"Aku jemput sebentar lagi, ya," ucap Alzam saat menelpon Lani."Ngapain? Tadi ngajak pulang. Katanya pingin makan tempe penyet.""Ghak jadi makan di rumah. Makan di luar, yuk." Alzam memang ingin bisa bersama Lani di tempat umum untuk mengobati keinginannya selama ini.Siang itu, Alzam hendak mengambil mobilnya di rumah. Namun, sebelum sempat beranjak, suara langkah kaki cepat terdengar dari depan ke arahnya."Alzam!"Ia melihat Dandi, salah satu sahabatnya di kesatuan, berjalan mendekatinya."Dandi? Ada apa?" Alzam bertanya dengan alis terangkat."Kenapa kamu tak cerita padaku?" tanya Dandi. "kalau kamu sekarang sedang menjalani skorsing, apa betul yang kudengar ini?"Alzam mengangguk, lalu mengajak Dandi untuk berjalan ke tempat duduk di belakang gudangnya yang biasa dipakai orang untuk sekedar istirahat atau ngobrol."Aku baru tahu soal skorsingmu," Dandi memulai, suaranya rendah tapi tegas. "Apa benar karena laporan seseorang?""Sepertinya begitu." Alzam mengangguk pelan. "Tapi a
Di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya, Agna berjalan-jalan bersama sahabatnya, Winda. Mereka mengobrol ringan sambil sesekali berhenti untuk melihat-lihat barang di etalase. Suasana cukup ramai, dengan pengunjung yang hilir-mudik di antara toko-toko.Saat Winda sibuk memeriksa koleksi di sebuah distro, Agna merasa seseorang menatapnya. Ia menoleh dan melihat seorang pria berdiri tak jauh darinya, tersenyum kecil. Butuh beberapa detik baginya untuk mengenali wajah itu."Reynaldi?" tanyanya, agak terkejut.Pria itu mengangguk, lalu berjalan mendekat. "Hai, Agna. Sudah lama sekali kita tak bertemu."Agna mencoba tersenyum, meski hatinya tak begitu nyaman. Dia masih ingat Lani yang datang dengan Alzam dar jalan-jalan pagi tadi dengan salin menggenggam dan sesekali menatap mesra. Reynaldi adalah sahabat suaminya, Alzam, tapi kehadirannya di sini tak pernah ia duga."Kamu lagi ngapain?" tanya Agna."Tadi makan sama teman di sini, kebetulan lagi ada yang nagajak ngobrol sekalian makan s
Alzam dan Lani baru saja selesai makan siang. Mereka duduk di bangku taman, mencoba menikmati angin siang yang sejuk. Namun, pikiran Alzam tidak tenang. Kata-kata Dandi terus terngiang di telinganya."Kamu bisa mencari bantuan seseorang." Alzam terdiam dengan mencari siapa yang harus dia mintai bantuan. Lalu bantuan apa yang bisa membantunya keluar dari madalah dia dan Lani bisa bersama dengan teanng tanpa Agna?Lani menatap Alzam yang terlihat gelisah. "Kamu kenapa, Mas, sejak tadi kelihatan nggak tenang?"Alzam tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Nggak apa-apa, Sayang, cuma lagi banyak pikiran."Lani meraih tangan Alzam, menatapnya lembut. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku, Mas. Aku ghak mau kamu menyimpan semuanya sendiri."Alzam terdiam sejenak. Hatinya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia membebani Lani dengan semua ini? Dia telah mengatakan sikap seolah-olah telah siap keluar dari pekerjaannya. Tapi benar kata Dandi atau Agna. Hari ini saja Alz
Alzam masuk ke rumahnya dengan perasaan berat. Begitu masuk, ia mendengar suara Agna berbicara dari arah ruang keluarga. Langkahnya terhenti di depan ruang makan. Ia memutuskan untuk diam sejenak, mendengarkan percaka[an yang sepertinya tidak biasa itu. Suara manja, gurauan manis mewarnainya.“Sayang, kamu harus sabar. Tinggal beberapa hari lagi, dan kita bisa seperti dulu,” suara Agna terdengar lembut, penuh kehangatan.Jantung Alzam berdetak kencang. Kata-kata itu seperti pisau tajam yang menusuk hati. Bukan karena sakit hati mendengarnya, namun lebih karena dia kaget itu dilakukan oleha Agna. Dengan perlahan, ia mendekat ke ruang keluarga. Dari celah pintu, ia bisa melihat Agna duduk di sofa kesukaanya, ponsel di tangannya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang asing bagi Alzam."Kalau kamu kangen, aku juga. Kita cuma perlu sedikit sabar, ya?" suara Agna terdengar mesra.Alzam menelan ludah. Ia merasa seperti penonton yang dipaksa menyaksikan adegan dari film yang tidak ingin ia to
Alzam masih berdiri di depan almari pakaiannya, matanya tertuju pada layar ponsel. Jemarinya bergerak ragu sebelum menekan tombol hijau. Beberapa detik berlalu, tetapi tidak ada jawaban. Ia menghela napas berat, mencoba menelepon lagi. Tetap tidak ada respons."Kenapa di saat seperti ini, kau malah tidak bisa dihubungi?" gumamnya kesal.Ia lalu meletakkan ponselnya di atas meja rias Lani dan melangkah keluar dari kamar. Sebelum kemudian pandangannya tertuju pada tumpukan pakaian yang baru saja ia bawa dari rumah sebelah. Ia kembali, duduk di tepi tempat tidur, tangannya meremas rambut. "Apakah ini jalan yang dimaksud Dandi?" pikirnya, hatinya berkecamuk antara kebimbangan dan senyuman akan satu titik harapan.Pintu kamar terbuka perlahan. Lani masuk. Tatapannya lembut namun penuh tanda tanya. "Mas, kamu kenapa? Aku lihat mukamu kok murung. Sudah mandi belum? Mau makan dulu, nggak?" tanyanya sambil duduk di samping Alzam.Alzam tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "
"Lani, aku nanti ke rumah Dandi sebentar ya," ucap Alzam akhirnya setelah mereka berjamaah Maghrib bersama Mbok Sarem yang sekarang menyiapkan makan malam."Iya, Mas.""Dari tadi aku telpon tapi kok ghak diangkat. Sepertinya handphone-nya ghak aktif. Entah kenapa.""O, jadi tadi itu kamu mengharap telpon Dandi?"Alzam hanya menjawab pertanyaan Lani dengan mencium kening Lani yang sedang tidur di pahanya masih memakai mukena."Ada sesuatu yang penting, sampai kamu begitu berharap bisa menelponnya?""iya, aku ingin ngorol tentang suatu hal dengannya. Kapan-kapan aku ceritakan padamu kalau sudah jelas."Lani hanya mengangguk."Lani, Mas Alzam,ayo makan!" Terdengar Mbok Sarem memanggil.Alzam segera membangunkan Lani, lalu melepas mukenanya. "Makan, yuk. Biar anak kita tidak kekurangan gizi," kekehnya.Setelah makan malam yang hangat, Alzam mengenakan jaketnya. Lani mengantarnya sampai ke depan pintu. "Hati-hati ya, Mas?"" Sekalian nanti aku mampir ke pasar malam, kan deket dari rumahnya
Semalam Alzam sulit tidur. Pikirannya yang tak henti mengunyah keresahan. Ia mendapati Lani sudah di halaman, sedang mengeluarkan motor dari garasi mereka."Sayang, kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Alzam, suaranya berat tapi penuh perhatian.Lani menoleh, matanya menatap Alzam sejenak. "Aku mau ke kampus, Mas. Senin kemarin nggak masuk karena nemenin kamu."Alzam mendekat, tangannya refleks menahan setang motor. "Kenapa nggak bilang? Aku antar aja, ya. Jalan pagi-pagi gini nggak aman buat kamu, apalagi perut kamu udah mulai besar."Lani menarik napas dalam. "Mas, aku nggak apa-apa. Jalanan masih sepi. Nggak usah repot-repot. Lagian kamu nanti juga ke gudang kan?""Repot gimana? Kamu itu istriku, Lani. Aku nggak tenang kalau kamu pergi sendiri, sekarang," balas Alzam. Sorot matanya tegas, walau hatinya selalu resah jika pagi datang, dan dia merasa aneh tak pergi kerja dengan seragamnya."Mas, aku bisa sendiri," jawab Lani, nadanya mulai melembut. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu Alzam
Lani menoleh sekilas, mengamati mobil merah yang berhenti tak jauh dari tempatnya turun. Namun, ia memilih mengabaikannya dan berjalan menuju kampus. Hinggah saat wanita itu mengangkat telponnya dan Lani sudah masuk dia kehilangan jejak."Bu, mereka sudah sampai kampus. Alzam yang mengantar. Tampaknya mereka semakin percaya diri," kata pria itu melapor kepada wanita yang kini masih di dalam mobil dengan jengkelnya. "Aku sudah tahu. Tidak perlu kau laporkan lagi. Tapi kau harus tetap mengawasi mereka. Kalau perlu, bikin wanita itu takut karena diintai seperti di pasar malam waktu itu.Pria itu mengangguk kecil, meski lawan bicaranya tak bisa melihatnya. "Baik, Bu. Saya akan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana." Wanita itu menggenggam ponselnya erat. Wajahnya terlihat kesal, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya ia berujar dengan nada ketus, "Berani sekali dia, pagi-pagi sudah mengantar Lani ke kampus. Apalagi kampus itu dekat sekali dengan markas dan tempat kerjaku. Apa di
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad