"Apa itu?"Lea mendongak saat mendengar suara sang suami. Benar saja, ada Zio yang berjalan masuk ke ruangannya. "Oleh-oleh dari Irene. Ada baju batik couple sekeluarga. Nanti kita pakai buat foto keluarga, boleh?""Tentu saja." Zio mengusap puncak kepala Lea. Hatinya sedikit terusik, dia dan Lea bahkan tak punya foto pernikahan. Perempuan itu juga tak ada dalam foto keluarga besar Alkanders. Sepertinya dia memang perlu mengagendakan hal tersebut.Ada secuil rasa bersalah dalam hati Zio. Banyak orang mungkin sudah tahu kalau Lea istrinya, tapi dia belum pernah mengadakan pesta pernikahan untuk istri keduanya.Sangat tidak adil, mengingat dari sisi finansial, Zio lebih dari mampu untuk menghelat pesta pernikahan. Semewah apapun atau berapa kalipun, Zio mampu membiayainya."Irene sudah balik?" Zio bertanya sambil memperhatikan Lea membereskan meja."Sudah, habis makan siang tadi dia masuk. Kamu sendiri ke sini cuma mau jemput aku?""Ada urusan sebentar tadi sama Arch. Jadi sekalian sa
"Aku kirimkan beberapa contoh konsep yang mungkin dia suka." Zio lekas membuka laptop, saat Lea masih di kamar mandi dengan rutunitas malamnya. Pria itu tampak fokus memperhatikan beberapa foto yang dikirim Arch. "Soal detailnya, nanti aku akan tanya sama Irene. Mungkin istrimu secara spesifik pernah cerita ke Irene, pernikahan impiannya tu kayak apa." Zio manggut-manggut seolah seseorang yang sedang bicara dengannya melalui ponsel bisa melihat tindakannya. "Oke, terima kasih sebelumnya." Setelah berpikir kilat, akhirnya Zio memutuskan akan memberi kejutan untuk Lea. "Sama-sama. Aku ikut senang melihatnya bisa bahagia denganmu. Terima kasih, Zio Alkanders." Sambungan diakhiri meninggalkan Zio yang asyik mengamati beberapa foto yang terpampang di layar benda persegi di hadapannya. Slide demi slide dia amati, tapi matanya yang tidak bisa melihat desain, menilai semua bagus dan cantik. Istrinya pasti suka. "Kamu masih mau kerja?" Zio terkejut, buru-buru menutup laptopnya. "Seben
"Jangan aneh-aneh deh, Do. Kamu gak lagi mabuk kecubung kan?" Puspa melirik sadis sang play boy."Jadi play boy saja. Jangan jadi pebinor juga. Salah-salah bisa dibui kau." Agni menambahkan."Enak saja, dengan mukaku dibikin kayak gini, aku pastikan dia yang masuk penjara," balas Aldo menggebu-gebu.Ingatannya kembali ke rumah Bela beberapa jam sebelumnya. Dia yang meski sempat dihajar Vina, emaknya Bela, tidak kapok juga untuk mengunjungi si bocah imut nan montok.Semontok emaknya. Vina punya body yang membuat Aldo hampir ngeces. Dalam pandangan Aldo, Vina punya tubuh bak gitar Spanyo yang nye-panyol banget. Kagak ada lawan dah, kata Aldo.Walau disertai misuh-misuh, Vina akhirnya mengizinkan Aldo membawa Bela jalan ke minimarket beli es krim. Ditambah Vina yang sedang banyak pekerjaan, tentu lumayan terbantu ketika Aldo membawa Bela.Nah waktu balik dari mini market, Aldo mendengar teriakan dari rumah Vina, diikuti jeritan minta tolong. Tetangga Vina mengatakan mungkin bapak Bela ya
Lea memijat tengkuknya yang mendadak kaku. Tegang mengurusi masalah Aldo yang kekeuh minta dibantu. Dia mau Bela, tapi kalau tidak men-jandakan maknya, tidak mungkin keinginan Aldo tercapai.Untuk memisahkan Vina dan suaminya, akan lumayan susah dan lama, begitu yang tadi Arthur Lauwrence katakan. Lea terpaksa minta saran dari satu-satunya pengacara yang dia tahu.Lawrence memang bukan pengacara perceraian, tapi lelaki itu cukup paham alur yang harus Aldo lalui jika ingin mewujudkan cita-citanya. Dari Lawrence, Aldo mendapat nomor pengacara perceraian yang Lawrence jamin handal.Lea baru saja menginjakkan kaki di kamar, ketika suara Zio menyusul dari arah belakang. Pria itu tampaknya juga baru datang."Apa maksud Lawrence kau mencari pengacara perceraian?" Tuding Zio tanpa bahas sana bahas sini.Lea lumayan terkejut mendengar pertanyaan Zio yang terkesan menyudutkannya."Apa maksudmu?" Balas Lea tak paham."Kamu mau cerai dari aku? Jangan mimpi!"Bola mata Lea melebar mendengar ucapan
"Bener enggak selingkuh?""Suer, enggak kenal yang namanya selingkuh. Kenalnya se ...."Lea mendorong jauh dada Zio ketika lelaki itu membisikkan area tempat dia mendapatkan kenikmatan."Siapa tahu kenal di tempat lain." Bibir Lea tetap cemberut meski suaminya sudah menunjukkan bukti kalau dia dan Arch murni membicarakan bisnis. "Enggak, milikmu saja sudah bikin aku ketagihan, bikin keliyengan saking enaknya. Lagian apa untungnya selingkuh. Anunya sebentar, gak bakal bisa dinikmati. Belum lagi kucing-kucingan sama istri. Asli lebih mumet dari nahan si otong gak bisa meledak."Lea melompat turun dari pangkuan Zio. Perempuan itu mengenakan kemeja Zio, seperti biasa. Dia berjalan menjauh membuat Zio gemas ingin kembali menerkam sang istri.Hembusan napas lega terdengar, ketika Lea menghilang di balik pintu kamar mandi. Zio lekas mengirim pesan pada Arch yang hanya dibalas emot tertawa berjajar. "Sialan! Dia malah ketawa!"Zio mengumpat, dia cukup beruntung, Lea langsung percaya saat di
"Da, bisa gak kamu jemput bebek sawahku. Dia aku tinggal di parkiran."Yuda mengerutkan dahi, bebek sawah lagi. "Bebek sawah ki sopo?""Alah lupa, namanya Irene.""Pacarmu?""On going jadi istri. Future wife."Yuda jelas menganga, sejak kapan Agra serius soal perempuan. Yang dia tahu atasannya sudah lama jomblo. Yuda tak tahu hubungan Agra dan Nika. Toh memang itu yang dia inginkan. Tidak ada yang mengetahui dia dan Nika pernah berselingkuh."Malah diam aja. Buruan jemput sana.""Kamu gimana sih, suruh jemput orang tapi wajahnya aku gak dikasih lihat. Bisa-bisa satpam yang kutarik ke sini.""Idih amit-amit. Satpamnya kek gitu."Agra menyodorkan ponselnya, hingga Yuda bisa melihat sosok bebek sawah kesayangan bosnya."Cantik gini kamu panggil bebek sawah. Jahat kamu.""Dia belum tahu aja makhluk cantik itu kalau ngomel begimana."Yuda sontak nyengir. Yang terbayang adalah sosok emaknya tercinta yang sedang menggerutu kalau dia lupa bawa pulang tupperware tempat makan siangnya. Padahal
"Halo cantik, kenalin Yuda. Asisten calon suamimu yang ....""Ehem."Yuda menarik lagi tangannya, urung mengajak salaman Irene. Pria itu memandang jahil pada Agra yang sedang memanahkan tatapan maut padanya."Kubejek kau berani godain dia," ancam Agra."Godain sama ngajakin kenalan itu beda ya, Pak. Mohon jangan galak-galak amat."Irene memejamkan mata melihat Yuda dan Agra sibuk berdebat. Ternyata mereka sama saja kalau bertemu kaumnya. Tidak Zio dan Arch, Zio kalau ketemu Egi plus Han, kacau ujung-ujungnya.Tapi satu yang pasti circle ini tidak akan bisa bertemu circle itu. Sebab Zio sudah memberikan batasannya dengan sangat jelas. Kalau Agra dan dia tidak bisa berada di satu meja, duduk saling bicara. Helaan napas terdengar membuat Agra dan Yuda menoleh. "Kenapa?" Agra bertanya heran."Pengen gampar orang," balas Irene asal."Siapa suruh tadi si meme itu gak kau hajar. Sejak kapan kamu bisa akting jadi wanita teraniaya begitu." Ledek Agra, beralih mengamati Irene dengan kompres es
Lea jelas yang paling syok ketika diberitahu pasal insiden yang terjadi antara Abian, Kelvin dan Angel. Zio tak punya pilihan selain bercerita pada sang istri. Bagaimanapun mereka perlu sosok perempuan untuk membantu Angel menenangkan diri."Bagaimana ceritanya?" Perempuan itu mencecar dua pemuda yang hanya bisa menunduk di depannya.Tidak ada yang menjawab. Lea serta merta frustrasi dibuatnya. Di kamar tamu apartemennya ada Angel yang sejak tadi menangis. Gadis itu belum bisa ditanyai, tapi yang jelas Kelvin baru saja menidurinya, itu intinya."Jawab!" Emosi akhirnya menguasai Lea."Maaf," lirih Abian."Kamu gak salah kok. Aku yang dapat, jadi aku yang akan tanggung jawab," serobot Kelvin. Paras pria tersebut datar, yang tersisa hanya binar sesal di mata coklatnya. "Masalahnya kalau dia mau. Sebagai korban dia berhak menolak," Zico membalas ucapan Kelvin."Terus elu yang mau tanggung jawab? Gitu? Gak kan?" Bentak Kelvin."Tunggu dulu, sebenarnya ceritanya bagaimana? Bagaimana bisa
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut