Suara dering ponsel menyelip di antara suara mesin yang berputar di dalam pabrik. Mira menghela napas, menyingkir dari jalur produksi sebelum mengangkat panggilan itu."Mas Damar? Ada apa? Aku masih kerja dan sekarang lihat di produksi.""Ayo, kita fitting baju sore ini," suara di seberang terdengar tegas, tanpa basa-basi.Mira mengusap peluh di dahinya. "Bisa nggak besok aja? Aku masih di pabrik, banyak kerjaan arena banyak yang masih belum masuk.""Tidak bisa, Mir. Mama sudah atur jadwal jauh-jauh hari. Dia takut kalau bajunya nggak pas dan harus dirombak lagi."Mira mendesah. "Tinggiku seratus enam puluh, badanku juga biasa saja. Seharusnya nggak repot sama ukuran baju. Beda alau yang tubuhnya gendut atau urus sekali.""Ini soal kepastian, Mir. Lagipula Mama sudah capek-capek ngurus semuanya," potong Damar cepat. "Aku nggak mau ngecewain beliau."Mira diam sejenak, lalu menyerah. "Baiklah, aku izin dulu ke Lani."Dia berjalan ke ruangan pribadi, di mana Lani sudah kembali bekerja s
Mobil meluncur di jalanan sore. Langit mulai meredup, lampu-lampu toko menyala satu per satu. Rey melirik ke sisi kanan jalan, langkahnya melambat tanpa sadar.Gaun itu terlihat begitu anggun. Putih dengan manik-manik berkilauan, menggantung di etalase sebuah butik bridal.Sebuah bayangan melintas di pikirannya.Mira akan terlihat cantik dengan gaun seperti itu.Rey menghela napas, tersenyum kecil, tapi ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Dia sadar, semua itu hanya impian semu. Nyatanya dia tidak akan menikahi Mira, walau dia juga akan menikahi seseorang.Lalu seorang satpam keluar dari butik, menatapnya dengan curiga. "Mau masuk, Mas? Bisa lihat-lihat koleksi di dalam."Rey tersadar. "Ah, nggak, Pak. Saya cuma lewat."Dia segera melangkah pergi, tapi sesuatu menancap tajam di hatinya.Yang akan dinikahinya bukan Mira. Tapi Agna. Dan dia sudah tak bisa membayangkan jika Agna memakai gaun itu melangah bersamanya diiringi prosesi pedang pora.Impian yang dulu pernah ada kini berubah j
Sandra menyodorkan semangkuk sup hangat ke hadapan putrinya yang tampak pucat. Sendok kecil itu hanya dipegang tanpa niat menyuapkan ke mulutnya. Matanya kosong menatap meja."Kamu harus makan, Nak. Badanmu makin lemah," lanjut Sandra dengan suara lebih lembut.Agna menghela napas. Bau kaldu ayam yang biasanya menggugah selera malah membuat perutnya bergejolak. Dia menutup mulut, menekan rasa mual. Sandra yang melihat itu langsung menyodorkan segelas air putih.Arya Baskara duduk berseberangan, menatap anak perempuannya dengan tatapan tajam. Ada perih dalam hatinya melihat Agna dalam kondisi seperti ini, tapi amarah masih lebih dominan."Jangan diam saja! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Selingkuh, hamil, lalu berharap laki-laki tak berdosa itu menikahi kamu?" Suaranya bergetar menahan emosi.Agna menunduk. Setiap kata dari ayahnya seperti tombak menusuk ulu hati."Papi, Rey sudah janji akan menikahiku," katanya pelan.Baskara tertawa sinis. "Kamu pikir Rey mau kalau anak ini b
Di meja makan rumah Rey, cangkir kopi masih mengepulkan asap tipis, tapi tidak ada yang menyentuhnya. Rey menatap kosong ke arah cangkir itu, pikirannya terjebak dalam pusaran masalah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Di sudut ruangan, Mira duduk dengan punggung tegang. Tatapannya terpaku pada Rey, menunggu jawaban.Ketegangan di antara mereka begitu terlihat.Atmajaya mengamati putranya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di sampingnya, istrinya masih bersikap canggung."Ayo ke rumah, Ma," bisik Atmajaya."Kenapa harus buru-buru?" tanya istrinya, akhirnya membuka suara.Atmajaya hanya menoleh sekilas ke arah Rey dan MIra sebelum menepuk tangan istrinya dengan lembut. "Mereka perlu waktu untuk bicara.""Tapi, Pa, aku masih pingin ngobrol sama MIra. Siapa tau masih ada jalan keluar. Lihatlah, kulitnya begitu bening, biar cucu kita elak nggak suram terus kulitnya," balas Maya berbisik pula."Ih, apaan sih kamu. Nanti aku jelaskan di rumah," bisiknya pelan.Maya terdiam, tapi
Marni mondar-mandir. Langkah kakinya semakin cepat, hampir tanpa jeda. Nafasnya mulai memburu, bukan karena lelah, tapi cemas yang makin menumpuk."Kenapa belum pulang juga?"Suaranya lirih, lebih seperti bicara dengan diri sendiri. Tatapan matanya sesekali melirik jam dinding. Sudah hampir masuk waktu Isya. Mira belum juga muncul.Tukiran yang duduk di kursi kayu tua hanya bisa menghela napas panjang. "Mungkin masih perjalanan, Bu.""Kalau iya, kenapa pakai tidak bisa dihubungi segala!" bentak Marni tanpa sadar.Tukiran terdiam. Tidak ingin memperkeruh suasana.Marni kembali mengangkat ponsel, menekan nomor Mira. Ditempelkan ke telinga.Suara operator terdengar lagi.Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Umpatan keluar dari mulutnya."Kenapa ponselnya mati terus?"Tukiran mengelus dada. "Jangan suudzon dulu, mungkin habis baterai."Marni memutar bola mata. "Habis baterai sejak Maghrib? Masuk akal nggak?"Tukiran memilih diam.Marni tak bisa lagi menung
Rey menekan layar ponselnya, menunggu nada sambung. Baru mengucap salam.Alzam mengangkat. "Waalaiumussalam! Ada apa, Rey, kok mlam-malam telpon?"Rey melirik Mira yang duduk di sofa, memeluk bantal dengan wajah lelah. "Mira di sini."Hening sejenak."Lho? Kok bisa di rumahmu?""Nanti saja Mira sendiri yang cerita. Yang penting kasih tahu Budemu, biar nggak panik," suara Rey terdengar tenang.Alzam menarik napas. "Oke. Aku kasih tahu Bude Marni sekarang."Sambungan terputus.Mira melirik. "Aku harus pulang sekarang?"Rey mengangkat bahu. "Besok saja. Sekarang istirahat dulu."Mira mengangguk, tampak lega.Tapi Rey belum selesai. "Ayo beli baju dulu."Mira mengernyit. "Kenapa?"Rey melirik bajunya. "Yang kamu pakai aneh."Mira melihat ke dirinya sendiri, baru sadar betapa sempitnya baju Rere yang menempel pas di tubuhnya."Aku pakai baju Rere waktu SMP, ya wajar aneh," Mira mendengus. "Waktu tadi dikasih mama kamu yang awal, kebesaran, makanya dicarikan baju Rere yang lama, e, pas, tapi
Subuh itu, Maya masih mengantuk saat berwudu di sisi kamar mandi. Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Matanya langsung membelalak melihat Rey sudah berdiri di sana, bersandar di dinding dengan wajah santai. Dia mengenakan kaos oblong dan celana pendek seperti kebiasaannya jika di rumah."Kamu ngapain di sini, Rey?" tanyanya ketus, masih berkumur.Rey memasukkan tangannya ke saku celana. "Liat Mira."Maya menghela napas panjang, menatap langit-langit, lalu menatap Rey lagi. "Udah sholat?"Rey melirik jam dinding di ruang tengah yang terlihat dari tempat mereka berdiri. "Belum."PLAK!Tamparan ringan mendarat di pantat Rey."Sholat dulu, dasar teledor!" Maya mendelik, lalu menyentil kening anaknya dengan kesal.Rey mengusap bagian yang ditabok, meringis kecil. "Ma, aku sih mau sholat, tapi kan Mira di sini, aku mau liat dia dulu."Maya makin sebal. "Mau liat Mira apa mau cari alasan?!""Mama juga, aku ngajak Mira tidur di rumahku aja nggak boleh."Maya mendecak. "Mama
"Kak Rey, kalau nyupir itu lihat ke depan, jangan tengok ke spion terus!" gerutu Rere atas tingkah Rey yang sering curi pandang ke Mira."Kayaknya kamu udah kebelet banget, Rey, pingin nikah."Maya menimpali.Atmajaya terkekeh. Mira menunduk malu."Mama dan Rere sama aja, bikin aku jatuh di hadapan Mira.""Itu karena tingkah kamu, Rey. Gitu kita nggak boleh ke rumah Mira sekarang, maunya kapan?""Bukan begitu, Pa. La MIra masih ada janji sama Damar, bagaimanapun juga seharusnya kita nunggu mereka urus duluh agar Damar mundur, baru kita maju.""Kelamaan, Rey. Mumpung lihat kamu dan MIra sudah akur.""Maksud Tante?" tanya Mira."Biasanya kamu kata Rey selalu galak sama dia."Mira menatap Rey tajam."Mama, kok diomongin ke Mira, sih," kelu Rey.Semua terkekeh.Mira sendiri kini baru tau, kalau semua tentang dirinya sudah ada di cerita keluarga itu. Perasaan hangat menyelimuti dirinya dengan membalas lirikan Rey di kaca mobilnya."Terus, Mama sama Papa nih, bawa apa ke rumah Mira? Mama ngg
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad