Suara langkah kaki mendekat, membuat semua orang berhenti bicara."Oh, maaf jika saya mengganggu acara kalian." Suara itu terdengar lembut tapi tegas. Setelahnya perempuan tersebut menjauh dari ruangan tadi. Tahu kalau kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Di belakangnya derap langkah lain mengikuti."Kamu tahu kan acara hari ini apa? Kamu sengaja ingin mengacaukannya?"Lea, nama perempuan tadi berbalik arah saat tangannya di cekal. Dia tampak memandang pria yang berdiri di depannya, padahal sejatinya dia tidak bisa melihat."Aku pulang apa itu salah, Mas Rian?" "Sudah bilang kalau aku akan menikah dengan Vika.""Kalau begitu ceraikan aku, Mas! Agar aku bisa pergi dari sini!""Aku akan melakukannya jika ayah mengizinkannya!""Sayang, kamu ngapain?" Suara lain terdengar. Lea dengan segera menepis cekalan tangan suaminya. Perempuan itu menjauh pergi, langkahnya tenang meski dia tidak bisa melihat. Wanita barusan, Lea membencinya. Dia musuh dalam selimut yang baru dia sadari belak
Azalea Graziela, nama wanita itu, langkahnya begitu tenang saat memasuki sebuah kafe tak jauh dari tokonya. Tak ada raut malu saat dia harus menggunakan tongkat penyelidik untuk membantunya menemukan jalan.Kecelakaan dua tahun lalu membuat Lea total kehilangan penglihatannya. Toko bunga yang dia bangun bersama sang ayah hancur karena sebuah mobil menabraknya. Ayahnya meninggal saat itu juga, sementara dirinya mengalami kebutaan setelah kornea mata miliknya dihujani pecahan kaca, saat dia terlambat memejamkan mata. Karena peristiwa itulah Rian terpaksa menikahinya, untuk menebus kesalahannya. Tak berapa Lea sudah duduk di depan seorang wanita yang parasnya masih menyisakan kecantikan meski pias mendominasi."Halo, Lea," sapa perempuan itu lebih dulu."Halo, Nyonya. Maaf menunggu lama," balas Lea sambil tersenyum. "Tawaranku masih berlaku, apa kamu berubah pikiran?""Kenapa Nyonya mau saya melakukannya? Saya tidak kenal Nyonya, selain sebagai pelanggan toko bunga saya."Kemarin Lea
Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea."Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit."Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar. "Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara."Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat." Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi."Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja."Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya."Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya.""Kasihan?" kutip pria bernama Zio."Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan.Zio memalingkan wajah, tidak mau
Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap."Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia."Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan. Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya."Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian.Ditambah peng
Lea sempat terkejut mendengar ucapan pria yang tak lain adalah Rian. Bukannya hari itu lelaki tersebut yang bersikukuh ingin berpisah dengannya. Kenapa sekarang Rian mengubah keputusannya?Apa ada rencana lain yang sedang Rian jalankan. Apa ayah mertuanya tidak jadi mewariskan rumah sakit miliknya jika Rian bercerai dengannya. Sebab alasan itulah yang dipakai papa Rian untuk memaksa sang putra menikahi Lea waktu itu selain untuk menebus kesalahannya. Rian tentu tak punya pilihan lain selain menurut, atau rumah sakit itu akan dikelola yayasan. Sudah pasti Rian tidak mau itu terjadi.Namun Lea sudah muak dengan semua yang dia dapatkan dua tahun ini. Cukup sudah, hatinya telah mati rasa. Suami yang tidak pernah menghargainya, teman yang hanya menusuknya dari belakang. Keluarga yang sama sekali acuh padanya.Tidak! Lea tidak mau kembali ke sama. Karena itu jawaban Lea berikutnya membuat Rian terkejut. Rian pikir Lea tipe yang mudah dibujuk, dibaik-baikin sedikit langsung luluh hatinya."
Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai. "Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri."Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian.Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota."Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan
Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang. Lea hanya diam, pun dengan Zio. Pria itu yang membuatnya gagal naik taksi. Walau insiden tak menyenangkan sempat terjadi, ketika Rian protes saat Zio akan mengantar Lea pulang.Dua pria itu sempat berdebat, Rian lebih banyak mengoceh dibanding Zio yang lebih tenang. Rian masih sibuk bicara waktu Lea dengan santai meninggalkan dua pria yang sontak terkejut. Tidak menyangka kalau Lea akan mengabaikan mereka.Dasar si tukang paksa. Tanpa banyak kata, Zio menarik tangan Lea lantas memasukkannya ke dalam mobil, untuk kemudian melaju pergi dari tempat itu. Meninggalkan Rian yang hanya bisa mengepalkan tangan, dia kalah lagi dari Zio."Akan ada yang menjagamu dari luar."Hanya itu yang Zio katakan sebelum Lea keluar dari mobil. Lea hanya mengangguk, sungguh perempuan yang tidak banyak protes, tapi Lea punya potensi untuk memberontak yang sangat kentara. Lea berjalan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Langsung menuju ke kamarnya. Seorang ART
Irene berseru heboh, membuat emak dan kakaknya protes. Bagaimana Irene tidak ribut melihat scene seorang Agra Atharva myemplung ke tanah berlumpur, alias sawah untuk ikut menanam padi."Woi, sini! Apa-apaan kamu!" Teriak Irene panik.Bisa gempar dunia persilatan eh perbisnisan kalau mereka tahu, CEO Atharva Grup dibuli calon mertuanya. Eh, pede sekali Irene menyebut bapaknya camer Agra.Dia kan belum setuju menikah dengan pria itu. Lagian itu burung hantu kenapa juga pagi-pagi sudah dimari. Ngebet amat kelihatannya.Yang diteriaki justru melambaikan tangannya yang kotor terkena lumpur. Celana Agra digulung sampai dengkul, dengan kaos oblong yang so pasti harga jutaan terkena lumpur di sana sini. Plus keringat mulai membasahi. Seksi sih, tapi ehem. Itu dada bidang sama perut kotak-kotak tampak menyembul malu-malu. Bikin mata dapat vitamin saja.Kulit putih Agra kontras dengan warna eksotis kulit bapak Irene. Satu yang terlihat, Agra tampak happy ketika diajak menanam padi. Pria itu ma
"Malam, semua," sapa Zico ceria."Ehem, ada apa ini. Happy amat kayaknya," ledek sang mama."Gak ada apa-apa. B aja.""Dapat pacar kali, Ma." Zio tumben ikut nimbrung menggoda sang adik. Lea sendiri hanya mengulum senyum, dia lebih fokus memperhatikan Arch yang sedang belajar memotong steak."Pacar, cewek. Perempuan mulu yang disinggung. Jadi pengen balik jadi biji melinjo aja. Dewasa ternyata tidak semenyenangkan itu." Kata Zico seraya melirik Arch yang langsung mengacungkan pisau pemotong daging steak-nya. Lea buru-buru memperingatkan Arch sekaligus menjelaskan kalau tindakannya tidaklah benar."Baru tahu dia!" Zio menggetarkan tawa melihat wajah muram sang adik."Tapi apa iya kamu mau balik jadi Arch? Nanti kamu gak bisa lakuin apa yang kamu mau. Terperangkap di tubuh kecil itu susah lo."Zico kembali memperhatikan Arch yang berusaha mempelajari menggunakan alat makan dengan baik dan benar. Jadi dewasa itu sudah jalan hidup tiap orang, tapi bagaimana seseorang menggunakan kedewasa
"Oh oke, aku paham. Bye Yuda." Agra abaikan umpatan sang asisten di seberang. Pria itu nekad melanggar aturan Yuda yang kudu stand by sampai besok di kantor.Agra berbalik menghadap Irene yang memandangnya tajam, lalu pada Lendra yang setia menunduk. Lantas beralih pada beberapa barang yang menumpung di atas meja."Kok bisa telepon?" Irene pandang paras Agra yang sudah kembali mulus. Hebat sekali skin care pria itu, sempurna menutup bekas luka juga lebam di wajah."Bisalah, emang hapemu. Itu apa?"Irene mendengus kesal mendengar ledekan Agra. Setelahnya pandangan Irene berubah bingung ketika Agra bertanya pasal barang yang Lendra."Kayak barang hantaran? Dia ngelamar kamu?" Telunjuk Agra terarah pada Lendra yang langsung pias."Maunya begitu, tapi aku tolak.""Bagus, dan kau jangan pernah mimpi buat nikahin dia. Dia ini bebek sawah kesayangan aku."Lendra kali ini memberanikan diri memandang Agra. "Tapi, Pak ....""Kok dia manggil kamu bapak, dia anakmu. Aduhh, sakit burhan!"Irene m
"Wehh, aku bukan papamu, manis. Orang tuamu mana?" Aldo manut saja ketika si bocil minta gendong padanya. Lelaki itu celingak celinguk, menoleh kiri dan kanan. Mencari orang tua si bocah. "Ibu lagi terima barang, jadi Bela main sendiri." "Anak cantik namanya Bela, rumahnya mana. Tak anter pulang." Jari mungil Bela menunjuk sebuah rumah bercat pink tak jauh dari Aldo berdiri. Menyeberang jalan itu, berarti masuk perumahan kelas menengah. "Walau lagi kerja, harusnya orang tuamu kudu tetap jagain kamu. Gak boleh main di jalan sendirian." "Balon, Pa." "Om bukan papamu. Emang papamu mana?" "Ndak punya." "Hush, kamu pasti punya papa. Gak mungkin kamu nongol kalau gak ada papa." "Tapi di rumah adanya Ibu doang. Ndak ada mama, papa juga ndak ada." Aldo mengerutkan dahi. Ibu? Mungkinkah Bela memanggil mamanya dengan sebutan ibu. Oke, dia paham sedikit sekarang. "Papamu kerja? Pulangnya malam?" "Ndak pernah pulang." Bang toyib nih bapaknya bocah. Sayang sekali anak
"Apa yang kau lakukan di sini? Kehabisan stok perempuan?" Lea bertanya dengan punggung tegak sambil melipat tangan.Memandang lelaki yang berdiri di depannya. Aldo Rivaldi, mantan tunangan Rina secara mengejutkan muncul di depan Lea dan yang lainnya."Bosan Nya, tidak ada yang digodain." Aldo mengedipkan sebelah mata sebelum ikut duduk di depan Lea, tanpa menunggu persetujuan pemilik tempat."Ke mana semua buntut yang biasa ngekorin kamu?" Puspa bertanya sinis. Mereka bertiga tentu tak lupa bagaimana kelakuan Aldo yang play boy tak tertolong. "Sudah kubilang aku bosan. Coba yang kukencani satu dari kalian bertiga. Pasti seru dan aku tidak akan pernah bosan, aduhh. Galak bener sih."Aldo meringis saat tiga kaki serentak menendangnya di bawah meja. "Kau tahu siapa yang sedang kau goda. Dia Nyonya Abimana, dia Nyonya Alkanders. Kau ganggu mereka, siap-siap kau gulung tikar," Puspa memberi info."Kalau begitu kau saja.""Kau ingin Yohan Aditya melubangi kepalamu. Berani sekali kau meng
Irene memandang sadis pada Jono, sang kakak ipar yang baru saja menoyor kepalanya. "Gak usah nyolot kalau yang kukatakan benar!""Jangan mulai ribut!" Bapak memberi peringatan."Dia yang mulai, Pak." Jono membela diri."Aku gak mulai ya. Aku cuma nerusin!" Irene mana pernah mau mengalah, apalagi sama Jono, kakak ipar yang ia nilai tak worth it sama sekali."Kayak dia bakal punya lakik jutawan aja. Kalau kau nikah sama Lendra sama aja punya suami kuli, kerja sama orang lain."Irene melipat tangan, menatap sinis Jumiana. "Kuli pun bayaranya jutaan, setidaknya aku masih bisa jalan sama belanja.""Kalau begitu nikah saja sana. Biar mulutmu gak pedes amat waktu ngomongin orang.""Yang kukatakan fakta, Mbak Jum. Bukan rekayasa!" Irene membalas manis cibiran sang kakak."Pantas saja umur segitu belum nikah, mulut kayak petasan injak gitu." Jono masih punya muka makan jajan pasar di atas meja. Hasil Irene berburu ke pasar pagi. Benar-benar tak punya malu. Lelaki itu sudah tidak bekerja, tida
Lea menghentakkan kakinya kesal seraya menatap tajam pada Heri. "Dia minta tolong padaku, ingin dipertemukan denganmu. Dia bilang ingin minta maaf. Aku lihat dia sungguh-sungguh menyesal." Heri coba menjelaskan situasinya. Tentu setelah Agra pergi dari ruangan Heri. Lelaki itu berusaha bersikap senetral mungkin. Tidak ingin memihak atau menyalahkan sang teman. "Aku memang marah padanya, muak kalau lihat mukanya. Tapi aku lebih cemas sama Irene. Bagaimana kalau si brengsek itu cuma mau mempermainkan Irene saja. Ndak terima aku." "Aku pikir kali ini seorang Agra Atharva sudah ketemu batu sandungannya." "Maksudnya?" "Ya, dia kapok. Sudah menemukan apa yang dia mau, dia inginkan. Dengan kata lain, Agra sudah bertemu tipe yang klop dengan angannya." Lea terdiam mencerna ucapan Heri. "Dia kan yang namanya Irenewati. Terus ini kamu sama Nika. Lihat, kalau digabung." Lea membulatkan mata memandang simulasi andai wajahnya dan Nika dijadikan satu. "Lah bisa mirip gitu," Lea tercengan
Bola mata Agra melebar melihat layar ponsel keesokan harinya. Pria itu lekas menekan icon telepon guna menghubungi nomor yang baru saja membuka blokirannya."Bek, angkat teleponnya, Bek."Di ujung sana, seorang anak sedang bermain dengan ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja. Si empunya telepon sedang main ke sawah."Halo, iki sopo?" Agra mengerutkan dahi. Kok bukan Irene yang mengangkat teleponnya. Malah suara laki-laki dengan logat jawa kental plus suara putus-putus yang membalas sapaannya."Halo, yang punya telepon mana? Ini siapa?"Agra sedikit paham bahasa Jawa. Sebab Yuda sering menggunakannya di kantor."Lah malah balik nanya. Yang punya telepon lagi main."Ha? Main? Main apa? Bukannya berpikir positif, otak dua satu plus Agra justru mengambil alih."Main sama siapa?""Sama bapaknya."What? Agra makin nethink dibuatnya. Saat pria itu masih menerka-nerka jenis permainan apa yang bisa dimainkan bersama 'bapaknya'. Satu suara terdengar dari arah belakang."Febri! Kau ap
Alamak! Ingin rasanya Irene berbalik lalu kabur, andai tak ingat wajah mamak dan bapaknya. Sudah dua tahun dia tidak pulang, sejak lulus kuliah lalu bekerja di Dreamcatcher.Rindu sekali dia pada mamaknya. Tapi kenapa sekalinya pulang, dia justru berhadapan dengan orang yang sangat ingin dia hindari."Senang bertemu denganmu, Ren. Bagaimana kabarmu? Kebetulan sekali aku juga sedang pulang. Bagus sekali kita bisa bertemu."Seorang pria berparas cindo, menyapa Irene yang seketika salah tingkah."Ngapain datang? Mau nagih utang? Aku bayar." Tanya Irene tanpa basa basi.Dia bukan Irene yang tidak punya uang macam dulu. Hingga untuk kuliah keluarganya terpaksa berhutang pada keluarga pria di depannya."Bukan begitu maksud kami. Sebenarnya ...."Lelaki di depan Irene tampak bingung. Dia menoleh ke arah sang ibu yang langsung menjelaskan."Sebenarnya kami ke sini untuk melamar. Utang itu dianggap tidak pernah ada kalau kalian menikah. Itung-itung kami biayai calon istri Lendra."Bola mata Ir