Share

MEMILIH PERGI

MEMILIH PERGI

Kiara menatap pagar rumah tersebut, hatinya merasa gamang untuk masuk ke dalam sana. Namun bayangan Bella bersama Rama membuat ia membuang semua rasa ragunya ke dasar jurang.

"Selamat datang, Nona. Semua orang sedang berkumpul di ruang keluarga." Kedatangan Kiara di sambut oleh kepala pelayan di rumah tersebut.

"Terima kasih." Kiara merapikan penampilannya dan menarik napas dalam, entah kenapa ia merasa gugup.

"Rama, untuk apa kamu ada di sini?" suara Kiara meninggi saat melihat pria itu.

"Ayah, bisakah kita bicara hanya berdua saja?" Kiara sedikit salah tingkah saat sang ayah menatapnya tajam. Kepala Kiara sedikit tertunduk, apalagi debaran jantungnya yang semakin cepat.

Bima bangkit dari duduknya dan mendekati Kiara, saat itulah hati seorang putri merasa bahagia. Ayahnya datang mendekat dan memberikan perlindungan. Namun sayang, harapan itu tidak pernah terjadi. Tanpa bertanya atau mendengarkan putrinya, Bima justru melayangkan sebuah tamparan keras hingga sudut bibir Kiara mengeluarkan darah.

"Kenapa ayah menamparku?" Kiara memegangi pipinya yang terasa begitu sakit. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kali Bima berani menamparnya.

"Kenapa? Kamu masih bisa bertanya kenapa, Kiara Larasati?" Bima memalingkan wajahnya, tangannya mengepal kuat menahan kemarahan yang semakin besar.

Sementara Bella hanya tersenyum mengejek pada kakak tirinya. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk bisa bersama Rama dan menyingkirkan Kiara.

“Aku tidak mendidikmu untuk menjadi pelacur!” teriakan itu benar-benar menohok hati Kiara. Bertepatan dengan itu Bima melemparkan beberapa foto.

“Apa ayah percaya begitu saja dengan foto itu?” Kiara menatap sang ayah begitu dalam.

“Oke! Aku akui, aku memang pergi ke kelab malam. Harusnya ayah bertanya kenapa aku ada di tempat itu, bukan malah menghakimi seperti ini. Apa ayah lebih percaya padanya daripada putri kandung ayah sendiri?”

Bima baru saja akan berpikir menggunakan logikanya, namun sebelum itu terjadi Bella langsung berdiri dan menangis.

“Aku memang bukan anak kandung ayah, Kak. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal seburuk itu dan mempermalukan ayah.”

“Kami siap pergi jika memang Bella melakukan hal tidak terpuji itu, Mas.” Soraya, ibu tiri Kiara langsung mencari muka agar Bella tidak mendapat kemarahan Bima.

Kiara tertawa sambil menangis, ia menyeka air matanya dan menatap tajam Rama. “Sampai kapan kamu akan diam, Rama?”

“Kiara, jaga bicaramu!” teriak Bima. “Kalian akan segera bertunangan.”

“Itu sebelum aku tahu kelakuan bejatnya. Aku sudah mengambil keputusan ini, ayah setuju atau tidak aku akan tetap membatalkan pertunanganku dengan Rama.”

Napas Bima memburu, bagaimana bisa putrinya membatalkan pertunangan sementara undangan sudah tersebar. Bima berniat membuat sebuah acara mewah untuk pertunangan Rama dan Kiara.

“Kamu tidak bisa seenaknya, Kiara! Jika kamu masih keras kepala, maka ayah akan mengambil semua fasilitas yang ayah berikan selama ini.” Bima berharap gertakan itu membuat putrinya berpikir ulang sebelum mengambil keputusan.

"Ayah tidak mau tahu! Pertunanganmu dan Rama akan tetap terjadi." Bima tetap bersikeras dengan keinginannya tanpa peduli pada Kiara sedikitpun.

"Maafkan Kiara, Yah. Tapi Kiara akan memilih pergi dan melepas semua fasilitas yang ayah berikan daripada harus menjalani sebuah hubungan dengan pria yang tidak bisa bertahan dengan satu hati hanya karena menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita." Kiara menggeleng kuat.

Tanpa bicara lagi Kiara pergi menuju kamarnya, ia mengambil satu koper kecil dan memasukkan beberapa perhiasan peninggalan ibunya dan satu album yang tersimpan rapi.

"Maafkan Kiara, Bunda. Tapi untuk kali ini aku akan memilih pergi, setelah Bunda tiada ayah berubah." Kiara menyeka air matanya yang kembali menetes mengingat mendiang sedang ibu.

Kiara menuruni tangga dengan perasaan kecewa yang begitu besar. Ia sudah bertekad untuk pergi dan tidak menoleh lagi ke belakang.

"Berhenti!" seru Bima dengan rahang yang mengeras.

"Kamu akan pergi bukan? Maka ayah akan mengizinkanmu  untuk pergi. Tapi sebelum itu tinggalkan semua fasilitas yang sudah ayah berikan padamu."

Untuk sesaat Kiara memejamkan mata dan menahan napas, berharap semua yang terjadi hari ini adalah mimpi. Namun kenyataannya tidak berubah saat Kiara membuka mata. Tanpa beban sedikitpun ia mengeluarkan semua kartu perbankan pemberian dari sang ayah.

"Buka kopermu!" perintah Bima.

Kiara merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Ia merasa dunia benar-benar tidak adil padanya. Cobaan demi cobaan datang bertubi-tubi tanpa jeda, membuat gadis cantik itu merasakan sesak yang luar biasa.

Setelah koper kecil itu terbuka, Soraya, ibu tirinya tanpa diperintah mendekat dan memeriksa semuanya.

"Ini perhiasan siapa, Kiara?" tanya Soraya dengan nada tidak suka.

"Aku yakin jika ayah tahu itu milik siapa. Tapi jika ayah berkata tidak maka silahkan ambil semuanya. Kecuali album itu." Kiara tidak bisa lagi menahan diri, air matanya terus menetes menatap sang ayah yang memalingkan muka.

"Tutup kembali kopernya!" ucap Bima dengan perasaan sedih, tiba-tiba saja bayangan wajah mediang istrinya melintas dalam ingatannya.

"Tapi—" Soraya tidak bisa melanjutkan perkataannya saat melihat sorot mata suaminya yang begitu tajam.

Meskipun hatinya terluka, Kiara tetaplah seorang anak. Ia mendekati Bima yang sekarang membuang muka, dengan cepat Kiara memeluk sang ayah dan menangis.

“Maafkan Kiara, Yah. Semoga ayah baik-baik saja hidup bersama parasit seperti mereka. Jika ayah merindukanku, aku ada di tempat yang sama.”

Kiara melepas pelukan tak berbalas itu, paling tidak ia sudah meminta maaf pada ayahnya sebelum pergi. Langkahnya semakin cepat saat ia sudah diambang pintu, kemudian Kiara menutup pintunya dan menarik  koper itu sambil terus menangis. Cobaan kali ini lebih berat daripada kehilangan sang ibu.

“Maaf karena telah membuatmu menunggu.” Kiara menunduk, ia tidak ingin pria itu melihat warna merah di pipinya.

Setelah kepergian putrinya, Bima tiba-tiba saja jatuh pingsan. Soraya, Bella dan Rama terkejut, mereka panik dan langsung membawanya ke rumah sakit.

“Tante, coba telepon Kiara, dia harus tahu kalau Om Bima pingsan. Ada kemungkinan penyakit jantungnya kambuh.”

“Tidak perlu! Semua ini gara-gara anak itu, jadi untuk apa lagi kita menghubunginya.” Soraya berusaha untuk membangunkan Bima dengan minyak angin. Namun itu sama sekali tidak ada gunanya.

“Rama! Lebih cepat lagi, saya takut terjadi sesuatu pada Bima.” Soraya semakin panik.

Sementara itu mobil yang membawa Kiara terus melaju menuju Bandara. Selama perjalanan itu pula perempuan bermata coklat itu hanya diam membisu dan menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.

“Kenapa semua jadi kayak gini?” lirihnya.

Air mata kembali mengalir, bahkan di saat ia membutuhkan perlindungan sang ayah justru membiarkan ia pergi tanpa membawa apa-apa.

Dalam kamar hotel, Alex terus mengawasi pergerakan GPS yang ia pasang pada mobil yang sekarang membawa Kiara menuju Bandara. Ia lantas menghubungi anak buahnya.

“Periksa penerbangan atas nama Kiara!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status