Pukul sebelas malam, ketika ponsel Lea berdering. Sang pemilik tersentak bangun dari tidur pulasnya. Zio rupanya masih berada di ruang kerja."Halo, selamat malam.""Halo, dengan wali dari Zico Alkanders ...."Lea menutup mulut dengan ponsel nyaris terlepas dari pegangannya, jika Zio tak mengambil alih."Halo," Zio yang bicara.Sepasang suami istri itu saling pandang, hingga setengah jam kemudian keduanya sudah berlari sepanjang lorong rumah sakit dengan Zio menggenggam erat jemari Lea."Atas nama Zico Alkanders." Zio menyeruak di antara ramainya pasien yang membludak di fasilitas kesehatan darurat tersebut.Zio dan Lea berlari ke arah yang ditunjukkan sang perawat. Di tengah jalan Lea melihat Edo yang tampak baik-baik saja."Kamu apakan Zico?!" Raung Lea setengah menangis. Edo sendiri seketika terisak melihat Lea. Dia langsung bersujud di bawah kaki Lea. Zio yang melihat tentu heran, bagaimana Lea bisa mengenal teman Zico yang dirinya saja tidak tahu kalau mereka exis."Ampun, Tante
"Zico, sebenarnya apa yang terjadi sama Zio dan Nika?"Zico langsung memudarkan senyum yang sejak tadi merekah di paras tampannya. Senyum yang hadir ketika Lea merawat lukanya. Perempuan itu juga menuruti permintaannya untuk tidak memberitahu Inez, pasal dia yang kena sabetan celurit hingga lengannya harus dijahit dua."Tidak ada," balas Zico cepat.Semakin cepat Zico memberi balasan, semakin kentara kalau mereka menyembunyikan sesuatu. Sebab Zico langsung berniat tidak akan memberitahunya tanpa pikir panjang."Kalau tidak mau memberitahuku, jangan memberi clue," protes Lea.Zico terdiam. Mungkin dia terlalu banyak men-spill soal pernikahan Zio dan Nika yang menurut Zico banyak cacatnya. "Kalian bermain rahasia denganku, seolah aku ini bodoh.""Bukan begitu maksudku, Kak," Zico buru-buru menyanggah."Lalu apa? Kalian terlanjur sedikit banyak memberiku kisi-kisi, membuatku ingin tahu. Jika kalian tak ingin memberitahu, jangan salahkan aku jika mencari tahu dari orang lain.""Siapa? Ka
Nancy memindai tampilan Rina yang dia nilai biasa saja. "Nama?" tanya Nancy singkat. Wajah perempuan itu tak ramah sama sekali. Dia pasti menduga kalau wanita yang ada di depannya adalah salah satu perempuan yang ingin menggoda Zio.Lihat saja penampilannya, meski bukan pakaian branded, tapi baju yang dipakai Rina lumayan mahal. Dan modelnya sedikit seksi."Rina," sahut adik Rian yang melakukan hal sama pada Nancy. Perempuan di hadapannya jelas terlihat kelasnya. Bukan wanita sembarangan. Kalau begini caranya, dia bisa kalah."Kerjakan berkas itu kalau begitu." Nancy menunjuk setumpuk dokumen yang ada di atas meja."Tunggu dulu, Tuan Zio meminta saya jadi asprinya," sambar Rina cepat. Dia jelas tidak mau menghabiskan waktu bersama nenek lampir seksi di depannya.Nancy langsung menyandarkan tubuhnya di meja kerja, lantas menyilangkan kaki. Tatapannya penuh cemooh pada Rina yang kini Nancy tahu tujuannya apa masuk ke kantor ini."Jadi kau pikir bisa bersamanya sepanjang hari? Jangan mi
Helaan napas terdengar dari arah Zio, entah kenapa akhir-akhir ini perasaan kacau. Moodnya tak bisa ditebak. Dia tidak menyalahkan Lea, tapi menyalahkan dirinya sendiri. Dia tak bisa mengasumsikan apa yang dia rasa.Tekanan dari Zico dan saran dari Han, justru membuat kekalutan Zio kian menjadi. Sama seperti Lea, Zio tengah berada dalam kebimbangan hati."Bagaimana kerja samamu dengan vendor itu?" Zio bertanya suatu pagi ketika Lea memakaikan dasi untuknya.Macam biasa, Lea hanya diam, tak banyak protes kala Zio tak menyentuhnya selama beberapa hari ini. Itu bukan urusannya, dia hanyalah obyek yang diperlukan Zio saat pria itu butuh.Sakit sebenarnya saat Lea berulang kali mengingatkan dirinya sendiri akan posisinya. Namun dia bisa apa, ketika realita yang ada memang seperti itu."Lancar, aku akan ikut menangani beberapa proyek pesta pernikahan yang di-handle oleh mereka," balas Lea, memasangkan pin di kerah jas sang suami."Belajarlah memakai mobil, kamu bisa pilih di basement." Zio
Ha? Membunuh? Zio menuduh Lea ingin membunuh Inez. "Tidak, Zi! Aku hanya ingin menolongnya.""Bohong! Aku melihatmu mendorongnya!""Itu tidak benar. Aku ingin menolongnya, bukan mendorongnya!" Lea mula menangis, tubuhnya gemetar ketakutan. Membunuh? Dia tidak membunuh Inez! Ibu! Ayah! Dia tidak membunuh mereka."Bohong! Kau memang pembohong! Pembunuh!"Zio menunjuk Lea dengan telunjuknya disertai kemurkaan yang tak pernah Lea lihat sebelumnya. Wajah Zio memerah, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya tajam penuh kebencian."Zio membenciku," lirih Lea dalam hati. Perlahan Lea menundukkan pandangan disertai lelehan bening pada netra hazelnya."Pergi kau!"Lea mengangkat wajahnya dengan cepat. Pergi? "Pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"Semua orang yang ada langsung menghentikan napas mereka. Apa tadi yang mereka dengar, tuan mereka mengusir nyonya mereka."Kau tidak dengar ucapanku. Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi!""Zio hentikan! Mama mau bicara!" Teriakan Zico mem
Kehebohan beralih ke rumah sakit kala Zio kalap. Inez bersimbah darah di kepala. Ketakutannya sangat besar. Sebab Zio pernah menghadapinya. Kematian sang papa. Kala itu ada Inez yang berdiri di sebelahnya, tapi kini dia sendirian. "Selamatkan dia, Dokter! Selamatkan dia!" Zio ambruk di depan pintu tempat Inez menjalani perawatan. Sementara Zico, pemuda itu lekas meraih ponselnya. "Bagaimana, Mang?" Detik setelahnya Zico melesat keluar dari sana, mencari taksi. Taksi Zico keluar area rumah sakit bersamaan dengan satu mobil masuk dari arah berlawanan. "Lea aku tunggu di sini!" Teriak si empunya mobil. "Pergi saja. Terima kasih." Lea menghambur masuk rumah sakit, dia mencari di mana sekiranya Inez di rawat. Dari petugas frontline Lea tahu kalau Inez kemungkinan langsung masuk ruang tindakan. Wanita itu terus mencari dalam kebingungan, sampai dia bertemu seorang dokter yang adalah teman Rian. "Lea, kamu ngapain di sini?" "Oh, Heri bukan?" Lea samar mengingat suara pria yang kini b
Lea diam saja memandang sosok yang kini berdiri di depannya. Bukannya tadi dia masih ada di dalam, kenapa sekarang sudah berada di sini."Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya lelaki yang tak lain adalah Zio.Lea bergeming."Kau ingin memastikan mamaku meninggal?" "Tidak Zio, aku tidak pernah melukainya!" Lea lekas menyangkal habis-habisan.Binar cemooh menguar dari manik mata sekelam malam milik Zio. "Pergi! Aku bilang aku tidak mau melihatmu lagi!"Lelaki itu beranjak menjauh. Namun Lea buru-buru berujar, "Tunggu Tuan, bolehkah saya bertanya?"Lea sudah mengubah mode bicaranya ke formal. Sangat menyakitkan ketika pria yang kemarin mengatakan tak suka dengan panggilan tuan, kini menegaskan kembali kalau dialah tuannya.Lea lihat Zio berhenti. Maka perempuan itu segera bicara, jemari tangannya saling bertaut resah di sela gulungan uang yang diberikan Heri. "Pernahkah satu kali saja dalam hatimu, berniat untuk mempercayaiku?" Sekuat tenaga Lea menahan laju bening air mata yang
The Mirror, lantai tiga. Sang pemilik kamar memandang hampa bilik yang kini terasa sunyi. Jiwanya kosong sesepi ruangan yang pernah jadi tempat paling dia sukai. Dua wanita pernah mengisi tempat itu. Namun Nika tak meninggalkan kenangan sedalam yang Lea torehkan untuk Zio. Tangan Zio mencengkeran sisi ranjang yang pernah jadi saksi percintaannya dengan Lea yang selalu panas bergairah.Sebuah pergulatan yang jadi awal tumbuhnya perasaan Zio untuk perempuan yang sempat dia benci di awal pertemuan mereka. Hanya sesal yang kini tertinggal di hati dan pikiran Zio."Maafkan aku," lirih lelaki itu. Hanya di kamar ini Zio menunjukkan kerapuhannya. Hanya di tempat ini bisa menunjukkan betapa terpuruknya dia enam bulan ini.Mungkin ribuan kali Zio telah mengucapkan maaf pada pemiliki cincin yang kini berada dalam kotaknya. Dia ingat bagaimana Sari mengembalikan cincin Lea dengan tangis berurai.Setelah kejadian hari itu, Inez mengalami koma. Zico marah besar pada sang kakak, juga Arch yang mer
Lea dan Irene baru selesai meeting dengan seorang klien, ketika ponsel perempuan itu berdering. Ada nama sang suami di sana. "Ya, Zi. Ada apa?""Aku ada pertemuan dengan Revo, mendadak. Tidak masalah kan kamu makan siang dengan Irene dulu.""Tidak masalah. Kita juga dari kemarin makan siang terus. Jadi no problem. Akan kutemani Irene yang lagi merengut kesal."Yang disebut namanya melotot tidak suka. Dia memang sedang bad mood, tapi tidak terima juga kalau sampai dilaporkan pada Zio."Ibu, mah gitu," sungut Irene menggemaskan."Sorry. Dijadikan pelarian terus."Irene menghentakkan kakinya kesal. Dia sungguh jengkel beberapa hari terakhir. Dongkol pada dirinya sendiri yang susah sekali dibujuk.Agra akan terbang ke kampungnya sore ini. Setuju atau tidak, dia akan melamar Irene secara resmi pada orang tuanya.Pria itu kehabisan akal untuk membujuk Irene agar mau menikah dengannya. Jadi terpaksa dia mengambil langkah ekstrim. Minta izin dulu pada orang tua Irene, baru Irene dieksekusi b
"Maafkan mama ya Lea. Aku sungguh tidak tahu lagi harus nasehatin dia kayak gimana." Rian tertunduk malu sekaligus merasa bersalah. Dita hampir mencakar Lea saat istri Zio bertanya pasal keadaannya. Belum ditambah makian Dita yang membuat Dani naik darah. Dita tak sadar diri dengan keadaannya. Yang dia pedulikan hanya benci yang ada di hati untuk mantan menantunya."Tidak masalah. Aku sudah biasa dengan hal itu," balas Lea santai.Keduanya duduk di sebuah kafe, setelah Zio dan Dani pergi untuk diskusi soal perusahaan. Tentu setelah Zio memberi tatapan penuh peringatan pada Rian.Sungguh, Rian tak berani berharap untuk bisa bersatu kembali dengan Lea. Dia terlalu malu dengan kelakuannya di masa lalu. Hubungannya dengan Vika pun tidak tahu akan berakhir bagaimana.Perempuan itu masih menjalani sisa masa hukumannya, dan kabar terakhir yang Rian dengar, keadaan Vika tidak terlalu baik.Setelahnya tidak ada pembicaraan antara keduanya. Canggung membunuh topik pembicaraan yang sejatinya b
Lea menatap prihatin pada pemandangan di depan sana. Di mana seorang pria sedang membantu satu wanita untuk pindah ke kursi roda. Satu kaki perempuan itu masih diperban dan jelas sekali kaki tersebut ... buntung."Zi ...." Lea tak menutup mulut. Tak sanggup menyaksikan keadaan si wanita."Dia kecelakaan. Disenggol motor, jatuh lalu kakinya dilindas mobil. Satu masih bisa diselamatkan, tapi yang lain remuk jadi terpaksa diamputasi."Lea membenamkan tangisnya di dada Zio. Dengan tangan sang lelaki lekas mengusap punggung Lea. "Dia yang melaporkanmu ke polisi, dia membantu Nika. Anindita Mahendra," sebut Zio dengan wajah sendu.Andai Dita mau menunggu sebentar kala itu, anak buahnya akan datang untuk membebaskannya. Zio hanya ingin menggertak Dita sebenarnya.Namun istri Dani tak sabaran. Dita lepaskan sendiri ikatan di tangan dan kakinya. Saat anak buah Zio kembali ke gudang, mereka tidak mendapati Dita di sana.Dari penelusuran mereka justru mendapat kabar kalau terjadi kecelakaan di
Setelah berkonsultasi dengan pihak kepolisian, Lawrence memberitahu kalau mereka tidak perlu melakukan klarifikasi atas keadaan Lea dan Nika. Toh dua orang itu meski rupa sama, tapi identitas berbeda.Karena Zio tidak ingin memperpanjang masalah ini, maka mereka memutuskan menutup kasus pertukaran identitas yang Nika lakukan. Dengan catatan perempuan itu tidak berulah lagi. Jika sampai Nika membuat onar, pihak yang berwajib akan membuka kembali kasus ini.Zio fine-fine saja, lagi pula yang bakal rugi Nika bukan dirinya. Hanya saja sebagai akibat Nika menerima sejumlah barang atas Lea beberapa waktu lalu.Imbasnya Lea juga dibelikan barang yang sama. Untuk menutupi kelakuan Nika, juga menghargai pemilik butik dan outlet. "Efeknya jadi tampil lebih glam ya?" Kata Irene setengah meledek sang atasan yang sejak tadi cemberut. Dia tidak bisa memakai sling bag favoritnya, gegara dia punya jadwal memakai tas branded yang Zio belikan. Dia yang biasa tampil cuek, tinggalkan sampirkan tas pund
Erna memegang pipinya yang terasa panas. Dipandangnya Nika yang wajahnya memerah penuh emosi. Erna tahu benar kalau Nika marah besar padanya.Dia sepenuhnya sadar akibat dari perbuatannya akan membuat Nika murka. Tapi Erna tidak mau Nika kembali melakukan kesalahan."Aku melakukannya karena aku peduli padamu, Nika. Aku tidak mau kamu menyakiti orang lain lagi. Cukup Nika! Cukup! Kita pulang saja ya?"Dari luapan emosi, kalimat Erna berubah jadi bujukan. Seperti yang dia katakan di hadapan Zio dan yang lainnya. Seburuk apapun perilaku Nika, dia tetap tak bisa mengabaikan perempuan itu.Erna tetap peduli, walau Nika kerap kali tidak memandang kebaikannya. Sebaik itu hati Erna. Gadis itu hanya ingin membalas kebaikan hati Nika yang pernah menyelamatkan keluarganya dulu.Ayahnya perlu biaya operasi waktu kecelakaan, Nika membantunya. Lalu adiknya ingin kuliah, Nika juga ringan tangan menolongnya.Sudah dikatakan jika berhubungan dengan balas budi, bakal runyam urusannya."Tidak akan! Aku
Derap langkah terdengar rusuh ketika Lea menoleh. Netranya berkaca-kaca melihat Zio berlari ke arahnya, lantas memeluknya. Ada hangat, lega, juga aman saat Zio merengkuh tubuh Lea dalam pelukannya."Maafkan aku." Kalimat itu yang Zio ucapkan begitu dia menemukan suaranya.Lea menggeleng dalam dekapan sang suami. Dia sendiri sudah menitikkan air mata sejak Zio memeluknya. "Apa kamu baik-baik saja?" Zio memeriksa keadaan Lea begitu dia menjauhkan diri dari Lea."Aku baik-baik saja. Jangan cemas. Kamu harus berterima kasih pada mereka. Mereka sudah menjagaku semalaman."Dua petugas mengangguk saat Zio sungguh mengucapkan terima kasih dengan tulus. "Kamu juga harus berterima kasih pada dia."Lea menggeser duduknya. Hingga sosok yang duduk di pojokan sambil menundukkan wajah terlihat."Erna?!" Terkejut Zio dibuatnya.Bagaimana bisa Erna tiba-tiba muncul setelah menghilang sekian lama."Maafkan saya, Tuan. Maaf, Bu." Kata Erna dengan mata memerah."Mbak Erna gak salah. Terima kasih sudah
Dita melotot penuh ketakutan sekaligus syok. Zio, pria itu duduk di hadapannya dengan wajah dingin yang membuat Dita gemetaran sebadan-badan.Perempuan itu menyadari kalau ucapan Nika sama sekali tidak bisa dia percaya. Nika mengatakan kalau Zio tidak akan tahu jika dialah yang melaporkan Lea ke polisi.Ternyata Dita kini sudah dibuat takut tak terkira hanya dengan tatapan suami Lea."Lepaskan aku! Kenapa aku dibawa ke sini? Apa salahku?!" Dita meski ketakutan nyatanya masih berani melawan."Salahmu? Salahmu karena sudah mengusik istriku! Kau akan menerima balasannya, berani sekali kau membantu dia.""Saya hanya membantunya mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya," aku Dita terang-terangan."Mengaku rupanya. Kau sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, jadi sebaiknya kau diam saja!" Hardik Zio.Nyali Dita menciut seketika. Dia seharusnya tahu kalau Zio bukan lawan yang bisa dia hadapi. Bahkan kalau Dita punya kuasa, dia tidak akan menang melawan Zio."Lea mencuri tempatnya, apa
Malam terasa panjang untuk Lea dan Zio. Keduanya sama-sama tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Lea hanya bersandar di dinding yang terasa dingin untuknya.Pun dengan Zio yang terjaga selama posisi matahari digantikan bulan. Setelah enam bulan terpisah, baru kali keduanya tidak melalui malam bersama-sama.Rasanya tentu beda, baik Zio dan Lea merasa ada yang hilang dari sisi masing-masing.Zio baru saja ditinggal Zico, yang langsung menuju kantor polisi begitu tahu masalah yang membelit kakak iparnya. Pemuda baru gede itu dengan menggebu-gebu ingin memberi pelajaran pada Munaroh, tapi Zio mencegahnya."Jika kau ingin membantu, pulang sana temani Arch tidur. Sari bilang tadi dia tantrum tidak melihat mamanya. Kamu tahu sendiri kalau dia tantrum kayak apa.""Kenapa gak suruh bapaknya aja.""Kalau Arch mau mah, aku sudah suruh Miguel bawa dia. Biar sekalian mereka makin dekat."Tanpa diduga, Zico tak banyak protes langsung pamit pulang. Zio sempat dibuat tidak percaya, meski detik s
Tawa terdengar menggelegar di kamar Nika. Perempuan itu terlihat sangat puas. Dia baru kembali dari kantor Dreamcatcher, senang sekali melihat Lea digelandang ke kantor polisi.Sayangnya, niatnya yang ingin sedikit bermain-main dengan Lea gagal total saat Zio terus berada di samping sang wanita. Satu kejadian yang membuat kebahagiaan Nika menguap seketika.Selama dia dan Zio menikah, pria itu memang setia padanya. Tapi act of service-nya tak semanis pada Lea. Dengan Lea, Zio all out menunjukkan perasaannya."Dasar perempuan tidak tahu diri. Lihat saja setelah ini, kau akan menangis darah!"Nika menggeram penuh emosi, dia lantas menghubungi seseorang. "Uangmu sudah kukirim. Sekarang pergilah. Atau Zio akan menemukanmu."Orang di seberang mengulas senyum melihat nominal saldo rekeningnya. Dengan jumlah ini, dia bisa shopping sepuasnya di kota sebelah. Satu kegiatan yang sudah lama tidak dia lakukan.Nika dan orang itu tak akan menyangka kalau Zio tidak semudah itu dikalahkan. Pria itu