Rachel duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun sutra merah yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan sosoknya yang kini lebih anggun dan berkelas. Berlian yang menggantung di lehernya berkilauan di bawah cahaya lampu kamar, mencerminkan statusnya yang kini jauh berbeda dari dulu. Hidupnya sudah berubah. Ia bukan lagi gadis miskin yang dulu harus berjuang untuk sesuap nasi. Kini, ia adalah nyonya dari seorang pria kaya dan terpandang. Semua yang dulu hanya bisa ia impikan, kini berada dalam genggamannya. Namun, di tengah gemerlapnya kehidupan baru ini, bayangan masa lalu tiba-tiba menyusup ke dalam pikirannya. Sosok seorang wanita tua yang mengenakan pakaian lusuh, duduk sendirian di dalam rumah reyot dengan atap bocor dan dinding kusam. Rumah yang dulu menjadi tempat ia berlindung dari hujan dan teriknya matahari. Ibunya. Rachel menghela napas. Entah mengapa, ada perasaan tidak nyaman yang mengusik hatinya. Ia tahu betul bagaimana
Rachel duduk di ruang tamu rumah mewahnya, memandangi cangkir teh yang sudah mendingin di atas meja. Pikirannya kalut. Semua yang ia miliki saat ini adalah impian yang dulu terasa mustahil bagi Rachel yaitu kekayaan, status sosial, dan kebebasan untuk menikmati hidup tanpa harus memikirkan kekurangan uang. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.Bayangan ibunya yang tinggal di rumah kecil yang dulu mereka tempati kembali muncul di pikirannya. Sudah berhari-hari ia tidak menghubungi wanita tua itu. Ia tahu betul kondisi ibunya tidak baik, tetapi ia memilih mengabaikannya. Baginya, kemiskinan itu seperti racun yang harus dijauhi sejauh mungkin.Rachel menghela napas panjang dan berdiri, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman itu. Ia berjalan ke lemari kaca tempat koleksi perhiasannya tersusun rapi. Dengan jemarinya, ia menyentuh kalung berlian yang baru saja dibelikan Martin untuknya. Seharusnya ia bahagia, bukan?Namun, kebahagiaan itu terasa kosong.Saat ia masih
Rachel berdiri di depan cermin besar di dalam butik mewah, mengenakan gaun satin berwarna merah tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Pelayan butik berdiri di belakangnya, tersenyum penuh kekaguman.“Gaun ini benar-benar cocok untuk Anda, Nyonya Martin,” ucap pelayan itu.Rachel mengangkat dagunya sedikit, dan menatap pantulan dirinya. Tak dapat dipungkiri, bahwa kehidupan mewah ini adalah sesuatu yang dulu hanya bisa ia impikan. Kini, segalanya sudah pasti ada di genggamannya.Namun, saat di tengah keindahan yang mengelilinginya, pikirannya berkelana jauh. Ia teringat ibunya yaitu wanita tua yang kini hidup sendiri di rumah sederhana, tanpa ada dirinya di sisi. Rachel mencoba menepis rasa bersalah yang mulai mengusik pikirannya. Toh, ibunya selalu hidup dalam kesulitan, dan ia tak pernah benar-benar mengeluh.Tepat saat ia hendak berbicara, suara ponselnya bergetar di dalam tasnya. Rachel melirik layar—sebuah pesan dari Leonard.Leonard: “Aku ingin bertemu sekarang. Ada yang ha
Rachel berdiri di depan jendela kamar, memandang langit malam yang gelap tanpa bintang. Pikirannya dipenuhi kegelisahan sejak ia menemukan dokumen yang kini tergenggam erat di tangannya. Dokumen itu bukan sekadar kertas biasa. Tulisan di dalamnya mengandung fakta yang bisa mengguncang dunianya. [Kontrak Investasi dan Pengalihan Aset] Nama Martin tertera di sana, tetapi yang lebih mengejutkan adalah nama lain yang tertulis di dalamnya—Keiza. Rachel mengerutkan kening, membaca ulang isi dokumen itu dengan cermat. Ia mencoba menemukan kesalahan atau mungkin sekadar kebetulan, tetapi semakin ia menelusuri setiap detailnya, semakin jelas bahwa Keiza memiliki keterlibatan dalam aset Martin. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya: Kenapa Martin tidak pernah mengatakan apa pun tentang ini? Hatinya mulai diliputi kecurigaan. Apakah suaminya masih memiliki hubungan bisnis dengan mantan kekasihnya? Atau lebih dari itu—apakah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan darinya? Ketika
Rachel duduk di dalam mobil dengan tangan terlipat di pangkuannya. Pikirannya masih terbayang kejadian di butik tadi. Ia bisa merasakan tatapan para wanita sosialita yang meremehkannya. Walau sekarang ia dalam kemewahan, tetap saja ada yang menganggapnya tidak pantas. Martin yang sedang duduk di sebelahnya, terlihat sangat fokus menyetir. Ia sesekali melirik Rachel yang diam saja sejak mereka meninggalkan butik. “Kamu baik-baik saja?” Martin bertanya dengan nada lembut. Rachel mengangguk singkat, tetapi jelas ada sesuatu yang mengganggunya. “Aku hanya lelah,” jawabnya datar. Martin tidak memaksa Rachel untuk bercerita sekarang. Ia tahu, terkadang istrinya membutuhkan waktu sendiri untuk mencerna perasaannya. Mobil berhenti tepat di depan restoran yang mewah. Martin sudah merencanakan makan malam romantis untuk mereka berdua. Sebagai suami, ia ingin Rachel merasa lebih nyaman di lingkungan sosialnya. “Kita makan di sini?” Rachel bertanya, agak terkejut. Martin tersenyum. “
Setelah makan malam yang penuh kegelisahan itu, Rachel tidak bisa tidur dengan tenang. Kata-kata Keiza terus terngiang di benaknya. “Hati-hati, Rachel. Kehidupan mewah bisa membuat seseorang kehilangan arah.”Apa maksudnya? Apakah itu hanya sindiran biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam?Rachel berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang megah. Cahaya temaram dari lampu tidur membuat bayang-bayang di dinding terlihat bergerak-gerak, seakan menari bersama pikirannya yang tak henti-henti.Di sampingnya, Martin sudah tertidur. Wajahnya terlihat damai, tetapi Rachel tahu, suaminya juga menyimpan banyak beban.Dengan hati gelisah, Rachel bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon. Angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya, membawa serta perasaan aneh yang sulit ia jelaskan. Dari atas gedung apartemen mereka, ia bisa melihat kelap-kelip lampu kota yang tak pernah tidur.Dulu, hidupnya tak pernah setenang ini. Ia masih ingat bagaimana dulu ia harus bekerja keras
Rachel masih memandangi foto-foto itu dengan mata membelalak. Tangannya gemetar saat ia mengangkat lembar terakhir. Bayangan seseorang yang muncul di belakangnya dalam foto itu membuat napasnya tercekat.“Ini… tidak mungkin,” gumamnya.Martin yang berdiri di sampingnya ikut menatap gambar itu dengan rahang mengeras. “Rachel, kau mengenal orang ini?”Rachel seolah terdiam tapi jantungnya berdetak sangat kencang. Sosok dalam foto itu adalah seseorang dari masa lalunya, yaitu seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam kehidupannya.Keiza.Wanita itu berdiri di belakangnya dalam salah satu foto yang diambil di butik. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, tetapi Rachel mengenali sorot mata itu. Tatapan yang penuh makna, seakan mengamatinya dengan cermat.“Tidak mungkin dia ada di sini,” bisik Rachel, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku tidak pernah melihatnya”Martin meraih bahunya dengan lembut. “Rachel, tenang. Kita akan cari tahu siapa yang mengirim foto-foto ini dan apa tujuannya.”
Rachel duduk diam di dalam mobil yang melaju menuju sebuah kafe di pusat kota. Tangannya mengepal di atas pangkuan, sementara pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi. Keiza. Nama itu kembali menghantuinya.“Apa kau yakin ingin menemuinya sekarang?” tanya Martin, yang duduk di sampingnya dengan ekspresi khawatir.Rachel menoleh, menatap wajah suaminya yang penuh kecemasan. “Aku harus. Jika Keiza memang ada hubungannya dengan semua ini, aku ingin mendengar langsung dari mulutnya.”Martin menarik napas panjang. “Baiklah. Tapi aku akan tetap di dekatmu. Aku tidak ingin kau menghadapi ini sendirian.”Rachel mengangguk. Meskipun hatinya berdebar kencang, ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan.Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan kafe. Martin membuka pintu untuknya, dan mereka masuk bersama. Pandangan Rachel langsung menyapu seluruh ruangan. Ia menemukan Keiza duduk di salah satu sudut, mengenakan blazer merah dengan rambut panjang yang digerai. Wanita itu tampak tenang, seol
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara