Namun saat Lani yang melihat Alzam mengusap airmatanya, tak langsung mendekat. Dia bahkan membiarkan lelaki itu untuk beberapa menit lamanya. Hinggah membasuh wajahnya dengan air di sungai."Mas," panggil Lani.Alzam yang kaget tak langsung menoleh. Suaranya parau saat akhirnya berbicara, "Kenapa kamu ke sini, Lani?" Sebuah senyum dia paksakan untuk Lani."Aku ke gudang tapi kamu tak ada," jawab Lani, duduk di sampingnya. Ia menyerahkan kantong camilan yang dibelinya tadi. "Aku bawa ini buat kamu."Alzam tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Terima kasih. Tapi kenapa kamu ghak telpon aku kalau pulang lebih awal? Aku kan bisa menjemputmu."Ghak usah repot, Mas. Kebetulan ada dosen yang ghak masuk." Lani mendekat, memegang tangan Alzam. "Mas, aku melihat kamu dari tadi."Alzam nampak terkejut."Mas, kenapa kamu tak mengatakan apapun padaku?""Mengatakan apa, Lani?" Kembali dia memaksakan senyum."Kamu sedih ya tak lagi ke markas?""Enggak, Lani. Aku sudah mulai terbiasa.
"Sayang, telpon kamu bunyi," ucap Alzam sambil membawa handphone Lani yang tadi di kamarnya ke ruang tamu, saat Lani duduk-duduk di sana bersama Mbok Sarem sambil nonton TV. "Terimakasih, Mas."Diambilnya handphone itu sambil menyingkir ke ruang depan agar tak tercampur dengan suara televisi. Dia menatap layar ponselnya yang menyala, diangkatnya panggilan itu tanpa ragu."Mbak!" suara ceria seorang gadis kecil terdengar di seberang. "Mbak, lagi apa?""Senja, sayang. Mbak lagi santai. Kamu gimana? Tadi sekolahnya seru?" Lani menyandarkan tubuh ke sofa, senyumnya mengembang."Seru banget, Mbak!" jawab Senja antusias. "Tadi aku ketemu teman baru. Namanya Gita. Dia baik, terus dia suka ngajarin aku matematika. Gita tuh pintar banget!""Wah, hebat. Kalau gitu, kamu juga harus belajar dari Gita, ya. Nanti bisa jadi pintar juga," balas Lani sambil mendengar tawa kecil Senja."Bak, tadi di kantin aku lihat kucing kecil! Tapi aku nggak boleh bawa pulang. Kata Bu Guru, kucing itu milik sekolah
Damar berdiri di depan pagar rumah yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Rumah itu dulu penuh warna dan tawa, tempat ia dan Vero membangun harapan. Namun, sekarang... pemandangan di depannya membuat dadanya sesak.Cat dindingnya memudar, banyak yang terkelupas, dan halaman yang dulu rapi kini penuh ilalang liar. Beberapa daun pintu terlihat retak, sementara jendela-jendelanya berdebu, seperti lama tak dibersihkan. Ia menggenggam erat setangkai bunga di tangannya, bunga mawar putih yang ia beli untuk Diandra, putrinya. Sepertinya aku tidask salah rumah. Tapi kenapa rumah ini berubah? Apakah Bi Ira tak lagi di sini dan membersihkannya? Damar teringat nama asisrten rumah tangga mereka. Baru juga setahun lebih, rumah yang dia berikan untuk Vero sebagai rumah untuk anaknya itu, seperti asing baginya."Kenapa bisa jadi begini?" gumamnya pelan, matanya menyapu pemandangan suram itu.Dengan langkah berat, Damar mendekat ke pintu. Tangannya mencari bel, namun ternyata sudah tak berfung
Saat Damar hendak pergi bersama Diandra, Vero menahan tangannya. Wajahnya tampak tegang."Dam, aku tahu aku nggak pantas minta tolong, tapi aku butuh bantuanmu."Damar berbalik, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa lagi, Vero?""Ini tentang Diandra..." Vero terdiam sejenak, mencoba menguatkan dirinya. "Aku rasa aku nggak bisa merawatnya lagi."Damar terpaku, hatinya tercekat mendengar pengakuan itu. Diandra yang mendengar percakapan mereka hanya bisa menatap bingung dari sisi Damar."Apa maksudmu, Vero? Kamu mau meninggalkannya?"Vero menundukkan kepala, air matanya jatuh ke lantai. "Aku... aku nggak punya pilihan. Aku mau coba kerja ke luar negri."Damar memandangi Vero dengan tatapan yang sulit ditebak. Ada kekecewaan, kemarahan, sekaligus sesuatu yang menyerupai rasa iba. Ia mendekat selangkah, lalu berhenti, menahan napas sebelum akhirnya berbicara."Jadi ini maumu, Vero? Pergi ke luar negeri, menitipkan Diandra ke aku, dan berharap semuanya akan baik-baik saja?"Vero mendongak.
Mobil melaju pelan melewati jalanan yang ramai, ditemani percakapan santai di dalamnya. Lani duduk di kursi depan, melirik ke arah Alzam yang fokus pada kemudi. Di kursi belakang, Mira memandangi jalanan dengan tatapan kosong."Jadi, gimana Damar, Mbak?" Lani membuka percakapan, mengangkat alis penuh rasa ingin tahu. ' Kok nggak pernah cerita ke aku?"Mira tersentak, lalu tertawa kecil. "Entahlah, Lani." Ia mengangkat bahu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Kayaknya Ibu masih belum setuju sama dia. Lagian..." Mira menghela napas, suaranya melembut, "Mas Damar juga belakangan ini kalau aku telpon seolah-olah menghindar."Lani memiringkan kepala, melirik Mira lewat kaca spion dalam. "Menghindar? Maksudnya?""Aku nggak tahu, Lani." Mira tersenyum tipis, mencoba menutupi kegundahannya.Lani melirik Alzam. "Mas, kamu tahu sesuatu soal ini?"Alzam menatap lurus ke depan, menggenggam setir dengan erat. "Aku nggak terlalu tahu banyak soal mereka. Tapi, kalau boleh jujur, aku rasa Damar
Damar mematikan telepon dengan tangan gemetar. Langkahnya tertahan di tengah keramaian mal. Bayangan Mira seolah-olah terus menari di benaknya, membuat pikirannya tak tenang. Namun, suara tawa Diandra yang memeluk bonekanya membawanya kembali ke kenyataan."Papa, aku haus," ucap Diandra.Damar mengangguk pelan. "Ayo, kita cari tempat duduk dulu."Mereka berdua menuju kedai kecil di pojokan mal. Diandra duduk manis, menyantap makanan dan minumannya. Namun, Damar hanya menatap kosong ke meja, pikirannya masih bergelut dengan perasaan kebingungan antara Mira dan Diandra.Seketika, ia teringat Bu Ira. "Diandra mau diasuh Bu Ira lagi?" tanyanya."Bu Ira?" Seketika mata Diandra berbinar. Lalu mengangguk. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Bu Ira setelah ini."Assalamu'alaikum," Damar mengetuk pintu rumah kecil itu.Seorang wanita paruh baya muncul, wajahnya terlihat lelah namun ramah. "Wa'alaikumussalam. Oh, Damar. Ada apa?" tanyanya.Damar tersenyum canggung. "Bu, saya mau minta tolo
Pagi baru saja merayap ketika Alzam keluar dari kamar mandi dengan handuk tergantung di bahunya. Ia berhenti sejenak, menatap Lani yang masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dada. Wajah Lani terlihat pucat di bawah sinar redup lampu tidur."Kamu sakit?" tanya Alzam, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia mendekat, duduk di sisi tempat tidur, lalu menyentuh kening Lani.Lani membuka mata perlahan, menatap Alzam dengan sorot lemah. "Nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing," jawabnya lirih."Apa karena Adik yang bikin kamu pusing?" Alzam memegang perut Lani "Adik, jangan nakal, ya. Kasihan Bunda kesakitan," ucapnya lalu terkekeh saat menyadari bayi yang dipegangnya bergerak. "Dia denger, Sayang."Lani ikut tersenyum melihat kekonyolan Alzam."Tunggu sebentar, aku ambilkan air hangat," kata Alzam sambil bangkit setelah memegang kening Lani dan tidak mendapati Lani demam seperti dugaannya."Mas," panggil Lani pelan, membuatnya berhenti di tengah langkah. "Nggak per
"Mas," panggil Lani pelan.Alzam melipat koran dan menatapnya. "Ada apa?""Aku... mau keluar sebentar. Mira janji ketemuan di kafe sama Damar." "Kenapa nggak suruh dia ke sini saja?"Lani menggeleng. "Ada yang ingin dia bicarakan, dan sepertinya lebih nyaman di luar."Alzam terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Oke, aku antar.""Tapi aku sudah minta Pak Surip. Lagipula ini urusan biasa, nggak perlu repot-repot."Ada kerutan di dahi Alzam, tapi ia hanya menatap Lani beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kabari aku."Lani tersenyum tipis. "Terima kasih, Mas." Sebuah ciuman didaratkan Lani di pipi Alzam, membuat alzam malah menariknya dan menghadiai Lani ciuman di bibirnya.Mobil melaju pelan di jalan yang agak lengang. Pak Surip, supir pabrik yang biasa mengantar Lani untuk urusan kerja, duduk tenang di belakang kemudi. Sementara itu, Lani dan Mira berbincang ringan di jok belakang, sesekali tertawa kecil."Jadi, Damar ngajak ketemu lagi?" Mira men
Kinan masih berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Agna yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi."Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan?" suara Kinan rendah, tapi tajam.Agna menarik napas, berusaha tenang. "Aku nggak ngerti maksudmu.""Jangan pura-pura bodoh," Kinan melangkah lebih dekat. "Selama ini kamu selalu bersembunyi di balik topeng baik-baik, tapi kenyataannya? Kamu selingkuh di belakang suamimu. Untung juga Alzam nggak cinta sama kamu. Kalau cinta, bisa hancur rumah tangga."Pak Bara menghela napas, tak tahu harus bagaimana menghentikan Kinan. "Aku nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun," Agna akhirnya bicara. "Justru karena dia nggak cinta sama aku, hinggah aku,.."Kinan tertawa sinis. "Itu bukan alasan untuk orang selingkuh."Agna menegang."Semua ini memang salahku. Aku yang menyebabkan Agna melakukan semua itu. Jadi tolong, berhentilah menghinanya." Akhirnya Arhand angkat bicara.Air mata sudah menggenang di pip Agna.Pak Bara akhirnya melangkah men
Langkah Arhand melambat saat mendekati mobil. Agna, yang berada di sisinya, juga ikut berhenti. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya menoleh ke belakang."Mami, Papi duluan aja. Kita masih mau mampir ke ruangan Alzam," ujar Agna, suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana. Merela tau, Sandra tidak akan tinggal diam dengan pemitan mereka.Benar saja, Sandra mendengus, seolah tidak senang dengan keputusan itu. "Buat apa? Mereka pasti sibuk sama bayinya. Ngapain juga kalian ke sana? Merepotkan diri saja," gerutunya."Kita cuma mau pamit," Arhand menimpali. "Sebentar aja."Arya, yang berdiri di sisi Sandra, hanya melirik sekilas. "Iya, Hand, dia saudaramu. Sudah sewajarnya kamu harus pamit padanya. Cepatlah kalau memang itu maumu. Kami bisa duluan pulang."Tanpa menunggu lebih lama, Arhand menggenggam tangan Agna, membawanya melangkah menuju ruang perawatan Lani. Namun, saat mereka tiba di sana, tempat itu kosong. Tidak ada Lani, tidak ada Alzam.Agna mengerutkan kenin
Di ruang tunggu rumah sakit, Agna bersandar pada kursi dengan wajah yang sulit suram. Sesekali, kakinya bergerak gelisah, sementara matanya melirik ke arah pintu, menunggu orang yang kini ke ruang administrasi. Arhand masih di dalam, mengurus segala urusan sebelum mereka bisa pulang.Di sebelahnya, Sandra tak henti-henti berbicara."Jadi, Lani akhirnya nggak dapat donor dari Arhand?"Nada suaranya penuh dengan penekanan, seolah ingin memastikan semua orang tahu betapa anehnya keputusan itu.Agna mendengus pelan. Ia melirik Sandra, lalu menoleh ke Arya yang duduk di seberangnya. Dari tadi tingkah maminya begitu membuatnya sebal."Mi, ini sudah bolak-balik dibahas," ucap Agna akhirnya, mencoba menahan kesal."Tapi aneh, kan?" Sandra masih bersikeras. "Masak Arhand, yang katanya peduli, nggak jadi donor? Ada apa sebenarnya? Atau jangan-jangan—""Mi. Sudah ada temannya Mas Alzam yang tiba lebih duluh."Arya memotong cepat. Wajahnya tetap tenang, tapi intonasi suaranya sedikit menekan."K
Rey dan Mira duduk di taman rumah sakit, memperhatikan orang-orang yang berjalan menuju ruang bayi yang tak jauh dari pandangannya, walau di sebrang mereka duduk. Mira ikut menatap ke arah yang sama, tangannya masih menggenggam botol air mineral yang tadi ia beli di kantin rumah sakit."Kita kok belum lihat ke sana. Masih di sini saja?""Jangan ke sana.""Memang kenapa? Aku kan juga pingin lihat gimana rupa bayinya Lani sama Alzam itu," guman Mira."Ntar kamu jadi segera pingin punya anak, padahal kita kan belum waktunya itu,..." Rey terkekeh."Ih, pikiran kamu ngeres." Mira bahkan sempat bergidik saat selintas terbayang Rey sebesar itu mendekatinya."Tuh kan, bayangin aku," gurau Rey.Lagi-lagi Mira bergidik. "Amit-amit deh bayangin kamu, Rey. Yang ada malah aku sawanan. Kamu sebesar itu."Rey terkekeh. Namun dia kemudian terdiam."Lihat, siapa yang datang," gumam Rey pelan.Mira mengernyit. "Siapa?"Sebelum Rey menjawab, seorang lelaki melangkah pelan menuju tempat wudhu di musholla
Rey menatap Mira yang masih menunduk, pipinya bersemu merah. Jarinya hampir saja menyelipkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah Mira ketika sebuah suara menggelegar dari belakang."Rey!"Tangan Rey terhenti di udara. Kepalanya menoleh cepat. Mira juga tersentak.Tukiran berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut. Matanya tajam, mengawasi mereka berdua.Rey cepat-cepat menarik tangannya. Mira mundur selangkah. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena Rey, tetapi karena ketahuan."Kalian belum buka puasa, kan?" Tukiran melanjutkan, nada suaranya sedikit lebih lembut. "Ini tadi ibumu beli nasi. Makanlah."Rey menghela napas lega, lalu tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Perutnya memang sudah keroncongan. Tadi dia hanya sempat makan kurma dan minum air putih yang diberikan suster sebelum donor darah.Mira melirik ke arah Tukiran, mencoba menetralkan wajahnya. "Yang lain sudah makan?""Kayaknya baru makan setelah tahu Lani sadar," jawab Marni, yang tiba-tiba ikut berdiri di
Arhand berdiri di depan ruang perawatan. Agna yang masih tampak lemah, menggenggam tangannya erat."Kamu yakin kuat?" bisik Arhand.Agna mengangguk. "Anggap saja ini penebusan dosaku untuk Lani dan Alzam.Arhand menarik napas panjang. "Kalau begitu, jalan pelan, ya. Atau aku minta kursi roda?""Nggak usah. Sekalian biar aku sehat. Beberapa hari di sini dan hanya tiduran, aku bosan.""Agna, kamu baru saja lepas infus. Istirahat dulu," bujuk Sandra.Agna menggeleng. "Aku ingin melihatnya, Mi. Sekalian aku mau minta maaf.Arhand menggandeng Agna pelan. Keduanya berjalan menuju ruang perawatan. Langkah Agna masih tertatih, tapi dia bersikeras.***Lani akhirnya membuka mata perlahan. Cahaya lampu membuat pandangannya masih kabur. Suara alat medis berdenging samar.Seseorang menggenggam tangannya. Hangat. "Sayang,...." Alzam hampir meneteskan air mata saat melihat Lani mengerjab. Betapapun sakit hatinya karena Lani mencari Rey di saat sadar, dia berusaha meredam perasaannya.Lani berus
"Ada apa, Arhand?" Sandra yang habis mengerjakan sholat Isya', bangkit menghampiri Arhand yang memegang tangan Agna.Arhand dan Agna menoleh ke Sandra."Arhand melihat Alzam dan keluarganya sedang menunggu Lani operasi melahirkan."Memangnya kenapa kalau melahirkan? Biar komplit kebahagiaan mereka. Biar makin besar kepala itu Alzam." Sandra masih tak dapat terima dengan masih membenci Alzam."Mami, kok ngomongnya gitu?""Aku sebel aja. Sementara kamu keadaannya begini, mereka senang-senang.""Bukan senang, MI. Tapi mereka lagi ada masalah.""Maslah apa juga. Biar tau rasa sekalian. Orang yang bikin orang lain menderita, pasti ada karmanya.""Mami,..""Sini, mana makanan Mami, Hand. Ini nungu Papi juga kelaparan aku. Tapi buka puasa cuma roti aja.""Sudahlah, kamu makan cepat. Biar nanti kuat. Kita ke sana bareng.""Yakin kamu ikut?"Agna mengangguk.****Mira berdiri kaku, jantungnya berpacu cepat. Rey di sebelahnya mengepalkan tangan. Towirah hanya terus berzikir direngkuh Salma. Sem
Mira menggenggam ponselnya erat. Jemarinya gemetar, menelusuri daftar kontak dengan panik. Otaknya mencoba mengingat siapa yang harus dihubungi.Nomor Lani? Tidak mungkin. Siapa yang pegang ponsel Lani sekarang?Alzam? Tidak enak rasanya.Mira menggigit bibir, frustrasi. Sampai akhirnya ia teringat sesuatu.Dita.Tadi Dita yang ngantar ke rumah sakit bersama Budi. Mereka pasti tahu sesuatu.Tanpa pikir panjang, ia mencari nomor Budi. Nomor itu sering ia hubungi untuk urusan kulit jeruk yang dijadikan sovenir oleh Budi, jadi tak sulit menemukannya. Setelah beberapa detik, telepon tersambung.Budi mengangkat, suaranya serak. "Mira?""Apa yang terjadi? Lani gimana? Bayinya sudah lahir? Budi, cepat bilang!"Hening beberapa saat.Mira semakin gelisah. "Budi, jawab!""Lani masih berjuang." Suara di seberang terdengar lemah.Mira menahan napas. "Kenapa?"Tarikan napas berat terdengar sebelum Budi menjawab. "Pendarahan. Banyak."Jantung Mira serasa berhenti. "Apa... dia baik-baik saja?""Dokte
Mira menggenggam tangannya erat. Hatinya semakin gelisah, perasaan itu tak mau hilang sejak mereka meninggalkan rumah.Marni duduk di sebelahnya, wajahnya murung. Biasanya, perempuan itu tidak pernah kehabisan kata-kata jika sudah membahas Lani, tapi kali ini berbeda. Ada kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya. Keponakan suaminya hanya Lani. Dia yang duluh selalu membenci Lani merasa takut jika terjadi sesuatu pada Lani."Aku takut," gumam Marni tiba-tiba.Mira menoleh, menatap Marni yang mengusap wajah dengan tangan gemetar."Takut kehilangan Lani," lanjutnya dengan suara lirih.Mira merasakan hal yang sama. Perasaan yang menyesakkan dada.Di sebela mereka, Tukiran juga tidak bisa duduk diam. Beberapa kali ia berjalan, menengok sibuknya lalu lintas yang melewati jalan besar di depannya, mondar-mandir gelisah."Tolong lebih cepat, Pak," kata Rey pada tukang tambal ban yang sedang bekerja.Laki-laki itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan kecepatan