"Perang dunia ketiga," celetuk Yuda. Ketika Agra bergegas lari mengejar Irene yang jelas ngambek melihat Monica menyapanya dengan manis.Satu sikap yang tidak akan ditunjukkan jika keduanya tidak memiliki hubungan dekat."Monica siapa sih?" Lea lebih kepo dengan siapa si Monica ini.Yuda lekas mengulik ponselnya lantas menyodorkannya pada Lea. Istri Zio seketika membulatkan mulut. "Ooo artis to. Pantas sek-si. Eh." Lea buru-buru menutup mulut."Seksi-lah kan katanya sambil nyambi jadi simpanan pejabat."Dua kata terakhir diucapkan Yuda sambil berbisik. Takut ada yang dengar lalu jadi gosip."He? Beneran gak tu. Atau cuma rumor gak jelas.""Beneran, soalnya aku sama Agra pernah lihat dia sama si itu main di mobil."Masih sambil berbisik, Yuda menjelaskan. Lea seketika menggelengkan kepala. "Lalu dia kok bisa kenal Agra?" Lea masih melanjutkan rasa penasarannya."Kami pernah ketemu dia di beberapa event, sekedar say hi aja sih," jelas Yuda.Namun Lea tak sepenuhnya percaya. Mengingat
Nika lekas menghubungi seorang teman yang dia kenal cukup tahu tentang dunia malam. Dari pria tersebut, Nika mengetahui kalau yang dikatakan Zio benar semua. Dia rupanya juga ditipu.Saat tahu properti milik Inez akan dijadikan kawasan sekolah, Nika bahkan rela harganya diturunkan dua puluh persen dari harga pasar saat itu.Nika berharap tempat itu akan lebih berguna jika dijadikan tempat pendidikan. Siapa sangka jika tempat itu kini jadi pusat hiburan malam dengan keuntungan berlipat ganda dari harga yang mereka bayarkan padanya."Apa ada cara untuk mendapatkannya kembali? Tanah itu punya orang lain sebenarnya, aku meminjamnya dulu, sekarang aku ingin mengembalikannya."Mustahil sebenarnya jika Nika mampu membeli tempat itu. Mengingat pemiliknya tidak akan mungkin menjualnya lagi. Ditambah tempat itu nilai ekonomisnya sangat tinggi."Susahlah, Ka. Kecuali kau bisa menunjukkan kalau kau ditipu waktu menjualnya."Teman Nika yang seorang agen properti memberi jawaban. Dengan perantara o
"James Liu," gumam Lea tanpa sadar.Apa yang membuat Lea seketika terbengong adalah dia melihat kemiripan antara Zio dan James."Saya bisa bahasa negeri ini, Nyonya. So, tidak perlu pakai bahasa ibu saya."Suara deep James mengembalikan fokus Lea. Kebetulan Sia memanggilnya setelah perempuan tersebut menyatakan keterkejutannya. Saat James mengungkap kalau dia bisa bahasa negara ini."Perkenalkan Azalea Graziela Alkanders. Dia yang akan bekerja sama dengan Anda. Nantinya kalian akan lebih sering berkomunikasi."Sia mengenalkan Lea pada James yang sejenak tercekat pada tampilan rupawan istri Zio. "Pantas saja dia membuang yang lama, yang baru lebih menggoda," batin James dalam hati."Panggil saja Lea, tuan Liu." Lea menyambut uluran tangan James dengan ragu. Seragu perasaannya saat ini. Apa hubungan pria ini dengan Zio, kenapa rupa mereka mirip."Kalau begitu panggil James saja. Biar lebih akrab, tidak perlu sungkan." James balas tersenyum ke arah Sia juha Lea."Wah, mana bisa begitu.
"Apa maksudmu?"Inez segera berdiri ketika seseorang menghubunginya. Wajahnya berubah panik dengan binar resah terlihat di matanya."Kamu bilang dia sudah meninggal."Inez tercengang mendengar jawaban dari ujung sana. Setelah panggilan berakhir, Inez hanya bisa duduk diam tanpa kata. Tatapannya lurus memandang kebun bunga yang masih terawat baik."Mau dihindari bagaimanapun juga, hari itu bakal datang juga," gumam Inez.Kalimat tadi membuat Inez kembali dari pikirannya yang menerawang jauh ke masa lalu.Lamunan Inez buyar ketika Lea menyentuh pundaknya."Lea, kamu sudah pulang?""Apa aku mengagetkan Mama. Maaf ya Ma," kata Lea penuh penyesalan."Tidak kok. Duduk sini, sudah lama kita tidak ngobrol," celetuk Inez memandang wajah cantik sang menantu.Zio tak salah pilih kali ini, ah bukan. Nika tidak salah pilih. Dari sekian banyak kesalahan yang Nika perbuat, satu hal benar Nika lakukan.Keputusannya saat memilih Lea jadi pengganti adalah pilihan yang sangat tepat. Anggap saja Lea adal
Lea melempar ponselnya ke atas kasur. Setelah mengamati sebentar foto yang terkirim ke nomornya. Hanya sebuah foto yang menunjukkan Zio sedang duduk berdua dengan seorang perempuan.Lea mendengus kesal, sebelum mengusap perutnya. Rasa mual mulai terasa. Lea dengan segera menarik nafas lantas menghembuskannya perlahan. Dia lakukan sampai dia tenang dan rasa mual perlahan menghilang.Istri Zio mulai paham kalau bayinya cenderung sensitif jika menyangkut ayahnya. Sedikit tekanan mengenai keadaan Zio akan membuat kandungannya bereaksi."Cowok lagi kayaknya. Sabar ya line perempuan. Keluarga ini seneng betul sama gender yang satu itu," gumam Lea sebelum dia meraih kembali ponselnya.Kali ini Zio yang menghubungi. Mereka melakukan video call untuk beberapa waktu. Sampai satu push notifikasi terlihat di layar ponselnya.Pesan balasan dari nomor yang tak Lea kenal. Lea menduga nomor tadi yang membalas pesannya. Perempuan itu abaikan hal tersebut, dia fokus pada Zio yang menceritakan keseharia
"Dia sengaja mempermainkanku." Zio mengepalkan tangan. Ini sudah ketiga kalinya dia tidak bisa menemui pemilik klub malam yang didirikan di tanah milik Inez. Dylan yang menemui Zio hanya bisa minta maaf. Sang tuan mendadak ada urusan yang tidak bisa diwakilkan."Jadi bagaimana, Tuan?" Zhang yang setia mengikuti Zio bertanya."Kita tunggu sebentar, aku yakin dia ada di dalam sana. Dasar pengecut!" Maki Zio tak sabaran.Zhang mengangguk paham, dia duduk diam dengan jari tetap bekerja. Jangan pikir Zio berada di sini hanya untuk merebut aset sang mama. Tanah Inez tetap jadi prioritas, tapi apa salahnya jika Zio sekalian mencari peluang memperbesar bisnisnya. Guangzhao terkenal sebagai pusat industri kosmetik terlengkap di Cina. Maka Zio tak melewatkan kesempatan untuk sekedar menambah ilmu mengenai bidang ini.Setengah jam menunggu, tak ada tanda-tanda Dylan keluar dari tempat itu. Zio lama-lama darah tinggi dibuatnya. Tanpa keduanya tahu Dylan dan James pergi lewat pintu lain. Pria
"Senang bertemu Anda." Yifan mengulurkan tangan, tapi Zio cuma meletakan tangannya di dada sembari membungkukkan badan sedikit. Sebuah gesture yang menunjukkan kalau dia enggan bersalaman.Yifan menarik tangan, terbersit kecewa di parasnya, tapi Zio tidak peduli. Dia lebih suka mengikuti Mr Chen yang melanjutkan kembali pembicaraan mereka kemarin.Zhang mengangguk santun pada Yifan, lantas mengikuti tuannya. Tak punya pilihan, Yifan pun mengekor langkah tiga pria di depannya. Sesekali menjawab jika Mr Chen atau Zhang bertanya.Selain itu dia akan diam saja. Zio sendiri menganggap Yifan tidak ada. Makhluk tak kasat mata, tidak perlu diajak bicara.Dua jam terasa sangat lama bagi Yifan yang diacuhkan oleh Zio. Perempuan itu keluar lebih dulu. Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan."Maafkan tuan saya. Dia hanya ingin menjaga hati istrinya."Suara itu membuat Yifan menoleh. Zhang, asisten Zio yang super cuek."Dia sudah menikah?" Yifan baru tahu ini."Sudah, karena itu jangan sakit hat
Lea mendorong kasar nafasnya melihat gedung di hadapannya. Bangunan enam lantai yang hampir seratus persen siap. Tinggal pekerja finishing saja yang tampak sedang melakukan pekerjaannya. Dia aslinya malas pergi survey ke kantor James. Dia tahu jelas pandangan James padanya adalah tatapan yang pernah dia dapatkan dari Agra juga Rian dulu.Istri Zio tahu James tertarik padanya. Namun satu alasan yang membuat Lea sudi menginjakkan kaki di tempat ini, adalah keterangan dari Mike jika sang tuan tidak berada di tempat.Pria itu ada di kota asalnya. Jadi Lea bisa bernafas lega, dia tidak perlu bertatap muka dengan James."Silakan, Nyonya dan Nona." Lea berjalan bersama Irene yang sesekali melempar pandang padanya. Gadis itu agaknya juga kurang nyaman berada di sini. Terlebih ketika mereka digiring masuk ke ruangan James."Maaf, jika membuat Anda tidak nyaman. Kami ingin menuruti permintaan Anda untuk berdiskusi di lobi, tapi tempat itu Anda tahu sendiri bagaimana keadaannya." Mike jelas le
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut