Share

Permintaan Zoya

Terkejut sekaligus takut, Maura gemetaran. Ia edarkan pandangan ke sekeliling. "SIAPA ITU?"' Lagi Maura bertanya dan menyilangkan tangan di depan dadanya. Namun tak ada yang menyahut.

"Gustiii .., tadi siapa?'' lirihnya yakin karena tadi ada orang di sana. Pasti yang mengintip. Tapi melihat suasana perkebunan yang sore dan juga sangat sepi, Maura bergidik sendiri. "Jangan-jangan ..." Maura merinding di buatnya.  Segera saja, karena takutnya, Maura langsung naik dan keluar dari sungai. Berjalan cepat, menuju tadi ia menyimpan handuk bersihnya di dekat batu.

"Eh? kemana handuknya?''

Ia tak salah kan? bukankah tadi Maura menaruh handuknya di sana? Dia yakin Sebelum mandi menaruhnya di sini. Tapi sekarang kemana? gadis itu mencari, mungkin jatuh di belakang pohon jeruk yang berada di samping batu besar tersebut.

Begitu ia sampai di belakang pohon jeruk, tak ada juga. "Kemana handuknya? Perasaan tadi disimpan di sini," tanya Maura mulai panik. Tapi karena sudah takut duluan, dia pun segera kembali lagi mengambil tas juga ember yang tadi dia gunakan untuk wadah baju dan sepatunya yang di cuci.

Maura rekatkan kain jariknya. Lalu memakai baju bersihnya berlapis kain jarik. Masa bodoh kainnya mau basah mengenai baju gantinya atau tidak. Yang penting sekarang juga dia harus segera pergi dan tidak lama kemudian, dengan langkah tergopoh-gopoh Maura segera meninggalkan tempat itu.

Serta berjanji untuk tidak lagi mandi di sana karena sangat membahayakan untuknya.

****

Sebuah gerbang tinggi, setinggi dua meter terbuat dari besi, berderit terbuka. Sang penjaga gerbang yang membukakannya ketika mobil tuan muda masuk ke pekarangan rumah.

Senyum dilayangkan oleh sang penjaga bernama Mang Anin malam ini.  Meskipun dia tahu, Tuan mudanya tidak akan repot-repot untuk membukakan jendela mobil dan membalas senyumannya. Namun, SOP tetaplah harus di jalankan. Di mana Ibu Marina, selaku istri Boss besar, selalu mewajibkan para pelayan dan pekerja di rumah atau para karyawannya untuk tersenyum dan menyapa Mereka.

Adab pada Tuan, katanya.

Meskipun pada dasarnya, Indonesia sudah merdeka, Tapi tetap saja pola pikir penjajah 'Meneer' alias Tuan yang harus di layani dan di hormati oleh para 'Babu' masih banyak di praktekkan. 

Para Tuan besar ini merasa sudah sangat berjasa dengan membayar mereka Padahal mereka mendapatkan uang dari hasil kerja keras mereka sendiri.

Begitlah manusia. Uang, membuat mereka lupa bahwa mereka juga adalah manusia.

Gerbang tertutup.

Seorang pelayan yang kebetulan sedang berada di luar malam ini, berlari untuk sekedar membukakan pintu mobil Elshad yang lebih suka menyetir sendiri.

"Selamat sore, Pak."

Dan Elshad tentu saja tidak harus membalasnya bukan?

"Keringetan Pak El. Habis olahraga, ya?"

Tubuh El membeku. Dia baru menyadari setelah menyeka keningnya yang berkeringat. Tergugup, El berusaha untuk menutupinya dan segera berjalan cepat masuk ke dalam rumah.

"Gusti ah, ku judes teuing!" (Ya Tuhan, ketus sekali)

Kokom,  pelayan berusia 40 tahun itu tak perlu menunggu balasan, dia bertugas menutup kembali pintu mobil BMW milik Elshad. Saat akan menutup pintu mobilnya, sekilas Kokom melihat ada handuk warna putih yang ada di kursi tempat Elshad duduk tadi.

"Handuk punya Pak El? Kok gak di bawa?"

Sesaat, Kokom ingin mengambil handuk itu dan diberikan kepada Elshad. Tapi dia urungkan karena tidak diperintahkan.

"Ah, bae lah (biarin lah)  kalau disuruh baru deh ambil, nanti di omelin lagi. Kalau sok tahu.

Kokom menutup kembali pintu mobilnya sementara itu,  sang tuan muda sudah sampai di dalam rumah. Melihat ada tissue di atas meja, Elshad segera menyeka wajahnya.

Panas hadirin ...

Panas habis lari-lari takut ketahuan mengintip? Itu juga sih. Saat tadi dia ketahuan untuk pertama kalinya, Elshad merasa seperti orang amoral yang kepergok mengintip wanita sedang mandi.  Walau pada kenyataannya bukan sepertinya. Tapi MEMANG  dia adalah orang amoral yang kepergok mengintip wanita mandi. Elshad berlari kencang takut ketahuan dan Untung saja dia sembunyi-sembunyi di balik pohon jeruk. Namun, ada hal 'panas' lainnya yang membuatnya berkeringat seperti ini.

Elshad pria normal.

Ketika mendapati pemandangan indah di depannya tentu saja, hasrat ke laki-lakiannya tidak bisa dibohongi. Meskipun wanita tadi memiliki postur tubuh yang uwow.

"Sialan! Cuma sama cewek gendut aja, gue bisa begini."

Elshad benci dirinya yang tak bisa menahan itu. Pertama,  Padahal ia sudah punya istri yang jauh lebih cantik dan seksi dibandingkan perempuan tadi dan yang kedua, dia gendut.

Ya ampun.

Lagi, Elshad menggelengkan kepalanya. "Sialan!''

Napasnya terbuang kasar. Ia susah payah menidurkan sesuatu yang tidak tahu dirinya, bereaksi hanya gara-gara melihat wanita gendut mandi. Jangan sampai 'dia' bangun lagi hanya dengan membayangkannya.

Ingatkan Elshad untuk tidak kembali ke perkebunan jeruk itu lagi. Tepatnya ke dekat sungai.

Baiklah, tarik napas .... Buang.  lupakan itu semua. 

Lupakan.

***

Elshad menenangkan diri dengan mencoba fokus lagi Sekarang dia sudah berada di rumah. Itu berarti waktunya bersama dengan sang istri tercinta, Zoya. Ah, dia rindu. Segera saja, Elshad menuju kamarnya.

Pintu di ketuk dan nampaklah seraut wajah cantik, pucat itu  langsung tersenyum ketika pintu terbuka.

"Selamat malam sayang,"  sapa Elshad tersenyum manis dan hangat pada wanita yang dia nikahi 8 tahun yang lalu.

 Jika ada yang bertanya 'kapan sih Pak El bisa senyum? Bisa lembut, kalau ngomong?' Ya .., jawabannya jika bersama dengan Zoya, istrinya.

"Malam El ... Baru pulang?" Zoya sama bahagianya melihat Elshad. 

"Iya ... Tadi ... Eh? Kening kamu kenapa?"

Fokus El langsung tertuju pada kening Zoya yang merah keunguan. Ia bergegas menuju ranjang Zoya yang sedang rebahan dan duduk di sampingnya.

"Aku gak apa-apa," jawab Zoya seraya tersenyum. Namun, El tentu saja tidak percaya. Dia begitu khawatir melihat memar itu. Semenjak Zoya sakit, Elshad begitu trauma dengan luka-luka yang timbul di tubuh istrinya. Belum lagi luka basah yang menggerogoti sebagian tubuh bawah dan harus selalu disteril serta menggunakan perban. Jadi luka sekecil apapun akan sangat membuat Elshad khawatir.

" luka memar ini nggak ada waktu aku pergi tadi? Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Aku gak apa-apa, kepentok doang."

"Kepentok apa?"

Zoya terkekeh pelan. "Jangan berlebihan El, ini cuma luka Kepentok."

"Bi Kokom bikin kesalahan? Kamu kepotong apa?" El tidak sabaran dengan mencecar pertanyaan dan kembali mendapat kekehan dari sang istri.

"Enggak .., Bik Kokom baik ih. Tadi aku antusias waktu Mama datang. Aku bangun dari ranjang. Aku lupa kalau lagi sakit taunya kakiku nggak bisa digerakin. Jatoh deh, kena lantai. Benjol dikit," ucapnya jujur.

"Ya ampuun ... Bisa-bisanya kamu lupa lagi sakit? Lagian pasti Mama juga nyamperin kok. Mama paham kalau kamu lagi sakit. Lagian ... Mama kemari mau ngapain?"

"Kata Mama, kamu ninggalin Mama waktu Mama ke pabrik. Ya udah Mama ngobrol sama aku di sini."

Elshad tahu ini. Kesehatan Zoya semakin hari semakin memburuk. Berbagai macam pengobatan sudah dilakukan bahkan dari mulai medis sampai tradisional. Elshad juga mengajak Zoya untuk ke luar negeri namun wanita cantik itu enggan karena di perjalanan sungguh melelahkan.

Dan hari ini, kalau Mamanya sudah menemui istrinya pasti akan ada pembicaraan yang sama.

"El ..."

Elshad mencium kening istrinya yang luka tadi. Setelahnya menatap wajah cantik Zoya yang semakin hari semakin kurus itu.

"Aku mandi dulu ya ... Gak enak, bekas keringetan," ucapnya lembut langsung bangun dari ranjang. Begitu dia beranjak dua langkah menuju lemari pakaian, Zoya membuka suaranya lagi.

"Aku ingin punya anak, El."

"Aamiin. Aku selalu minta itu setiap doaku, sayang," jawab El tanpa menoleh. Ia sibuk memilih kaos hitam atau putih yang akan dia pakai malam ini.

"Tapi aku mau dari maduku."

"Enggak Aamiin."

"Anak cewek atau cowok gak masalah. Yang penting ada darah kamu dan aku akan senang sekali."

"Enggak aamiin."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status