"Kau gila, Gia! Kenapa kau berani melakukan hal bodoh seperti itu?!" geram Rey."Hei, tidak harusnya kau marah. Lagian, mereka tidak akan bisa membuktikan jika semua itu ulahku. Aku bermain sangat mulus. Aku juga melakukan itu agar dia tahu, jika dirinya tidak akan pernah pantas menjadi wanita berharga, dan wanita suci. Aku ingin menyadarkan dirinya, jika tempat yang pantas untuknya hanyalah kubangan kotoran," ungkap Gia."Kau pikir Langit sebodoh itu. Dia akan mencari tahu. Dan kau akan menerima akibatnya nanti," sahut Rey."Tugasmu membantu anakku Rey. Bukan menakutinya. Salahmu juga tidak memberikan nafkah yang layak seperti dulu. Dia juga butuh uang untuk kebutuhan pribadinya," sela Raina. "Kalian selalu melakukan apapun sesuka hati kalian saja. Kalian pikir aku akan tahan selamanya menjadi budak kalian? Jangan pikir aku hanya diam. Ingatlah, tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari kalian. Aku menyesal telah menceraikan Senja. Bersama kalian hidupku semakin berantakan dan han
"Apa-apaan kalian? Siapa yang mengizinkan kalian membawaku?" bentak Desa.Dua polisi menyambangi rumah Desa saat ini. Rumah bak istana mewah tapi terbengkalai, hingga seperti rumah yang sudah lama tidak berpenghuni."Ini perintah. Jika anda mau menolaknya, maka katakan nanti di kantor polisi," sahut polisi berbadan tegap dengan kulitnya berwarna hitam kilat.Desa berusaha lepas untuk kabur dari rumahnya sendiri. Tapi tangannya sudah terpelinting ke belakang ulah polisi satunya lagi."Sial! Berani sekali kalian menangkapku!" teriak Desa.Tanpa memperdulikan teriakan dan berontakan Desa. Polisi tetap menyeret Desa agar ikut masuk ke dalam mobil mereka. Mereka seakan menutup telinga dengan semua umpatan yang Desa berikan."Mas yakin, om Desa sudah di tangkap? Aku tidak tega mendengarnya," ucap Senja. Kabar penangkapan Desa langsung berhembus ke telinganya pagi ini."Ya, baru saja polisi menelpon mas. Kita di suruh kesana sekarang," sahut Langit.Sebagai lelaki yang harus menjaga wanitany
"Bu, ini Senja bu. Ibu gimana kabarnya? Ibu gak kangen sama Senja? Sampai kapan ibu tidur nyenyak seperti ini? Apa ibu tidak ingin melihat Senja lagi, mendengar curhatan Senja?" ucap Senja.Tidak ada jawaban yang di terima Senja. Ririn masih terbuai dalam dunia mimpinya yang sangat panjang. Entah kapan dia sadar."Dia tidak akan bisa menyahutmu. Apa yang kalian harapkan dari mayat hidup sepertinya? Dia hanya seonggok mummy yang berharap masih bisa di hidup kan lagi. Coba saja alat yang ada pada tubuhnya di buka. Dia juga sudah mati. Jangan ikut gila seperti suamiku yang masih berharap dia sadar, dan rela menceraikanku demi mummy tersebut," celetuk Vanya.Semua yang dikatakan Vanya benar. Harapan hidup Ririn sangat lah tipis. Bahkan dokter sudah menyarankan untuk melepas semua peralatan yang memacu bagian dalam tubuhnya agar tetap beroperasi.Senja hanya membalas ucapan Vanya dengan senyum tipisnya, tapi tidak dengan Tian. "Kapan kau pergi dari sini? Jangan selalu membuat masalah. Cukup
"Bagaimana bisa terjadi? Jadi om Desa kabur dari penjara?" teriak Langit.Kabar mengejutkan telah mengganggu tidur Langit. Leo memberikan kabar di tengah malam buta. Langit mendapat kabar, jika kantor polisi dimana Desa di tahan mengalami kebakaran. Padahal baru beberapa hari Desa mendekam di balik jeruji besi, dan akhir bulan ini akan melakukan sidang pertamanya. Mustahil semua terjadi karena suatu yang tidak sengaja. Pasti ada seseorang yang memantik api disana."Senja.." Langit baru ingat jika Senja malam ini tengah tidur di rumah sakit. Dia sangat ingin menemani Ririn dan tidak sabar untuk membuat Ririn segera sadar.Panggilan telpon yang belum terputus, membuat Langit tidak perlu menghubungi Leo kembali. Dia segera meminta Leo dan beberapa pengawalnya menjaga ketat rumah sakit secepat mungkin. Dilihat dari posisi, Leo lebih dekat untuk bisa sampai ke rumah sakit di banding Langit.Hati Langit tetap tidak bisa diam tenang. Dia juga mengganti pakaian dan menuju rumah sakit. Langit
"Ibu yakin, sudah sehat? Senja tidak mau ibu kenapa-kenapa nanti disana," seru Senja."Hei ganteng. Apa nenek terlihat masih sakit? Nenek masih cantik dan sehat kan? Bagaimana nenek mau sembuh coba, kalau di suruh disini terus," cerocos Ririn pada Bumi yang ikut menjenguk brrsama mamanya.Berlagak seperti seorang dokter, Bumi naik ke atas ranjang Ririn. Punggung tangannya sibuk mengecek suhu tubuh Ririn. Setelah itu, dia mendekatkan telinganya pada dada Ririn, sekedar mendengar detak jantung Ririn yang masih berdetak."Nenek sehat. Nenek tidak sakit. Jadi, Bumi izinkan nenek ikut bersana kami. Bumi janji, nanti Bumi akan jadi dokter siaga buat nenek," sombong Bumi.gelak tawa keluar dari bibir Ririn. Dia sangat terhibur dengan kehadiran Bumi di ruangannya. Tidak dia sangka, jika Senja akan memiliki anak sebijak Bumi. Anak lelaki duplikat Langit kecil dulu. "Kak, Bumi lucu kan? Coba anak kita ada disini. Pasti dia sudah memberikan kita cucu juga," seru Ririn pada Tian. Tian hanya mengan
Ririn masih saja terus menangis tanpa jeda, setelah mengetahui jika Rey adalah anak yang selama ini dia cari."Maaf kan kakak, dek. Semua salah kakak," ucap Tian penuh penyesalan."Semua memang salah kakak. Kakak yang telah meninggalkanku, dan kakak juga yang membuat aku kehilangan Rey. Pergi dari sini! Aku benci kakak!" teriak Ririn emosi.Sejak kemarin dia terus berusaha mengusir Tian dari kamarnya di rumah sakit. Tapi Tian selalu saja kembali dengan membawa kata maaf. Siapa yang bisa memaafkan, disaat kebenaran sudah terbentang nyata. Jika suami yang menikahi dia secara siri, kala tamat sekolah menengah atas, termasuk sosok yang ikut andil atas hilang anaknya."Kakak khilaf saat itu dek. Kakak tidak mau kembali jatuh miskin. Kakak harus menjauhi Rey dari kamu. Agar orang tua Vanya tidak tahu tentang masa lalu kakak, Dan itu juga usul Vanya," jelas Tian.Ririn semakin menangis. Vanya sudah cerita semuanya dengan dia. Vanya lah yang beroura-pura menjadi dirinya dan dengan tega membu
"Mas, ini milik siapa?" tanya Senja. Dan mendekati Langit dengan membawa kaca mata, dan juga obat yang di butuhkan Langit.Sejak tadi Langit hanya tidur bermalasan, mendapat pertanyaan Senja, dia seketika duduk sambil meyandarkan tubuhnya di punggung ranjang."Itu...," ucap Langit mengudara. Kenapa dia sampai lupa sudah menyimpan benda itu di dalam laci. Usia benda yang di makan tahun, membuat Langit lupa akan keberadaan benda tersebut "Mas, kok gak di lanjutin bicaranya," desak Senja penasaran. Begitu banyak kaca mata di dunia ini. Tapi hanya kaca mata unik yang ada di tangannya sekarang, masih sangat dia hapal bentuknya. Tanpa sadar, Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya dia sudah harus jujur dengan Senja tentang kaca mata itu."Duduk sini, sekalian oles kan obat itu di punggung mas," pinta Langit. Tanpa malu, dia membuka piyama tidurnya, hingga bertelanjang dada."Mas!!" teriak Senja malu. Walau status mereka sudah naik menjadi sepasang kekasih, dan Langit juga
"Papa, papa! Mama hilang pa!" Senja yang tidak sadar tertidur bersama di kamar Langit. Tersentak kaget mendengar suara teriak kan Bumi dari luar."Mas, bangun mas. Bumi sudah teriak-teriak mencariku," seru Senja. Melihat Langit yang tidur dan tidak bergeming dengan suara Bumi, dia dengan sekuat tenaga mengoyang-goyang tubuh Langit."Euhmm.."Lenguhan keluar dari bibir Langit. Pertempuran yang dikira hanya sekali, ternyata berlanjut sampai menjelang fajar, membuat Langit di kuasai rasa kantuknya."Ya Senja. Ada apa?" tanya Langit yang belum sadar sepenuhnya."Bangun mas, Bumi gedor pintu terus itu," kesal Senja. Dia sudah sangat kebingungan sendiri. Tidak mungkin dia yang membuka pintu kamar. Apa yang akan dia jelaskan pada Bumi nantinya.Langit berusaha melebarkan matanya, dia mencerna semua yang dikatakan Senja. "Kenapa tidak kamu buka, sayang? Kasian dia nunggu kamu, sampai mengira mamanya hilang," imbuh Langit. Dia sudah terduduk dan mencari pakaian yang masih berserakan di lantai.
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu