"Bagaimana bisa terjadi? Jadi om Desa kabur dari penjara?" teriak Langit.Kabar mengejutkan telah mengganggu tidur Langit. Leo memberikan kabar di tengah malam buta. Langit mendapat kabar, jika kantor polisi dimana Desa di tahan mengalami kebakaran. Padahal baru beberapa hari Desa mendekam di balik jeruji besi, dan akhir bulan ini akan melakukan sidang pertamanya. Mustahil semua terjadi karena suatu yang tidak sengaja. Pasti ada seseorang yang memantik api disana."Senja.." Langit baru ingat jika Senja malam ini tengah tidur di rumah sakit. Dia sangat ingin menemani Ririn dan tidak sabar untuk membuat Ririn segera sadar.Panggilan telpon yang belum terputus, membuat Langit tidak perlu menghubungi Leo kembali. Dia segera meminta Leo dan beberapa pengawalnya menjaga ketat rumah sakit secepat mungkin. Dilihat dari posisi, Leo lebih dekat untuk bisa sampai ke rumah sakit di banding Langit.Hati Langit tetap tidak bisa diam tenang. Dia juga mengganti pakaian dan menuju rumah sakit. Langit
"Ibu yakin, sudah sehat? Senja tidak mau ibu kenapa-kenapa nanti disana," seru Senja."Hei ganteng. Apa nenek terlihat masih sakit? Nenek masih cantik dan sehat kan? Bagaimana nenek mau sembuh coba, kalau di suruh disini terus," cerocos Ririn pada Bumi yang ikut menjenguk brrsama mamanya.Berlagak seperti seorang dokter, Bumi naik ke atas ranjang Ririn. Punggung tangannya sibuk mengecek suhu tubuh Ririn. Setelah itu, dia mendekatkan telinganya pada dada Ririn, sekedar mendengar detak jantung Ririn yang masih berdetak."Nenek sehat. Nenek tidak sakit. Jadi, Bumi izinkan nenek ikut bersana kami. Bumi janji, nanti Bumi akan jadi dokter siaga buat nenek," sombong Bumi.gelak tawa keluar dari bibir Ririn. Dia sangat terhibur dengan kehadiran Bumi di ruangannya. Tidak dia sangka, jika Senja akan memiliki anak sebijak Bumi. Anak lelaki duplikat Langit kecil dulu. "Kak, Bumi lucu kan? Coba anak kita ada disini. Pasti dia sudah memberikan kita cucu juga," seru Ririn pada Tian. Tian hanya mengan
Ririn masih saja terus menangis tanpa jeda, setelah mengetahui jika Rey adalah anak yang selama ini dia cari."Maaf kan kakak, dek. Semua salah kakak," ucap Tian penuh penyesalan."Semua memang salah kakak. Kakak yang telah meninggalkanku, dan kakak juga yang membuat aku kehilangan Rey. Pergi dari sini! Aku benci kakak!" teriak Ririn emosi.Sejak kemarin dia terus berusaha mengusir Tian dari kamarnya di rumah sakit. Tapi Tian selalu saja kembali dengan membawa kata maaf. Siapa yang bisa memaafkan, disaat kebenaran sudah terbentang nyata. Jika suami yang menikahi dia secara siri, kala tamat sekolah menengah atas, termasuk sosok yang ikut andil atas hilang anaknya."Kakak khilaf saat itu dek. Kakak tidak mau kembali jatuh miskin. Kakak harus menjauhi Rey dari kamu. Agar orang tua Vanya tidak tahu tentang masa lalu kakak, Dan itu juga usul Vanya," jelas Tian.Ririn semakin menangis. Vanya sudah cerita semuanya dengan dia. Vanya lah yang beroura-pura menjadi dirinya dan dengan tega membu
"Mas, ini milik siapa?" tanya Senja. Dan mendekati Langit dengan membawa kaca mata, dan juga obat yang di butuhkan Langit.Sejak tadi Langit hanya tidur bermalasan, mendapat pertanyaan Senja, dia seketika duduk sambil meyandarkan tubuhnya di punggung ranjang."Itu...," ucap Langit mengudara. Kenapa dia sampai lupa sudah menyimpan benda itu di dalam laci. Usia benda yang di makan tahun, membuat Langit lupa akan keberadaan benda tersebut "Mas, kok gak di lanjutin bicaranya," desak Senja penasaran. Begitu banyak kaca mata di dunia ini. Tapi hanya kaca mata unik yang ada di tangannya sekarang, masih sangat dia hapal bentuknya. Tanpa sadar, Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya dia sudah harus jujur dengan Senja tentang kaca mata itu."Duduk sini, sekalian oles kan obat itu di punggung mas," pinta Langit. Tanpa malu, dia membuka piyama tidurnya, hingga bertelanjang dada."Mas!!" teriak Senja malu. Walau status mereka sudah naik menjadi sepasang kekasih, dan Langit juga
"Papa, papa! Mama hilang pa!" Senja yang tidak sadar tertidur bersama di kamar Langit. Tersentak kaget mendengar suara teriak kan Bumi dari luar."Mas, bangun mas. Bumi sudah teriak-teriak mencariku," seru Senja. Melihat Langit yang tidur dan tidak bergeming dengan suara Bumi, dia dengan sekuat tenaga mengoyang-goyang tubuh Langit."Euhmm.."Lenguhan keluar dari bibir Langit. Pertempuran yang dikira hanya sekali, ternyata berlanjut sampai menjelang fajar, membuat Langit di kuasai rasa kantuknya."Ya Senja. Ada apa?" tanya Langit yang belum sadar sepenuhnya."Bangun mas, Bumi gedor pintu terus itu," kesal Senja. Dia sudah sangat kebingungan sendiri. Tidak mungkin dia yang membuka pintu kamar. Apa yang akan dia jelaskan pada Bumi nantinya.Langit berusaha melebarkan matanya, dia mencerna semua yang dikatakan Senja. "Kenapa tidak kamu buka, sayang? Kasian dia nunggu kamu, sampai mengira mamanya hilang," imbuh Langit. Dia sudah terduduk dan mencari pakaian yang masih berserakan di lantai.
"Senja," panggil Kaina ragu. Tapi dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Senja hari ini."Bicara lah dengan Kaina, mas masuk duluan," ucap Langit, meninggalkan Senja dan Kaina di luar ruangannya."Besok aku sudah mulai tidak bekerja disini lagi," sendu Kaina.Senja menghela napasnya berat. Sebenarnya dia masih keberatan dengan pengunduran diri Kaina. "Apa kita masih bisa ketemu?" tanya Senja penuh harap.Kaina hanya bisa mengangkat kedua bahunya tidak acuh. Dia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya nanti."Kenapa? Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa kamu tidak pernah mau bercerita denganku. Apa selama ini, hanya aku yang menganggapmu teman?" tuntut Senja. Dia sangat kecewa dengan tertutupnya Kaina padanya."Bukan seperti itu."Rasa bersalah mengerumuni Kaina. Dia hanya tidak mau jika Senja sampai terseret ke dalam masalahnya. "Jadi, kenapa?" desak Senja yang sangat ingin tahu masalah yang sedang dihadapi K
"Siapa kalian?! Dimana Gia?!" teriak Senja.Keringat dingin mengucur jelas di seluruh tubuhnya. Dia terjebak di sebuah rumah kosong, dimana Gia menuliskan alamat keberadaannya tadi."Wanita itu? Sebentar lagi dia juga datang kemari. Kami juga tidak sabar menunggu mereka. Agar bisa secepatnya bersenang-senang bersamamu cantik," senyum jahat keluar dari bibir empat pria yang mengempung Senja saat ini.Senja menggelengkan kepalanya. Gia ternyata sudah menipunya. Harusnya dia mengikuti kata Langit tadi. Air mata kini juga tidak kalah mengucur deras di pipinya. Rasa takut menghujam dirinya bertubi-tubi. Penyesalan memang selalu datang belakangan.flashback on.."Apa yang mau kamu beli? Biar mas temani saja," ucap Langit.Alasan terbaik yang Senja pikirkan adalah pergi berbelanja, agar bisa menolong Gia untuk membawa mamanya ke rumah sakit."Nanti mas bosan. Aku kalau berbelanja pasti lama. Banyak tempat nanti yang pasti aku singgahi," tolak Senja halus.Langit berdecak kesal. Dia tidak rela
"Tidak!! Jangan sentuh aku! pergi kalian semua!Napas Senja kian memburu, merasakan tangan, dan wajahnya menerima sentuhan."Senja... Sayang. Kamu kenapa? Sadar lah," ucap Langit. Dia melihat Senja kembali mengeluarkan keringat dingin dengan matanya yang tetap terpejam, padahal pakaian ya g di kenakan Senja semalam, sudah diganti olehnya. Rasa iba dan bersalah menghantam Langit, dia sudah sangat terlambat menolong Senja semalam. Andai kan saja dia tidak semudah itu percaya ucapan Senja. Andaikan dia bisa memutar waktu. Mungkin semua tidak akan terjadi."Jangan sentuh aku, bajingan!" teriak Senja histeris. Isak pilu tangisan Senja, keluar dari bibir kecilnya yang bergetar. Merasakan rasa takut yang merajamnya.Langit berusaha membangunkan Senja. Dia sudah mengguncang tubuh Senja, bahkan menepuk pelan pipi Senja. Tapi tidak urung Senja membuka matanya."Sayang, tenangkan dirimu. Mas ada disini. Kamu sudah aman. Semua sudah usai. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu."Tubuh Langit d