Lukisan seorang pria dan wanita sedang menggandeng seorang bocah laki-laki. Satu yang Lea kenali adalah rambut si wanita berwarna brunette, miliknya. Sementara di pria dengan tato bintang di pergelangan tangan. Zio memang memiliki tato di pergelangan tangan, tapi selalu tertutup jam. Lea tak pernah menyangka kalau ada orang lain yang tahu. Lea mulai menggila di tempat itu. Ini sudah hampir satu jam sejak hujan turun. Dia saja sudah dingin pol-polan. Bagaimana dengan Arch. "Arch! Di mana kamu! Ini Mama!" Teriak Lea dengan suara gemetar. Dalam hati sibuk berdoa, berharap menemukan Arch di sana. Jika tidak, Lea tak tahu harus mencari ke mana lagi. Tempat ini sudah lokasi paling ujung dari komplek tempat sekolah Arch berada. Setelah kawasan ini, ada area hutan lindung yang tertutup bagi masyarakat umum. "Arch, jawab! Kalau kamu dengar Mama." Bunyi ranting patah terdengar dari arah kiri. Lea lekas menoleh, dilihatnya samar seseorang sedang duduk di ayunan yang letaknya di sisi gedung
"Mama!"Lirikan tajam dari Zio membuat Arch mengkeret. Bocah itu merangsek mundur, bersembunyi di belakang tubuh Sari, yang juga ketakutan. Perempuan itu teramat takut ketika melihat dua tuannya harus masuk rumah sakit bersamaan.Lea nyaris pingsan ketika Zio menemukan sang istri dalam pelukan Arch yang menjerit panik. Pria itu tanpa kata membawa Lea ke rumah sakit. Walau Arch turut serta tapi anak itu jelas gentar melihat paras murka sang papa. Arch hafal benar karakter Zio. "Kau diam saja di situ." Zio menunjuk kursi tunggu di depan ruangan tempat Lea dirawat.Walau Zio menampilkan kemarahan, tapi entah kenapa bocah itu bisa melihat kelegaan luar biasa terpancar dalam netra sekelam jelaga milik sang papa."Zio! Kau marahi putraku, aku hajar kamu!"Teriakan Lea membuat Zio menoleh. Sudah hampir pingsan pun masih bisa dengar Zio memarahi Arch."Enggak kok." Zio ikut masuk ruangan setelah Heri memberi izin.Lea tampak pucat, beberapa lembar selimut melilit tubuh sang wanita. Lea masi
Lea menarik Arch ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan si anak dari amarah yang mungkin saja Zio tunjukkan. Awalnya Lea pikir begitu, tapi ketika lebih dari lima menit Zio hanya diam. Lea hanya bisa menghela napas. "Sebenarnya apa yang mau kamu katakan. Kalau tidak, aku mau pulang. Mau tidur." Lea maju, dengan Zio sigap menghalangi. Lea ke kiri, Zio ke kiri. Lea ke kanan, Zio ikut ke kanan. Lea jelas kesal dibuatnya. "Minggir, gak? Maunya apa sih?" Bentak Lea turut emosi. "Bisa gak kita bicara baik-baik." "Kamu yang mulai," sewot Lea. "Sayang," bujuk Zio. Lelaki itu maju, Lea mundur. "Aku minta maaf, aku salah." Kata Zio lagi. Mukanya memelas, penuh permohonan. "Minta maafnya bukan sama aku." Lea menatap tajam Zio yang menggulirkan pandangannya pada Arch yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Anak itu sejak tadi menjadikan Lea tameng seolah hanya Lea yang bisa melindunginya. Zio bungkam untuk beberapa waktu, hal itu membuat Lea jengah. Hingga dia memutuskan pergi
"Katakan! Apa yang sudah dia lakukan ke kamu?" Lea lekas mengusap lengan sang suami, coba menurunkan emosi Zio.Di depannya ada Angel, sosok tak terduga yang keluar dari kamar yang sama dengan Zico tadi keluar. Gadis itu sudah dipinjami kemeja oleh Zico, ini lebih baik dari Angel yang hanya memakai hot pants dan tank top."Tidak ada,Tuan," balas Angel gugup. Tak bisa dia pungkiri kalau sosok Zio sangat mengancam di matanya."Jangan melindunginya, Angel. Kalau dia salah tetap akan kami hukum. Kalau dia sampai menyentuhmu melebihi batas, kami akan pastikan dia bertanggungjawab."Angel bertemu pandang dengan Lea. Sosok hangat yang selalu membuat Angel merasa tenang dan aman. "Gak kok, Tan. Dia cuma bantuin aku yang lagi deman. Kalau pulang ke rumah kejauhan, hujan deras juga. Jadi dia nawarin apart Tante.""Lalu kenapa kaliam keluar kamar dengan baju begitu?" Tandas Zio penuh selidik."Baju kami basah, Zi. Itu saja nemu punya kak Lea. Aku sih punya baju ganti. Aku emang sempat ketiduran
Zico datang, mengambil sembarang kain dari jemuran, dia menggulung tangannya dengan itu, lantas menyuruh Matt minggir dengan kode. Bocah itu paham, dia mundur sambil melindungi kepala. Pun dengan Angel yang juga menjauhkan diri dari jendela. Dalam hitungan detik bunyi "pyar" terdengar diikuti suara pecahan kaca yang menyebar ke mana-mana. Matt meringkuk di lantai, celakanya dia terlalu dekat dengan kasur yang mulai dilahap api. "Panas!" Teriaknya. Zico membersihkan tepian kaca yang tajam, sebelum melompat masuk. Dia lepas jaket hitamnya untuk melindungi Matt. Angel melongo melihat apa yang barusan Zico lakukan. "Dia tak seburuk yang terlihat," batin Angel sambil menerima Matt yang diulurkan Zico lewat jendela tadi. Zico baru akan melompat keluar ketika dia meringis. Jejak merah menghiasi lengannya yang cuma pakai kaos lengan pendek. "Kamu gak apa-apa?" Angel coba bertanya ketika mereka berjalan beriringan kembali ke depan. "Bukan urusanmu!" Zico menyahut judes. Angel bungkam sek
"Siang ini juga dikirim, jangan cemas. Semua beres." Sahut Abian dari seberang."Ingat, jangan sampai nama gue ke-spill!" Zico memperingatkan."Siap!" Abian kembali menegaskan."Kau pikir aneh tidak?" Kelvin bertanya saat Abian selesai bicara dengan Zico."Aneh sih, tapi kita tahu kalau Zico tidak sejahat dan setega itu. Yang gue bingung itu hubungan mereka."Dari tempat mereka, kantor dengan dinding kaca satu arah, Abian dan Kelvin bisa melihat Angel setengah melamun saat bekerja."Sikapnya abu-abu. Kadang gue pikir dia cinta mati sama Raisa, sampai kelihatannya gila waktu ditinggal. Tapi dengan Angel, galak-galak butuh. Gimana sih nyebutnya?" Kelvin menjambak rambutnya sendiri, bingung memberi penilaian pada sikap Zico."Dia bilang cuma cari pelampiasan ke Angel. Tapi kita tahu, dari terbiasa bisa terbit suka."Kelvin setuju dengan pendapat Abian kali ini. "Lalu rasa elu pada kakak iparnya Zico bagaimana?"Sudah jadi rahasia di antara ketiganya kalau Abian naksir Lea. Tapi dia mana
"Dia masih punya dua puluh persen saham sebagai bagian karena statusnya adalah istriku. Kenapa?"Lea mengerutkan dahi mendengar pembicaraan Zio dan Revo. Walau begitu dia berusaha untuk tidak mencuri dengar, menurut Lea itu bukan ranahnya."Aku curiga seseorang masih menerima pendapatan dari saham itu. Aku iseng memeriksa asetmu karena ada yang coba mencuri darimu." Revo mendelik pada sosok yang duduk di depannya dengan wajah ketakutan."Siapa yang berani mencuri dariku?" Zio turut geram mendengar ada maling di perusahaannya."Bukan orang penting. Semua sudah kuatasi. Semua aset yang dia curi sudah kukembalikan atas namamu.""Terima kasih, Vo," ucap Zio tulus. Walau Zio juga punya kemampuan dalam hal meretas data, tapi dia masih kalah jauh dibanding Revo. Pria tersebut mentor Zio dalam hal semacam itu."No problem." Revo memang sudah kembali memimpin perusahaannya sendiri. Namun, lelaki itu masih terus mengawasi kantor Zio. Revo tahu ada banyak orang ingin menjatuhkan sang rekan deng
"Kami tidak merasa pesan semua ini, Pak. Kami takut gak bisa bayar."Maya syok melihat dua mobil box berisi mesin cuci juga peralatan laundry lainnya serta beberapa furniture yang memang turut terlalap api."Semua sudah ditanggung asuransi, Bu. Anda tidak perlu bayar. Tinggal tanda tangan di sini, tugas kami selesai. Mohon kerjasamanya."Maya tak enak hati kalau harus menahan supir box terlalu lama. Pekerjaan mereka tentu tidak hanya mengirim barang ke sini. Sudah pasti ada tempat lain yang harus mereka datangi.Maka dengan seribu tanya di kepala, Maya menggoreskan tanda tangannya sebagai tanda terima. Asuransi? Perasaan dia tidak ikut program asuransi manapun. Boro-boro untuk bayar asuransi, untuk makan saja mereka ngap-ngapan. Untungnya Angel sering membawa pulang ayam goreng jika ada yang tidak habis terjual.Untungnya lagi, si mamat tidak banyak protes akan keadaan hidup mereka saat ini. Pun dengan Angel yang tampak sudah mulai menerima situasi mereka."Bener ya, Pak. Tidak bayar
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch."Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya.Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun.Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu."Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?""Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini."Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing.Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang juga mu
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut