"Kak Rey, kalau nyupir itu lihat ke depan, jangan tengok ke spion terus!" gerutu Rere atas tingkah Rey yang sering curi pandang ke Mira."Kayaknya kamu udah kebelet banget, Rey, pingin nikah."Maya menimpali.Atmajaya terkekeh. Mira menunduk malu."Mama dan Rere sama aja, bikin aku jatuh di hadapan Mira.""Itu karena tingkah kamu, Rey. Gitu kita nggak boleh ke rumah Mira sekarang, maunya kapan?""Bukan begitu, Pa. La MIra masih ada janji sama Damar, bagaimanapun juga seharusnya kita nunggu mereka urus duluh agar Damar mundur, baru kita maju.""Kelamaan, Rey. Mumpung lihat kamu dan MIra sudah akur.""Maksud Tante?" tanya Mira."Biasanya kamu kata Rey selalu galak sama dia."Mira menatap Rey tajam."Mama, kok diomongin ke Mira, sih," kelu Rey.Semua terkekeh.Mira sendiri kini baru tau, kalau semua tentang dirinya sudah ada di cerita keluarga itu. Perasaan hangat menyelimuti dirinya dengan membalas lirikan Rey di kaca mobilnya."Terus, Mama sama Papa nih, bawa apa ke rumah Mira? Mama ngg
Suasana siang itu terasa panas, bukan hanya karena terik matahari yang menyengat, tetapi juga karena ketegangan di dalam rumah Tukiran."Bune, ini sudah siang. Mira kok belum juga diantar ke sini?" Tukiran mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam menusuk ke arah Marni yang justru terlihat santai duduk di kursi.Marni menghela napas. "Rey yang antar. Aman."Tukiran mendengus. "Kamu yakin?""Iya.""Dia itu juga laki-laki, Mar. Kamu sadar nggak? Anak perempuanmu nginap di rumahnya!"Marni tetap tenang, tetapi dagunya terangkat sedikit. "Rey nggak akan macam-macam."Tukiran meremas kedua tangannya. "Kamu percaya begitu saja?""Sudah aku bilang, Rey itu orangnya bertanggung jawab, jadi Bapak nggak perlu khawatir."Perdebatan mulai memanas. Tukiran membanting koran ke meja. "Tanggung jawab apa? Bisa-bisanya kamu begitu percaya pada orang yang bariu dikenal, Mar."Marni menatap suaminya. "Kenapa tidak?""Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Mira yang
Tukiran berdiri tegak di depan rumah. Matanya tajam, tangan menunjuk ke arah Rey. "Bagaimana bisa kamu merebut Mira dari Damar? Bahkan sekarang kamu yang membawa Mira pulang?"Mira menegang."Kamu sudah bertunangan dengan orang lain, tapi malah menginap di rumah laki-laki lain!" Suara Tukiran naik. "Kamu mau bikin bapakmu malu?"Rey maju selangkah. "Pak, dengar dulu..."Tukiran mengibaskan tangan. "Dengar apa?!"Rey menarik napas dalam. "Saya menemukan Mira sudah di jalan dalam keadaan..."Kata-kata itu terhenti. Tatapan Tukiran makin tajam.Alzam yang di dalam, keluar dengan Lani."Pakde, dengar Rey menjelaskan sesuatu duluh, baru Pakde bersikap jika Rey memang salah."Marni melangkah cepat, berdiri di antara mereka. "Wes, ayo masuk dulu. Bicaranya di dalam." Suaranya lebih lembut, tetapi tegas. Beberapa orang yang lewat berhenti melirik ke arah mereka, membuat Marni semakin tak nyaman.Tukiran masih tampak kesal, tetapi akhirnya melangkah masuk. Yang lain mengikuti.Suasana terasa l
Marni menghela napas panjang. Hatinya sempat berbunga, mengira akhirnya impiannya terwujud—punya menantu berseragam, bukan lelaki sembarangan, bahkan Rey. Laki-laki yang pertama kali datang membawa harapan.Namun, Tukiran justru memasang syarat."Syaratnya mudah, tolong antar saya ke rumah Damar. Benar dia pernah memberi alamat saat nanti kami mau mengembalikan lamaran ke sana, tapi saya nggak hafal jalan di sana, jadi saya minta kalian bisa menunjukkan jalannya. Katanya satu perumahan."Atmajaya sekilas bersitatap dengan istrinya, juga dengan Rere. "Ternyata itu syaratnya? Baik, Pak. Kapan kami bisa mengantar?""Ya, nanti saat kalian balik.""Pak, secepat itu?" sahut Mira."Aku nggak mau ada beban. Besok atau kapan pun, sama saja, kenapa nggak nanti saja? Kita harus bareng ke rumah Damar," ujar Tukiran tegas. "Aku mau kembalikan semua yang dia kasih. Biar urusan selesai di sini."Marni spontan menoleh, wajahnya penuh keberatan. "Pak, buat apa? Kan sudah jelas Damar yang salah. Kalau
Mobil melaju perlahan, membelah jalan yang mengarah ke rumah Damar. Rey duduk di kursi depan, wajahnya kaku. Di belakangnya, Marni terus menggigit bibir, jelas gelisah. Alzam sesekali meliriknya, tapi tak berkata apa pun. Sementara Tukiran hanya fokus menatap ke luar jendela, kedua tangannya mengepal di pangkuan.Mereka bukan sekadar mengantar barang. Ini tentang menutup satu bab dalam hidup Mira—tentang memastikan masa lalunya benar-benar berakhir.Sementara itu, rombongan lain menuju rumah Rey. Atmajaya mengajak Mira dan Lani ke rumah mereka, memastikan semua beres untuk pernikahan. Bagi Atmajaya, semakin cepat semakin baik. Tidak perlu banyak perhitungan hari atau hitungan primbon, yang penting Mira dan Rey bisa segera menikah tanpa bayang-bayang masa lalu. Semua surat tentang Mira juga telah dibawa untuk mengajukan izin menikah ke komandan Rey besuk.Langit sedikit mendung ketika mereka tiba di depan rumah Damar. Saat pintu terbuka, Damar sudah bersiap keluar. Lelaki itu tampak te
Lani bersandar di kepala ranjang, mengusap perutnya yang semakin membesar. Matanya sayu, tapi hatinya terasa penuh. Alzam duduk di sampingnya, tangannya tak lepas dari perut Lani."Kamu udah capek, Mas," ujar Lani sambil mengusap lengan suaminya. "Habis nyetir jauh, masih aja sibuk gini. Tidurlah."Alzam tertawa pelan. "Nggak ngerasa capek. Aku cuma kepikiran, besok anak kita udah dengerin ayat-ayat ini dari dalam perutnya."Bibirnya mendekat ke perut Lani, lalu berbisik pelan, membaca ayat-ayat yang membuat hati Lani terasa tenang. Terlebih untuk buah hati mereka.Lani tertawa kecil, mengusap kepala suaminya. "Suaramu bikin geli, Mas. Kayak siapa gitu."Alzam pura-pura tersinggung. "Wah, jangan-jangan mirip suara Gusdur?"Lani terkekeh. "Nggak semerdu itu juga!"Mereka terdiam sejenak. Lani memainkan jari Alzam yang masih bertumpu di perutnya."Besok kita periksa, ya?" ujar Lani. "Kayaknya mulai sekarang harus sering kontrol. Udah masuk delapan bulan.""Gimana kalau kita pindaah ruma
Alzam menatap Lani yang masih berdiri di teras. Senyum perempuan itu membuat hatinya hangat, tapi ada perasaan tak nyaman sejak semalam. Pikirannya terus berputar, terlebih sejak tamu tak diundang datang larut malam."Kita tunda periksanya besok, ya?" ujar Alzam sambil mengelus pipi istrinya.Lani mengangguk. "Nggak apa-apa. Aku nunggu kamu pulang dulu."Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Lani menatap kendaraan itu sekilas, lalu menghela napas pelan.Seorang lelaki di dalamnya hanya duduk tanpa berusaha keluar. Sikapnya dingin, tanpa basa-basi.Alzam berpamitan, mencium kening istrinya, lalu bergegas menuju mobil. Melihat semua itu, orang itu malah berpaling muka, seolah muak melihatnya.Dari ambang pintu, Towirah mengamati dengan raut tak senang.Sementara itu, Wagimin yang baru saja bersiap pergi ke kebun jeruk ikut menggeleng."Orang nggak punya etika," gumam Wagimin. "Malam-malam gedor pintu orang, pagi-pagi udah datang ngajak orang pergi, tapi sopan santunnya nggak ada."Towir
Subuh-subuh, rumah keluarga Atmajaya sudah ramai meski matahari belum muncul. Maya duduk di meja makan sambil menyeruput teh, memperhatikan Rey yang entah kenapa sudah bangun pagi-pagi."Kok tumben? Biasanya kalau Minggu gini kamu masih gulung-gulung di kasur," sindir Maya dengan tatapan penuh arti.Rey yang sedang mengunyah roti hanya bisa meringis."Mama, jangan buka rahasia aku di depan Mira, dong. Nanti dia berubah pikiran, nggak jadi nikah sama aku," ucapnya setengah bercanda.Maya tertawa kecil, tapi Mira yang baru keluar dari kamar hanya tersenyum sambil mengambil mukena."Rey, imami aku?" pinta Mira lembut.Rey menoleh cepat, seolah Mira baru saja meminta hal paling sulit dalam hidupnya."Gimana caranya? Aku hafal tiga ayat pusaka doang—Al-Falaq, An-Nas, sama Al-Ikhlas. Nggak pernah jadi imam juga," gumamnya, sedikit panik.Atmajaya yang duduk di teras terkekeh. "Makanya kalau disuruh ngaji, belajar yang bener. Jangan main tawuran aja."Mira menatap Rey, terkejut. "Tawuran?"T
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad