Berkali-kali Hafid memanggil nomor Kadeva. Sejak subuh tadi nomor putra sang bos tak bisa dihubungi. Padahal pagi ini ada meeting direksi. Hafid sudah mengingatkannya kemarin, tetapi ia perlu kembali mengingatkan takut-takut bos magang itu lupa. “Duh ... ke mana ini Pak Deva? Jangan sampai dia enggak datang.” Hafid berbicara sendiri dengan terus berusaha menghubungi Deva. Namun, lewat panggilan seluler pun hanya suara operator yang menyapa. Nomor yang dituju sedang tidak dapat dihubungi. Saat Hafid masih bingung, tiba-tiba suara karyawan lirih menyebut nama bos besar dengan ucapan selamat pagi. “Selamat pagi, Pak Maja.”“Pagi.”“Pagi, Pak Maja.”“Pagi.”Hafid berdiri dari tempat duduknya dan melihat Atmaja berjalan hendak menuju ruangannya. Hafid pun tersenyum lebar dan segera menghampiri sang bos. “Selamat pagi, Pak Maja,” sapa Hafid semringah. “Pagi, F
Setelah mampir makan dan rehat sebentar, Deva pun melanjutkan perjalanan agar segera sampai. Ia sampai harus memesan kopi asli di sebuah kafe agar tak terlalu mengantuk. Dari ujung mata Deva melihat Sekar yang diam. Ia pun menoleh. Ternyata gadis ayu berkulit kuning langsat itu terlelap. Mungkin Sekar lelah menangis sejak semalam. Deva tersenyum tipis dan lanjut fokus dengan setir. Ia tak mengerti kenapa harus menolong Sekar hingga kini gadis kecil itu sudah sah menjadi istrinya. Apa? Istri? Sekali lagi Deva menoleh dan memerhatikan Sekar dengan sesekali fokus pada jalan. “Enggak nyangka aku udah merid,” gumamnya pelan. “Gimana komentar Papa kalau tahu aku sudah menikah? Sama bocah pula.” Namanya Rahajeng Sekar Arum. Deva baru tahu beberapa menit sebelum ijab kabul ia ikrarkan. Benar-benar definisi gadis desa yang polos. Namun, gadis di sebelahnya itu terlihat cukup pintar. Ia sudah lulus SMA di antara anak-anak lain yang hanya lulusan SMP di desa tersebut. Tiba-tiba wajah Lisa te
“Bik, Den Deva enggak pulang lagi?” tanya Wati. “Ngapain kamu tanya-tanya Aden? Nanti Kang Didin cemburu, lho.”Lili terkekeh. Wati dan Kang Didin benar-benar terlibat cinta lokasi sesama pekerja di mansion milik tuannya. “Ih, si Bibik ngapain jadi bawa-bawa Kang Didin segala?”“Ya lagian kamu tumben-tumbenan nanyain si Aden? Terserah dialah mau pulang apa enggak. Si Aden punya apartemen. Vila punya tuan juga ada di beberapa tempat.”“Iya juga, sih,” sahut Wati akhirnya. “Itu menu di meja udah siap?”“Udah, Bik. Tinggal nunggu Nyonya sama Tuan turun buat makan malam.” Lili menimpali. Tak berapa lama Lisa dan Atmaja turun dengan tangan Lisa yang menggandeng lengan suaminya. Atmaja makin terlihat muda dan segar. Aura bahagia dan harta yang unlimited membuatnya semakin bersahaja di usianya yang tak lagi muda. Bik Darsih mendekat ke meja makan dan mempersilakan majikannya untuk menikmati menu yang tersaji. “Bik, coba kamu hubungi Deva,” ujar Atmaja mula-mula. “Ada apa, Tuan?”“Engg
“Va, cuci muka dulu, gih! Mandi sekalian. Lu ngigo keknya.”Dalion tak langsung percaya begitu saja dengan pernyataan sahabat yang sudah ia anggap seperti saudaranya itu. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu dua puluh empat jam Deva sudah menikahi? Sama gadis kecil pula. Sudah seperti kisah dalam novel online saja. Begitu batin Dali. Sementara Deva hanya terkekeh mendengar kalimat Dali. “Sekar, kamu kembali ke kamar, ya,” suruh Deva pada si gadis. Sekali lagi Dali melongo. Perlakuan Deva pada gadis bernama Sekar itu benar-benar lembut. Dalion bahkan tak pernah tahu bagaimana teman baiknya itu memperlakukan perempuan. Deva tak pernah terlihat punya kekasih walau setelah bercerita ternyata cukup plot twist. Kekasihnya ternyata ibu sambungnya sendiri. Sekar hanya mengangguk dan menuruti semua perkataan Deva. Sepeninggal Sekar dari sofa ruang utama, Dali pun duduk dengan wajah penuh pertanyaan. “Va. Kamu hutang banyak cerita sama aku,” ucap Dali. “Oke. Aku akan bayar lunas itu hutang
Deva terpaku, sementara Sekar menunduk antara malu dan takut. Ia yakin kalau suaminya itu bukan pria biasa. Deva tampan dan terawat. Bermobil dan tinggal di apartemen yang sangat mewah menurut Sekar. Sementara ia? Hanya gadis kampung yang tak pernah merawat diri ke salon. Apalagi penampilannya saat ini. Tiba-tiba saja Sekar mulai merasa rendah diri. “M-maaf, Kak. Sekar enggak punya baju bagus,” akunya dengan suara sedikit bergetar. Bukan. Bukan karena bajunya yang biasa saja. Namun, Deva terpaku ketika melihat Sekar memakai gamis motif bunga-bunga beserta hijab polos yang begitu pas perpaduan warnanya. Ya, memang bajunya terlihat biasa saja, tetapi Sekar terlihat lebih cantik ketika tertutup. “Bagus, kok. Kakak suka kamu yang tertutup begini.”Kalimat Deva membuat pandangan Sekar terangkat. “Kakak enggak malu keluar sama gadis udik begini?”Ya, Sekar memang tak mengenakan make up seperti gadis-gadis zaman now yang terlihat menyala. Ia hanya mengenakan liptint dan bedak harga stand
“Nah, sudah selesai,” ucap owner gerai butik yang diberi mandat Deva untuk sedikit memoles wajah Sekar. Owner yang memperkenalkan diri bernama Manda itu pun segera bergeser dari depan Sekar. Kini, Sekar bisa memerhatikan wajahnya yang hampir tak ia kenali padahal hanya diberi make up tipis. Namun, perbedaan before-after benar-benar terlihat berbeda. Dengan sedikit tak percaya, Sekar pun menyentuh perlahan wajahnya sendiri hingga kedua sudut bibirnya melengkung. Menciptakan senyum cantik yang sekarang sudah Sekar kenali. “I-ini beneran aku?”“Iya. Ini Mbak Sekar. Pangling, ya, sama wajahnya sendiri?”Sekar mengangguk. Awalnya Bu Manda memanggil Sekar dengan sebutan Nona. Ia baru tahu jika gadis cantik berpenampilan sederhana itu adalah menantu dari seorang presdir. Namun, Sekar menolak dipanggil Nona, ia lebih suka dipanggil Mbak atau Sekar saja. Sebenarnya Manda agak sedikit sanksi dengan pernyataan Deva yang menyebut Sekar sebagai istrinya. Selain tak mendengar adanya perhelatan
Pagi ini, suasana meja makan cukup tenang. Deva yang akhir-akhir ini jarang pulang ke rumah Atmaja sedang menikmati menu masakan yang diolah oleh para pelayan. Lidahnya mulai membanding-bandingkan dengan rasa masakan istri kecilnya di apartemen. Senyum tipis terukir di sela ia mengunyah. Lisa hanya diam menunduk, sibuk dengan isi piringnya. Namun, ternyata tidak dengan Atmaja. “Deva, apa ada yang ingin kamu sampaikan sama Papa dan Mama, Nak?”“Hm?” Deva mengangkat pandangan menatap papanya. “Maksud Papa?”“Papa lihat suasana hati kamu seperti sedang baik. Apa ... kamu sudah menemukannya?”“Menemukannya? Menemukan siapa maksud Papa?”“Gadis yang katanya sedang kamu cari, dan akan kamu nikahi setelah kalian bertemu kembali,” ucap Atmaja dan mulai kembali menyendok nasi. Deva melirik Khalisa, dan ternyata perempuan yang masih Deva puja itu juga tengah menatapnya. Lisa segera meraih gelas dan mengalirkan air dalam tenggorokannya. “Oh, dia sudah ditemukan, Pa.”Jawaban Deva cukup membua
(Beberapa jam sebelumnya) Deva sedikit kesal ketika nomor Rukmi yang ia dapat dari Sekar tak bisa dihubungi. Deva pun langsung menuju club di mana ia bertemu dengan Rukmi malam itu. Namun, lagi-lagi tak membuahkan hasil karena anak buahnya bilang, wanita yang akrab dipanggil Mami Rum itu sudah hampir dua minggu tak menunjukkan batang hidungnya. Alamat rumahnya pun tak ada dari mereka yang tahu. “Ngapain cari Mami, sih, Kak? Memang kami kurang muda? Kurang s3ksi?” tanya salah satu wanita dengan pakaian har4m yang menyulut nafsu para kaum Adam. Bahkan beberapa dari mereka tak segan menoel pipi bahkan menjawil dagu Deva dengan gemas. Tentu selain tampan, aroma dollar tercium jelas dari aura Kadeva. “Maaf, saya ada perlu lain dengan Bu Rukmi.”“Eh? Sebentar. Mas ini bukannya yang kemarin bawa Sekar, ya?” Wanita lain menimpali. Deva menoleh. “Iya.”“Sekarang Sekar di mana, Mas?”“Di tempat yang aman,” jawab Deva singkat. Deva pun segera pergi sebelum ia semakin dikerumuni para penjaj
Setelah beberapa hari berlalu, pagi itu, akhirnya Khalisa berdiri di depan pintu ruang sidang dengan napas yang tertahan di tenggorokan. Gedung pengadilan yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, malah terasa seperti arena pertempuran baginya. Khalisa tahu, proses ini tidak akan mudah. Tatang dan Suryo telah membuatnya kehilangan sosok ibu, dan trauma itu menancap dalam. Namun, di saat yang sama, tekadnya untuk mendapatkan keadilan mengalahkan ketakutan Lisa. “Sayang?”Khalisa menoleh. Atmaja tersenyum dengan tangan yang tak henti menggenggam jemari istrinya sejak turun dari mobil. “Kamu pasti bisa, Sayang.” Suara lembutnya memberikan ketenangan bagi Khalisa. “Mas akan selalu di sampingmu.”Khalisa mengangguk pelan. “Iya, Mas. Bismillah,” jawabnya dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan.Sidang pun berjalan dengan cukup tegang. Tatang dan Suryo duduk di kursi terdakwa, wajah mereka terlihat tanpa ekspresi. Namun, Khalisa merasakan tatapan dingin keduanya yang cukup menusuk,
“Dali, kamu jangan bercanda, Nak.” Bu Maya berucap dengan nada sedikit tegas. “Kamu enggak amnesia, kan?”Dalion terdiam sejenak dengan mulut masih mengunyah, lalu ia mengangkat kedua bahunya. “Tapi ... kamu ingat sama kami, Nak. Sama keluargamu. Mama, Papa, Mbak Donna, bahkan Mikayla.”“Kalian semua keluargaku, kan? Apa alasanku melupakan kalian? Bukankah kedekatan kita sudah terjalin sejak puluhan tahun silam? Bukan hanya sebulan dua bulan,” jawab Dali realistis. Kanina terdiam, sementara Tiara menangkap sesuatu yang berubah dari dalam diri teman baiknya. Beberapa hari ini Kanina memang menyesali semua kebodohannya hingga menyebabkan Dalion celaka. Bahkan saat niatnya dekat dengan Dali demi Deva, Kanina malah sering curhat dengan Tiara soal perhatian Dali kepadanya. Tiara segera mengelus lengan Kanina, mencoba menguatkan. “Euh ... Tante Maya, Nina izin ke toilet bentar, ya.”Tanpa menunggu respons dari ibu Dalion, Kanina langsung melangkah cepat untuk keluar dari ruangan, bukan
“Lisa ... apa kamu sudah siap memberikan kesaksian atas kasus yang sudah Deva laporkan?”Khalisa terdiam, belum tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia tak mau membuat Deva dan orang-orang yang sudah sejauh ini membantunya terus-terusan menunggu. Namun, di sisi lain hatinya benar-benar sakit jika harus bertemu dan melihat kembali wajah dua pelaku yang sudah membuat sang ibu pergi untuk selama-lamanya. Khalisa sadar sepenuhnya jika kematian seseorang itu memang pasti, tetapi ... hal yang menjadi penyebab ajal sang ibu sampai masih sangat membekas di hati Khalisa. Iya, penjahat memang harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Namun, respons tubuh Khalisa benar-benar tak selaras dengan keinginannya yang sangat ingin memenjarakan dua bedebah itu. Apa mungkin traumanya sudah terbubuhi oleh kondisi tubuhnya yang tengah hamil? “A-apa aku bisa, Mas? Apa aku bisa memberikan kesaksian dengan bicara lancar tanpa tersendat-sendat?”Atmaja menatap sayu pada istrinya. Ia segera menggengg
Sudah lima hari sejak kecelakaan itu terjadi, waktu seolah berhenti di rumah sakit. Setelah sempat diperiksa polisi karena kecelakaan tunggal yang dialami bersama Dalion, Kanina lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk memantau kondisi Dali. Walau matanya tak sesembab kemarin-kemarin, tetapi waktu tidur Kanina sering terganggu karena tak nyenyak. Ia sering tiba-tiba terkejut dari tidur hingga menangis setelahnya. Kecemasan terus menghantui. Kanina merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap detik yang berlalu, setiap monitor yang berbunyi dari dalam ruang perawatan Dalion, membuat jantungnya serasa diremas-remas.Dali masih koma, dan rasa bersalah itu terus menghantui Kanina. Membuatnya merasa seolah semua ini tidak akan pernah berakhir. Kecelakaan itu menghancurkan segalanya, bukan hanya kehidupan Dali, tetapi juga hidupnya. “Sudah, Sayang. Semua akan baik-baik saja,” ucap Lexie, ayahnya yang baru datang dari luar negeri dua hari yan
Seorang gadis kecil terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Tangannya pun bergetar ketika mencoba meraih segelas air di atas meja samping tempat tidurnya. Namun, tubuh kecil itu tak mampu menenangkan rasa takut yang menguasainya. Mimpi buruk itu masih tergambar jelas dalam pikiran Mikayla. Sosok pria muda yang akrab ia panggil papa, adik kandung mamanya yang selalu tampil ceria, digandeng oleh seorang wanita berwajah pucat. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan senyum yang menghangatkan hati. Itu adalah senyum yang membuat bulu kuduk Mikayla meremang.“Ma ... Mama!” Kayla berteriak, suaranya pecah di waktu dini hari. Donna—ibu Kayla—langsung bergegas masuk ke kamar sang anak, wajahnya pun dipenuhi kekhawatiran ketika melihat putrinya terduduk dengan wajah berkeringat.“Ada apa, Sayang?” tanya Donna lembut sembari duduk di tepi tempat tidur dan menarik tubuh kecil Kayla ke dalam pelukannya. “Kamu mimpi buruk?”Kayla mengangguk, tubuhnya masih gemetar.
Kanina melangkah cepat keluar dari apartemen milik Deva. Sedari tadi ia mati-matian menahan jantungnya yang berdebar kencang, tetapi bukan karena kebahagiaan atau kegugupan biasa, melainkan campuran rasa cemburu, marah, dan kecewa yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya campur aduk setelah membuktikan sendiri ucapan dari Dali, bahwa Deva dan Sekar telah menikah. Mereka tinggal satu atap. Selama ini, meski tak pernah secara terang-terangan, Kanina berharap ada kesempatan baginya dengan Deva. Namun, harapannya kini hancur. Tanpa pamit, ia pun pergi meninggalkan apartemen. Ponselnya yang berdering menjadi alasan tepat untuknya pergi. Panggilan itu memang benar adanya, tetapi Kanina memilih tak menjawab dan segera pergi agar hatinya tak semakin hancur melihat Deva dan Sekar. “Va! Nina enggak ada!” seru Dali setelah mengecek lorong lantai unit Deva berada. Deva dan Sekar beradu pandang. “Pulang duluan apa gimana?” tanya Deva. “Aku juga enggak tahu, Va.”Dali mengusap wajahnya dengan p
Khalisa sudah diperbolehkan pulang. Namun, ia tetap harus istirahat cukup sesuai anjuran dokter. Selain kandungannya yang cukup lemah, ia juga dilarang stres. Walau banyak orang beranggapan menjadi istri Atmaja Gandhi bak tertimbun gunung emas, tetapi semua tak seindah yang terlihat. Rahasia soal Khalisa yang pernah menjalin kasih dengan putra sang suami akhirnya diketahui oleh teman dekat Atmaja, yakni Vikram dan Melki. Pun dengan pekerjanya di mansion yang saat itu menyaksikan pertengkaran antara Atmaja dan Kadeva. Dan semenjak itulah Deva sudah tak mau lagi pulang ke rumah orang tuanya. “Sekar, maaf, ya. Janji Mas buat daftarin kamu kuliah kayaknya belum bisa terealisasi cepat. Banyak yang harus Mas urus,” ucap Deva ketika ia duduk santai di balkon bersama istri kecilnya. Menatap keindahan kota metropolitan di malam yang pekat. “Enggak pa-pa, Mas. Aku ngerti, kok.”Deva tersenyum dan mulai menarik Sekar ke dalam dekapannya. Mereka berbaring santai di sofa malas dengan posisi set
“Jangan kira aku enggak tahu apa yang udah terjadi, Dali.”“Maksudnya?”“Tante Maya pengen kamu dekat sama Nina, kan?”Dali terdiam sejenak. “Sok tape lu!”“Mungkin kamu yang belum tahu kalau ibumu udah minta tolong sama aku buat dukung hubunganmu sama Nina.”“Apa?!”“Kamu kaget apa enggak denger, Dal?”“Kapan Mama hubungi kamu?”“Aku lupa tepatnya kapan. Tapi, kayaknya sebelum kalian makan malam di mall dan kita sempet ketemu di sana pas aku belanja sama Sekar.”Dalion terdiam. Ini seperti sedang main kucing-kucingan namanya. Atmaja pernah bercerita pada Dali kalau ia ingin menjodohkan Kadeva dengan Kanina. Ternyata mama dari Dalion sendiri malah meminta dukungan Deva agar teman baiknya itu dekat dengan Kanina. Muter-muter terus ini, mah. “Mungkin kamu bisa bohongi orang lain, Dali. Tapi enggak sama aku,” lanjut Deva. “Ayolah, Bro. Buka hati kamu. Jangan terus-terusan ngerasa bersalah sama kepergian Mutia.”Dalion terdiam sesaat. Menyelami pikiran dan perasaannya yang seperti tak ak
Sudah tiga hari semenjak perdebatan bersama papanya di ruang perawatan Lisa, Deva tak mau menghubungi Atmaja selain urusan pekerjaan. Sebagai anak satu-satunya, Deva tahu dan paham apa yang diinginkan sang papa. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dari semua perlakuan Atmaja yang dingin tapi tetap peduli, Deva cukup sanksi dengan kemarahan papanya kala itu. “Apa Papa benar-benar tak merestui pernikahanku dengan Sekar?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Deva mulai dilema. Walau awalnya ia pun hanya ingin membantu Sekar, tetapi perlahan cinta itu pun mulai datang. Terlebih saat puncak pertengkaran Deva dengan papanya terjadi, ia cukup stres sampai akhirnya Sekar menawarkan diri bak charging energi. Sekar telah menyerahkan diri layaknya seorang istri yang tak menolak saat dig@uli. Deva pun makin merasa terikat kala gadis itu sudah tak gadis karena ulahnya. Ya, tentu bukan ulah kenakalan anak muda yang dulu pernah Deva lakukan dengan Khalisa. T