra. Aku pikir setahun kamu abaikan dia, membuat jiwanya sakit. Apalagi setelah kesalahanpahaman yang terjadi di
Setengah jam berlalu, rasa sakit sudah mulai hilang, walau berat dibagian tengkuk masih aku rasakan. Jam ditangan menunjukkan angka dua. Aku belum sholat. Gegas aku menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari rumah Ayah Melody, ada mesjid. Aku akan sholat dulu disana. Walau sudah lewat waktunya. Mesjid sudah sepi, hanya beberapa driver ojek online yang rebahan di pelataran bangunan suci itu. Tak apa yang penting berniat untuk beribadah. Tak lupa berdoa agar masalah ini cepat teratasi.Usai sholat aku kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa jarak lagi aku akan sampai dirumah mertuaku. Ingin kesana, tapi takut jika Ayah Melody akan terpancing emosinya. Tapi, aku penasaran apakah Melody ada disana atau tidak. Khawatir jika Ayah menyembunyikan anak perempuannya itu karena kecewa padaku. Mengingat itu aku melajukan mobil ke sana, mengintai dari jauh.Rumah minimalis itu tampak sepi, tapi pintunya terbuka lebar. Dua buah mobil parkir di depan rumah Ayah Dahlan. Yang
Hari sudah gelap, badanku sudah lemas rasanya tubuh ini tak bertulang. Seharian aku mutar-mutar mencari Melody. Beberapa orang di dekat kampus Melody dulu, yang kuperlihatkan foto istriku itu, sama sekali tak mengenalnya. Aku memutuskan ke rumah Mama badanku sungguh tak nyaman aku takut tinggal sendirian. Jika nanti mati, siapa yang akan tau.Mobilku sampai dihalaman rumah Mama. Pintu langsung terbuka. Mama dan Mbak Widya menatap ke arahku. Baru saja aku turun dari mobil. Pandanganku tiba-tiba saja berputar. Badan terasa berat, aku terhempas ke tanah. Hanya samar-samar suara Mama dan Mbak Widya memanggil-manggil namaku cemas.***"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ndra." suara Mama menyambut kesadaranku."Ini dimana, Ma?""Rumah sakit, Ndra. Kamu pingsan kemarin. Kamu ini gimana toh, Ndra. Seharian mesti ga makan?" sungut Mama."Mencari istri ya harus mikirin kesehatan juga, Ndra. Kalau kamu begini gimana mau mencari Melody! pikir kesehatan kamu!" potong Mbak Widya yang mendekat ke bib
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku