“Ya ampun, Lisa ... ini rumah apa istana?” pekik Linda dengan tatapan takjub. “Gubuk cintaku dan Mas Atmaja,” jawab Lisa dengan nada centil. “Ceile, bucin amat sama om-om.”Khalisa tergelak dan mulai menggandeng lengan Linda agar mengikuti langkahnya. “Ayo, ih. Masuk dulu!”“Ya ampun, Lisa... luas bener ini rumah. Kalau main petak umpet di sini pasti yang nyari tim SAR.”Celetukan Linda semakin membuat Khalisa tergelak. Di dalam, lagi-lagi Linda berzikir tak henti-henti. Matanya menyapu tiap sudut bangunan yang indah dan wah dengan barang-barang yang tentu harganya tak murah. “Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallahu wallahu akbar. Serasa masuk surga aku, Lis. Eh, tapi aku belum mati, kan, ini?”“Otewe kayaknya.”“Lambemu, Lis! Pake bismillah kalo ngomong. Minimal pakai filter.”Khalisa benar-benar terhibur dengan ke
“Tolong ... tolong ...! Mmffh!”Lisa hanya bisa bersembunyi di balik pohon besar kala melihat ibunya meronta dengan mulut dibekap. Tak ada yang mendengar karena kiri kanan hanya tetumbuhan yang menjulang tinggi. Tubuh Lisa bergetar hebat. Matanya pun mulai panas. Ia tak tahu harus bagaimana. “Pintar juga kau bersembunyi, Rika. Cepat katakan di mana ponakanku?”Sang residivis dengan sebuah tato di dekat lehernya itu bertanya sembari mengarahkan sebuah pisau lipat di depan wajah Rika. Seolah-olah ia mengancam agar Rika tak berteriak atau melakukan perlawanan. “Kau dan istrimu sama-sama jahat, Suryo. Kau! Mbak Rukmi! Kalian manusia titisan iblis!”Plak! “Aaargh!” Rika memekik.Suami Rukmi dan Tatang tertawa. Sungguh, tawa keduanya serupa kidung kematian bagi Khalisa. Ia ingin keluar dan menolong sang ibu, tetapi Lisa tahu bahwa yang mereka inginkan adalah dirinya. “Aku tak butuh tanggapanmu tentangku, Adik ipar.”“Tak sudi aku menganggapmu sebagai abang ipar, Suryo! Kau jahat! Kau JA
“Halo, Cantik! Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat makin sehat, cantik, dan ... lucu,” ucap Deva dengan satu jari mengelus bulu halus si hamster. Di hari libur begini, ia ingin sedikit bermain dengan hewan kecil yang selalu membuatnya tersenyum dan terhibur dengan tingkah polahnya. Walau Dalion selalu mencibir, tetapi Deva tak peduli. Ia memang menyukai hamster. Hewan mungil yang tak disukai oleh Lisa, tapi karenanya Deva malah terhibur. Deva segera membersihkan kandang si Zoono dan meletakkan si pemilik kandang ke sebuah kardus lebih dulu. Bik Darsih yang memerhatikan dari arah dapur hanya tersenyum. Deva duduk di gazebo dekat kolam renang. “Suka heran sama orang cakep. Kegemarannya aneh-aneh,” celetuk Wati. “Aneh gimana maksud kamu, Ti?”“Ya, aneh, Bik. Harusnya, tuh, Den Deva pelihara kucing angora atau anjing bichon begitu. Lucu juga, loh, Bik. Kayak si Vivi.”“Vivi? Siapa itu Vivi?”
“Assalamu’alaikum, Bik.”“Waalaikumsalam, Tuan,” jawab Bik Darsih dengan tersenyum sopan. Pak Bahrul pun berdiri di samping tuannya sembari memegang besi koper. “Lisa sudah tidur?”“Sepertinya belum, Tuan. Nyonya belum makan mal—““KYAAA ...!”Suara teriakan yang cukup melengking membuat Atmaja, Bahrul, dan Bik Darsih kompak terkejut dan mendongak. Pasalnya suara terdengar dari arah lantai dua. “Lisa?” Dengan cepat Atmaja mengayun langkah menaiki anak tangga. Bik Darsih dan Bahrul pun menyusul, takut ada apa-apa. “Lisa, tenang, Lis! Nanti Zoono terinjak!” ucap Deva yang mulai ikut panik. “Tikus ini membuatku geli, Deva. Hus! Hus! Keluar!” Lisa semakin panik karena hewan kecil itu juga bingung dan kuku kecilnya malah tersangkut di bordiran mukena yang Lisa kenakan. Deva mendekat dengan niatan ingin menenangkan ibu sambungnya itu. Namun, Khalisa yang semakin panik malah langsung melompat ke tubuh Deva. Deva pun kaget mendapat serangan mendadak yang cukup menguntungkannya. Ia ter
“Semua sehat dan baik, Pak, Bu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucap seorang dokter paruh baya.Khalisa menoleh ke samping di mana sang suami duduk bersebelahan dengannya. Senyum keduanya pun mengembang sempurna. Dengan sayang Atmaja makin mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. “Nanti saya resepkan vitamin paling bagus untuk dikonsumsi berdua, ya. Ibu masih sangat muda, dan suami masih sangat prima. Insya Allah kabar bahagia itu akan segera datang. Jangan lelah berdoa dan berikhtiar,” lanjut sang dokter sembari tersenyum hangat dan tangan kembali menuliskan sebuah resep. Melihat wajah penuh antusias istrinya, Atmaja juga tak sabar ingin segera membuat Khalisa hamil. Rasanya ia ingin memperpanjang masa libur dan menyerahkan urusan perusahaan pada Deva saja. Walau nantinya bukan ia yang akan mengandung, tetapi kualitas benihnya juga harus baik. Ia tak boleh stres dan harus sehat. Dalam perjalanan pulang, tak henti-h
“SHIT!”Deva langsung melempar ponselnya ke tembok setelah mendengarkan suara-suara horor di seberang sana hingga beberapa detik. Ponselnya langsung hancur saking kuatnya lemparan. Kalau dia tahu ayahnya sedang mantap-mantap, tentu Deva tak akan meneleponnya. “Va, aku langsung balik ke kant—”Dali yang baru keluar dari toilet ruangan Deva langsung tertegun dan menghentikan kalimatnya yang hendak pamit. Pandangannya langsung turun pada benda pintar milik sahabatnya yang kini sudah hancur. “Kamu kenapa, Va?” lanjutnya dan langsung menghampiri Deva. Sementara Deva kembali duduk di sofa dengan kepala menengadah dan mata terpejam. Sungguh, ia begitu sakit mendengar suara seksi dan merdu milik Lisa yang kini sudah menjadi milik papanya. “Va?”“Tolong panggilin asisten Papa, Dal. Suruh ke sini!” jawab Deva tanpa membuka mata.Tak tahu apa yang sudah terjadi, Dalion hanya mengangguk dan segera memanggil nomor Hafid. Tak berapa lama, pria yang baru dipanggil ayah itu datang. “Pak Deva man
“Heh! Kamu jangan mempermalukan saya, ya! Itu om-om udah bayar mahal ke saya. Kamu juga udah saya kasih uang cukup banyak, kan? Kenapa malah mengecewakan, HAH?”Gadis jelita yang masih tampak ranum itu menunduk dengan air mata berjatuhan. Sungguh, ia tak mau Tuhan murka padanya. Namun, kenapa semesta begitu jahat? Air matanya terus berjatuhan mengingat sang ibu yang harus segera dioperasi. Biaya yang mahal membuat gadis lulusan SMA itu memilih jalan yang salah. “HEH! Enggak usah nangis!” hardik wanita paruh baya dengan lipstik merah menyala. Sementara teman sang gadis sedikit menyikut lengan temannya itu. Dengan sedikit kasar, wanita paruh baya meraih dagu si gadis agar tatapannya tak terus menunduk. “Lihat mata saya!”Dengan sedikit takut, si gadis menatap wanita yang akrab di panggil Mami tersebut. “Cepat kembali ke dalam dan puaskan tamu saya!”Si gadis hanya diam dengan perasaan
Bukannya langsung menerima tawaran Deva, si botak yang masih sadar walau sudah mabuk itu tak mau melepas si gadis begitu saja. “Apa buktinya jika dia adikmu, hah? Bisa saja kau memang menginginkannya tapi tak mau antri. Makanya ngarang cerita.”“Tutup mulutmu, Pak Tua! Jangan pernah hina adikku!” balas Deva dengan tatapan tak suka. Entah kenapa ia mendadak begitu mendalami peran pura-puranya. “Kalau memang kau kakaknya, ke mana saja kau sampai tak tahu adikmu mau menjual diri demi biaya operasi ibunya? Atau jangan-jangan ... kau juga tak tahu jika ibu kalian sedang berjuang antara hidup dan mati? Kakak apa kau? Kakak gadungan? Hah?!”Deva sedikit kelabakan dengan pernyataan si botak. Ia bingung harus bagaimana. “Kak, Kakak ke mana saja selama ini? Sekar sama Ibu nungguin Kakak pulang.” Tiba-tiba saja si gadis bersuara. “Kakak kenapa enggak ngabarin kalau udah pulang dari Hongkong? Ibu sakit keras, Kak.”Deva menatap mata si gadis. Entah kenapa hatinya terenyuh ketika si gadis menye
Setelah beberapa hari berlalu, pagi itu, akhirnya Khalisa berdiri di depan pintu ruang sidang dengan napas yang tertahan di tenggorokan. Gedung pengadilan yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, malah terasa seperti arena pertempuran baginya. Khalisa tahu, proses ini tidak akan mudah. Tatang dan Suryo telah membuatnya kehilangan sosok ibu, dan trauma itu menancap dalam. Namun, di saat yang sama, tekadnya untuk mendapatkan keadilan mengalahkan ketakutan Lisa. “Sayang?”Khalisa menoleh. Atmaja tersenyum dengan tangan yang tak henti menggenggam jemari istrinya sejak turun dari mobil. “Kamu pasti bisa, Sayang.” Suara lembutnya memberikan ketenangan bagi Khalisa. “Mas akan selalu di sampingmu.”Khalisa mengangguk pelan. “Iya, Mas. Bismillah,” jawabnya dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan.Sidang pun berjalan dengan cukup tegang. Tatang dan Suryo duduk di kursi terdakwa, wajah mereka terlihat tanpa ekspresi. Namun, Khalisa merasakan tatapan dingin keduanya yang cukup menusuk,
“Dali, kamu jangan bercanda, Nak.” Bu Maya berucap dengan nada sedikit tegas. “Kamu enggak amnesia, kan?”Dalion terdiam sejenak dengan mulut masih mengunyah, lalu ia mengangkat kedua bahunya. “Tapi ... kamu ingat sama kami, Nak. Sama keluargamu. Mama, Papa, Mbak Donna, bahkan Mikayla.”“Kalian semua keluargaku, kan? Apa alasanku melupakan kalian? Bukankah kedekatan kita sudah terjalin sejak puluhan tahun silam? Bukan hanya sebulan dua bulan,” jawab Dali realistis. Kanina terdiam, sementara Tiara menangkap sesuatu yang berubah dari dalam diri teman baiknya. Beberapa hari ini Kanina memang menyesali semua kebodohannya hingga menyebabkan Dalion celaka. Bahkan saat niatnya dekat dengan Dali demi Deva, Kanina malah sering curhat dengan Tiara soal perhatian Dali kepadanya. Tiara segera mengelus lengan Kanina, mencoba menguatkan. “Euh ... Tante Maya, Nina izin ke toilet bentar, ya.”Tanpa menunggu respons dari ibu Dalion, Kanina langsung melangkah cepat untuk keluar dari ruangan, bukan
“Lisa ... apa kamu sudah siap memberikan kesaksian atas kasus yang sudah Deva laporkan?”Khalisa terdiam, belum tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia tak mau membuat Deva dan orang-orang yang sudah sejauh ini membantunya terus-terusan menunggu. Namun, di sisi lain hatinya benar-benar sakit jika harus bertemu dan melihat kembali wajah dua pelaku yang sudah membuat sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Khalisa sadar sepenuhnya jika kematian seseorang itu memang pasti, tetapi ... hal yang menjadi penyebab ajal sang ibu sampai masih sangat membekas di hati Khalisa. Iya, penjahat memang harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Namun, respons tubuh Khalisa benar-benar tak selaras dengan keinginannya yang sangat ingin memenjarakan dua bedebah itu. Apa mungkin traumanya sudah terbubuhi oleh kondisi tubuhnya yang tengah hamil? “A-apa aku bisa, Mas? Apa aku bisa memberikan kesaksian dengan bicara lancar tanpa tersendat-sendat?”Atmaja menatap sayu pada istrinya. Ia segera menggengg
Sudah lima hari sejak kecelakaan itu terjadi, waktu seolah berhenti di rumah sakit. Setelah sempat diperiksa polisi karena kecelakaan tunggal yang dialami bersama Dalion, Kanina lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk memantau kondisi Dali. Walau matanya tak sesembab kemarin-kemarin, tetapi waktu tidur Kanina sering terganggu karena tak nyenyak. Ia sering tiba-tiba terkejut dari tidur hingga menangis setelahnya. Kecemasan terus menghantui. Kanina merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap detik yang berlalu, setiap monitor yang berbunyi dari dalam ruang perawatan Dalion, membuat jantungnya serasa diremas-remas.Dali masih koma, dan rasa bersalah itu terus menghantui Kanina. Membuatnya merasa seolah semua ini tidak akan pernah berakhir. Kecelakaan itu menghancurkan segalanya, bukan hanya kehidupan Dali, tetapi juga hidupnya. “Sudah, Sayang. Semua akan baik-baik saja,” ucap Lexie, ayahnya yang baru datang dari luar negeri dua hari yan
Seorang gadis kecil terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Tangannya pun bergetar ketika mencoba meraih segelas air di atas meja samping tempat tidurnya. Namun, tubuh kecil itu tak mampu menenangkan rasa takut yang menguasainya. Mimpi buruk itu masih tergambar jelas dalam pikiran Mikayla. Sosok pria muda yang akrab ia panggil papa, adik kandung mamanya yang selalu tampil ceria, digandeng oleh seorang wanita berwajah pucat. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan senyum yang menghangatkan hati. Itu adalah senyum yang membuat bulu kuduk Mikayla meremang.“Ma ... Mama!” Kayla berteriak, suaranya pecah di waktu dini hari. Donna—ibu Kayla—langsung bergegas masuk ke kamar sang anak, wajahnya pun dipenuhi kekhawatiran ketika melihat putrinya terduduk dengan wajah berkeringat.“Ada apa, Sayang?” tanya Donna lembut sembari duduk di tepi tempat tidur dan menarik tubuh kecil Kayla ke dalam pelukannya. “Kamu mimpi buruk?”Kayla mengangguk, tubuhnya masih gemetar.
Kanina melangkah cepat keluar dari apartemen milik Deva. Sedari tadi ia mati-matian menahan jantungnya yang berdebar kencang, tetapi bukan karena kebahagiaan atau kegugupan biasa, melainkan campuran rasa cemburu, marah, dan kecewa yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya campur aduk setelah membuktikan sendiri ucapan dari Dali, bahwa Deva dan Sekar telah menikah. Mereka tinggal satu atap. Selama ini, meski tak pernah secara terang-terangan, Kanina berharap ada kesempatan baginya dengan Deva. Namun, harapannya kini hancur. Tanpa pamit, ia pun pergi meninggalkan apartemen. Ponselnya yang berdering menjadi alasan tepat untuknya pergi. Panggilan itu memang benar adanya, tetapi Kanina memilih tak menjawab dan segera pergi agar hatinya tak semakin hancur melihat Deva dan Sekar. “Va! Nina enggak ada!” seru Dali setelah mengecek lorong lantai unit Deva berada. Deva dan Sekar beradu pandang. “Pulang duluan apa gimana?” tanya Deva. “Aku juga enggak tahu, Va.”Dali mengusap wajahnya dengan p
Khalisa sudah diperbolehkan pulang. Namun, ia tetap harus istirahat cukup sesuai anjuran dokter. Selain kandungannya yang cukup lemah, ia juga dilarang stres. Walau banyak orang beranggapan menjadi istri Atmaja Gandhi bak tertimbun gunung emas, tetapi semua tak seindah yang terlihat. Rahasia soal Khalisa yang pernah menjalin kasih dengan putra sang suami akhirnya diketahui oleh teman dekat Atmaja, yakni Vikram dan Melki. Pun dengan pekerjanya di mansion yang saat itu menyaksikan pertengkaran antara Atmaja dan Kadeva. Dan semenjak itulah Deva sudah tak mau lagi pulang ke rumah orang tuanya. “Sekar, maaf, ya. Janji Mas buat daftarin kamu kuliah kayaknya belum bisa terealisasi cepat. Banyak yang harus Mas urus,” ucap Deva ketika ia duduk santai di balkon bersama istri kecilnya. Menatap keindahan kota metropolitan di malam yang pekat. “Enggak pa-pa, Mas. Aku ngerti, kok.”Deva tersenyum dan mulai menarik Sekar ke dalam dekapannya. Mereka berbaring santai di sofa malas dengan posisi set
“Jangan kira aku enggak tahu apa yang udah terjadi, Dali.”“Maksudnya?”“Tante Maya pengen kamu dekat sama Nina, kan?”Dali terdiam sejenak. “Sok tape lu!”“Mungkin kamu yang belum tahu kalau ibumu udah minta tolong sama aku buat dukung hubunganmu sama Nina.”“Apa?!”“Kamu kaget apa enggak denger, Dal?”“Kapan Mama hubungi kamu?”“Aku lupa tepatnya kapan. Tapi, kayaknya sebelum kalian makan malam di mall dan kita sempet ketemu di sana pas aku belanja sama Sekar.”Dalion terdiam. Ini seperti sedang main kucing-kucingan namanya. Atmaja pernah bercerita pada Dali kalau ia ingin menjodohkan Kadeva dengan Kanina. Ternyata mama dari Dalion sendiri malah meminta dukungan Deva agar teman baiknya itu dekat dengan Kanina. Muter-muter terus ini, mah. “Mungkin kamu bisa bohongi orang lain, Dali. Tapi enggak sama aku,” lanjut Deva. “Ayolah, Bro. Buka hati kamu. Jangan terus-terusan ngerasa bersalah sama kepergian Mutia.”Dalion terdiam sesaat. Menyelami pikiran dan perasaannya yang seperti tak ak
Sudah tiga hari semenjak perdebatan bersama papanya di ruang perawatan Lisa, Deva tak mau menghubungi Atmaja selain urusan pekerjaan. Sebagai anak satu-satunya, Deva tahu dan paham apa yang diinginkan sang papa. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dari semua perlakuan Atmaja yang dingin tapi tetap peduli, Deva cukup sanksi dengan kemarahan papanya kala itu. “Apa Papa benar-benar tak merestui pernikahanku dengan Sekar?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Deva mulai dilema. Walau awalnya ia pun hanya ingin membantu Sekar, tetapi perlahan cinta itu pun mulai datang. Terlebih saat puncak pertengkaran Deva dengan papanya terjadi, ia cukup stres sampai akhirnya Sekar menawarkan diri bak charging energi. Sekar telah menyerahkan diri layaknya seorang istri yang tak menolak saat dig@uli. Deva pun makin merasa terikat kala gadis itu sudah tak gadis karena ulahnya. Ya, tentu bukan ulah kenakalan anak muda yang dulu pernah Deva lakukan dengan Khalisa. T