Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
Kakiku terasa tak menapak dibumi. Kesalahan apa yang aku lakukan ya, Allah. Hingga ujian ini begitu berat Kau berikan. Air mata terus saja mengalir, dadaku terasa tertindih beban yang sangat berat, hingga rasanya aku sangat sulit untuk bernafas. Aku bergegas keluar dari gedung tinggi yang menjadi saksi perihnya luka yang ditorehkan oleh suamiku. Tak peduli pandangan orang-orang yang melihatku aneh, berlarian dengan air mata masih menghujam.Kaki terus menyusuri jalanan sambil menatap mobil yang berlalu lalang. Memesan taksi online rasanya akan memakan waktu lama, aku khawatir Mas Hendra akan menyusulku. Dari jauh sebuah taksi berwarna biru melaju ke arahku, sontak saja aku melambaikan tangan. Beruntung taksi dalam keadaan kosong. Aku lekas naik dan menyebut alamatku. Lalu kembali larut dalam tangis. Jalanan yang mulai padat menyebabkan aku telat sampai dirumah, meminta sang supir menunggu sejenak. Aku masuk masuk kerumah, mengeluarkan koper besar milikku. Memasukkan pakaian ke dalam
"Melody?" Wajah itu tampak kaget, karena memang aku tak bilang jika hari ini aku datang."Assalamualaikum, Wa." ulangku mengucapkan salam."Eh, sampai lupa balas salam. Wa'alaykumussalam warahmatullah ...Hayo, Mel masuk." ajaknya.Aku pun masuk ke rumah dimana dulu aku sering main ke sini sepulang kuliah. Banyak kenangan yang begitu manis disini. Masa-masa menjadi Mahasiswi yang tak akan terulang lagi. Dulu sewaktu Ibunya Salwa masih hidup, dia sangat senang saat aku datang."Ibu kepengen kamu jadi mantu Ibu lho, Nak." aku hanya menanggapi dengan senyum malu. Secara Ka Hamzah, anaknya yang merupakan Abang dari Salwa juga ada disana."Ih, Ibu, orang masih kuliah kok!" sahut Salwa."Tapi, kalau Melody mau sama Kak Hamzah, sih. Salwa seneng banget. Iparku adalah temanku." lanjutnya sambil cengengesan dengan mata melirik ke arahku. Bisa dibayangkan wajahku memerah malu, saat itu. Lelaki didepanku juga tak membantah, malah ikut melebarkan senyuman."Heh! ngelamun!" Salwa menepuk pundakku.
Aku dan Salwa saling pandang. Rasanya malu jika masalah rumah tanggaku diketahui oleh Kak Hamzah yang lamarannya pernah ditolak Ayah karena Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanku dengan Mas Hendra."Nanti aku ceritakan, Kak."sahut Salwa yang membuat laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, silahkan. Nanti, Kakak akan tidur di mesjid sekalian bantuin Mang Eman disana.""Maafkan saya, Kak." lirihku."Tak apa-apa. Nikmati pertemuan kalian." sahutnya kemudian berlalu ke kamarnya.Salwa melempar senyum padaku, seolah berkata semua baik-baik saja. ***Aku sudah rebahan di kamar Salwa. Kamar yang begitu mengundang kenangan."Mel, kamu sudah ngasih tau Ayahmu?"Salwa memang sudah kenal dekat dengan Ayah."Jangan dulu lah, Mel. Aku ingin menenangkan diri sejenak."Salwa pun mengangguk lalu tersenyum. Tak lama dia keluar, sedangkan aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya.Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam."Mel, bangun dulu, yuk udah adzan. Nanti kita makan baren
POV Hendra"Dek ...! tunggu! Mas bisa jelaskan." Melody tak menghiraukan panggilanku. Perempuan yang telah kunikahi selama setahun itu terus berlari keluar kamar hotel, jelas kulihat matanya penuh luka. Air mata juga deras mengalir di pipi. Ya Allah, apa yang telah aku lakukan. Seharusnya aku punya keberanian untuk berterus terang pada Melody. Tapi, rasa malu lebih mendominasi. "Kamu kemana, Ndra?" tanya Ata dengan wajah cemas, wajar saja proses pengobatan baru saja akan dilakukan. Tapi, aku sudah bersiap hendak pergi.Merapikan baju yang tadi sempat dibuka. Melody pasti berpikiran aneh-aneh melihat keadaan ini."Aku mau menyusul Melody?" jawabku singkat."Lalu gimana dengan Ki Ageng?" Aku tak menjawab. Dengan cepat mengemas semua barang-barang milikku. Tak banyak, hanya tas kerja berisi satu stel baju ganti dan ponsel yang masih terhubung ke charger-nya."Jangan terburu nafsu, Nak. Selesaikan dulu semuanya. Nanti jika jin jahat yang telah masuk ke dalam tubuhmu saya musnahkan. Bar
"Saranku lebih baik kamu berterus terang. Jangan sampai Melody melihat sendiri apa yang kamu lakukan dikamar itu.""Tak mungkin Ras, kuncinya selalu aku bawa. Melody tak akan pernah bisa masuk ke sana."Rasti tertawa mengejek."Kamu kira Melody wanita bod*h? seorang wanita bisa melakukan apa saja ketika dia merasa dirinya teracam, atau merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui." tuturnya."Gampang mencari tukang kunci lalu memasang kamera di rumah yang sudah menjadi daerah kekuasaannya itu, Ndra!" lanjut Rasti.Aku memijit kening. Kepalaku mulai terasa sakit. Sangat sakit, hingga aku berjalan sempoyongan dan akhirnya muntah di toilet. Saat itulah aku diberikan sapu tangan oleh Yogi, kain segi empat milik Rasti yang kemudian membuat Melody menaruh curiga pada Rasti. Sejak perkataan Rasti itu aku mulai menelisik setiap sudut, aku melihat sebuah benda aneh menempel di plafon. Sekilas tak akan tampak, tapi jika diperhatikan dengan seksama, sangat jelas itu sebuah kamera mini.***Semua b
"Benar apa yang dikatakan Widya, Hendra!" bentak Papa ketika aku baru saja menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Mama tampak tersedu. Ada Mbak Widya disamping Mama.Aku memilin jari jemari, mengusir takut dan malu yang saling tumpang tindih."Jawab!" teriak Papa lantang.Terkaget, mataku mengarah tepat pada mata Papa. Lalu kembali menunduk, menetralkan detak jantung yang sudah tak karuan."Iy-iya, Pa." desisku."Astaghfirullah, Hendra ..." raungan Mama terdengar menyayat hati."Siapa yang mengajak kamu seperti itu, Ha!" lantang suara Papa membahana.Aku menatap Mbak Widya, ragu. Tapi Mbak Widya justru buang muka, seakan jijik melihatku."Dulu waktu Hendra masih duduk dikelas dua SD, Hendra melihat Mama dan Papa, melakukan aktivitas malam." lirihku."Ya Allah ..." Mama makin tergugu.Sedangkan Papa mengusap wajahnya kasar, lalu terduduk lemas di sofa. Memang tak ada yang salah, saat itu kami tak se-berjaya seperti sekarang ini. Hidup di sebuah petakan. Rumah dengan tiga sekat, yang digunaka
"Hendra yang salah, Pa." sahutku."Sekiranya Papa dari dahulu becus menjadi seorang Ayah, tentu kalian tak akan hidup susah. Dan ini semua tak akan terjadi." suara Papa bergetar,Seumur-umur baru kali ini aku melihat air mata Papa mengalir deras."Papa memang payah!" rutuk Papa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Begitu pun Mama, tangisnya kian kencang."Sudah, Pa. Semua sudah berlalu, kini gimana caraagar rumah tangga Hendra bisa kembali utuh." ujar Mbak Widya menenangkan Papa."Utuh? memang apa yang terjadi?" tanya Papa kaget.Mbak Widya menatapku cemas. Sepertinya dia belum cerita jika Melody kabur dari rumah."Melody pergi, Pa." cicit Mbak Widya kemudian."Ya Allah ..." Suara Papa bergetar pilu."Ya Allah, Ndra, kamu sudah cari Melody, Nak? kamu harus mendapatkan dia kembali. Mama banyak salah. Mama berdosa pada Melody." Mama terisak.Melihat air mata dari orang-orang yang kusayangi, hati ini terasa ditusuk ratusan pisau, sakit."Iya, Ma. Hendra akan mencari Melody.""Ap
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku