Maaf, baru update lagi. Banyak kerjaan. Tapi aku selalu usahakan paling tidak 2 bab. Terimakasih yang sudah nungguin.
Rey menekan layar ponselnya, menunggu nada sambung. Baru mengucap salam.Alzam mengangkat. "Waalaiumussalam! Ada apa, Rey, kok mlam-malam telpon?"Rey melirik Mira yang duduk di sofa, memeluk bantal dengan wajah lelah. "Mira di sini."Hening sejenak."Lho? Kok bisa di rumahmu?""Nanti saja Mira sendiri yang cerita. Yang penting kasih tahu Budemu, biar nggak panik," suara Rey terdengar tenang.Alzam menarik napas. "Oke. Aku kasih tahu Bude Marni sekarang."Sambungan terputus.Mira melirik. "Aku harus pulang sekarang?"Rey mengangkat bahu. "Besok saja. Sekarang istirahat dulu."Mira mengangguk, tampak lega.Tapi Rey belum selesai. "Ayo beli baju dulu."Mira mengernyit. "Kenapa?"Rey melirik bajunya. "Yang kamu pakai aneh."Mira melihat ke dirinya sendiri, baru sadar betapa sempitnya baju Rere yang menempel pas di tubuhnya."Aku pakai baju Rere waktu SMP, ya wajar aneh," Mira mendengus. "Waktu tadi dikasih mama kamu yang awal, kebesaran, makanya dicarikan baju Rere yang lama, e, pas, tapi
Subuh itu, Maya masih mengantuk saat berwudu di sisi kamar mandi. Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Matanya langsung membelalak melihat Rey sudah berdiri di sana, bersandar di dinding dengan wajah santai. Dia mengenakan kaos oblong dan celana pendek seperti kebiasaannya jika di rumah."Kamu ngapain di sini, Rey?" tanyanya ketus, masih berkumur.Rey memasukkan tangannya ke saku celana. "Liat Mira."Maya menghela napas panjang, menatap langit-langit, lalu menatap Rey lagi. "Udah sholat?"Rey melirik jam dinding di ruang tengah yang terlihat dari tempat mereka berdiri. "Belum."PLAK!Tamparan ringan mendarat di pantat Rey."Sholat dulu, dasar teledor!" Maya mendelik, lalu menyentil kening anaknya dengan kesal.Rey mengusap bagian yang ditabok, meringis kecil. "Ma, aku sih mau sholat, tapi kan Mira di sini, aku mau liat dia dulu."Maya makin sebal. "Mau liat Mira apa mau cari alasan?!""Mama juga, aku ngajak Mira tidur di rumahku aja nggak boleh."Maya mendecak. "Mama
"Kak Rey, kalau nyupir itu lihat ke depan, jangan tengok ke spion terus!" gerutu Rere atas tingkah Rey yang sering curi pandang ke Mira."Kayaknya kamu udah kebelet banget, Rey, pingin nikah."Maya menimpali.Atmajaya terkekeh. Mira menunduk malu."Mama dan Rere sama aja, bikin aku jatuh di hadapan Mira.""Itu karena tingkah kamu, Rey. Gitu kita nggak boleh ke rumah Mira sekarang, maunya kapan?""Bukan begitu, Pa. La MIra masih ada janji sama Damar, bagaimanapun juga seharusnya kita nunggu mereka urus duluh agar Damar mundur, baru kita maju.""Kelamaan, Rey. Mumpung lihat kamu dan MIra sudah akur.""Maksud Tante?" tanya Mira."Biasanya kamu kata Rey selalu galak sama dia."Mira menatap Rey tajam."Mama, kok diomongin ke Mira, sih," kelu Rey.Semua terkekeh.Mira sendiri kini baru tau, kalau semua tentang dirinya sudah ada di cerita keluarga itu. Perasaan hangat menyelimuti dirinya dengan membalas lirikan Rey di kaca mobilnya."Terus, Mama sama Papa nih, bawa apa ke rumah Mira? Mama ngg
Suasana siang itu terasa panas, bukan hanya karena terik matahari yang menyengat, tetapi juga karena ketegangan di dalam rumah Tukiran."Bune, ini sudah siang. Mira kok belum juga diantar ke sini?" Tukiran mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam menusuk ke arah Marni yang justru terlihat santai duduk di kursi.Marni menghela napas. "Rey yang antar. Aman."Tukiran mendengus. "Kamu yakin?""Iya.""Dia itu juga laki-laki, Mar. Kamu sadar nggak? Anak perempuanmu nginap di rumahnya!"Marni tetap tenang, tetapi dagunya terangkat sedikit. "Rey nggak akan macam-macam."Tukiran meremas kedua tangannya. "Kamu percaya begitu saja?""Sudah aku bilang, Rey itu orangnya bertanggung jawab, jadi Bapak nggak perlu khawatir."Perdebatan mulai memanas. Tukiran membanting koran ke meja. "Tanggung jawab apa? Bisa-bisanya kamu begitu percaya pada orang yang bariu dikenal, Mar."Marni menatap suaminya. "Kenapa tidak?""Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Mira yang
Tukiran berdiri tegak di depan rumah. Matanya tajam, tangan menunjuk ke arah Rey. "Bagaimana bisa kamu merebut Mira dari Damar? Bahkan sekarang kamu yang membawa Mira pulang?"Mira menegang."Kamu sudah bertunangan dengan orang lain, tapi malah menginap di rumah laki-laki lain!" Suara Tukiran naik. "Kamu mau bikin bapakmu malu?"Rey maju selangkah. "Pak, dengar dulu..."Tukiran mengibaskan tangan. "Dengar apa?!"Rey menarik napas dalam. "Saya menemukan Mira sudah di jalan dalam keadaan..."Kata-kata itu terhenti. Tatapan Tukiran makin tajam.Alzam yang di dalam, keluar dengan Lani."Pakde, dengar Rey menjelaskan sesuatu duluh, baru Pakde bersikap jika Rey memang salah."Marni melangkah cepat, berdiri di antara mereka. "Wes, ayo masuk dulu. Bicaranya di dalam." Suaranya lebih lembut, tetapi tegas. Beberapa orang yang lewat berhenti melirik ke arah mereka, membuat Marni semakin tak nyaman.Tukiran masih tampak kesal, tetapi akhirnya melangkah masuk. Yang lain mengikuti.Suasana terasa l
Marni menghela napas panjang. Hatinya sempat berbunga, mengira akhirnya impiannya terwujud—punya menantu berseragam, bukan lelaki sembarangan, bahkan Rey. Laki-laki yang pertama kali datang membawa harapan.Namun, Tukiran justru memasang syarat."Syaratnya mudah, tolong antar saya ke rumah Damar. Benar dia pernah memberi alamat saat nanti kami mau mengembalikan lamaran ke sana, tapi saya nggak hafal jalan di sana, jadi saya minta kalian bisa menunjukkan jalannya. Katanya satu perumahan."Atmajaya sekilas bersitatap dengan istrinya, juga dengan Rere. "Ternyata itu syaratnya? Baik, Pak. Kapan kami bisa mengantar?""Ya, nanti saat kalian balik.""Pak, secepat itu?" sahut Mira."Aku nggak mau ada beban. Besok atau kapan pun, sama saja, kenapa nggak nanti saja? Kita harus bareng ke rumah Damar," ujar Tukiran tegas. "Aku mau kembalikan semua yang dia kasih. Biar urusan selesai di sini."Marni spontan menoleh, wajahnya penuh keberatan. "Pak, buat apa? Kan sudah jelas Damar yang salah. Kalau
Mobil melaju perlahan, membelah jalan yang mengarah ke rumah Damar. Rey duduk di kursi depan, wajahnya kaku. Di belakangnya, Marni terus menggigit bibir, jelas gelisah. Alzam sesekali meliriknya, tapi tak berkata apa pun. Sementara Tukiran hanya fokus menatap ke luar jendela, kedua tangannya mengepal di pangkuan.Mereka bukan sekadar mengantar barang. Ini tentang menutup satu bab dalam hidup Mira—tentang memastikan masa lalunya benar-benar berakhir.Sementara itu, rombongan lain menuju rumah Rey. Atmajaya mengajak Mira dan Lani ke rumah mereka, memastikan semua beres untuk pernikahan. Bagi Atmajaya, semakin cepat semakin baik. Tidak perlu banyak perhitungan hari atau hitungan primbon, yang penting Mira dan Rey bisa segera menikah tanpa bayang-bayang masa lalu. Semua surat tentang Mira juga telah dibawa untuk mengajukan izin menikah ke komandan Rey besuk.Langit sedikit mendung ketika mereka tiba di depan rumah Damar. Saat pintu terbuka, Damar sudah bersiap keluar. Lelaki itu tampak te
Lani bersandar di kepala ranjang, mengusap perutnya yang semakin membesar. Matanya sayu, tapi hatinya terasa penuh. Alzam duduk di sampingnya, tangannya tak lepas dari perut Lani."Kamu udah capek, Mas," ujar Lani sambil mengusap lengan suaminya. "Habis nyetir jauh, masih aja sibuk gini. Tidurlah."Alzam tertawa pelan. "Nggak ngerasa capek. Aku cuma kepikiran, besok anak kita udah dengerin ayat-ayat ini dari dalam perutnya."Bibirnya mendekat ke perut Lani, lalu berbisik pelan, membaca ayat-ayat yang membuat hati Lani terasa tenang. Terlebih untuk buah hati mereka.Lani tertawa kecil, mengusap kepala suaminya. "Suaramu bikin geli, Mas. Kayak siapa gitu."Alzam pura-pura tersinggung. "Wah, jangan-jangan mirip suara Gusdur?"Lani terkekeh. "Nggak semerdu itu juga!"Mereka terdiam sejenak. Lani memainkan jari Alzam yang masih bertumpu di perutnya."Besok kita periksa, ya?" ujar Lani. "Kayaknya mulai sekarang harus sering kontrol. Udah masuk delapan bulan.""Gimana kalau kita pindaah ruma
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gerbang utama rumah Alzam. Bunyi mesin yang dimatikan, disusul derit pintu mobil terbuka, mengundang rasa penasaran orang-orang yang tengah berada di halaman depan rumah besar itu.“Bawa masuk aja barangnya,” ucap Evran kepada Arhand yang turun pertama, langsung menarik koper besar dari bagasi. Tubuh tegapnya bergerak sigap, wajahnya tetap dengan tatapan tajam seperti biasa.“Sapaan hangat dari tuan rumah kayaknya masih pending ya?” celetuk Evran sambil menoleh ke arah Manda, senyumnya menyeringai."Iya, ini mana tuan rumahnya? Kok rumahnya kayaknya sepi aja." Arhand menelisik sekeliling.Armand mengedarkan pandangan, mengusap keringat di pelipis, menatap lekat-lekat pada area sekitar yang dulu dikenalnya sebagai kebun jeruk. Kini, sebagian lahannya sudah berubah menjadi pabrik modern dengan pagar tinggi dan pos penjagaan.“Ini dulunya penuh pohon jeruk ya?” gumamnya pelan, seperti bertanya pada awan.“Iya, Pa.” jawab Arhand “Tapi tenang a
.Mentari belum tinggi ketika Alzam, Rey, dan Dandi memutuskan untuk berjalan santai ke belakang rumah Alzam, tempat sungai kecil mengalir tenang di antara rumpun bambu dan pohon pisang setelah mereka melewati jaan pavin setapak yang di sekelilingnya ditumbuhi jeruk nipis. Nampak agak tak jauh dari sana ada pohon tembesi. Alzam ingat betul, di situah dia menemukan Lani sedang tersangkut."Zam, kenapa melamun?" tanya Rey.Alzam hanya menyunggingkan senyumnya sambil melihat pohon tembesi yang masih berdiri megah. Dia bersyukur bisa bertemu dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Hari begitu cerah. Sungai juga mengalir dengan teanng. Sebuah spot yang sudah lama mereka incar untuk sekadar melepaskan penat dan bernostalgia dengan kenangan masa persahabatan yang dulu kerap mereka habiskan di sini. Rey membawa pancing yang duluh kerap mereka pakai saat awal-awal Alzam membangun rumah ini. Dandi menjinjing kaleng kecil berisi umpan cacing, sementara Alzam cukup membawa semangat dan tawa
Gedung legislatif itu masih tampak padat dengan aktivitas meski senja sudah menyelimuti. Agna duduk di mejanya, mencoba mengatur pikirannya setelah beberapa jam penuh dengan rapat dan persiapan program yang melelahkan. Namun, ketenangan yang ia dambakan tak kunjung datang. Ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah hidupnya dalam waktu dekat, dan itu bukanlah hal yang mudah.Pintu ruangannya diketuk dengan pelan. Agna tahu itu pasti Bu Winda, ketua fraksi yang selama ini menjadi mentor sekaligus sahabat di tempat kerja. Ketukan itu tidak terdengar terburu-buru, tetapi penuh ketegasan."Agna, boleh bicara sebentar?" suara Bu Winda terdengar dari balik pintu."Masuk, Bu," jawab Agna, mencoba menampilkan senyum meski hatinya terasa berat.Bu Winda masuk, mengenakan blazer biru tua yang rapi dan rok panjang yang senada. Ia berdiri di depan meja Agna dengan tangan bersedekap, matanya menilai dengan cermat sosok Agna yang kini duduk di kursi dengan tubuh sedikit lebih besar. Ada perubahan fisi
Mira terbangun dengan perasaan hangat yang aneh. Ada sesuatu yang menempel erat di punggungnya, sesuatu yang membuat tubuhnya tak bisa leluasa bergerak. Perlahan ia membuka mata. Cahaya malam belum menyibak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan ada sosok yang memeluknya erat dari belakang.Tubuh Mira menegang. Tanpa menoleh, dengan sekali dorong, tubuh disampingnya yang tak siap segera terjatuh."Aduh! Mira, kamu kebangetan ya,.. aku memelukmu, kamu malah melemparkan aku sampai aku terjatuh."Detik berikutnya, Mira menoleh sedikit dan mendapati wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya, yang sempat hanya bisa ia bayangkan lewat layar ponsel dan doa di sepertiga malam. Tapi kini... wajah itu nyata."Rey?!"Sontak Mira terlongo. Ternyata yang dia kibaskan dengan kedua tangannya kuat-kuta adalah tubuh Rey. Rey, yang rupanya masih setengah sadar, jatuh dengan bunyi ‘bug’ kecil ke lantai."Sakit, tau!" erang Rey, mengaduh sambil memegangi sisi perutnya."Astaghfirullah! Maaf! Aku... aku
Sirene polisi dari sektor terdekat meraung menembus keheningan malam, membelah suara jangkrik dan desau angin yang sebelumnya begitu tenang. Beberapa warga mulai berkumpul di depan rumah Lani, heran dan khawatir. Beberapa dari mereka membawa senter, sebagian lain mengucek-ngucek mata karena baru saja terbangun. Seorang ibu-ibu bahkan masih memakai daster dan kerudung yang belum rapi."Pak Damar? Masa iya dia masuk rumah orang?" bisik salah satu warga dengan nada tak percaya. Dia adalah karyawan pabrik Lani yang pernah mengenal Damar."Katanya dia baik... dia sudah seperti teman bagi Mbak Lani," jawab yang lain."Tapi dia duluh sempat tunangan dengan Mbak Mira. Ngak tau, tiba-tiba putus. Mungkin karena Mbak Mira kecantol orang berpangkat itu hinggah mutusin Pak Damar.""Itu nggak mungkin, Mbak Mira begitu saja memutuskan pertunangannya kalau nggak ada sesuatu.""Sudahlah, kita semua nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Mas Alzam menjodohkan mereka. Pak Rey kan teman akrab Mas
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p