Pintu terbuka. Suasana dalam rumah mendadak tegang. Semua mata tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu.Arhand.Wajahnya dingin, matanya tajam, tetapi sorotnya penuh kegelisahan. Langkahnya mantap memasuki ruangan, seakan tidak peduli dengan tatapan penuh kemarahan yang menyambutnya.Hening.Suasana menegang. Tidak ada yang bergerak, seolah waktu membeku.Arya berdiri dari kursinya, tatapan tajam menusuk langsung ke arah Arhand. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sandra yang baru saja turun dari tangga menghentikan langkahnya. Matanya membesar melihat kedatangan orang yang dicintai putrinya itu.Di sudut ruangan, Tamsir menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ibunya, Tami, duduk di sebelahnya, ekspresinya tenang, tetapi jelas mengamati segalanya dengan saksama.Agna berdiri di dekat meja, tubuhnya kaku. Napasnya tercekat ketika mata mereka bertemu."Aku datang untuk Agna," kata Arhand akhirnya, suaranya tegas.Arya tertawa sinis. "Setelah semua yang kau lakukan? Kau pi
Alzam membungkuk pelan, mendekat ke tempat tidur bayi di samping ranjang mereka. Excel tertidur pulas, nafasnya naik turun dengan tenang, tubuh kecilnya terselimut hangat. Alzam tersenyum lega. "Wah… anak ayah ganteng banget, ya." Suaranya berbisik, nyaris seperti doa, lalu mencium pipinya yang mulai tembem berkali-kali.Bayi itu menggeliak.Lani, yang masih duduk bersandar di bantal, segera menegur dengan suara pelan, "Mas, jangan keras-keras. Jangan diciumi begitu juga. Nanti bangun lagi, nangis lagi, kita nggak bisa tidur."Alzam menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Cemburu, ya?" godanya, sebelum kemudian mendekat dan merengkuh istrinya. "Kamu juga ganteng kok… eh, cantik maksudnya." Dia mengecup pipi Lani dengan gemas.Lani tertawa kecil, tapi segera meletakkan telunjuk di bibirnya. "Ssstt… serius, Mas. Aku masih trauma. Kalau dia bangun dan nangis terus lagi seperti kemarin malam, aku bisa pingsan. Aku takut dia kenapa-napa."Alzam melirik Excel yang masih diam dalam tidurnya. "
Senja berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Cahaya lampu ruangan memantulkan siluet tubuhnya yang tinggi langsing. Sementara di dalam kamar, Lani dan Alzam saling bertukar pandang. Tatapan mereka penuh pertanyaan, seolah mencoba menebak apa yang ada di kepala anak itu.“Aku sudah bicara dengan Yangti dan Yangkung,” kata Senja tiba-tiba, suaranya tenang tetapi ada sedikit ketegangan di sana.Lani mengangkat alisnya. “Bicara soal apa?”“Mereka setuju untuk merayakan besar-besaran.”Alzam bersandar ke sofa, matanya meneliti wajah putrinya. “Maksudmu, merayakan di rumah mereka?”Senja menggeleng. “Bukan. Mereka ingin mengadakan acara dengan anak-anak yatim piatu.”Lani terdiam sejenak, mencerna ucapan itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan ketidaksetujuan, justru sebaliknya.“Itu ide yang bagus,” katanya akhirnya. “Berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung itu hal yang mulia.”Namun, alih-alih tersenyum senang, Senja malah mengalihkan pandangannya.“Kamu nggak suka?” tanya L
Rey duduk di kursi kayu depan rumahnya. Di hadapannya, halaman yang biasa terasa luas kini terasa sempit. Ia menggenggam ponselnya erat, berharap ada balasan dari Mira. Tadi malam, tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya dipenuhi bayangan Mira yang sibuk mempersiapkan pernikahan mereka.Ia ingin melihat wajah Mira, meskipun hanya sebentar.Jari-jarinya mengetik cepat. ["Mira, aku kangen. Tolong angkat telponnya sebentar saja. Cuma sebentar."]Tapi tak ada balasan. Rey menatap layar ponselnya dengan napas berat. ["Mira, cuma lima menit saja. Aku cuma mau lihat wajahmu."]Layar ponselnya tiba-tiba bergetar. Panggilan video dari Mira. Dengan cepat, Rey menekan tombol hijau.Namun, bukan wajah Mira yang muncul, melainkan pemandangan dapur rumahnya yang sibuk. Beberapa ibu-ibu terlihat sibuk mengaduk adonan, membentuk kue, dan menata loyang ke dalam oven.Dapur terlihat penuh sesak. Meja panjang dipenuhi adonan yang masih setengah jadi, loyang bertumpuk di sudut ruangan, dan beberapa toples ku
Asraf memegang erat uang tabungannya yang sudah ia kumpulkan sejak lama. Mata bocah itu berbinar, namun raut wajahnya juga menunjukkan kegugupan. Ia menoleh ke arah ayahnya, Guntur, yang tengah menyiapkan motor di halaman rumah.“Yah, tolong antar Asraf, ya?” pintanya penuh harap.Guntur mengernyitkan dahi. “Mau ke mana sore-sore begini? Besok Lebaran, jalanan pasti macet.”Asraf tersenyum kecil, lalu menggenggam erat celengannya yang pecah tadi pagi. “Ke toko, Yah. Mau beli sesuatu.”Meskipun heran, Guntur akhirnya mengangguk. Tak lama, motor pun melaju ke arah pasar yang semakin ramai dengan lalu lalang orang mencari kebutuhan Lebaran. Jalanan penuh sesak, suara klakson dan teriakan pedagang bercampur menjadi satu. Asraf duduk diam di belakang ayahnya, matanya fokus ke depan, seakan sedang memikirkan sesuatu yang besar."Ke sana, Yah." Dia menunjukkan jarinya ke sebuah toko."Jangan langsung gini, Asraf. Dari tadi gitu kenapa? Nggak gampang cari cela buat ke toko itu.""Maaf deh, Yah
Arhand baru saja akan menaiki pesawat saat ponselnya bergetar. Dengan sedikit kesal, dia mengangkatnya."Sayang, aku pingin ikut takbir keliling," suara Agna terdengar riang di seberang sana. Tapi pinginnya sama kamu."Arhand menghela napas, melirik jam tangan. Jika dia menunda penerbangan, dia bisa terlambat untuk sampai di Makassar. Tapi, bagaimana mungkin dia menolak permintaan calon istri yang sedang hamil?"Agna, aku sudah di bandara," katanya pelan."Tapi aku ingin kamu di sini," suara Agna merajuk.Arhand menutup mata, mencoba menahan dilema yang menyerangnya. Di satu sisi, ada keluarga yang menunggunya di Makassar. Di sisi lain, Agna adalah prioritasnya. Terdengar suara lain di belakang Agna. Itu pasti Sandra, ibu Agna." Arhand, kalau bisa temani Agna dulu. Dia sedang hamil, emosinya mudah naik turun," kata Manda lembut. "Tolong ya."Arhand mengembuskan napas. Pikirannya berkecamuk, tapi akhirnya dia berkata, "Baiklah, aku ke sana."Malam takbiran di kompleks perumahan mewa
Pagi, fajar mulai menyingsing, dan di Sendang Agung suasana begitu berbeda. Orang-orang telah bersiap untuk melaksanakan Salat Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelengggara sholat iedul fitri ada di dua tempat-masjid dan lapangan. Meski begitu, tidak ada perpecahan di antara mereka. Semua saling menghormati pilihan masing-masing.Di rumah Wagimin dan Towirah, kegembiraan terpancar dari wajah Alzam dan Lani. Lani sibuk memakaikan baju baru untuk bayi mereka yang masih merah, sementara Alzam menyiapkan sarung dan pecinya untuk peri sholat Ied. Tak lupa, Senja yang kini berusia sebelas tahun berdiri di depan cermin, memastikan kerudungnya rapi. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupnya, 31 Maret."Kamu sendiri di rumah, hati-hati ya," pesan Alzam sebeum berangkat pada Lani yang memang belum bisa sholat karena masih dalam nifas.Setelah salat, mereka kembali ke rumah untuk sungkem. Towirah duduk di kursi, menatap penuh kasih pada anak-anak dan cucunya. Alzam lebih du
Sehari sebelum pernikahan Mira, rumahnya sudah penuh dengan kesibukan sejak subuh. Para tetangga lelaki tampak sibuk memasang terop lanjutan di halaman depan, sementara pihak WO sudah datang lebih awal dan menyelesaikan terop tujuh plongnya, lalu memastikan dekorasi pernikahan untuk besok berjalan lancar.Terop warna abu-abu silver dengan hiasan rumbai sudah terpasang dengan baik. Sementara dekorasi gebyok Jawa klasik diminta keluarga Mira untuk menyesuaikan tema yang mereka usung.Bu Gita, sang Wo sudah mengingatkan kenapa harus pakai dekorasi itu, kenapa tidak yang minimalis seperti yang kini lagi trendnya. Namun di tempat Rey yang sudah memakai dekorasi model itu, membuat Marni mengusulkan ide itu, mengikuti rias manten Jawa Paes Ageng yang telah lama diinginkan Mira dalam pernikahannya. Dan memakai dekorasi Jawa itu, hanya dia ingin bunganya harus hidup semua. Di dapur, suasana tak kalah riuh. Ibu-ibu dan remaja putri berkumpul, ada yang mengiris bumbu, mengaduk santan, dan mem
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad