"Apa-apaan kalian? Siapa yang mengizinkan kalian membawaku?" bentak Desa.Dua polisi menyambangi rumah Desa saat ini. Rumah bak istana mewah tapi terbengkalai, hingga seperti rumah yang sudah lama tidak berpenghuni."Ini perintah. Jika anda mau menolaknya, maka katakan nanti di kantor polisi," sahut polisi berbadan tegap dengan kulitnya berwarna hitam kilat.Desa berusaha lepas untuk kabur dari rumahnya sendiri. Tapi tangannya sudah terpelinting ke belakang ulah polisi satunya lagi."Sial! Berani sekali kalian menangkapku!" teriak Desa.Tanpa memperdulikan teriakan dan berontakan Desa. Polisi tetap menyeret Desa agar ikut masuk ke dalam mobil mereka. Mereka seakan menutup telinga dengan semua umpatan yang Desa berikan."Mas yakin, om Desa sudah di tangkap? Aku tidak tega mendengarnya," ucap Senja. Kabar penangkapan Desa langsung berhembus ke telinganya pagi ini."Ya, baru saja polisi menelpon mas. Kita di suruh kesana sekarang," sahut Langit.Sebagai lelaki yang harus menjaga wanitany
"Bu, ini Senja bu. Ibu gimana kabarnya? Ibu gak kangen sama Senja? Sampai kapan ibu tidur nyenyak seperti ini? Apa ibu tidak ingin melihat Senja lagi, mendengar curhatan Senja?" ucap Senja.Tidak ada jawaban yang di terima Senja. Ririn masih terbuai dalam dunia mimpinya yang sangat panjang. Entah kapan dia sadar."Dia tidak akan bisa menyahutmu. Apa yang kalian harapkan dari mayat hidup sepertinya? Dia hanya seonggok mummy yang berharap masih bisa di hidup kan lagi. Coba saja alat yang ada pada tubuhnya di buka. Dia juga sudah mati. Jangan ikut gila seperti suamiku yang masih berharap dia sadar, dan rela menceraikanku demi mummy tersebut," celetuk Vanya.Semua yang dikatakan Vanya benar. Harapan hidup Ririn sangat lah tipis. Bahkan dokter sudah menyarankan untuk melepas semua peralatan yang memacu bagian dalam tubuhnya agar tetap beroperasi.Senja hanya membalas ucapan Vanya dengan senyum tipisnya, tapi tidak dengan Tian. "Kapan kau pergi dari sini? Jangan selalu membuat masalah. Cukup
"Bagaimana bisa terjadi? Jadi om Desa kabur dari penjara?" teriak Langit.Kabar mengejutkan telah mengganggu tidur Langit. Leo memberikan kabar di tengah malam buta. Langit mendapat kabar, jika kantor polisi dimana Desa di tahan mengalami kebakaran. Padahal baru beberapa hari Desa mendekam di balik jeruji besi, dan akhir bulan ini akan melakukan sidang pertamanya. Mustahil semua terjadi karena suatu yang tidak sengaja. Pasti ada seseorang yang memantik api disana."Senja.." Langit baru ingat jika Senja malam ini tengah tidur di rumah sakit. Dia sangat ingin menemani Ririn dan tidak sabar untuk membuat Ririn segera sadar.Panggilan telpon yang belum terputus, membuat Langit tidak perlu menghubungi Leo kembali. Dia segera meminta Leo dan beberapa pengawalnya menjaga ketat rumah sakit secepat mungkin. Dilihat dari posisi, Leo lebih dekat untuk bisa sampai ke rumah sakit di banding Langit.Hati Langit tetap tidak bisa diam tenang. Dia juga mengganti pakaian dan menuju rumah sakit. Langit
"Ibu yakin, sudah sehat? Senja tidak mau ibu kenapa-kenapa nanti disana," seru Senja."Hei ganteng. Apa nenek terlihat masih sakit? Nenek masih cantik dan sehat kan? Bagaimana nenek mau sembuh coba, kalau di suruh disini terus," cerocos Ririn pada Bumi yang ikut menjenguk brrsama mamanya.Berlagak seperti seorang dokter, Bumi naik ke atas ranjang Ririn. Punggung tangannya sibuk mengecek suhu tubuh Ririn. Setelah itu, dia mendekatkan telinganya pada dada Ririn, sekedar mendengar detak jantung Ririn yang masih berdetak."Nenek sehat. Nenek tidak sakit. Jadi, Bumi izinkan nenek ikut bersana kami. Bumi janji, nanti Bumi akan jadi dokter siaga buat nenek," sombong Bumi.gelak tawa keluar dari bibir Ririn. Dia sangat terhibur dengan kehadiran Bumi di ruangannya. Tidak dia sangka, jika Senja akan memiliki anak sebijak Bumi. Anak lelaki duplikat Langit kecil dulu. "Kak, Bumi lucu kan? Coba anak kita ada disini. Pasti dia sudah memberikan kita cucu juga," seru Ririn pada Tian. Tian hanya mengan
Ririn masih saja terus menangis tanpa jeda, setelah mengetahui jika Rey adalah anak yang selama ini dia cari."Maaf kan kakak, dek. Semua salah kakak," ucap Tian penuh penyesalan."Semua memang salah kakak. Kakak yang telah meninggalkanku, dan kakak juga yang membuat aku kehilangan Rey. Pergi dari sini! Aku benci kakak!" teriak Ririn emosi.Sejak kemarin dia terus berusaha mengusir Tian dari kamarnya di rumah sakit. Tapi Tian selalu saja kembali dengan membawa kata maaf. Siapa yang bisa memaafkan, disaat kebenaran sudah terbentang nyata. Jika suami yang menikahi dia secara siri, kala tamat sekolah menengah atas, termasuk sosok yang ikut andil atas hilang anaknya."Kakak khilaf saat itu dek. Kakak tidak mau kembali jatuh miskin. Kakak harus menjauhi Rey dari kamu. Agar orang tua Vanya tidak tahu tentang masa lalu kakak, Dan itu juga usul Vanya," jelas Tian.Ririn semakin menangis. Vanya sudah cerita semuanya dengan dia. Vanya lah yang beroura-pura menjadi dirinya dan dengan tega membu
"Mas, ini milik siapa?" tanya Senja. Dan mendekati Langit dengan membawa kaca mata, dan juga obat yang di butuhkan Langit.Sejak tadi Langit hanya tidur bermalasan, mendapat pertanyaan Senja, dia seketika duduk sambil meyandarkan tubuhnya di punggung ranjang."Itu...," ucap Langit mengudara. Kenapa dia sampai lupa sudah menyimpan benda itu di dalam laci. Usia benda yang di makan tahun, membuat Langit lupa akan keberadaan benda tersebut "Mas, kok gak di lanjutin bicaranya," desak Senja penasaran. Begitu banyak kaca mata di dunia ini. Tapi hanya kaca mata unik yang ada di tangannya sekarang, masih sangat dia hapal bentuknya. Tanpa sadar, Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya dia sudah harus jujur dengan Senja tentang kaca mata itu."Duduk sini, sekalian oles kan obat itu di punggung mas," pinta Langit. Tanpa malu, dia membuka piyama tidurnya, hingga bertelanjang dada."Mas!!" teriak Senja malu. Walau status mereka sudah naik menjadi sepasang kekasih, dan Langit juga
"Papa, papa! Mama hilang pa!" Senja yang tidak sadar tertidur bersama di kamar Langit. Tersentak kaget mendengar suara teriak kan Bumi dari luar."Mas, bangun mas. Bumi sudah teriak-teriak mencariku," seru Senja. Melihat Langit yang tidur dan tidak bergeming dengan suara Bumi, dia dengan sekuat tenaga mengoyang-goyang tubuh Langit."Euhmm.."Lenguhan keluar dari bibir Langit. Pertempuran yang dikira hanya sekali, ternyata berlanjut sampai menjelang fajar, membuat Langit di kuasai rasa kantuknya."Ya Senja. Ada apa?" tanya Langit yang belum sadar sepenuhnya."Bangun mas, Bumi gedor pintu terus itu," kesal Senja. Dia sudah sangat kebingungan sendiri. Tidak mungkin dia yang membuka pintu kamar. Apa yang akan dia jelaskan pada Bumi nantinya.Langit berusaha melebarkan matanya, dia mencerna semua yang dikatakan Senja. "Kenapa tidak kamu buka, sayang? Kasian dia nunggu kamu, sampai mengira mamanya hilang," imbuh Langit. Dia sudah terduduk dan mencari pakaian yang masih berserakan di lantai.
"Senja," panggil Kaina ragu. Tapi dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Senja hari ini."Bicara lah dengan Kaina, mas masuk duluan," ucap Langit, meninggalkan Senja dan Kaina di luar ruangannya."Besok aku sudah mulai tidak bekerja disini lagi," sendu Kaina.Senja menghela napasnya berat. Sebenarnya dia masih keberatan dengan pengunduran diri Kaina. "Apa kita masih bisa ketemu?" tanya Senja penuh harap.Kaina hanya bisa mengangkat kedua bahunya tidak acuh. Dia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya nanti."Kenapa? Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa kamu tidak pernah mau bercerita denganku. Apa selama ini, hanya aku yang menganggapmu teman?" tuntut Senja. Dia sangat kecewa dengan tertutupnya Kaina padanya."Bukan seperti itu."Rasa bersalah mengerumuni Kaina. Dia hanya tidak mau jika Senja sampai terseret ke dalam masalahnya. "Jadi, kenapa?" desak Senja yang sangat ingin tahu masalah yang sedang dihadapi K