Rachel berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap ke luar dengan pikiran yang berkecamuk. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang berbeda dalam sikap Martin. Suaminya yang dulu hangat dan penuh perhatian, kini terasa semakin jauh. Setiap kali Rachel mencoba berbicara dengannya, pria itu selalu terlihat sibuk atau malah menghindar.Dia memegang kepalanya, mencoba menahan perasaan gelisah yang mulai menguasai hatinya. Apakah Martin mulai bosan dengannya? Apakah dia diam-diam menyimpan sesuatu?Ketukan pintu tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan ekspresi ragu.“Madam, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda,” katanya dengan suara hati-hati.Rachel mengernyit. “Siapa?”Pelayan itu menunduk sedikit sebelum menjawab, “Nyonya Keiza.”Jantung Rachel berdegup kencang. Nama itu membawa kembali begitu banyak kenangan, kebanyakan di antaranya tidak menyenangkan. Keiza adalah mantan tunangan Martin, wanita yang selalu dipandang sebagai pasangan
Rachel masih berdiri membeku di ruang tamu, menggenggam erat foto-foto yang baru saja ditunjukkan Keiza. Hatinya terasa seperti dihantam badai. Jantungnya berdebar kencang, tetapi bukan karena kebahagiaan, melainkan karena kemarahan yang membara.Martin mencoba mendekatinya lagi, tetapi Rachel segera mundur selangkah. “Jangan mendekat, Martin,” katanya dengan suara bergetar. “Aku ingin jawaban sekarang. Apa ini semua benar?”Martin menatapnya dengan wajah penuh keseriusan. “Rachel, aku bisa jelaskan. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan.”Rachel tertawa pahit. “Kau ingin aku percaya begitu saja? Setelah melihat foto-foto ini?” Ia mengangkat salah satu foto yang menunjukkan Martin duduk berdua dengan seorang wanita di sebuah restoran. “Siapa dia?”Martin menatap foto itu dengan rahang mengatup. “Namanya Laura. Dia—”Rachel langsung menyela dengan cepat. “Jadi kau mengakuinya?”Martin mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku tidak pernah berselingkuh, Rachel! Laura adalah… seseorang dari ma
Rachel duduk di kursi belakang mobilnya, menatap kosong ke luar jendela. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya hatinya yang terasa beku setelah percakapannya dengan Martin.Ia merasa terhimpit oleh situasi ini. Martin masih meragukannya, seseorang mencoba menjebaknya, dan kini, pikirannya mulai terusik oleh bayangan ibunya yang telah lama ia abaikan.“Apa aku benar-benar sudah lupa diri?” gumamnya pelan.Sopir pribadinya melirik ke kaca spion, tetapi tidak berkata apa-apa. Rachel sendiri tenggelam dalam pikirannya. Keinginannya untuk tetap mempertahankan kehidupan mewahnya begitu kuat, tetapi ada bagian dari dirinya yang mulai retak.Setibanya di rumah, suasana terasa lebih hampa dari biasanya. Martin belum pulang. Mungkin masih di kantornya, atau mungkin sengaja menghindarinya.Rachel masuk ke kamar dan melemparkan tasnya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang terus menghantuinya.Tapi semakin ia mencoba m
Keesokan paginya, Rachel berdiri di depan lemari pakaian, menatap deretan gaun mahal yang memenuhi ruangannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa semua barang itu tidak berarti apa-apa. Setelah percakapannya dengan Martin semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan ibunya. Rumah yang hampir roboh, ibunya yang tinggal sendirian dalam keadaan memprihatinkan—semuanya menghantam kesadarannya dengan keras. Rachel mengambil tasnya dan berjalan keluar kamar. Ia melewati ruang makan tanpa menyentuh sarapan yang telah disiapkan. Martin sedang duduk di sana, membaca koran. Ketika Rachel hendak melewati pintu, suara Martin menghentikannya. “Kau benar-benar akan pergi?” Rachel menoleh, menatapnya ragu. “Ya. Aku harus melihat keadaan ibuku.” Martin melipat korannya dan menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku ikut.” Rachel terkejut. “Kenapa?” Martin menghela napas. “Kau mungkin sudah lama tidak pulang, tapi aku sudah melihat sendiri bagaiman
Rachel masih duduk di kursi ruang tamu rumah ibunya, menatap sekeliling dengan perasaan campur aduk. Bau khas rumah kayu yang dulu begitu akrab kini terasa asing. Meskipun ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di tempat ini, sekarang ia merasa seperti orang asing—seorang tamu yang baru saja kembali setelah lama menghilang.Ibunya sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat setelah perbincangan emosional tadi. Wanita tua itu tampak lebih tenang, meskipun jelas kelelahan. Rachel tahu, ibunya bukan hanya lelah secara fisik tetapi juga secara emosional. Dan semua itu terjadi karena dirinya yang terlalu lama mengabaikan keluarga.Martin masih berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tertuju pada Rachel, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.“Kau ingin menginap di sini?” tanya Martin akhirnya.Rachel menoleh, menatap Martin dengan ragu. Ia ingin tinggal lebih lama, tapi di sisi lain, perasaan tidak nyaman mulai menyel
Rachel duduk di kursi belakang mobil dengan tatapan kosong ke luar jendela. Perjalanan pulang dari rumah ibunya terasa jauh lebih panjang dari yang seharusnya. Hatinya masih diliputi perasaan bersalah, meskipun ia sudah memutuskan untuk memperbaiki kesalahannya.Martin yang sedang duduk di sampingnya tetap diam, dan tidak ada komentar sarkastik seperti biasanya bahkan tidak ada sindiran tajam. Hanya hening, seakan memberinya ruang untuk mencerna semuanya.Rachel menarik napas panjang. “Martin…”“Hm?”Rachel menunduk ragu. Ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi rasanya terlalu sederhana dibandingkan dengan semua yang telah Martin lakukan.“Aku…” Rachel akhirnya berkata, “Aku akan sering mengunjungi Ibu setelah rumahnya direnovasi.”Martin meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. “Itu keputusan yang bagus.”Rachel menoleh ke arahnya dan memperhatikan ekspresi Martin yang tampak sangat serius namun tetap tenang. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa suaminya hanya peduli pada bi
Rachel duduk di sofa dengan ekspresi penuh kewaspadaan, menatap wanita dan pria dibelakangnya yaitu Leonard yang tampak begitu percaya diri. Martin berdiri tak jauh darinya, matanya tajam menatap tamu tak diundang itu dengan penuh kewaspadaan. “Jadi, tawaran apa yang ingin kau berikan padaku?” tanya Rachel tanpa basa-basi. Wanita itu menyilangkan kakinya, tersenyum tipis. “Aku akan langsung ke intinya. Aku tahu kau baru saja kembali mendekati ibumu dan ingin menebus kesalahan masa lalu. Aku juga tahu bahwa kau sekarang mulai mempertanyakan posisimu di rumah tangga ini.” Rachel mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Di dalamnya ada sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadap pernikahanmu dengan Martin.” Martin yang sejak tadi diam, kini melangkah maju dengan ekspresi semakin dingin. “Aku tidak suka permainan seperti ini.” Wanita itu hanya tertawa kecil. “Aku tidak bermain, Tuan Martin.
Rachel menatap surat perjanjian di hadapannya. Tangan Leonard terulur, memberikan pena kepadanya, seolah menunggu tanda tangannya tanpa memberi ruang untuk pertimbangan lebih lama. “Kau hanya perlu menandatanganinya, Rachel,” suara Leonard terdengar tenang, tapi matanya tajam, penuh keyakinan. Rachel menggigit bibirnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Tawaran ini tampak menggiurkan, tapi ada sesuatu yang membuatnya ragu. Selama ini, ia telah belajar bahwa tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. “Apa kau benar-benar berpikir aku akan langsung menerima ini begitu saja?” tanyanya, menatap Leonard curiga. Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka kau akan mudah percaya, tapi aku juga tahu kau cukup cerdas untuk tidak melewatkan kesempatan ini.” Rachel mengalihkan pandangannya ke kertas itu lagi. Jika ia menandatangani kontrak ini, maka ia akan memiliki peran besar dalam proyek Leonard. Itu berarti jaminan finansial yang lebih stabil. Namun, mengingat sejarahnya de
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara