“Heh! Kamu jangan mempermalukan saya, ya! Itu om-om udah bayar mahal ke saya. Kamu juga udah saya kasih uang cukup banyak, kan? Kenapa malah mengecewakan, HAH?”
Gadis jelita yang masih tampak ranum itu menunduk dengan air mata berjatuhan. Sungguh, ia tak mau Tuhan murka padanya. Namun, kenapa semesta begitu jahat? Air matanya terus berjatuhan mengingat sang ibu yang harus segera dioperasi. Biaya yang mahal membuat gadis lulusan SMA itu memilih jalan yang salah.“HEH! Enggak usah nangis!” hardik wanita paruh baya dengan lipstik merah menyala.Sementara teman sang gadis sedikit menyikut lengan temannya itu. Dengan sedikit kasar, wanita paruh baya meraih dagu si gadis agar tatapannya tak terus menunduk.“Lihat mata saya!”Dengan sedikit takut, si gadis menatap wanita yang akrab di panggil Mami tersebut.“Cepat kembali ke dalam dan puaskan tamu saya!”Si gadis hanya diam dengan perasaanBukannya langsung menerima tawaran Deva, si botak yang masih sadar walau sudah mabuk itu tak mau melepas si gadis begitu saja. “Apa buktinya jika dia adikmu, hah? Bisa saja kau memang menginginkannya tapi tak mau antri. Makanya ngarang cerita.”“Tutup mulutmu, Pak Tua! Jangan pernah hina adikku!” balas Deva dengan tatapan tak suka. Entah kenapa ia mendadak begitu mendalami peran pura-puranya. “Kalau memang kau kakaknya, ke mana saja kau sampai tak tahu adikmu mau menjual diri demi biaya operasi ibunya? Atau jangan-jangan ... kau juga tak tahu jika ibu kalian sedang berjuang antara hidup dan mati? Kakak apa kau? Kakak gadungan? Hah?!”Deva sedikit kelabakan dengan pernyataan si botak. Ia bingung harus bagaimana. “Kak, Kakak ke mana saja selama ini? Sekar sama Ibu nungguin Kakak pulang.” Tiba-tiba saja si gadis bersuara. “Kakak kenapa enggak ngabarin kalau udah pulang dari Hongkong? Ibu sakit keras, Kak.”Deva menatap mata si gadis. Entah kenapa hatinya terenyuh ketika si gadis menye
Berkali-kali Hafid memanggil nomor Kadeva. Sejak subuh tadi nomor putra sang bos tak bisa dihubungi. Padahal pagi ini ada meeting direksi. Hafid sudah mengingatkannya kemarin, tetapi ia perlu kembali mengingatkan takut-takut bos magang itu lupa. “Duh ... ke mana ini Pak Deva? Jangan sampai dia enggak datang.” Hafid berbicara sendiri dengan terus berusaha menghubungi Deva. Namun, lewat panggilan seluler pun hanya suara operator yang menyapa. Nomor yang dituju sedang tidak dapat dihubungi. Saat Hafid masih bingung, tiba-tiba suara karyawan lirih menyebut nama bos besar dengan ucapan selamat pagi. “Selamat pagi, Pak Maja.”“Pagi.”“Pagi, Pak Maja.”“Pagi.”Hafid berdiri dari tempat duduknya dan melihat Atmaja berjalan hendak menuju ruangannya. Hafid pun tersenyum lebar dan segera menghampiri sang bos. “Selamat pagi, Pak Maja,” sapa Hafid semringah. “Pagi, F
Setelah mampir makan dan rehat sebentar, Deva pun melanjutkan perjalanan agar segera sampai. Ia sampai harus memesan kopi asli di sebuah kafe agar tak terlalu mengantuk. Dari ujung mata Deva melihat Sekar yang diam. Ia pun menoleh. Ternyata gadis ayu berkulit kuning langsat itu terlelap. Mungkin Sekar lelah menangis sejak semalam. Deva tersenyum tipis dan lanjut fokus dengan setir. Ia tak mengerti kenapa harus menolong Sekar hingga kini gadis kecil itu sudah sah menjadi istrinya. Apa? Istri? Sekali lagi Deva menoleh dan memerhatikan Sekar dengan sesekali fokus pada jalan. “Enggak nyangka aku udah merid,” gumamnya pelan. “Gimana komentar Papa kalau tahu aku sudah menikah? Sama bocah pula.” Namanya Rahajeng Sekar Arum. Deva baru tahu beberapa menit sebelum ijab kabul ia ikrarkan. Benar-benar definisi gadis desa yang polos. Namun, gadis di sebelahnya itu terlihat cukup pintar. Ia sudah lulus SMA di antara anak-anak lain yang hanya lulusan SMP di desa tersebut. Tiba-tiba wajah Lisa te
“Bik, Den Deva enggak pulang lagi?” tanya Wati. “Ngapain kamu tanya-tanya Aden? Nanti Kang Didin cemburu, lho.”Lili terkekeh. Wati dan Kang Didin benar-benar terlibat cinta lokasi sesama pekerja di mansion milik tuannya. “Ih, si Bibik ngapain jadi bawa-bawa Kang Didin segala?”“Ya lagian kamu tumben-tumbenan nanyain si Aden? Terserah dialah mau pulang apa enggak. Si Aden punya apartemen. Vila punya tuan juga ada di beberapa tempat.”“Iya juga, sih,” sahut Wati akhirnya. “Itu menu di meja udah siap?”“Udah, Bik. Tinggal nunggu Nyonya sama Tuan turun buat makan malam.” Lili menimpali. Tak berapa lama Lisa dan Atmaja turun dengan tangan Lisa yang menggandeng lengan suaminya. Atmaja makin terlihat muda dan segar. Aura bahagia dan harta yang unlimited membuatnya semakin bersahaja di usianya yang tak lagi muda. Bik Darsih mendekat ke meja makan dan mempersilakan majikannya untuk menikmati menu yang tersaji. “Bik, coba kamu hubungi Deva,” ujar Atmaja mula-mula. “Ada apa, Tuan?”“Engg
“Va, cuci muka dulu, gih! Mandi sekalian. Lu ngigo keknya.”Dalion tak langsung percaya begitu saja dengan pernyataan sahabat yang sudah ia anggap seperti saudaranya itu. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu dua puluh empat jam Deva sudah menikahi? Sama gadis kecil pula. Sudah seperti kisah dalam novel online saja. Begitu batin Dali. Sementara Deva hanya terkekeh mendengar kalimat Dali. “Sekar, kamu kembali ke kamar, ya,” suruh Deva pada si gadis. Sekali lagi Dali melongo. Perlakuan Deva pada gadis bernama Sekar itu benar-benar lembut. Dalion bahkan tak pernah tahu bagaimana teman baiknya itu memperlakukan perempuan. Deva tak pernah terlihat punya kekasih walau setelah bercerita ternyata cukup plot twist. Kekasihnya ternyata ibu sambungnya sendiri. Sekar hanya mengangguk dan menuruti semua perkataan Deva. Sepeninggal Sekar dari sofa ruang utama, Dali pun duduk dengan wajah penuh pertanyaan. “Va. Kamu hutang banyak cerita sama aku,” ucap Dali. “Oke. Aku akan bayar lunas itu hutang
Deva terpaku, sementara Sekar menunduk antara malu dan takut. Ia yakin kalau suaminya itu bukan pria biasa. Deva tampan dan terawat. Bermobil dan tinggal di apartemen yang sangat mewah menurut Sekar. Sementara ia? Hanya gadis kampung yang tak pernah merawat diri ke salon. Apalagi penampilannya saat ini. Tiba-tiba saja Sekar mulai merasa rendah diri. “M-maaf, Kak. Sekar enggak punya baju bagus,” akunya dengan suara sedikit bergetar. Bukan. Bukan karena bajunya yang biasa saja. Namun, Deva terpaku ketika melihat Sekar memakai gamis motif bunga-bunga beserta hijab polos yang begitu pas perpaduan warnanya. Ya, memang bajunya terlihat biasa saja, tetapi Sekar terlihat lebih cantik ketika tertutup. “Bagus, kok. Kakak suka kamu yang tertutup begini.”Kalimat Deva membuat pandangan Sekar terangkat. “Kakak enggak malu keluar sama gadis udik begini?”Ya, Sekar memang tak mengenakan make up seperti gadis-gadis zaman now yang terlihat menyala. Ia hanya mengenakan liptint dan bedak harga stand
“Nah, sudah selesai,” ucap owner gerai butik yang diberi mandat Deva untuk sedikit memoles wajah Sekar. Owner yang memperkenalkan diri bernama Manda itu pun segera bergeser dari depan Sekar. Kini, Sekar bisa memerhatikan wajahnya yang hampir tak ia kenali padahal hanya diberi make up tipis. Namun, perbedaan before-after benar-benar terlihat berbeda. Dengan sedikit tak percaya, Sekar pun menyentuh perlahan wajahnya sendiri hingga kedua sudut bibirnya melengkung. Menciptakan senyum cantik yang sekarang sudah Sekar kenali. “I-ini beneran aku?”“Iya. Ini Mbak Sekar. Pangling, ya, sama wajahnya sendiri?”Sekar mengangguk. Awalnya Bu Manda memanggil Sekar dengan sebutan Nona. Ia baru tahu jika gadis cantik berpenampilan sederhana itu adalah menantu dari seorang presdir. Namun, Sekar menolak dipanggil Nona, ia lebih suka dipanggil Mbak atau Sekar saja. Sebenarnya Manda agak sedikit sanksi dengan pernyataan Deva yang menyebut Sekar sebagai istrinya. Selain tak mendengar adanya perhelatan
Pagi ini, suasana meja makan cukup tenang. Deva yang akhir-akhir ini jarang pulang ke rumah Atmaja sedang menikmati menu masakan yang diolah oleh para pelayan. Lidahnya mulai membanding-bandingkan dengan rasa masakan istri kecilnya di apartemen. Senyum tipis terukir di sela ia mengunyah. Lisa hanya diam menunduk, sibuk dengan isi piringnya. Namun, ternyata tidak dengan Atmaja. “Deva, apa ada yang ingin kamu sampaikan sama Papa dan Mama, Nak?”“Hm?” Deva mengangkat pandangan menatap papanya. “Maksud Papa?”“Papa lihat suasana hati kamu seperti sedang baik. Apa ... kamu sudah menemukannya?”“Menemukannya? Menemukan siapa maksud Papa?”“Gadis yang katanya sedang kamu cari, dan akan kamu nikahi setelah kalian bertemu kembali,” ucap Atmaja dan mulai kembali menyendok nasi. Deva melirik Khalisa, dan ternyata perempuan yang masih Deva puja itu juga tengah menatapnya. Lisa segera meraih gelas dan mengalirkan air dalam tenggorokannya. “Oh, dia sudah ditemukan, Pa.”Jawaban Deva cukup membua
Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.
“Papa serius, Pa?""Apa pria tampan di depanmu ini pernah main-main, Boy?”Deva tersenyum lebar. Ia langsung berdiri ingin memeluk sang papa. Atmaja pun ikut berdiri hingga keduanya berpelukan erat. “Makasih, Pa. Makasih. Sekar pasti seneng denger berita ini.”Atmaja merasakan ketulusan dari ucapan putranya. Namun, ia juga agak ragu apakah Deva benar-benar sudah melupakan Khalisa sebagai kekasihnya. Keputusan Atmaja merestui pernikahan Deva dengan Sekar juga tak begitu saja ia berikan. Atmaja sudah berpikir berulang kali hingga ia melihat sendiri bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan para tamunya saat acara tujuh bulanan Lisa. Deva yang memperkenalkan Sekar sebagai calon istri membuat beberapa kolega Atmaja terkejut. Tentu tak hanya kabar yang terbilang dadakan, tetapi karena banyak rekan bisnis Atmaja yang diam-diam ingin menjadikan Kadeva sebagai menantunya. Bibit, bebet, dan bobot Deva
Deva melangkah meninggalkan ruang tengah mansion yang sedang disulap menjadi singgasana sang papa dan mama sambungnya. Singgasana kebahagiaan dalam acara sakral sebagai wujud rasa syukur sebelum anak dalam kandungan Khalisa akan lahir dua bulan lagi. Deva duduk menyandar di salah satu tiang gazebo dekat kolam renang. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantam pikirannya, seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Meski ia berusaha kuat dan tampak tak tergoyahkan dari luar, sesungguhnya Deva sedang terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak kunjung memudar.Wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, kini telah menjadi milik orang lain. Orang yang begitu Deva banggakan, ialah Atmaja Gandhi, papa kandungan sendiri. Dan setiap kali Deva mencoba mengikhlaskan, kenangan tentangnya bersama Khalisa justru semakin menyesakkan. “Aku udah nyoba, Lis,” bisiknya pelan. “Berkali-kali aku nyoba nge-ikhlasin kamu buat Papa. Ngeyakinin diriku sendiri kalau semua tentang kita udah se
“Sayang?”Sekar menoleh ke samping. Deva tersenyum sangat tampan dengan balutan tuksedo yang pas membalut tubuh indahnya. “Rileks, dong. Jangan tegang begitu.”Senyum cantik Sekar sedikit mengembang. Keduanya sedang berada di dalam mobil hendak menuju tempat acara di mana perhelatan akbar tujuh bulanan kandungan Khalisa akan digelar. Tentu bukan tempat asing bagi Kadeva, karena itu adalah rumah papanya sendiri. Namun, bagi Sekar yang baru akan menginjakkan kakinya di sana, ini menjadi hal yang cukup mendebarkan. Melihat ketegangan yang belum berangsur sepenuhnya dari wajah cantik yang sudah dipoles oleh MUA itu, Deva segera menarik lembut sebelah tangan istrinya yang kuku-kukunya cukup cantik dengan sentuhan nail art. “Papa sendiri yang ngundang kita, Sayang. Insya Allah Papa udah bisa nerima kamu.”Sekar tersenyum. Usaha suaminya untuk membuat ia pantas dan layak menjadi menantu Atmaja Gandhi jug