"Aku kan sakit, Ta.""Iya, tapi taunya Pak Ryan kamu itu ngayap di jalan-jalan. Kayak orang bingung." ketus Ata.Aku mengeryitkan kening. Kenapa Pak Ryan bisa tau."Pak Ryan tau dari mana?""Dia melihat kamu, Ndra. Beberapa hari ini Pak Ryan memang ada perlu bolak balik ke PT. Inti Mas. Dia lihat mobil kamu."Aku terdiam. Mau memberi alasan apa lagi setelah ini."Besok kamu harus masuk, Ndra.""Ga bisa, Ta. Istriku belum ketemu.""Wah, bisa-bisa kamu di pecat!"Aku membuang napas kasar. Pekerjaan ini penting bagiku.Ata mendekat lalu duduk dibibir ranjang kemudian meraih tanganku. Aku terkejut, menatap lelaki itu tanpa suara. Apa-apaan Ata? "Tenang aja, Ndra. Yakin masalah kamu, akan segera selesai. Pokoknya kamu besok harus masuk, aku pamit dulu." lelaki itu melepaskan tanganku lalu menepuk pundak sekilas dan bangkit meninggalkan senyum yang penuh misteri.Darahku berdesir. "Astaghfirullah ..." desisku.Motor Ata sudah terdengar menjauh, aku baru hendak bangkit ketika terdengar sua
Saat sampai di depan jalan rumah Ayah Melody, benar saja seorang wanita berkerudung menatapku dengan senyum manisnya. Hatiku begitu berdesir. Senyum yang seminggu ini aku nantikan.Melody?Senyumku merekah, wajah cantik Melody terus melempar senyum.Tiiiiiiin!"Woi! cari mati lu! berhenti sembarangan!" umpat seseorang yang mengendarai motor yang kemudian mendahuluiku.Aku yang tersentak, segera menepikan kendaraanku. Pandangan kembali menatap kearah rumah Melody. Sepi, tak ada orang. Ternyata hanya halusinasiku saja. Kembali melanjutkan perjalanan dengan hati yang kecewa. Mungkin saking inginnyabertemu, bayang-bayang Melody seakan ada di pelupuk mataku.Sejam kemudian aku sampai dikantor. Awalnya semua normal, hingga aku dipanggil Pak Ryan keruangannya."Kemana saja kamu akhir-akhir ini, beralasan sakit tapi nyatanya kamu berkeliling kota seperti orang yang tak punya pekerjaan. Setelah ini tak ada toleransi lagi atas kelalaian kamu!"Hardik Pak Ryan."Sekarang segera buat laporan pema
"Bu, Bu. Maaf, saya bisa bertemu dengan Bu ..." aku mengingat-ingat nama pemilik rumah yang tadi dia sebutkan."Bu Nada?" tanyanya melanjutkan."Iya bener, Bu Nada." "Buat apa? wong ada keperluan kok. Bu Nada sibuk, ga bisa diganggu!" ketusnya lalu melanjutkan langkah."Bu, plis!"Aku berharap itu Melody sedang mengganti identitas diri."Ada apa, Bik?" suara perempuan dari dalam sana."Ada orang yang nyari perempuan bernama Melody, Non."Dari celah pagar aku dapat melihat perempuan dengan baju dres hitam ketat yang membungkus tubuhnya itu. Rambut sebahu dan dandanan yang elegan. Selain wajahnya semua terlihat bukan Melody. Melody tak mungkin memakai pakaian seperti itu. Suara sepatu beradu dengan lantai terdengar mendekat. Wangi parfum juga makin jelas tercium. Pagar terbuka, sosok perempuan yang sangat mirip dengan Melody menatapku dengan kedua tangan terlipat di dada."Kamu sudah dengar kan, tadi pembantu saya bilang tak ada yang namanya Melody disini!""Dek, apa itu kamu?" aku ma
Aku membuka lemari kecil yang ada dekat ranjang. Mengelus benda yang selalu menemanikudisaat rasa itu tiba.Perlahan aku membuka pakaianku. Disaat-saat perasaan itu mengebu, aku melempar alat itu ke ranjang. Terduduk dengan tangan meremas rambut."Aaarrrgggh!"Aku meraung menahan rasa sakit yang datang seiring rasa yang aku coba tahan. Perlahan bangkit menuju mobil, obat-obatanku masih tersimpan disana. Rasa sakit ini benar-benar menusuk-nusuk dari dalam. Tertatih aku sampai dan bergegas membuka mobil lalu meraih tas hitam yang selalu aku bawa-bawa.Ya Allah, Astaghfirullah ...Aku pun meneguk satu buah obat dan duduk didalam mobil untuk sesaat, merasai sakit yang mulai sedikit demi sedikit menghilang.Ponsel disaku celana berbunyi, Athaya!Astaga! aku lupa tadi Pak Ryan memintaku untuk membuat laporan."Ndra! kamu dimana? Pak Ryan marah-marah!""Aku lupa, Ta. Tadi, langsung pulang karena sakit kepalaku kambuh.""Ah, kamu gimana sih! Pak Ryan nanyain laporan yang kamu buat? sudah jad
"Kalau begitu menurut Mama, Mama urus anak Mama ini sendirian. Mama tak pernah mau mendengarkan kata orang, tak usah Mama menikahi dia dengan perempuan mana pun, kasian. Kalau hanya akan menyakiti hati saja." Mbak Widya mulai melemah."Bersyukur kamu bisa menikah dengan Melody, jika istri kamu bukan dia. Mungkin aib kamu sejagat raya orang sudah tahu!" lanjut Mbak Widya.Dia menatapku tajam lalu meninggalkan rumah dengan membawa amarah. Aku kembali meremas rambutku. Kenapa masalah ini makin runyam."Sudahlah, Ndra. Kamu ga usah khawatir. Penyakit kamu ga bahaya, kok. Nanti juga sembuh. Kalau udah pulih, sepuluh perempuan seperti Melody bisa Mama carikan untuk kamu." Mama duduk disampingku lalu mengusap punggungku lembut. Tapi, bukan kenyamanan yang aku rasakan, justru hati makin tak tenang.***Aku kembali kerumah Mama. Kata Mama sampai aku mendapatkan pengganti Melody, Mama yang akan menjagaku. Aku terenyuh, tapi bukan itu yang kuinginkan. Usia bukan usia anak-anak lagi, kebutuhan ju
POV Melody."Kamu yakin tak mau pulang, Mel" tanya Salwa, gadis itu baru saja pulang kerja."Bukan tak mau, Wa.Tapi, belum. Aku pasti akan pulang dan menyelesaikan semuanya. Saat ini aku hanya ingin memantapkan hati, apakah kembali atau mengakhiri." Salwa meneguk minuman yang baru saja dia tuang."Ternyata hidup berumah tangga itu, rumit ya Mel?"Aku terkekeh, sedari dulu Salwa selalu enggan untuk membahas masa depan. Katanya semua laki-laki sama. Ibu Salwa ditinggalkan Ayahnya saat mereka masih kecil-kecil. Dan tak pernah lagi menampakkan diri hingga sekarang."Sebenarnya tak rumit, jika kita bisa berpikir sederhana. Mempelajari ilmu rumahtangga seperti yang Rasullullah ajarkan. Namun, banyak yang menikah tapi hanya sebatas status lalu berbuat sesukanya, seolah pernikahan itu hanyalah sebuah kebersamaan tanpa melibatkan Allah di dalamnya. Padahal kan menikah adalah ibadah terpanjang dan terlama. Andai masing-masing pasangan bisa menyelaraskan tujuan, tentu tak akan rumit. Tapi, inda
"Ya ampun, Salwa." "Maaf, Mel. Aku ga tega, pasti Ayah kamu mengkhawatirkan kamu. Aku tak punya Ayah, Mel. Ayah kamu sudah seperti Ayahku sendiri."Aku bangkit lalu meraih tubuh Salwa dalam pelukan. Suaranya mulai bergetar, aku yakin Salwa akan menangis."Sudah, cup cup!aku ga marah kok. Hayuk, duduk sini, ngobrol bareng."Wajah Salwa kembali ceria. Dia menuruti pintaku. Obrolan hangat pagi itu membuat hatiku yang rapuh kembali kuat, aku tak sendiri. Ayah selalu ada untukku. Berkali-kali Ayah minta maaf, ayah berpikir saat Mas Hendra berterus terang pada Ayah, beberapa waktu lalu itu, dia akan berubah. Tapi, nyatanya dia sama sekali tak mengubah sikapnya.Baru setelah Salwa berangkat kerja, Ayah menjelaskan padaku kelainan dan penyebab suamiku seperti itu. Ada perasaan kasian, dan kembali. Tapi, aku harus memastikan jika Mas Hendra itu tak seperti yang kulihat di hotel. Aku belum begitu yakin, bisa saja dia membohongi Ayah.Ayah yang memutuskan tinggal di rumah kenalannya hampir tiap
Besok adalah jadwal sidang pertama kami, agenda mediasi. Sama sekali tak berharap Mas Hendra datang, agar proses cerai bisa cepat selesai. "Kamu sudah yakin, Mel?" tanya Salwa pagi ini."Yakin! tak ada yang membuatku ragu untuk menyelesaikan rumah tangga ini. Setelah semua berakhir, aku akan memulai hidup yang baru." jawabku mantap."Oh, ya, semalam aku tanya Kak Hamzah, lusa kamu coba datang aja ke kantornya. Kak Hamzah akan merekomendasikan kamu pada atasannya."Seketika mataku berbinar. Jika aku diterima, aku akan menjadikan batu loncatan saja. Bagaimanapun, sekantor degan laki-laki yang pernah melamarku, tak akan baik-baik saja buat hatiku kelak."Makasih banyak, ya, Wa.""Sama-sama. Yuk, kita istirahat, biar besok kamu lebih fresh. Btw, besok kamu sama siapa?""Nanti aku akan diantar oleh Ayah, Wa.""Syukurlah, soalnya aku tak bisa ijin buat nganterin kamu. Anak-anak lagi ujian, aku menjadi pengawas disana.""Iya, gapapa, aku paham kok, Bu guru."Kami pun saling melempar senyum,
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku