Arhand keluar dari rumah dengan langkah cepat, kunci mobil sudah tergenggam erat. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Bayangan Agna terus berputar dalam kepalanya, seakan menghantuinya.Dia membuka pintu mobil dengan kasar, masuk, dan menyalakan mesin. Suara deru mesin seolah menyadarkannya sedikit, tapi tetap tak menghilangkan kekalutannya. Dengan satu tarikan napas dalam, dia menginjak pedal gas dan melaju ke jalanan Makassar yang semakin ramai menjelang berbuka puasa.Lalu lintas padat. Kendaraan melambat di beberapa titik, orang-orang mulai memenuhi trotoar, berburu takjil atau sekadar menunggu azan Maghrib. Aroma makanan bercampur dengan asap kendaraan, menciptakan suasana khas bulan Ramadan.Arhand menggertakkan gigi, tangannya mencengkeram kemudi. Dia harus menemukan tempat servis HP secepat mungkin. Dia harus bicara dengan Agna.Saat lampu merah menyala, dia memukul setir dengan frustasi."Sial!"Tak pernah sebelumnya dia merasa segelisah ini. Seandainya dia tak terbawa emosi, sea
Malam semakin larut ketika Tamsir selesai istikharah. Tak ada jawaban pasti. Hatinya tetap ragu, pikirannya tetap penuh pertanyaan."Aku tak mendapat petunjuk, Bu."Tami mengangguk pelan. "Ibu juga berdoa tadi malam. Tak ada jawaban.""Kita harus bagaimana?"Hening sejenak sebelum Tami menjawab, "Mungkin ini bukan soal mendapat jawaban, Nak. Tapi tentang memilih yang paling benar."Tamsir menatap ibunya, mencoba memahami maksudnya."Kalau kamu tak menikahi Agna, apa kamu sanggup melihatnya jatuh ke tangan orang lain yang mungkin tak bertanggung jawab?"Tamsir diam."Dan kalau kamu menikahinya, apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?"Ia menggeleng. "Aku tak tahu, Bu."Tami tersenyum tipis. "Maka mungkin jawabannya ada di hatimu sendiri."Tamsir menghela napas panjang. "Kalau aku menerima ini, apakah itu artinya aku menikah karena kasihan, bukan karena cinta?""Kasihan bukan alasan buruk, Nak. Kadang, rasa sayang lahir setelah kita memilih bertanggung jawab."Tamsir menggenggam can
"Nak, kamu kenapa?" Lani masih berusaha membujuk."Jangan nangis terus, Nak. Kasihan Bunda, kelelahan." Alzam mengambil dan menciuminya.Namun Excel terus menangis. Suara rengekannya memenuhi seluruh rumah, menggema di dinding-dinding, membuat malam semakin panjang bagi Lani. Tubuhnya masih lelah setelah berkali-kali terbangun menyusui, sementara Alzam mondar-mandir dengan wajah tegang. dan berkali-kali menimangnya."Sayang,... kamu tidur aja duluh, biar aku yang jagain.""Gimana bisa tidur, Mas? dia menangis terus?" ucap Lani. Namun karena terlalu lelah, akhirnya dia terlelap juga saat anak itu diam sejenak di dekapan Alzam."Anak pinter. Tidur ya?"Baru juga ditidurkan, sudah kembali meraung. Dengan cekatan, Alzam yang sudah terbiasa mengganti pampers itu, menggantinya lagi."Pampersnya sudah diganti?" tanya Lani dengan mata yang masih setengah terpejam.Alzam mengangguk. "Sudah, berkali-kali malah."Lani melirik tempat sampah di sudut kamar. Plastik-plastik popok berserakan. "Kenap
Bis melaju di atas aspal yang berdebu. Tamsir menatap ke luar jendela, memperhatikan sawah-sawah yang mulai menguning. Udara hangat menampar wajahnya melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Di sampingnya, Tami duduk dengan tenang, sesekali menarik napas dalam."Bu, kenapa tadi ikut?" tanya Tamsir, akhirnya membuka suara.Tami menoleh. "Urusan besar seperti ini harus kita hadapi bersama."Tamsir mengangguk. Sejak tadi, ia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Istikharah yang dilakukan semalam tak memberi jawaban yang jelas. Tak ada mimpi aneh, tak ada petunjuk yang bisa ia tafsirkan sebagai 'ya' atau 'tidak'. Kosong."Mungkin ini sudah takdir," kata Tami pelan.Tamsir terdiam. Apakah benar ini takdirnya? Menikahi Agna bukan karena cinta, melainkan karena rasa terima kasih kepada Arya? Bagaimana jika mereka berdua tak bahagia?Perjalanan masih panjang. Bis terus berjalan, melewati perkampungan, deretan toko, dan pasar yang mulai ramai karena orang-orang bersiap menjelang buka puas
Pintu terbuka. Suasana dalam rumah mendadak tegang. Semua mata tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu.Arhand.Wajahnya dingin, matanya tajam, tetapi sorotnya penuh kegelisahan. Langkahnya mantap memasuki ruangan, seakan tidak peduli dengan tatapan penuh kemarahan yang menyambutnya.Hening.Suasana menegang. Tidak ada yang bergerak, seolah waktu membeku.Arya berdiri dari kursinya, tatapan tajam menusuk langsung ke arah Arhand. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sandra yang baru saja turun dari tangga menghentikan langkahnya. Matanya membesar melihat kedatangan orang yang dicintai putrinya itu.Di sudut ruangan, Tamsir menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ibunya, Tami, duduk di sebelahnya, ekspresinya tenang, tetapi jelas mengamati segalanya dengan saksama.Agna berdiri di dekat meja, tubuhnya kaku. Napasnya tercekat ketika mata mereka bertemu."Aku datang untuk Agna," kata Arhand akhirnya, suaranya tegas.Arya tertawa sinis. "Setelah semua yang kau lakukan? Kau pi
Alzam membungkuk pelan, mendekat ke tempat tidur bayi di samping ranjang mereka. Excel tertidur pulas, nafasnya naik turun dengan tenang, tubuh kecilnya terselimut hangat. Alzam tersenyum lega. "Wah… anak ayah ganteng banget, ya." Suaranya berbisik, nyaris seperti doa, lalu mencium pipinya yang mulai tembem berkali-kali.Bayi itu menggeliak.Lani, yang masih duduk bersandar di bantal, segera menegur dengan suara pelan, "Mas, jangan keras-keras. Jangan diciumi begitu juga. Nanti bangun lagi, nangis lagi, kita nggak bisa tidur."Alzam menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Cemburu, ya?" godanya, sebelum kemudian mendekat dan merengkuh istrinya. "Kamu juga ganteng kok… eh, cantik maksudnya." Dia mengecup pipi Lani dengan gemas.Lani tertawa kecil, tapi segera meletakkan telunjuk di bibirnya. "Ssstt… serius, Mas. Aku masih trauma. Kalau dia bangun dan nangis terus lagi seperti kemarin malam, aku bisa pingsan. Aku takut dia kenapa-napa."Alzam melirik Excel yang masih diam dalam tidurnya. "
Senja berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Cahaya lampu ruangan memantulkan siluet tubuhnya yang tinggi langsing. Sementara di dalam kamar, Lani dan Alzam saling bertukar pandang. Tatapan mereka penuh pertanyaan, seolah mencoba menebak apa yang ada di kepala anak itu.“Aku sudah bicara dengan Yangti dan Yangkung,” kata Senja tiba-tiba, suaranya tenang tetapi ada sedikit ketegangan di sana.Lani mengangkat alisnya. “Bicara soal apa?”“Mereka setuju untuk merayakan besar-besaran.”Alzam bersandar ke sofa, matanya meneliti wajah putrinya. “Maksudmu, merayakan di rumah mereka?”Senja menggeleng. “Bukan. Mereka ingin mengadakan acara dengan anak-anak yatim piatu.”Lani terdiam sejenak, mencerna ucapan itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan ketidaksetujuan, justru sebaliknya.“Itu ide yang bagus,” katanya akhirnya. “Berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung itu hal yang mulia.”Namun, alih-alih tersenyum senang, Senja malah mengalihkan pandangannya.“Kamu nggak suka?” tanya L
Rey duduk di kursi kayu depan rumahnya. Di hadapannya, halaman yang biasa terasa luas kini terasa sempit. Ia menggenggam ponselnya erat, berharap ada balasan dari Mira. Tadi malam, tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya dipenuhi bayangan Mira yang sibuk mempersiapkan pernikahan mereka.Ia ingin melihat wajah Mira, meskipun hanya sebentar.Jari-jarinya mengetik cepat. ["Mira, aku kangen. Tolong angkat telponnya sebentar saja. Cuma sebentar."]Tapi tak ada balasan. Rey menatap layar ponselnya dengan napas berat. ["Mira, cuma lima menit saja. Aku cuma mau lihat wajahmu."]Layar ponselnya tiba-tiba bergetar. Panggilan video dari Mira. Dengan cepat, Rey menekan tombol hijau.Namun, bukan wajah Mira yang muncul, melainkan pemandangan dapur rumahnya yang sibuk. Beberapa ibu-ibu terlihat sibuk mengaduk adonan, membentuk kue, dan menata loyang ke dalam oven.Dapur terlihat penuh sesak. Meja panjang dipenuhi adonan yang masih setengah jadi, loyang bertumpuk di sudut ruangan, dan beberapa toples ku
Pagi itu, seharusnya menjadi pagi paling tenang bagi Mira dan Rey. Setelah melewati detik-detik penuh cinta dan kehangatan, keduanya tertidur dalam pelukan yang damai. Namun dunia di luar tak pernah benar-benar tenang.Handphone Rey yang diletakkan di meja samping tempat tidur tiba-tiba berdering keras. Nadanya berbeda—nada itu hanya dipakai untuk satu hal: panggilan tugas darurat. Rey membuka mata, refleks mengambil ponsel."Halo, Mayor Reynaldi Atmajaya di sini," suaranya langsung tegas meski baru bangun."Mayor, kita butuh kamu. Ada penyanderaan di perbatasan Papua. Kelompok bersenjata menyandera enam orang, termasuk dua WNA. Kau tahu jalurnya, kau tahu pola mereka. Helikopter akan menjemputmu satu jam lagi. Siap?"Rey terdiam sejenak. Dia melirik Mira yang masih tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut, wajah damainya membuat Rey berat meninggalkan kamar itu."Saya masih cuti dua hari, Pak.""Kami tahu. Tapi kalau bukan kamu, mereka bisa mati."Hening."Baik, Pak. Saya bersiap."Mir
"Kamu sudah baikan, Mir?" tanya Maya begitu dia masuk dan mendapati hidangan di meja makan."Alhamdulillah, sudah, Ma. Ini Mira sudah bisa bikin ayam goreng untuk sarapan." Mira lalu menuntun Maya agar duduk. "Mama ayo, sarapan di sini biar tau rasa masakan Mira."Maya tersenyum, mengelus rambut lurus Mira. "Mama sudah makan, Mir. Mama bikin soto kikil banyak. Mama pikir kamu belum sehat dan belum bisa masak. Rey ini kan pagi-pagi udah kelaparan. Makanya Mama suruh Rere ke sini antar. Mama sama Papa masih sarapan."Mira menyentuh tangan mertuanya. "Makasih, Ma.""Ma, cpetan!" Rere yang masih di ambang pintu, teriak."Memangnya ada apa, Re?""Tadi aja Rere disuruh pergi sama Kak Rey. Kenapa Mama skarang malah ngajak ngobrol dia.""Memangnya kenapa?"Maya kemudian menatap Rey.Rey sudah beranjak duduk di meja makan kembali. Wajahnya menelungkup di meja."Kamu kenapa, Rey?"Rey mendongak frustasi. Mira menyembunyikan senyumnya di balik tangannya. Dia tau keinginan Rey sudah di ubun-ubun,
Subuh belum juga datang, saat Mira mulai masak.Di dalam rumah yang hangat itu, suara lembut sendok beradu dengan piring terdengar samar dari dapur. Aroma bawang putih yang ditumis menyeruak pelan, bercampur dengan harum ayam yang tengah diungkep dengan garam dan rempah sederhana. Di tengah semua itu, Mira berdiri di depan kompor, mengenakan daster lembut warna biru langit, rambutnya dikuncir sederhana. Wajahnya segar, lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Matanya bersinar, senyum kecil tak lepas dari bibirnya. Tubuhnya kini terasa lebih ringan, lebih bertenaga. Semalam ia tertidur dalam dekapan Rey tanpa terbangun sekali pun—tidur nyenyak yang membuat tubuh dan jiwanya terasa pulih.Rey terbangun karena aroma masakan. Ia sempat mengernyit, mengira itu mimpi. Tapi ketika ia berjalan pelan ke dapur dan melihat sosok Mira berdiri sambil mengaduk wajan, matanya membulat. “Kamu… sudah sembuh?”Mira menoleh, senyumnya mengembang lembut. “Pagi, Sayang… Kamu baru bangun?”Rey masih terpaku.
Mira masih terlelap setelah bangun sebentar dan sholat Subuh. Cahaya mntari menyusup lewat bulu matanya yang gemetar ringan. Kelopak matanya perlahan membuka, seolah enggan meninggalkan mimpi yang baru saja usai. Pandangannya pertama kali menangkap bayangan Rey yang sedang duduk bersila di lantai, menyandarkan punggung ke ranjang, rambutnya agak berantakan, matanya fokus ke layar ponsel tapi sesekali melirik ke arah Mira.Mira mengerjap pelan, suaranya serak manja, “Udah pagi, ya?”Rey segera menoleh, wajahnya langsung berubah sumringah. “Eh, si cantik udah bangun. Aku pikir kamu bakal molor sampe siang.”Mira tersenyum kecil, menggeliat pelan. “Tubuhku udah nggak selemas kemarin. Tapi kepala masih agak pening sih.”Rey bangkit, duduk di sisi ranjang, tangannya menyentuh dahi Mira seperti refleks. “Masih anget. Tapi udah nggak sepanas kemarin.”“Aku lapar…” gumam Mira, lalu menoleh, “Tapi jangan bubur ayam lagi, ya?”Rey tertawa kecil, “Aih… manjanya. Mau apa dong? Mau aku masakin?”
Malam terasa panjang bagi Rey. Di ruang kamar yang senyap, hanya suara kipas angin yang berputar pelan menemani. Tangannya menggenggam handuk kecil yang sudah dingin, diletakkan di kening Mira. Ia bahkan tak sadar kapan matanya terpejam, hanya tahu tubuhnya bersandar di sisi kepala nyaris menyentuh bahu istrinya.Mira membuka mata perlahan. Wajah Rey begitu dekat, tertidur dengan napas yang teratur. Matanya memicing menatap lelaki itu, mengusap kening yang masih terasa panas. Sebulir air mata turun diam-diam ke pipinya. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Bukan sekadar rasa sakit atau kelelahan, melainkan penyesalan yang menggantung di relung hatinya.Maafkan aku, Rey, bisik Mira dalam hati.Ia ingat malam pertama setelah akad. Bagaimana tubuh Rey yang kekar justru membuatnya takut. Ia tak berani membayangkan Rey menyentuhnya. Namun beberapa hari bersamanya, merasakan ketulusan Rey, bahkan sekarang merawatnya, menjaga bahkan hingga tak tidur dengan nyenyak, Mira mulai melihat si
"Mira, kamu kenapa?" tanya Rey menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Mira.Mira masih menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu. Namun dia tak lagi menemukan apapun. "Enggak apa-apa, Rey."Rey menggenggam tangannya. Genggaman itu seolah meluluhkan ketakutan yang baru saja Mira alami."Kamu cantik sekali, Mira. Kamu itu hadiah terbesar dalam hidupku," bisik Rey yang membuat Mira makin melupakan apa yang tadi membuatnya resah.Selesai prosesi pedang pora.Tamu mulai berdatangan. Teman-teman semarkas Rey berebut menyalami. Ada yang menggoda, ada pula yang terlihat kagum."Wah, Rey akhirnya takluk juga!" celetuk Johan, sambil menepuk bahu Rey."Yang kemarin di desa itu istrimu? ""Bukan, istri orang aku gandeng," sengol Rey."Ih, segitunya.""Habisnya, udah tau aku nikahi dia masih tanya begitu."Johan terkekeh. "Habisnya,..Ya ampun, cantik banget. Ngak nyangka, kamu bisa dapetin bidadari.""Bidadari surga!" tambah Rey."Sekarang berhijab malah makin anggun," tambah Luki dengan ma
Rombongan keluarga Lani ramai-ramai naik satu bis menuju rumah Rey. Mereka membawa banyak oleh-oleh khas desa: jenang yang manisnya legit, gemblong yang lengket tapi bikin nagih, ketan salak yang juga manis, pisang raja yang dihias dengan daun pisang, dan buah-buahan segar dari kebun sendiri. Yang paling mencolok, tumpukan jeruk kualitas terbaik yang harum segar memenuhi sudut-sudut kardus. Semua tampak semangat, mengenakan baju terbaik mereka.Wagimin menepuk bahu Towirah. "Kita jaga rumah saja ya, banyak tamu, nanti malah kosong semua."Towirah mengangguk. "Betul itu. Biar anak-anak yang muda-muda aja ke kota.""La, kamu kalau di rumah, kan seragam gedungnya nggak kepakai, Ra?""Nggak apa, Yuk. Nanti kalau masih ada tamu gimana.""Kalau gitu makasih, ta, Ra," timpal Tukiran."Sama-sama, Cak."Sementara itu, Alzam menyetir mobil bersama Lani dan Senja. IKut juga Kinan, Atik dan Nalam. Mereka memilih naik mobil sendiri karena setelah resepsi, mereka berencana menginap di rumah orang t
"Mira,..!" Marni mengetuk.Mira membuka pintu.Marni menatap Mira dan Rey dengan bingung. Walau saat Marni sudah masuk, Rey beranjak dari jendela."Lho, kenapa hanya makan pakai rawon? Ibu telah menyiapkan makanan khusus Rey di sebelah laci."Marni masih menatap mereka dengan bingung. "Kemarin bapak kamu dibawakan temannya udang besar-besar, katanya habis panen. Itu yang tadi Ibu sudah siapkan buat Rey. Kalau rawon sih sudah biasa di tempat Rey. Ikan Sombronya juga aku goreng kering sama sambal dan lalapan. Besar, Mira, ikannya.""Nggak usah repot-repot, Bu. Kalau saya makan apa saja nggak masalah.""Nggak bisa gitu. Ayo, Mira, ambil!" Marni segera meninggalkan tempat itu dengan perasaan aneh. Dia merasa ada yang sedang terjadi diantara mereka.Mira menatap Rey sebelum beranjak pergi, Namun tangan kokoh Rey menahannya."Kamu tak perlu mengambilnya. Makanan selezat apapun, tak mungkin bisa kutelan dengan kedaan kita seperti ini."Mira menatapnya penuh luka."Kenapa kamu sekarang beda,
Matahari belum sempurna naik saat Rey menyelinap keluar dari rumah Marni. Udara pagi menusuk, membuatnya menggigil kecil. Langkahnya ringan menuju rumah Alzam. Ia tahu sahabatnya itu pasti sudah bangun lebih awal, apalagi sejak Excel lahir.Suara gumaman bayi terdengar sayup dari dalam rumah. Benar saja, Alzam duduk di atas karpet ruang tengah, memangku bayi mungil yang belum genap satu bulan. Wajahnya lelah tapi bahagia."Eh, Bapak baru, masih semangat nyusuin bayi ya?" sapa Rey, menjatuhkan tubuh ke sofa dan tertawa kecil.Alzam menoleh, senyumnya merekah. "Nyusuin apanya? Gue cuma jagain. Ini bocah dari tadi pagi anteng banget. Tapi bundanya belum tidur dari tadi malam. Semalaman dia terjaga minta mimik terus.""Wah, nggak bisa gantian dong ayahmu, Excel."Alzam memukul Rey dengan sapu kecil pengusir nyamuk di dekatnya. "Penganten baru, pikiran kamu ngeres saja. Mentang-mentang kamu sudah pagi-pagi keramas. Bikin aku ngiri saja. Pamer ya?"Rey terkekeh, menyembunyikan kesedihannya d