Semalam Alzam sulit tidur. Pikirannya yang tak henti mengunyah keresahan. Ia mendapati Lani sudah di halaman, sedang mengeluarkan motor dari garasi mereka."Sayang, kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Alzam, suaranya berat tapi penuh perhatian.Lani menoleh, matanya menatap Alzam sejenak. "Aku mau ke kampus, Mas. Senin kemarin nggak masuk karena nemenin kamu."Alzam mendekat, tangannya refleks menahan setang motor. "Kenapa nggak bilang? Aku antar aja, ya. Jalan pagi-pagi gini nggak aman buat kamu, apalagi perut kamu udah mulai besar."Lani menarik napas dalam. "Mas, aku nggak apa-apa. Jalanan masih sepi. Nggak usah repot-repot. Lagian kamu nanti juga ke gudang kan?""Repot gimana? Kamu itu istriku, Lani. Aku nggak tenang kalau kamu pergi sendiri, sekarang," balas Alzam. Sorot matanya tegas, walau hatinya selalu resah jika pagi datang, dan dia merasa aneh tak pergi kerja dengan seragamnya."Mas, aku bisa sendiri," jawab Lani, nadanya mulai melembut. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu Alzam
Lani menoleh sekilas, mengamati mobil merah yang berhenti tak jauh dari tempatnya turun. Namun, ia memilih mengabaikannya dan berjalan menuju kampus. Hinggah saat wanita itu mengangkat telponnya dan Lani sudah masuk dia kehilangan jejak."Bu, mereka sudah sampai kampus. Alzam yang mengantar. Tampaknya mereka semakin percaya diri," kata pria itu melapor kepada wanita yang kini masih di dalam mobil dengan jengkelnya. "Aku sudah tahu. Tidak perlu kau laporkan lagi. Tapi kau harus tetap mengawasi mereka. Kalau perlu, bikin wanita itu takut karena diintai seperti di pasar malam waktu itu.Pria itu mengangguk kecil, meski lawan bicaranya tak bisa melihatnya. "Baik, Bu. Saya akan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana." Wanita itu menggenggam ponselnya erat. Wajahnya terlihat kesal, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya ia berujar dengan nada ketus, "Berani sekali dia, pagi-pagi sudah mengantar Lani ke kampus. Apalagi kampus itu dekat sekali dengan markas dan tempat kerjaku. Apa di
Namun saat Lani yang melihat Alzam mengusap airmatanya, tak langsung mendekat. Dia bahkan membiarkan lelaki itu untuk beberapa menit lamanya. Hinggah membasuh wajahnya dengan air di sungai."Mas," panggil Lani.Alzam yang kaget tak langsung menoleh. Suaranya parau saat akhirnya berbicara, "Kenapa kamu ke sini, Lani?" Sebuah senyum dia paksakan untuk Lani."Aku ke gudang tapi kamu tak ada," jawab Lani, duduk di sampingnya. Ia menyerahkan kantong camilan yang dibelinya tadi. "Aku bawa ini buat kamu."Alzam tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Terima kasih. Tapi kenapa kamu ghak telpon aku kalau pulang lebih awal? Aku kan bisa menjemputmu."Ghak usah repot, Mas. Kebetulan ada dosen yang ghak masuk." Lani mendekat, memegang tangan Alzam. "Mas, aku melihat kamu dari tadi."Alzam nampak terkejut."Mas, kenapa kamu tak mengatakan apapun padaku?""Mengatakan apa, Lani?" Kembali dia memaksakan senyum."Kamu sedih ya tak lagi ke markas?""Enggak, Lani. Aku sudah mulai terbiasa.
"Sayang, telpon kamu bunyi," ucap Alzam sambil membawa handphone Lani yang tadi di kamarnya ke ruang tamu, saat Lani duduk-duduk di sana bersama Mbok Sarem sambil nonton TV. "Terimakasih, Mas."Diambilnya handphone itu sambil menyingkir ke ruang depan agar tak tercampur dengan suara televisi. Dia menatap layar ponselnya yang menyala, diangkatnya panggilan itu tanpa ragu."Mbak!" suara ceria seorang gadis kecil terdengar di seberang. "Mbak, lagi apa?""Senja, sayang. Mbak lagi santai. Kamu gimana? Tadi sekolahnya seru?" Lani menyandarkan tubuh ke sofa, senyumnya mengembang."Seru banget, Mbak!" jawab Senja antusias. "Tadi aku ketemu teman baru. Namanya Gita. Dia baik, terus dia suka ngajarin aku matematika. Gita tuh pintar banget!""Wah, hebat. Kalau gitu, kamu juga harus belajar dari Gita, ya. Nanti bisa jadi pintar juga," balas Lani sambil mendengar tawa kecil Senja."Bak, tadi di kantin aku lihat kucing kecil! Tapi aku nggak boleh bawa pulang. Kata Bu Guru, kucing itu milik sekolah
Damar berdiri di depan pagar rumah yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Rumah itu dulu penuh warna dan tawa, tempat ia dan Vero membangun harapan. Namun, sekarang... pemandangan di depannya membuat dadanya sesak.Cat dindingnya memudar, banyak yang terkelupas, dan halaman yang dulu rapi kini penuh ilalang liar. Beberapa daun pintu terlihat retak, sementara jendela-jendelanya berdebu, seperti lama tak dibersihkan. Ia menggenggam erat setangkai bunga di tangannya, bunga mawar putih yang ia beli untuk Diandra, putrinya. Sepertinya aku tidask salah rumah. Tapi kenapa rumah ini berubah? Apakah Bi Ira tak lagi di sini dan membersihkannya? Damar teringat nama asisrten rumah tangga mereka. Baru juga setahun lebih, rumah yang dia berikan untuk Vero sebagai rumah untuk anaknya itu, seperti asing baginya."Kenapa bisa jadi begini?" gumamnya pelan, matanya menyapu pemandangan suram itu.Dengan langkah berat, Damar mendekat ke pintu. Tangannya mencari bel, namun ternyata sudah tak berfung
Saat Damar hendak pergi bersama Diandra, Vero menahan tangannya. Wajahnya tampak tegang."Dam, aku tahu aku nggak pantas minta tolong, tapi aku butuh bantuanmu."Damar berbalik, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa lagi, Vero?""Ini tentang Diandra..." Vero terdiam sejenak, mencoba menguatkan dirinya. "Aku rasa aku nggak bisa merawatnya lagi."Damar terpaku, hatinya tercekat mendengar pengakuan itu. Diandra yang mendengar percakapan mereka hanya bisa menatap bingung dari sisi Damar."Apa maksudmu, Vero? Kamu mau meninggalkannya?"Vero menundukkan kepala, air matanya jatuh ke lantai. "Aku... aku nggak punya pilihan. Aku mau coba kerja ke luar negri."Damar memandangi Vero dengan tatapan yang sulit ditebak. Ada kekecewaan, kemarahan, sekaligus sesuatu yang menyerupai rasa iba. Ia mendekat selangkah, lalu berhenti, menahan napas sebelum akhirnya berbicara."Jadi ini maumu, Vero? Pergi ke luar negeri, menitipkan Diandra ke aku, dan berharap semuanya akan baik-baik saja?"Vero mendongak.
Mobil melaju pelan melewati jalanan yang ramai, ditemani percakapan santai di dalamnya. Lani duduk di kursi depan, melirik ke arah Alzam yang fokus pada kemudi. Di kursi belakang, Mira memandangi jalanan dengan tatapan kosong."Jadi, gimana Damar, Mbak?" Lani membuka percakapan, mengangkat alis penuh rasa ingin tahu. ' Kok nggak pernah cerita ke aku?"Mira tersentak, lalu tertawa kecil. "Entahlah, Lani." Ia mengangkat bahu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Kayaknya Ibu masih belum setuju sama dia. Lagian..." Mira menghela napas, suaranya melembut, "Mas Damar juga belakangan ini kalau aku telpon seolah-olah menghindar."Lani memiringkan kepala, melirik Mira lewat kaca spion dalam. "Menghindar? Maksudnya?""Aku nggak tahu, Lani." Mira tersenyum tipis, mencoba menutupi kegundahannya.Lani melirik Alzam. "Mas, kamu tahu sesuatu soal ini?"Alzam menatap lurus ke depan, menggenggam setir dengan erat. "Aku nggak terlalu tahu banyak soal mereka. Tapi, kalau boleh jujur, aku rasa Damar
Damar mematikan telepon dengan tangan gemetar. Langkahnya tertahan di tengah keramaian mal. Bayangan Mira seolah-olah terus menari di benaknya, membuat pikirannya tak tenang. Namun, suara tawa Diandra yang memeluk bonekanya membawanya kembali ke kenyataan."Papa, aku haus," ucap Diandra.Damar mengangguk pelan. "Ayo, kita cari tempat duduk dulu."Mereka berdua menuju kedai kecil di pojokan mal. Diandra duduk manis, menyantap makanan dan minumannya. Namun, Damar hanya menatap kosong ke meja, pikirannya masih bergelut dengan perasaan kebingungan antara Mira dan Diandra.Seketika, ia teringat Bu Ira. "Diandra mau diasuh Bu Ira lagi?" tanyanya."Bu Ira?" Seketika mata Diandra berbinar. Lalu mengangguk. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Bu Ira setelah ini."Assalamu'alaikum," Damar mengetuk pintu rumah kecil itu.Seorang wanita paruh baya muncul, wajahnya terlihat lelah namun ramah. "Wa'alaikumussalam. Oh, Damar. Ada apa?" tanyanya.Damar tersenyum canggung. "Bu, saya mau minta tolo
Langit masih berwarna jingga ketika Alzam dan Lani berjalan bergandengan tangan menyusuri jalan besar menuju pasar krempyeng. Embun yang menempel di daun pisang di pinggir jalan memantulkan sinar matahari yang mulai merayap naik. Udara pagi terasa segar, membawa aroma khas tanah yang masih basah selepas subuh.Nampak para Ibu sibuk menyiapkan dagangan mereka di psaar krempyeng. Kadang juga melintas truk pengangkut hasil kebun, khususnya saat ini jeruk manis yang dibawa ke kota."Lha, Mas Alzam! Udah bangun pagi-pagi?" seru seorang ibu-ibu yang duduk di depan warungnya, tengah menata tumpukan pisang goreng hangat.Alzam tersenyum lebar. "Iya, Bu. Mumpung libur, sekalian nemenin istri jalan-jalan."Ibu itu terkekeh. "Nah, gitu, to. Istri hamil harus banyak diajak jalan biar sehat. Jangan cuma diajak tidur aja!"Lani tersedak, sementara Alzam malah tertawa lepas. "Tenang, Bu. Saya pastikan istri saya sehat lahir batin," katanya, menepuk pundak Lani dengan jahil."Walau ghak Minggu, dia j
Arhand menyulut sebatang rokok. Ujungnya menyala, menciptakan api yang mencium udara malam, dan dengan satu tarikan dalam, asap tebal memenuhi paru-paru. Begitu menghembuskan nafas, seolah ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya.Hanya beberapa detik, namun sensasi itu tetap menggantung. Sebelum rokoknya mati perlahan, Arhand menatap kelam ke arah jendela, dan bayangan wajah Agna kembali mengusik ingatannya.Dia ingat bagaimana setiap kali Agna datang, dunia terasa sedikit lebih terang. Tapi kini? Hanya bayangan yang dia rasakan. Agna menjauh. Mengapa Agna menghindariku? Mengapa tidak ada percakapan seperti dulu? Terlebih saat malam aku mendatanginya di rumah Alzam itu yang membuat hatiku sakit.Namun yang lebih parah, mengapa perasaan ini semakin menggigit?Dengan gusar, Arhand membuang rokoknya ke lantai dan menginjaknya dengan kasar."Kenapa kamu begitu, Agna?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Makin lama, kamu makin menjauh."Tapi bukan hanya Agna yang terlintas dalam bena
Ruangan pemeriksaan itu cukup terang, dengan suara mesin yang bersahutan di sudut ruangan. Lani duduk di kursi panjang dengan tangan memeluk perutnya, sementara Alzam duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah Lani. Sebuah rasa khawatir menggelayuti pikiran Alzam. Selama beberapa minggu terakhir, ia sering merasa cemas tentang kehamilan Lani. Apakah semuanya baik-baik saja?Lani melirik Alzam, memberi senyum yang berusaha ia tunjukkan meskipun dalam hati ada perasaan lain. "Jangan khawatir, Mas. Semua akan baik-baik saja," kata Lani pelan, meyakinkan dirinya sendiri lebih tepatnya.Alzam menggenggam tangan Lani dengan lembut, namun cemas masih terlihat jelas di wajahnya. "Aku hanya ingin semuanya lancar, Lani. Aku ingin kalian berdua baik-baik saja."Lani mengangguk. "Kita tunggu saja hasilnya. Dokter pasti bisa membantu." Saat Alzam duduk di kursi menunggu dengan gelisah. Tangannya sibuk memeriksa ponsel, akhirnya menemukan nomor Dandi yang sudah lama tak ia hubungi.Setelah
Agna merasa kelelahan setelah berkeliling kota, mengurus beberapa hal yang sudah lama tertunda. Langkahnya berat ketika ia melangkah menuju rumah Alzam, berharap bisa menemui lelaki itu. Namun, saat ia membuka pintu rumah, hanya ada Mbok Sarem yang sedang duduk di sudut ruang tamu, memandangi piring-piring kosong di meja."Mbak Agna, ada apa?" tanya Mbok Sarem dengan suara pelan.Agna hanya mengangguk dan melangkah lebih dalam, menatap sekeliling rumah yang terasa sepi. Tidak ada suara langkah kaki Alzam, tidak ada obrolan hangat antara dia dan MBok Sarem seperti biasanya. Seharusnya dia ada di sini."Mas Alzam mana?" suara Agna mengeras, tidak bisa menyembunyikan keresahan yang mulai tumbuh dalam dirinya.Mbok Sarem menunduk, tidak berkata apa-apa. Wajahnya tampak cemas, seolah-olah ia sedang berpikir keras bagaimana menjawab pertanyaan Agna tanpa menimbulkan masalah."Mbok, jawab! Di mana Mas Alzam?" Agna mengulang, suaranya semakin tegas, penuh kekesalan.Mbok Sarem terdiam beberap
Tawa menggema di dalam restoran. Suasana elegan dengan lampu gantung mewah, pelayan yang sibuk mondar-mandir, dan alunan musik jazz lembut di sudut ruangan, seharusnya membuat siapa pun merasa nyaman.Tapi Agna gelisah. Bukan karena makanan yang tersaji di depannya, atau percakapan teman-temannya yang membahas rapat partai tadi siang.Melainkan karena tatapan itu. Tatapan yang membuatnya tak bisa berhenti dengan menelisik pria yang jauh dari mereka duduk, tepatnya, pria yang berada di meja seberang.Mayor Reynaldi duduk di sana, bersama seorang pria lain berseragam dinas. Mereka tampak serius berbincang, tapi sesekali, Rey mengarahkan pandangannya ke arah Agna.Entah sudah yang keberapa kali.Agna mencoba tidak peduli. Dia meraih gelas, menyesap lemon tea perlahan. Tapi, saat meletakkan kembali gelasnya, mata mereka bertemu lagi. Mayor Reynaldi, diucapkannya kembali nama dengan pangkat di belakangnya itu. Sedikit senyumnya mengembang. Walau tidak tampan, badannya yang tinggi besar d
Lani menyandarkan kepalanya ke bahu Alzam, menyusupkan tangannya ke dalam genggaman suaminya. "Jangan bilang mau kasih nama Jawa seperti kebanyakan nama orang sini, ya," guman Alzam saat melihat Lani mengerutkan jidatnya."Jangan bilang juga kamu mau kasih nama ke-Arab-Araban, seperti namamu," kekeh Lani pula.Alzam menatap Lani dengan seringai kecil. "Memangnya kenapa? Nama Arab bagus-bagus, lho. Penuh makna."Lani mencibir, bibirnya mengerucut jenaka. "Terus, kalau anaknya lahir cewek, gimana? Aku kan pengin anak perempuan biar ada temennya Senja.""Ya cari lagi, dong."Alzam mengerutkan kening pura-pura serius. "Daulani… Namamu aneh banget. Apa artinya, sih?"Lani mencubit lengan suaminya, tapi tanpa tenaga. "Dasar! Nama itu ilham dari Ibu sama Bapak. Hargai usaha mereka, dong!"Alzam terkekeh, lalu mengecup puncak kepala istrinya. "Ya sudah, kita pikirkan nanti. Sekarang…" Dia menatap istrinya dengan tatapan yang mengharap.Lani mendengus. "Ogah. Ngantuk.""Tapi aku kangen banget,
Alzam berjalan cepat keluar dari pabrik, matanya menyapu sekeliling. Lani tidak ada.Biasanya, dia masih duduk di dekat ruang pribadinya, menyelesaikan laporan akhir atau keluar sekadar berbincang dengan orang yang kerja sebelum pulang. Tapi kali ini, tempat itu kosong.Dia menghela napas pelan.Sial, aku terlambat.Ini sudah hari kedua dia tak bertemu istrinya.Tugas tambahan tiba-tiba datang bertubi-tubi. Semuanya seolah menumpuk. Tidak ada yang bisa dia abaikan. Setiap kali dia berpikir pekerjaan akan selesai lebih cepat, selalu ada hal baru yang menahannya.Langkahnya melambat saat sampai di mobil setelah dari markas dia langsung ke pabrik itu, bermaksud bisa bertemu dengan Lani. Kalau pagi Lani pasti belum datang padahal Alzam sudah berangkat ke markas.Diam di rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Mungkin karena Lani tidak ada di sampingnya, seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada cerita ringan tentang pekerjaannya, atau tawa kecilnya saat membahas bayi mereka yang semakin
Setelah kepergian Agna, Damar berjalan mendekati Vero, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di samping tubuh. Matanya menatap tajam perempuan itu yang masih berdiri tenang di depan toko suvenirnya."Kenapa bilang ke Agna kalau kamu istriku?" suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi dingin menusuk.Vero menoleh santai. "Kamu keberatan?""Jangan main-main, Vero."Vero menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit melihat Diandra yang sedang asyik memainkan gelang kecil yang baru dibelinya. Dia membelai lembut rambut putrinya sebelum menatap Damar lagi."Aku nggak bermaksud apa-apa."Damar mendecak. "Kamu tahu Agna kenal Mira. Gimana kalau dia cerita?"Vero mengangkat bahu. "Ya terus?"Damar menggeram pelan. "Aku serius sama Mira."Ada sekilas perubahan di wajah Vero, tapi hanya sekejap sebelum dia tersenyum miring. "Oh ya? Tapi, sampai sekarang kamu belum menikah, kan?""Baru juga kemarin aku diterima ibunya, Vero."Vero tertawa kecil. "Berarti belum ada kepastian kan?"Damar mengerjap,
Langkah Agna melambat ketika suara berat menyapanya dari samping."Mau cari apa di sini?"Seketika, detak jantungnya melonjak. Dia menoleh cepat, mendapati sosok pria tinggi besar berseragam berdiri santai dengan senyum tipis di wajahnya. Reynaldi.Mata Agna menyipit, rasa kaget masih tertinggal di ekspresinya. "Apa urusanmu? Mau jalan, kek, mau makan, itu urusanku," ucapnya sengol. Hatinya memang tak lagi baik-baik saja. Sejak kejadian semalam, pikirannya menjadi kacau. Badannya terasa remuk. Dan hari ini, untuk menghilangkan penat, seperti kebiasaannya, dia pergi shopping di mall.Rey tertawa kecil, tak terganggu dengan sikap dinginnya. "Cuma tanya. Siapa tahu aku bisa bantu."Agna menarik napas dalam. Keberadaannya di sini sudah cukup untuk menenangkan pikirannya, dan sekarang pria ini muncul seolah tak ada pekerjaan lain selain membuat Agna makin pusing."Aku butuh tas dan sepatu," jawabnya akhirnya, malas meladeni lebih jauh.Rey mengangguk pelan. "Mau acara apa?""Apa beli sesua