Ekor mata Zico tak lepas mengikuti seluruh gerak gerik gadis bergaun baby blue. Raisa, perempuan itu ikut ke manapun Agra, sang kakak berjalan. Menyapa beberapa pengusaha yang dia kenal, berbasa basi, sekedar membahas bisnis dan hal receh lainnya.Jelas sekali jika Raisa tak nyaman dengan situasi di sekitarnya. Zico tahu jelas kalau Raisa tak suka mengenakan heels. Ditambah outfit yang memang bukan gaya Raisa. Tanpa Zico tahu, Agra pun tak jauh beda. Diam-diam mencuri pandang ke arah Lea yang asyik mengobrol dengan istri pebisnis lainnya. Mereka terlihat asyik, bicara sambil menjaga anak masing-masing.Pesta malam itu memang berkonsep family gathering. Jadi tiap undangan bisa membawa anggota keluarga termasuk anak-anak. Di sana memang disediakan satu spot khusus untuk anak-anak.Bahkan di sudut hall ada beberapa wahana permainan yang tentu saja membuat para bocil sultan itu lekas ingin bermain."Manis sekali, belum ada rencana nambah anak lagi, Jeng?" Tanya seorang nyonya dengan gaun
"Rian, tunggu! Jadi benar kau masih punya rasa sama mantan istrimu itu!"Vika berteriak mengejar sang suami yang berjalan keluar lebih dulu meninggalkan ruangan pesta. Rian dan Vika sudah resmi menikah beberapa waktu lalu. Zio sebagai atasan Rina memang diundang, tapi lelaki itu memilih tidak pergi. Zio cukup menghargai perasaan Lea.Rian sendiri bukannya masih punya rasa pada Lea. Tapi justru rasa itu tumbuh setelah mereka berpisah. Bagaimana perempuan itu bertahan dalam dua tahun pernikahan macam neraka yang Rian ciptakan, membuat hati lelaki itu tersentuh.Ditambah setelah bercerai dengannya, Lea langsung dinikahi oleh Zio Alkanders. Pria yang notabene lebih wow dari Rian.Di tangan Zio, Lea berubah jadi seorang wanita cantik juga mempesona. Lelaki itu juga menyempurnakan penglihatan Lea. Hingga sang istri bisa menunjukkan bagaimana indahnya netra hazel itu saat melihat dunia.Kenapa bukan dia yang melakukan semua hal tadi? Kenapa?! Rian mengepalkan tangan. Lama-lama kupingnya pana
"Lea ampuni kami! Kami tidak sengaja hari itu!" Rian memohon dengan wajah memelas. "Ingatlah dua tahun pernikahan kita ...." "Apa yang harus aku ingat. Kalian memenjarakanku dalam kegelapan. Kau lebih dari sekedar mampu untuk membuatku bisa melihat lagi, tapi kau tidak melakukannya. Kau! Kalian sengaja agar aku tidak bisa melawan!" Zio mendekap erat tubuh Lea yang gemetar menahan emosi. "Lea, tolong," pinta Vika. Raut wajahnya gelisah, bingung, juga panik. "Tolong katamu? Aku bahkan tidak tahu di mana bapakku dikuburkan, jika bukan mereka yang mencarikannya untukku. Kalian kejam, kalian makamkan bapakku di tempat yang jauh." "Stop, Lea. Jangan sia-siakan kata-katamu untuk mereka yang tidak layak mendapatkan belas kasihmu. Mari kita pulang." Zio membawa Lea pergi, dengan Zico mengikuti. Netra Zico masih sempat memandang Raisa yang mimik wajahnya tak terbaca, tapi ekspresi tak percaya tampak mendominasi di sana. Vika dan Rian tidak tahu harus bagaimana. Mereka hanya bisa melihat
Zio masuk ke dalam kamar, nyaris tengah malam. Banyak hal yang harus dibereskan agar proses hukum Vika dan Rian bisa segera ditindaklanjuti. Lelaki itu mendapati sang istri duduk menyamping di sofa bed kesayangannya.Ingat dirinya kotor, Zio pergi lebih dulu ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya lantas berganti pakaian. Hingga dia kembali lagi untuk merengkuh tubuh Lea.Perempuan itu tak melawan, Lea hanya terisak lirih. Dia teringat saat Zio membawanya mengunjungi makam sang bapak beberapa waktu lalu. Saat itu dia tak berpikir kenapa makam bapaknya jauh dari tempat tinggal mereka dulu.Kini Lea paham, Rian dan Vika sengaja melakukannya. Mereka tak ingin dia tahu yang sesungguhnya. Tapi sekuat apapun mereka menyembunyikan kebusukan, suatu hari akan tercium juga.Hari ini, Lea mengetahui kebenaran kecelakaan itu, bukan dari mulut orang lain tapi dari pengakuan Vika sendiri. Sungguh, Lea ingin sekali kalap, lalu membalas perbuatan Vika dan Rian.Mereka tidak hanya membuatnya kehilangan
"Maaf, Saudara Dharian Mahendra dan Saudari Ravika Atharva, ditangkap atas kecelakaan yang menimpa Saudara Haris Graziela dan Saudari Azalea Graziela hingga Saudara Haris Graziela meninggal di tempat."Rina yang setengah syok langsung merebut surat perintah penangkapan sang kakak dari tangan petugas. Bola mata Rina melebar membaca lembaran kertas tadi. Tak pernah dia sangka kalau Lea akan punya keberanian melaporkan hal ini ke pihak yang berwajib.Sementara itu, Rian hanya pasrah saat digelandang masuk ke luar rumah, sedang Vika meraung histeris, dia berteriak sambil menangis macam orang frustrasi."Apa kubilang, kita seharusnya lari semalam, bukannya pulang. Kau lihat kan mantan istrimu tega membuat kita mendekam di penjara. Kita tidak salah, mereka saja yang salah berada di sana!"Rian menggelengkan kepala, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lelaki tersebut hanya bisa meminta maaf pada sang ayah dan ibunya yang sedetik kemudian ikut histeris.Dita menjerit kalau anak dan me
Lea yang sempat terpuruk selama beberapa hari, setelah tahu fakta tentang kecelakaan yang menyebabkan dia buta dan sang ayah meninggal, kini mulai pulih.Perempuan itu hanya cuti dua hari, selebihnya Lea memaksakan diri bekerja. Katanya, pikirannya harus dialihkan, jika tidak dia hanya akan melulu memikirkan hari itu.Kemarin Zio sempat membawa Lea mengunjungi makan ayah dan ibunya yang jaraknya lumayan jauh. Dalam kesempatan itu, Zio memberi usul bagaimana jika makam dua orang tua disatukan, agar lebih mudah dikunjungi. Lea setuju saja dengan ide Zio, toh dia punya uang untuk melakukan hal itu.Selain ke makam orang tuanya, Lea juga diajak berkunjung ke makam ayah mertuanya sekaligus kuburan Nika.Hari ini pikiran Lea terasa lebih tenang. Dia sudah kembali bisa mengurusi Arch yang katanya beberapa hari manyun sebab yang meng-handlenya Zico.Bocah itu protes, "Kenapa harus si Om sih yang ngurusin aku!"Dan Zico dengan tengil menjawab, "Laki harus sama laki. Emang kamu mau biji melinj
Lea urung pergi kerja hari itu, dia memilih work from home setelah Irene mengirimkan semua file dari klien yang harus dia handle. Wanita itu mulai melakukan pembicaraan awal dengan klien, sebelum mereka memutuskan untuk bertatap muka. Saat sebagian klien sudah sepakat membuat janji temu dengannya. Pikiran Lea mulai dibayangi adegan Dani yang rela berlutut untuk memohon maaf demi anak dan menantunya. Pria itu baik, berhati lembut. Sejak dulu memang begitu. Hanya saja dia selalu kalah dengan dominasi Dita. Terus terang, Lea tak bisa mengabaikan permintaan Dani. Ayah Rian bahkan berujar dia rela melakukan apapun untuk menebus kesalahan Rian. Apapun. Helaan napas terdengar dari arah Lea. Awalnya dia kekeuh ingin mempertahankan watak antagonis yang tengah ia dalami, tapi ternyata sisi baik hatinya meronta tidak terima. "Pikirkan apa yang telah orang tua itu lakukan saat semua orang menyakitimu. Dia diam-diam datang padamu, menggenggam erat tanganmu seraya berucap, "Kamu harus kuat
Lea hanya tersenyum melihat Rina mengancamnya dengan sebilah pisau berada di lehernya. Dipandangnya paras Rina yang memerah menahan amarah. "Bunuh saja aku. Aku tidak takut mati!" Lea justru menantang Rina yang langsung menggertakkan gigi. "Kau pikir aku tidak berani melukai atau bahkan membunuhmu?" Rina kian kuat mencekal Lea, membuat ruang gerak istri Zio makin sulit. "Kalau kau siap dengan konsekuensinya," cibir Lea. Sikapnya sangat tenang menghadapi emosi Rina yang meluap-luap. Lea memejamkan mata tak berdaya ketika dinginnya ujung pisau tajam tersebut menekan kulitnya makin dalam. Rina benar-benar bisa melewati ambang kesabaran. "Dengar Nyonya Alkanders yang terhormat. Aku tidak takut masuk penjara. Aku akan sangat puas jika aku bisa dibui karena melenyapkanmu." "Dendammu besar sekali padaku. Padahal harusnya aku yang benci kau setengah mati." "Diam!" Lea meringis, saat perih menyayat lehernya bersamaan dengan teriakan dari arah belakang Rina, disusul kelegaan menyapa Lea.
"Apa itu?"Lea mendongak saat mendengar suara sang suami. Benar saja, ada Zio yang berjalan masuk ke ruangannya. "Oleh-oleh dari Irene. Ada baju batik couple sekeluarga. Nanti kita pakai buat foto keluarga, boleh?""Tentu saja." Zio mengusap puncak kepala Lea. Hatinya sedikit terusik, dia dan Lea bahkan tak punya foto pernikahan. Perempuan itu juga tak ada dalam foto keluarga besar Alkanders. Sepertinya dia memang perlu mengagendakan hal tersebut.Ada secuil rasa bersalah dalam hati Zio. Banyak orang mungkin sudah tahu kalau Lea istrinya, tapi dia belum pernah mengadakan pesta pernikahan untuk istri keduanya.Sangat tidak adil, mengingat dari sisi finansial, Zio lebih dari mampu untuk menghelat pesta pernikahan. Semewah apapun atau berapa kalipun, Zio mampu membiayainya."Irene sudah balik?" Zio bertanya sambil memperhatikan Lea membereskan meja."Sudah, habis makan siang tadi dia masuk. Kamu sendiri ke sini cuma mau jemput aku?""Ada urusan sebentar tadi sama Arch. Jadi sekalian sa
"Loh, kok sudah balik. Aku pikir masih lama pulangnya."Lea terkejut mendapati Irene sudah duduk manis di mejanya, tepat ketika dia kembali dari makan siang sekaligus bertemu klien."Duit abis, Bu. Buat bayar utang. Jadi kudu cepet balik kerja," aku Irene tak bohong sambil nyengir.Datang dengan kereta paling pagi, Irene kembali ke ibu kota. Tentu setelah pamit pada emak dan bapaknya. Irene sempat diceramahi sang bapak panjang lebar. Pria sepuh itu intinya mendukung hubungannya dengan Agra. Dalam pandangannya, Agra pria baik. Irene seketika ingat dengan percakapannya dengan sang bapak."Katamu dia CEO, tapi masih mau cium tangan bapak sama mamak. Manut saja ketika bapak minta tolong buat bantuin tanam padi. Kalau dia bukan pria baik, dia akan menolak.""Itu cuma modus, Pak.""Bahkan kalau cuma modus pun, bapak akan tetap terima dia. Tidak banyak pria yang mau modusin calon mertuanya. Kebanyakan lakik suka modusin ceweknya. Betul tidak?""Kalau dia tidak sebaik kelihatannya bagaimana?
Irene berseru heboh, membuat emak dan kakaknya protes. Bagaimana Irene tidak ribut melihat scene seorang Agra Atharva myemplung ke tanah berlumpur, alias sawah untuk ikut menanam padi."Woi, sini! Apa-apaan kamu!" Teriak Irene panik.Bisa gempar dunia persilatan eh perbisnisan kalau mereka tahu, CEO Atharva Grup dibuli calon mertuanya. Eh, pede sekali Irene menyebut bapaknya camer Agra.Dia kan belum setuju menikah dengan pria itu. Lagian itu burung hantu kenapa juga pagi-pagi sudah dimari. Ngebet amat kelihatannya.Yang diteriaki justru melambaikan tangannya yang kotor terkena lumpur. Celana Agra digulung sampai dengkul, dengan kaos oblong yang so pasti harga jutaan terkena lumpur di sana sini. Plus keringat mulai membasahi. Seksi sih, tapi ehem. Itu dada bidang sama perut kotak-kotak tampak menyembul malu-malu. Bikin mata dapat vitamin saja.Kulit putih Agra kontras dengan warna eksotis kulit bapak Irene. Satu yang terlihat, Agra tampak happy ketika diajak menanam padi. Pria itu ma
"Malam, semua," sapa Zico ceria."Ehem, ada apa ini. Happy amat kayaknya," ledek sang mama."Gak ada apa-apa. B aja.""Dapat pacar kali, Ma." Zio tumben ikut nimbrung menggoda sang adik. Lea sendiri hanya mengulum senyum, dia lebih fokus memperhatikan Arch yang sedang belajar memotong steak."Pacar, cewek. Perempuan mulu yang disinggung. Jadi pengen balik jadi biji melinjo aja. Dewasa ternyata tidak semenyenangkan itu." Kata Zico seraya melirik Arch yang langsung mengacungkan pisau pemotong daging steak-nya. Lea buru-buru memperingatkan Arch sekaligus menjelaskan kalau tindakannya tidaklah benar."Baru tahu dia!" Zio menggetarkan tawa melihat wajah muram sang adik."Tapi apa iya kamu mau balik jadi Arch? Nanti kamu gak bisa lakuin apa yang kamu mau. Terperangkap di tubuh kecil itu susah lo."Zico kembali memperhatikan Arch yang berusaha mempelajari menggunakan alat makan dengan baik dan benar. Jadi dewasa itu sudah jalan hidup tiap orang, tapi bagaimana seseorang menggunakan kedewasa
"Oh oke, aku paham. Bye Yuda." Agra abaikan umpatan sang asisten di seberang. Pria itu nekad melanggar aturan Yuda yang kudu stand by sampai besok di kantor.Agra berbalik menghadap Irene yang memandangnya tajam, lalu pada Lendra yang setia menunduk. Lantas beralih pada beberapa barang yang menumpung di atas meja."Kok bisa telepon?" Irene pandang paras Agra yang sudah kembali mulus. Hebat sekali skin care pria itu, sempurna menutup bekas luka juga lebam di wajah."Bisalah, emang hapemu. Itu apa?"Irene mendengus kesal mendengar ledekan Agra. Setelahnya pandangan Irene berubah bingung ketika Agra bertanya pasal barang yang Lendra."Kayak barang hantaran? Dia ngelamar kamu?" Telunjuk Agra terarah pada Lendra yang langsung pias."Maunya begitu, tapi aku tolak.""Bagus, dan kau jangan pernah mimpi buat nikahin dia. Dia ini bebek sawah kesayangan aku."Lendra kali ini memberanikan diri memandang Agra. "Tapi, Pak ....""Kok dia manggil kamu bapak, dia anakmu. Aduhh, sakit burhan!"Irene m
"Wehh, aku bukan papamu, manis. Orang tuamu mana?" Aldo manut saja ketika si bocil minta gendong padanya. Lelaki itu celingak celinguk, menoleh kiri dan kanan. Mencari orang tua si bocah. "Ibu lagi terima barang, jadi Bela main sendiri." "Anak cantik namanya Bela, rumahnya mana. Tak anter pulang." Jari mungil Bela menunjuk sebuah rumah bercat pink tak jauh dari Aldo berdiri. Menyeberang jalan itu, berarti masuk perumahan kelas menengah. "Walau lagi kerja, harusnya orang tuamu kudu tetap jagain kamu. Gak boleh main di jalan sendirian." "Balon, Pa." "Om bukan papamu. Emang papamu mana?" "Ndak punya." "Hush, kamu pasti punya papa. Gak mungkin kamu nongol kalau gak ada papa." "Tapi di rumah adanya Ibu doang. Ndak ada mama, papa juga ndak ada." Aldo mengerutkan dahi. Ibu? Mungkinkah Bela memanggil mamanya dengan sebutan ibu. Oke, dia paham sedikit sekarang. "Papamu kerja? Pulangnya malam?" "Ndak pernah pulang." Bang toyib nih bapaknya bocah. Sayang sekali anak
"Apa yang kau lakukan di sini? Kehabisan stok perempuan?" Lea bertanya dengan punggung tegak sambil melipat tangan.Memandang lelaki yang berdiri di depannya. Aldo Rivaldi, mantan tunangan Rina secara mengejutkan muncul di depan Lea dan yang lainnya."Bosan Nya, tidak ada yang digodain." Aldo mengedipkan sebelah mata sebelum ikut duduk di depan Lea, tanpa menunggu persetujuan pemilik tempat."Ke mana semua buntut yang biasa ngekorin kamu?" Puspa bertanya sinis. Mereka bertiga tentu tak lupa bagaimana kelakuan Aldo yang play boy tak tertolong. "Sudah kubilang aku bosan. Coba yang kukencani satu dari kalian bertiga. Pasti seru dan aku tidak akan pernah bosan, aduhh. Galak bener sih."Aldo meringis saat tiga kaki serentak menendangnya di bawah meja. "Kau tahu siapa yang sedang kau goda. Dia Nyonya Abimana, dia Nyonya Alkanders. Kau ganggu mereka, siap-siap kau gulung tikar," Puspa memberi info."Kalau begitu kau saja.""Kau ingin Yohan Aditya melubangi kepalamu. Berani sekali kau meng
Irene memandang sadis pada Jono, sang kakak ipar yang baru saja menoyor kepalanya. "Gak usah nyolot kalau yang kukatakan benar!""Jangan mulai ribut!" Bapak memberi peringatan."Dia yang mulai, Pak." Jono membela diri."Aku gak mulai ya. Aku cuma nerusin!" Irene mana pernah mau mengalah, apalagi sama Jono, kakak ipar yang ia nilai tak worth it sama sekali."Kayak dia bakal punya lakik jutawan aja. Kalau kau nikah sama Lendra sama aja punya suami kuli, kerja sama orang lain."Irene melipat tangan, menatap sinis Jumiana. "Kuli pun bayaranya jutaan, setidaknya aku masih bisa jalan sama belanja.""Kalau begitu nikah saja sana. Biar mulutmu gak pedes amat waktu ngomongin orang.""Yang kukatakan fakta, Mbak Jum. Bukan rekayasa!" Irene membalas manis cibiran sang kakak."Pantas saja umur segitu belum nikah, mulut kayak petasan injak gitu." Jono masih punya muka makan jajan pasar di atas meja. Hasil Irene berburu ke pasar pagi. Benar-benar tak punya malu. Lelaki itu sudah tidak bekerja, tida
Lea menghentakkan kakinya kesal seraya menatap tajam pada Heri. "Dia minta tolong padaku, ingin dipertemukan denganmu. Dia bilang ingin minta maaf. Aku lihat dia sungguh-sungguh menyesal." Heri coba menjelaskan situasinya. Tentu setelah Agra pergi dari ruangan Heri. Lelaki itu berusaha bersikap senetral mungkin. Tidak ingin memihak atau menyalahkan sang teman. "Aku memang marah padanya, muak kalau lihat mukanya. Tapi aku lebih cemas sama Irene. Bagaimana kalau si brengsek itu cuma mau mempermainkan Irene saja. Ndak terima aku." "Aku pikir kali ini seorang Agra Atharva sudah ketemu batu sandungannya." "Maksudnya?" "Ya, dia kapok. Sudah menemukan apa yang dia mau, dia inginkan. Dengan kata lain, Agra sudah bertemu tipe yang klop dengan angannya." Lea terdiam mencerna ucapan Heri. "Dia kan yang namanya Irenewati. Terus ini kamu sama Nika. Lihat, kalau digabung." Lea membulatkan mata memandang simulasi andai wajahnya dan Nika dijadikan satu. "Lah bisa mirip gitu," Lea tercengan