"Silakan berkenalan. Oh, aku lupa, ikut berdukacita. Aku tak menyangka dia akan pergi secepat itu."Arch memeluk Zio yang seketika mendorong jauh tubuhnya."Kau membuatku geli, aku serasa dipeluk anakku versi dewasa."Arch tertawa lebar mendengar ucapan Zio."Siapa suruh nama sama. Serius, kamu yang memberi nama?""Bukanlah, kamu tahu dia adopsi, waktu aku ambil dari panti namanya sudah begitu.""Tapi dia sungguh mirip Nika, dan ... Lea."Arch tertegun, dia baru sadar kalau paras Lea dan Nika seiras. Keheranan Arch buyar kala Lea pilih undur diri setelah urusannya dirasa selesai. Perempuan itu juga sedikit basa basi dengan suaminya yang sejak tadi melemparkan tatapan tajam padanya."Iya, iya. Aku pergi. Dasar kulkas!" Gumam Lea sambil menenteng tas berisi laptop milik Puspa, juga sling bag yang asal dia comot dari lemari penyimpanan. Lea menunggu di depan restoran dengan tangan memesan taksi online sebelum seseorang merebut benda pipih tersebut."Aku antar." Hanya kalimat itu yang t
Jantung Lea serasa diajak maraton keliling kota. Ianya berdebar kencang, sejak tadi belum bisa dinetralkan. Lea sudah menghela dan menghembuskan napas berulang kali, berusaha menenangkan diri. Namun dentuman alat pompa darahnya belum juga mereda."Ihh, lama-lama aku bisa masuk rumah sakit kalau begini caranya."Lea mendudukkan diri di kasur, menyentuh dadanya yang terus kembang kempis hanya karena Zio memanggilnya "sayang" saat keduanya bercinta di mobil tadi.Imbalan yang dimaksud Zio tentu saja pelayanan ekstra panas yang harus Lea berikan saat itu juga. Istri Zio sungguh ketakutan saat dia dan suaminya memadu kasih di parkiran. Takut ada yang melihat aksi tidak terpuji mereka.Namun semua itu tetap tak mengurangi nikmat yang keduanya reguk. Keterbatasan tempat justru membuat adrenalin mereka makin terpacu. Hingga meski singkat, percintaan itu meninggalkan kesan mendalam di benak Lea. Terlebih panggilan sayang yang seketika membuat jiwa Lea meronta-ronta. "Jangan baper please, jang
Pukul sebelas malam, ketika ponsel Lea berdering. Sang pemilik tersentak bangun dari tidur pulasnya. Zio rupanya masih berada di ruang kerja."Halo, selamat malam.""Halo, dengan wali dari Zico Alkanders ...."Lea menutup mulut dengan ponsel nyaris terlepas dari pegangannya, jika Zio tak mengambil alih."Halo," Zio yang bicara.Sepasang suami istri itu saling pandang, hingga setengah jam kemudian keduanya sudah berlari sepanjang lorong rumah sakit dengan Zio menggenggam erat jemari Lea."Atas nama Zico Alkanders." Zio menyeruak di antara ramainya pasien yang membludak di fasilitas kesehatan darurat tersebut.Zio dan Lea berlari ke arah yang ditunjukkan sang perawat. Di tengah jalan Lea melihat Edo yang tampak baik-baik saja."Kamu apakan Zico?!" Raung Lea setengah menangis. Edo sendiri seketika terisak melihat Lea. Dia langsung bersujud di bawah kaki Lea. Zio yang melihat tentu heran, bagaimana Lea bisa mengenal teman Zico yang dirinya saja tidak tahu kalau mereka exis."Ampun, Tante
"Zico, sebenarnya apa yang terjadi sama Zio dan Nika?"Zico langsung memudarkan senyum yang sejak tadi merekah di paras tampannya. Senyum yang hadir ketika Lea merawat lukanya. Perempuan itu juga menuruti permintaannya untuk tidak memberitahu Inez, pasal dia yang kena sabetan celurit hingga lengannya harus dijahit dua."Tidak ada," balas Zico cepat.Semakin cepat Zico memberi balasan, semakin kentara kalau mereka menyembunyikan sesuatu. Sebab Zico langsung berniat tidak akan memberitahunya tanpa pikir panjang."Kalau tidak mau memberitahuku, jangan memberi clue," protes Lea.Zico terdiam. Mungkin dia terlalu banyak men-spill soal pernikahan Zio dan Nika yang menurut Zico banyak cacatnya. "Kalian bermain rahasia denganku, seolah aku ini bodoh.""Bukan begitu maksudku, Kak," Zico buru-buru menyanggah."Lalu apa? Kalian terlanjur sedikit banyak memberiku kisi-kisi, membuatku ingin tahu. Jika kalian tak ingin memberitahu, jangan salahkan aku jika mencari tahu dari orang lain.""Siapa? Ka
Nancy memindai tampilan Rina yang dia nilai biasa saja. "Nama?" tanya Nancy singkat. Wajah perempuan itu tak ramah sama sekali. Dia pasti menduga kalau wanita yang ada di depannya adalah salah satu perempuan yang ingin menggoda Zio.Lihat saja penampilannya, meski bukan pakaian branded, tapi baju yang dipakai Rina lumayan mahal. Dan modelnya sedikit seksi."Rina," sahut adik Rian yang melakukan hal sama pada Nancy. Perempuan di hadapannya jelas terlihat kelasnya. Bukan wanita sembarangan. Kalau begini caranya, dia bisa kalah."Kerjakan berkas itu kalau begitu." Nancy menunjuk setumpuk dokumen yang ada di atas meja."Tunggu dulu, Tuan Zio meminta saya jadi asprinya," sambar Rina cepat. Dia jelas tidak mau menghabiskan waktu bersama nenek lampir seksi di depannya.Nancy langsung menyandarkan tubuhnya di meja kerja, lantas menyilangkan kaki. Tatapannya penuh cemooh pada Rina yang kini Nancy tahu tujuannya apa masuk ke kantor ini."Jadi kau pikir bisa bersamanya sepanjang hari? Jangan mi
Helaan napas terdengar dari arah Zio, entah kenapa akhir-akhir ini perasaan kacau. Moodnya tak bisa ditebak. Dia tidak menyalahkan Lea, tapi menyalahkan dirinya sendiri. Dia tak bisa mengasumsikan apa yang dia rasa.Tekanan dari Zico dan saran dari Han, justru membuat kekalutan Zio kian menjadi. Sama seperti Lea, Zio tengah berada dalam kebimbangan hati."Bagaimana kerja samamu dengan vendor itu?" Zio bertanya suatu pagi ketika Lea memakaikan dasi untuknya.Macam biasa, Lea hanya diam, tak banyak protes kala Zio tak menyentuhnya selama beberapa hari ini. Itu bukan urusannya, dia hanyalah obyek yang diperlukan Zio saat pria itu butuh.Sakit sebenarnya saat Lea berulang kali mengingatkan dirinya sendiri akan posisinya. Namun dia bisa apa, ketika realita yang ada memang seperti itu."Lancar, aku akan ikut menangani beberapa proyek pesta pernikahan yang di-handle oleh mereka," balas Lea, memasangkan pin di kerah jas sang suami."Belajarlah memakai mobil, kamu bisa pilih di basement." Zio
Ha? Membunuh? Zio menuduh Lea ingin membunuh Inez. "Tidak, Zi! Aku hanya ingin menolongnya.""Bohong! Aku melihatmu mendorongnya!""Itu tidak benar. Aku ingin menolongnya, bukan mendorongnya!" Lea mula menangis, tubuhnya gemetar ketakutan. Membunuh? Dia tidak membunuh Inez! Ibu! Ayah! Dia tidak membunuh mereka."Bohong! Kau memang pembohong! Pembunuh!"Zio menunjuk Lea dengan telunjuknya disertai kemurkaan yang tak pernah Lea lihat sebelumnya. Wajah Zio memerah, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya tajam penuh kebencian."Zio membenciku," lirih Lea dalam hati. Perlahan Lea menundukkan pandangan disertai lelehan bening pada netra hazelnya."Pergi kau!"Lea mengangkat wajahnya dengan cepat. Pergi? "Pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"Semua orang yang ada langsung menghentikan napas mereka. Apa tadi yang mereka dengar, tuan mereka mengusir nyonya mereka."Kau tidak dengar ucapanku. Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi!""Zio hentikan! Mama mau bicara!" Teriakan Zico mem
Kehebohan beralih ke rumah sakit kala Zio kalap. Inez bersimbah darah di kepala. Ketakutannya sangat besar. Sebab Zio pernah menghadapinya. Kematian sang papa. Kala itu ada Inez yang berdiri di sebelahnya, tapi kini dia sendirian. "Selamatkan dia, Dokter! Selamatkan dia!" Zio ambruk di depan pintu tempat Inez menjalani perawatan. Sementara Zico, pemuda itu lekas meraih ponselnya. "Bagaimana, Mang?" Detik setelahnya Zico melesat keluar dari sana, mencari taksi. Taksi Zico keluar area rumah sakit bersamaan dengan satu mobil masuk dari arah berlawanan. "Lea aku tunggu di sini!" Teriak si empunya mobil. "Pergi saja. Terima kasih." Lea menghambur masuk rumah sakit, dia mencari di mana sekiranya Inez di rawat. Dari petugas frontline Lea tahu kalau Inez kemungkinan langsung masuk ruang tindakan. Wanita itu terus mencari dalam kebingungan, sampai dia bertemu seorang dokter yang adalah teman Rian. "Lea, kamu ngapain di sini?" "Oh, Heri bukan?" Lea samar mengingat suara pria yang kini b
Lea menarik Arch ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan si anak dari amarah yang mungkin saja Zio tunjukkan. Awalnya Lea pikir begitu, tapi ketika lebih dari lima menit Zio hanya diam. Lea hanya bisa menghela napas."Sebenarnya apa yang mau kamu katakan. Kalau tidak, aku mau pulang. Mau tidur."Lea maju, dengan Zio sigap menghalangi. Lea ke kiri, Zio ke kiri. Lea ke kanan, Zio ikut ke kanan. Lea jelas kesal dibuatnya. "Minggir, gak? Maunya apa sih?" Bentak Lea turut emosi."Bisa gak kita bicara baik-baik.""Kamu yang mulai," sewot Lea."Sayang," bujuk Zio. Lelaki itu maju, Lea mundur."Aku minta maaf, aku salah." Kata Zio lagi. Mukanya memelas, penuh permohonan. "Minta maafnya bukan sama aku."Lea menatap tajam Zio yang menggulirkan pandangannya pada Arch yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Anak itu sejak tadi menjadikan Lea tameng seolah hanya Lea yang bisa melindunginya.Zio bungkam untuk beberapa waktu, hal itu membuat Lea jengah. Hingga dia memutuskan pergi saat itu j
"Mama!"Lirikan tajam dari Zio membuat Arch mengkeret. Bocah itu merangsek mundur, bersembunyi di belakang tubuh Sari, yang juga ketakutan. Perempuan itu teramat takut ketika melihat dua tuannya harus masuk rumah sakit bersamaan.Lea nyaris pingsan ketika Zio menemukan sang istri dalam pelukan Arch yang menjerit panik. Pria itu tanpa kata membawa Lea ke rumah sakit. Walau Arch turut serta tapi anak itu jelas gentar melihat paras murka sang papa. Arch hafal benar karakter Zio. "Kau diam saja di situ." Zio menunjuk kursi tunggu di depan ruangan tempat Lea dirawat.Walau Zio menampilkan kemarahan, tapi entah kenapa bocah itu bisa melihat kelegaan luar biasa terpancar dalam netra sekelam jelaga milik sang papa."Zio! Kau marahi putraku, aku hajar kamu!"Teriakan Lea membuat Zio menoleh. Sudah hampir pingsan pun masih bisa dengar Zio memarahi Arch."Enggak kok." Zio ikut masuk ruangan setelah Heri memberi izin.Lea tampak pucat, beberapa lembar selimut melilit tubuh sang wanita. Lea masi
Lukisan seorang pria dan wanita sedang menggandeng seorang bocah laki-laki. Satu yang Lea kenali adalah rambut si wanita berwarna brunette, miliknya. Sementara di pria dengan tato bintang di pergelangan tangan. Zio memang memiliki tato di pergelangan tangan, tapi selalu tertutup jam. Lea tak pernah menyangka kalau ada orang lain yang tahu. Lea mulai menggila di tempat itu. Ini sudah hampir satu jam sejak hujan turun. Dia saja sudah dingin pol-polan. Bagaimana dengan Arch. "Arch! Di mana kamu! Ini Mama!" Teriak Lea dengan suara gemetar. Dalam hati sibuk berdoa, berharap menemukan Arch di sana. Jika tidak, Lea tak tahu harus mencari ke mana lagi. Tempat ini sudah lokasi paling ujung dari komplek tempat sekolah Arch berada. Setelah kawasan ini, ada area hutan lindung yang tertutup bagi masyarakat umum. "Arch, jawab! Kalau kamu dengar Mama." Bunyi ranting patah terdengar dari arah kiri. Lea lekas menoleh, dilihatnya samar seseorang sedang duduk di ayunan yang letaknya di sisi gedung
Kepala Zio bak dihantam batu, kehilangan Arch? Big no! Hatinya lekas menyahut. Bagi Zio Arch punya arti yang sangat besar."Aku pernah bilang, anak adopsi memang tidak lahir dari benih kita, tapi dia lahir dari hati. Cinta dan kasih kita yang melahirkannya."Zio diam, membiarkan kata-kata Lea menyiramnya. "Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Arch sekarang, yang aku takutkan, berkali-kali ditolak akan membuatnya terluka. Ingat, dia pernah dibuli karena statusnya yang tidak jelas. Arch pasti trauma dengan hal itu.""Ditambah sekarang kamu bersikap begini. Kamu mendiamkannya, mengabaikannya. Salah dia apa? Dia tidak tahu akan lahir dari rahim siapa. Dia tidak bisa memilih dari orang tua mana dia dilahirkan.""Percayalah, dalam hal ini dia yang paling menderita. Dibuang ke panti sejak lahir, lalu diambil lagi oleh mbak Nika, konon diadopsi, tidak tahunya anak sendiri.""Bagaimana anak sekecil itu bisa menghadapinya?"Zio terpekur. Kemarahannya mereda, tapi belum hilang. Zio sepenu
Sejak beberapa hari terakhir, Zio tak bisa fokus pada pekerjaannya. Lelaki itu lebih banyak melamun, pikirannya kosong. Dengan hati terasa sesak tiap kali dia teringat Arch.Putranya, oh bukan. Anak itu putra Miguel dan Nika. Setiap fakta itu muncul di kepalanya, Zio hanya bisa menitikkan air mata dengan tangan terkepal.Dia rindu dengan Arch, tapi mengingat perbuatan Nika, amarah itu kembali hadir. Zio sama sekali tak bisa memaafkan Nika. Perempuan itu bukan saja sudah menelantarkan Arch di panti asuhan, Nika juga Zio duga memanfaatkan Arch."Aku bingung, apa yang harus aku lakukan padamu," ratap Zio penuh kebimbangan.Saat Zio tengah dirundung kesedihan pasal sang putra. Suara ribut terdengar dari arah depan.Lea dan Rina terlibat pertengkaran. "Siapa kau berani melarangku menemui suamiku?" Lea bertanya pada Rina yang tampak mengangkat dagunya, seolah menantang Lea."Tuan Alkanders tadi memberi perintah begitu," balas Rina merasa mendapat mandat dari Zio.Padahal yang diberi perinta
Miguel melotot melihat Melani mendatanginya, dengan selembar kertas yang seketika membuat lelaki itu merutuki kebodohannya. Harusnya dia simpan kertas tersebut ke brankas. Bukan hanya dia masukkan ke dalam laci meja.Miguel cukup hafal watak Melani yang suka mengacak-acak ruang kerjanya. Sekedar untuk mencari tahu sang suami berselingkuh atau tidak. Melani memang tipe curigaan dan cemburuan. Dua sifat yang sebenarnya cukup membuat Miguel kerepotan.Kali ini kecerobohan Miguel bakal berbuntut panjang. Pasalnya ada Lea dan Arch di sana. Bisa dipastikan Lea akan jadi korban kesalahpahaman Melani dua kali."Maksudnya apa? Pasangan selingkuh? Siapa yang selingkuh?" Di luar dugaan, Lea langsung merespon tudingan Melani dengan berani."Kau! Kalian! Pasangan selingkuh! Dan dia anak hasil perbuatan kotor kalian kan! Ngaku!" Teriakan Melani lantang terdengar. Cukup membuat Arch ketakutan."Mel! Kamu apa-apaan sih? Bukannya kemarin aku sudah kasih tahu siapa dia. Dia Nyonya Alkanders dan itu put
"Kenapa Arch bilang begitu?" Miguel merasa ada yang tidak beres dengan anak yang duduk di depannya."Papa gak mau peluk Arch, gak mau cium Arch, gak mau bicara sama Arch. Papa sudah tidak sayang Arch."Bocah itu akhirnya menangis. Hati Miguel serasa ditusuk ribuan jarum kala Arch menangis di depannya. Tangan lelaki itu perlahan terulur, menyentuh pundak Arch bergeser ke punggung, lantas menariknya, hingga akhirnya Arch menangis di pundak Miguel."Arch gak minta banyak, Arch gak minta apa-apa. Arch cuma mau papa Zio sayang sama Arch," raung Arch sarat kesedihan."Mungkin papamu sedang stres, Arch. Jangan punya pikiran buruk sama papamu," tutur Miguel lembut.Dari sini, Miguel tahu kalau Arch sudah sangat sayang pada Zio. Itu wajar, mengingat Zio yang muncul lebih dulu menggantikan perannya sebagai seorang ayah."Stres kenapa? Papa kerja banyak yang bantuin. Ada Om Han juga ada nenek lampir. Bohong kalau stres.""Arch, urusan orang dewasa itu rumit. Kamu perlu tahu, tidak semua hal bisa
"Zi, Arch minta salim."Ucapan Lea membuat Zio menoleh, lantas dengan enggan mengulurkan tangan untuk Arch cium punggung tangannya."Arch pergi sekolah, Papa.""Hmm," hanya itu yang Zio ucapkan.Wajah ceria Arch berganti sendu ketika Zio mengabaikannya. Sudah beberapa hari ini, tak ada ciuman, pelukan bahkan senda gurau dari sang papa.Pria yang selalu Arch banggakan itu seolah tak peduli lagi padanya. Arch mengusap cepat air mata yang mulai menggenang di pelupuk netranya.Paras tampan itu tampak muram, tak ada senyum lebar macam biasa."Kamu ada masalah apa? Kenapa Arch yang jadi korban?" Lea kembali angkat bicara. Lea perhatikan, sudah hampir seminggu ini Zio mengabaikan Arch. Putranya yang peka tentu langsung merasakan perubahan sikap sang papa.Meski di depan Lea, Arch selalu tampak bahagia, bocah itu akan segera murung jika sedang sendiri. Perasaan anak kecil sejatinya sangat halus.Satu perubahan sikap akan membuat mereka sedih. Apalagi ini Arch, bocah yang tahu pasti kalau dir
Zio tak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaan. Sedih, kecewa, marah, semua rasa yang menyesakkan jiwa mengungkung hati lelaki itu. Tak pernah terbayangkan bagaimana Nika bisa menipunya mentah-mentah. Dia dibohongi habis-habisan oleh perempuan yang sangat dia cinta. "Arch adalah putra kandung Nika dan Miguel." Miguel memberitahu kalau anak buahnya mendapati fakta jika Nika pernah melahirkan hampir enam tahun lalu, sejurus perempuan itu kembali dari negeri seberang. Miguel menggerakkan anak buahnya untuk mencari masa lalu Nika dan inilah yang mereka temukan. "Dia membuang anaknya ke panti asuhan, lalu mengadopsinya saat berusia tiga tahun. Arch, dia bayi itu." Zio meremat rambutnya, bulir bening mula menuruni pipi. Dia tak pernah menitikkan air mata, bahkan ketika sang papa meninggal. Namun sakit hati karena orang tercinta membuat Zio hancur. Dia punya julukan tuan penguasa tapi dia kalah oleh cinta. Benar, cinta bisa membutakan mata hati, menumpulkan logika, hingga otak